in

Sulteng, UMKM, dan Pasar (Bagian 1)

Alumnus HMI Cabang Palu dan FISIP Universitas Tadulako serta Pembina Indonesia Care, Iqbal Setyarso. Dokumentasi pribadi
Alumnus HMI Cabang Palu dan FISIP Universitas Tadulako serta Pembina Indonesia Care, Iqbal Setyarso. Dokumentasi pribadi

Oleh Iqbal Setyarso, Alumnus HMI Cabang Palu dan FISIP Universitas Tadulako Palu serta Penasihat Indonesia Care

Sempat masuk dalam perbincangan, wacana filantropi di tengah-tengah pembahasan ikhwal Musyawarah Nasional Korps Alumni Himpunan Mahasiswa Islam (Munas KAHMI). Salah satunya, tentang penjajakan peluang bersinergi dengan Dewan Masjid Indonesia (DMI) Wilayah Sulawesi Tengah (Sulteng), yang saat ini ketuanya alumnus HMI Cabang Palu, H. Ahmad Ali. Dalam semangat penjajakan sinergi itu, Ketua Mejelis Wilayah (MW) Sulawesi Tengah, H. Mulhanan Tombolotutu, mengingatkan saya, “Tidak usah berpikir mau bersinergi dengan DMI Sulteng, dorang sudah punya strategi sendiri mengembangkan masjid. Kita berpikir membesarkan K-Pay (KAHMI Payment)“. K-Pay, platform yang tengah dirintis jemaah alumni HMI. Ada minimal dua syarat yang mesti dipenuhi, produk dan good will (niat baik) untuk menggerakkan jaringan alumni HMI.

Syarat pertama, memiliki produk. Dengan produk, kita memiliki dalih untuk bertransaksi. Ada sesuatu yang dipasarkan agar aktivitas usaha terjadi. Kedua, adanya good will (niat baik) untuk menggerakkan jaringan alumni HMI. Sebuah niat baik–diikuti kesungguhan mewujudkan niat itu–maka terjadilah aksi ke arah yang diinginkan. Dalam konteks ini, niat baik memproduksi UMKM tertentu–otomatis dengan pricing (harga) tertentu, dengan design tertentu, untuk market (pasar) tertentu, dan calon konsumen dengan kelas tertentu pula. Seperti juga target penulisan kolom di media, sasaran pembacanya, tertentu (tingkat pendidikannya, preferensi politiknya [partai apa; agamanya apa; etnisnya apa, Jawa atau bukan Jawa; dan sebagainya]). Produk dan good will menjadi dua acuan penting sebelum menyasar penyusunan program untuk sebuah lembaga filantropi.

Mengacu judul artikel ini, Sulteng, UMKM, dan Pasar, artikel ini masih punya kontinuitas dengan artikel-artikel sebelumnya, terutama untuk topik seputar pemindahan ibu kota negara (IKN). Topik ini akan erat kaitannya dengan isu pemindahan ibu kota negara dan kaitannya dengan Palu, Sulawesi Tengah, sekaligus berkaitan dengan sumber daya di Sulawesi Tengah.

Sulteng, Filantropi, dan Bencana
Keputusan penentuan Kota Palu menjadi tempat Munas XI KAHMI, sebagaimana saya singgung pada artikel-artikel sebelumnya, sangat terkait dengan bencana alam yang pernah terjadi di Kota Palu–dan sekitarnya. Bahkan, disebut sebagai alasan sehingga Palu memenangi kompetisi dengan “kandidat terkuat” tempat munas, mengalahkan Manado, Sulawesi Utara.

Karena alasan kuat itu, maka Palu mengusung topik yang sarat nuansa “pro bencana” sampai ada seloroh alumnus daerah lain yang hendak mengikuti munas, “Kita mau pigi bersenang-senang, ini mau diajak ke lokasi bencana alam”. Selorohan itu sontak mengundang sergahan yang cukup keras, “Kita ini kader terbaik ‘Hijau Hitam’, tidak akan sekadar ingin bersenang-senang. Sebagai kader terbaik, akan berbuat terbaik untuk Indonesia, bukan hanya demi Sulawesi Tengah”. Sikap dan pernyataan eksplisit dan tegas itu seketika menghalau suara-suara sumbang pemilihan Palu sebagai tempat Munas XI tahun 2022 ini. Dengan ungkapan lain, tentang pilihan Palu sebagai tempat munas sebagai pilihan visioner bahwa ke depan, dunia bukan akan baik-baik saja, melainkan akan “sarat dengan bencana (alam)”. Maka, memilih secara sadar akan bencana alam menjadikan hal itu visioner.

Baca Juga :  "Menyelamatkan" Munas KAHMI

Kebencanaan menjadikan filantropi sebagai konsekuensi logis dari fakta-fakta yang mengiringinya, bahwa bencana dan filantropi atau kedermawanan seakan “satu paket”; di mana terjadi bencana, di situ secara naluriah manusia akan mengulurkan pertolongan tanpa peduli agamanya. Sulteng sekaligus menjadi etalase ironi; pernah suatu masa orang saling bantai karena perbedaan agama, pada masa yang lain, Sulteng, khususnya Kota Palu dan sekitarnya, saling bantu karena “panggilan bencana alam”. Tidak tanggung-tanggung, langsung ditimpa tiga bencana fenomenal: gempa bumi, likuefaksi, dan tsunami.

Filantropi dan Penanggulangan Bencana
Filantropi dengan tendensi pemberdayaan, menjadi kredo baru pascabencana berlalu. Karena itu, Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) secara nasional menggariskan, masa tanggap darurat paling lama 14 hari. Ini sebagaimana dimuat dalam bnpb.go.id. Pada situs web yang sama dijelaskan, khususnya penjelasan Pasal 1 ayat (6) Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 21 Tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana, “Mitigasi adalah serangkaian upaya untuk mengurangi risiko bencana, baik melalui pembangunan fisik maupun penyadaran dan peningkatan kemampuan menghadapi ancaman bencana.

Pentingnya berhitung waktu penyelamatan berkaitan dengan kesanggupan kolektif bangsa menghadapi situasi bencana. Kesanggupan ini juga berkaitan dengan kemampusan keswadayaan masyarakat menolong sesamanya dalam lingkup nasional, terutama menjadi penting melihat secara makro kemampuan sebuah bangsa, salah satunya melihat sistem kesiapsiagaan bangsa. Ini kita bisa simak dari rentang eksistensi BNPB.

Sejarah BNPB, berdiri pertama kali pada 20 Agustus 1945. Berfokus pada kondisi situasi perang pasca-kemerdekaan. Badan ini bertugas untuk menolong para korban perang dan keluarga korban perang semasa perang kemerdekaan. BNPB yang kita kenal saat ini bukan lembaga yang berdiri belakangan, tetapi justru lahir pada tahun pertama Indonesia merdeka. BNPB menunjukkan keseriusan pemerintah sejak awal. Ini ditunjukkan dengan membangun legalisasi, lembaga, maupun budgeting. Pemerintah juga menerbitkan Undang-Undang (UU) Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana. Pemerintah kemudian mengeluarkan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 8 Tahun 2008 tentang Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB). BNPB terdiri atas kepala, unsur pengarah penanggulangan bencana dan unsur pelaksana penanggulangan bencana. BNPB memiliki fungsi pengoordinasian pelaksanaan kegiataan penanggulangan bencana secara terencana, terpadu, dan menyeluruh.

Baca Juga :  World Without Agriculture?

Filantropi dan Pasar
Filantropi, kedermawanan adalah aktivitas yang perlu penguat. Alasan untuk “mengedukasi publik” agar memunculkan jiwa kedermawanan. Alasan itu bernama program. Tanpa program yang edukatif dan menstimulus kedermawanan, niscaya khalayak tidak tersentuh jiwa sosialnya. Dan dalam sebuah program, ada dua sisi yang mengemuka, menyentuh jiwa sosial khalayak sekaligus memberdayakan. Tanpa keberdayaan, masyarakat penyintas akan menjadi ketergantungan pada pendermanya.

Keseriusan penanggulangan bencana, baik alam maupun sosial, menjadi kecenderungan global. Tradisi filantropi (kedermawanan) menjadi kajian dunia. Indonesia disebut sebagai negara paling dermawan versi World Giving Index (WGI) 2021 yang dirilis 14/6 oleh CAF (Charity Foundation). The World Giving Index adalah laporan tahunan yang diterbitkan oleh Charities Aid Foundation dengan menggunakan data yang dikumpulkan oleh Gallup dan memeringkat lebih dari 140 negara di dunia berdasarkan seberapa dermawan mereka dalam menyumbang. Dalam laporan WGI 2021, Indonesia menempati dua peringkat teratas dari tiga katagori atau indikator yang menjadi ukuran WGI, yakni menyumbang pada orang asing/tidak dikenal, menyumbang uang, dan kegiatan kerelawanan (volunteer). Hasil penelitian CAF menunjukkan, lebih dari delapan dari 10 orang Indonesia menyumbangkan uang pada tahun ini, sedangkan tingkat kerelawanan di Indonesia tiga kali lipat lebih besar daripada rata-rata tingkat kerelawanan dunia.

Di tengah situasi multikrisis di Indonesia, kabar setahun lalu itu cukup membanggakan, sangat menghibur di tengah rapor merah politik nasional. Dalam proyeksi filantropi nasional dan realitas bangsa yang diintai bencana, selalu ada harapan untuk kebaktian sosial bangsa ini. Meski dihadapkan pada kondisi memburuknya kemampuan kita (Indonesia) membayar utang luar negerinya pada satu sisi dan keinginan untuk memindahkan ibu kota negara pada sisi yang lain, sebagai anak bangsa, kita tak ingin menularkan pesimisme.

Baca Juga :  Modal Sosial dalam Bingkai Desentralisasi dan Demokrasi

Sebagaimana disebutkan pada awal artikel ini, filantropi harus dipadu dengan program pemberdayaan. Ini dalam istilah nyaris senada disebut pula sebagai social enterprise atau kewirausahaan sosial. Dengan begitu, secara bersama-sama, pegiat sosial sah jika dalam usaha bersama beneficiaries mendapatkan benefit dari usaha mereka. Ikhtiar ini sama sekali tidak menyalahi kode etik filantropi, meraka dalam istilah keagamaan berserikat (syirkah) dalam berusaha. Modal usaha dari pihak pemodal, hasilnya untuk kemaslahatan bersama setelah dikurangi modal usaha.

Bisnis model ini relatif aman dari niat buruk mengemplang secara ugal-ugalan dana yang tadinya digalang atas nama sosial. Bahkan, menjadi modus, terutama pihak penyelenggara sosial, dengan menyisihkan “sebagian kecil” untuk beneficiaries. Karena modus social enterprise ini, maka lembaga yang berkhidmat pada kemaslahatan beneficiaries mementingkan penciptaan produk yang menguntungkan pengelola maupun penerima manfaat. Maka, diikhtiarkanlah usaha produktif, yang dengan itu mereka (lembaga ini) bisa bertransaksi dan mencetak benefit.

Untuk Sulawesi Tengah, rencana yang saya dengar, sebuah lembaga sosial sedang merintis produksi komoditas limbah kelapa dari industri air kelapa kemasan dan sedang menjajaki pemasaran produk itu ke Amerika. Produk ini mereka duga akan sepi dari kompetitor karena menggunakan bahan limbah pabrik pengolahan air kelapa dan pasar Amerika diduga akan melihatnya sebagai produk yang unik dan eksotis. Produknya, keramik dari bahan limbah batok kelapa. Saat ini, yang telah memproduksi ada di Cirebon. Bukan tak mungkin, jika sampel yang akan diperlihatkan ke calon pembeli di Amerika itu bisa dipasarkan dan social enterprise ini juga mendapat investor, multiplying effect pun akan terjadi.

Berbagai dampak positifnya akan dinikmati banyak orang: pemilik perkebunan kelapa untung, limbahnya akan diserap sebagai bahan baku utama produksi keramik berbahan batok kepala; tenaga kerja lokal pasti dibutuhkan untuk processing keramik berbahan batok kelapa, dari pengeleman botok kelapa untuk dilekatkan pada panel keramik, pemotongan presisi untuk setiap panel keramiknya, tenaga administrasi pabrik, tenaga pengiriman panel keramik yang siap dipasarkan, dan sebagainya.

Kita doakan ikhtiar ini membawa kebermanfaatan bagi social enterprise yang mereka kelola, menguntungkan pengelola maupun penerima manfaat. Maka, nawaitu mereka menebar kemaslahatan pun berhasil.

Sumber :

Fatah S

Berkarier di industri media sejak 2010 dan menjadi penulis buku.