Oleh Iqbal Setyarso, alumnus HMI Cabang Palu dan FISIP Universitas Tadulako Angkatan 1992, Pembina Indonesia Care
Prof. Dr. Abdul Munir Mulkhan menjadi representasi “kegelisahan” jemaah Muhammadiyah. Salah satu hal yang mengemuka, pendapatnya saat ia mengatakan, “Aktivis Muhammadiyah kini tak menangkap roh gerakan sosial Dahlan”. Maksudnya, Kader Muhammadiyah modern telah gagal memahami maksud-maksud pendiri Muhammadiyah, K.H. Ahmad Dahlan. Pendapat-pendapatnya begitu kritis. Yang lebih kekinian, ia pernah menggugat “kejumudan” organisasi modern ini dengan mengatakan, “Muhammadiyah perlu kian tanggap atas persoalan-persoalan kekinian, semisal tren penggunaan cryptocurrency atau bitcoin dalam bisnis modern.” Kontras dengan perhelatan yang digelar di Palu, sekumpulan insan Indonesia menggelar Munas XI KAHMI. Saya perlu berkilas balik, KAHMI (Korps Alumni HMI)–yang dilahirkan HMI, telah berusia 47 tahun (sedangkan HMI, dari mana KAHMI terinspirasi, lebih dahulu lahir. Kini 75 tahun sejak ia didirikan, 5 Februari 1947). HMI pun produk zaman old yang perlu menyadari suasana zaman!
Benar, terasa relatif kekinian ketika dasar memutuskan Kota Palu, Sulteng, diputuskan menjadi tempat Munas XI KAHMI. Berbeda dengan perhelatan-perhelatan yang umumnya menyuguhkan kemegahan dan prestasi, Kota Palu terpilih justru saat memenangi kondisi sebagai daerah yang pernah terpapar bencana bahkan tripel bencana: gempa bumi, likuefaksi, dan tsunami. Pilihan ini, menurut saya, “amat kekinian”. Bahwa dunia ini secara alami kian tua, dan alam “sudah letih” menyangga umat manusia di atasnya.
Menurut saya, isu yang diusung munas, dengan tiga tema besarnya–pertama, bagaimana KAHMI memberi kontribusi pemikiran dan gerakan menghilangkan stigma Sulteng–khususnya Poso–sebagai daerah konflik dan basis teroris; kedua, gerakan kemanusiaan yang akan melahirkan “KAHMI Peduli” yang diawali dengan memberi nilai tambah terhadap proses rehabilitasi dan rekonstruksi pascabencana alam dan nonalam di Sulawesi Tengah; dan ketiga, bagaimana KAHMI merespons pengembangan UMKM dan pengelolaan sumber daya alam yang berkelanjutan–terasa kurang “mewakili” semangat kekinian.
Berubahnya Mindset Manusia
Sejumlah fakta mengemuka. Bahkan, sejumlah ilmu baru di jagat akademik telah mewarnai kampus. Entitas “mahasiswa” pun sudah harus responsif atas tren ini. Warna dunia yang memasuki era milenial (juga dikenal sebagai Generasi Y, Gen Y, atau Generasi Langgas) adalah kelompok demografi setelah Generasi X (Gen X). Tidak ada batas waktu yang pasti untuk awal dan akhir dari kelompok ini. Para ahli dan peneliti biasanya menggunakan awal 1980-an sebagai awal kelahiran kelompok ini dan pertengahan tahun 1990-an hingga awal 2000-an sebagai akhir kelahiran. Apa artinya? Mindset generasi milenial sangat berbeda dari era generasi sebelumnya. Dunianya berbeda, preferensinya terhadap kehidupan juga berbeda.
Dengan perubahan ini, mau tak mau, suka atau tidak, manusia KAHMI pun patut berhitung dan hirau atas tren kekinian. Di awal tulisan ini telah disinggung “organisasi modern pun (Muhammadiyah) dikritisi mulai masuk zaman jumud, beku pemikiran”. Ikon-ikon zaman old mulai beradaptasi. Institusi seperti Dewan Masjid Indonesia (DMI), yang kini dipimpin HM Jusuf Kalla, jelas beliau produk zamannya, berpikir dengan perspektif zamannya. Presiden pertama RI, Sukarno, pernah mengatakan, “Kita harus memudakan Islam.” Meskipun Indonesia saat itu selain “negara baru merdeka”, juga fenomena teknologi bahkan ideologi belum sepesat perkembangan era milenium. Kita harus tersemangati pendapat Sukarno meskipun untuk kasus organisasi kemahasiswaan zaman itu cukup banyak hal yang tidak menarik diingat.
Metaverse dan Masjid Zaman Now
Dalam peristilahan, kata metaverse dimaknai suatu teknologi augmented reality (AR) yang memungkinkan individu untuk berinteraksi dengan individu lainnya secara virtual. Metaverse kerap diartikan sebagai simulasi dunia nyata manusia yang diimplementasikan di dunia maya atau internet. Ini zaman yang baru, setidaknya versi tahun 2022. Jejak kebaruannya terus berkembang. Sejumlah kampus, termasuk kampus Universitas Insan Cita Indonesia (UICI) yang dipimpin Kanda Profesor Laode Kamaluddin sebagai rektornya, mengangkat isu pendidikan ekonomis, yang memungkinkan manusia terdidik belajar di bangku perguruan tinggi dengan biaya relatif lebih murah. Sejumlah mahasiswa diajar banyak akademisi mancanegara.
Para mahasiswa belajar serbadigital. Bahkan, kampus UICI memiliki lahan dengan aplikasi teknologi digital di Sulawesi Tenggara. Jadilah UICI memiliki kampus dengan ukuran relatif lebih kecil (small campus) dengan tenaga pengajar global (dari berbagai negara), berbiaya lebih ekonomis. Mindset-lah yang memungkinkan berbagai hal relatif bisa disederhanakan: dari segi ukuran, kompleksitas, sebaran (spreading), jangkauan (range). Dengan “paket” simpel kehidupan, banyak hal relatif bisa hadir virtual. Institusi old begitu cepat, suka atau tidak, menghadapi ketergeseran; tergantikan sejumlah tuntutan kekinian.
KAHMI masuk masjid menjadi penyikapan. Organisasi kader ini, dengan kompleksitas keahlian dan peminatan, dihadirkan ke masjid. Ini langkah untuk bisa memahami problematika umat. Tahu problem berarti juga sadar solusi. Salah satu ikhtiar yang digagas menjadikan masjid menjadi sentra pembangkitan. Tidak berlebihan kiranya karena dalam banyak masa, umat Islam–yang basisnya masjid–menebar “narasi pilu”. Bicara Islam dan umat Islam, kerapkali nasib keterpurukan dan keterbelakangan kontras dengan umat beragama lain. Dengan penuh kesadaran menjadikan masjid sentra pembangkitan, sebuah “semangat” dan “tekad” juga langsung menjadi aksi: membangkitkan ekonomi umat.
Ada semangat yang sama sebagaimana pernyataan Ketua Majelis Wilayah KAHMI Sulteng, H. Andi Mulhanan Tombolotutu, bahwa UMKM itu secara sadar menjadi vektor pembangkitan ekonomi umat dan masjid menjadi sentra ikhtiar pembangkitan itu. Dengan kata lain, lewat berbagai produk UMKM, pembangkitan itu bisa diaktivasi. Yang diperlukan pelatihan manajemen produk-produk UMKM itu (pelatihan teknis kalau perlu karena berbasis masjid sangat mungkin yang memproduksi produk-produk UMKM itu belum berpengalaman).
Dengan pelatihan intensif, diharapkan para pengampu produksi itu memiliki kapasitas produksi yang andal dan layak jual. Maka, langkah selanjutnya bagaimana menjualnya. Salah satu cara kekinian yang terpikir, menjualnya di marketplace. Di belakang proses itu, keseriusan menolong pembangkitan ekonomi umat ditandai kerja cerdas ikhtiar penjualan itu. Ada serangkaian tools yang membutuhkan kehadiran engineer teknologi informatika. Dengan digitalisasi teknologi, proses yang rumit relatif bisa disederhanakan. Apalagi, secara kelembagaan, telah dirintis KAHMI Payment yang bukan mustahil di dalamnya ada “paket strategi” pembangkitan ekonomi umat, salah satu sentranya di masjid.
Ibadah Virtual, Bisnis Virtual
Palu hanya menjadi ikon, tetenger, penanda bencana luar biasa yang menimpa. Jejak digital menyebutkan, bencana besar menerpa Palu dan sekitarnya Oktober 2018. Adalah DMI Pusat masuk ke Sulteng menghadapi fakta demikian banyak masjid yang rusak. Ketua Umum DMI sekaligus ketika masih Wakil Presiden, HM Jusuf Kalla, memberi arahan, “Fokus DMI membangun kembali masjid karena tempat ibadah bagi masyarakat Indonesia adalah organ vital.”
Ada kesalingterkaitan masjid di satu sisi dan humanity di sisi yang lain. Dalam perspektif umumnya, masjid punya fungsi tunggal: tempat peribadatan umat Islam. Sedangkan peran masjid selain untuk beribadah belum cukup menonjol. Disadari atau tidak, masjid secara sosial pun tidak ada penolakan untuk menjadikannya shelter (penampungan), terlebih ketika bencana mendera sebuah daerah. Penyintas (bisa) menjadikan masjid sebagai shelter. Krisis kebencanaan menyulap peran masjid sosial sebagai shelter. Secara simultan, jemaah masjid tak hanya bisa memperlakukan masjid untuk beribadah juga menjadikannya sebagai shelter bahkan untuk bisnis.
Teknologi AR sangat mungkin diaplikasikan dalam beribadah. Rekan-rekan para alim perlu menguasai teknologi ini agar bisa melayani umat. Secara simultan, kader alumni HMI berlomba-lomba menguasai teknologi AR dalam aktivitas bisnis. Aspek produksi dalam waktu yang memadai bisa ditransformasikan kepada jemaah atau profesional yang diberi mandat khusus untuk aktivitas produksi. Sementara ini, dalam usaha ke arah penguasaan teknologi, bisa dirintis aktivitas hybrid: kombinasi digital dan manual sampai secara teknis semuanya bisa dikuasai. Perlahan tanpa melawan sunah, dengan teknologi bisa dikatakan secara virtual beribadah dan berbisnis. Sama-sama dijalankan. Yakin usaha sampai.