in

Disrupsi dan Lembaga Kedermawanan

Alumnus HMI Cabang Palu dan FISIP Untad Palu serta Pembina Indonesia Care, Iqbal Setyarso. Foto Media Alkhairaat
Alumnus HMI Cabang Palu dan FISIP Untad Palu serta Pembina Indonesia Care, Iqbal Setyarso. Foto Media Alkhairaat

Oleh Iqbal Setyarso, Alumnus HMI Cabang Palu dan FISIP Universitas Tadulako Palu serta Penasihat Indonesia Care

Ada yang relatif baru di Indonesia–dan ini sudah menjadi fenomena dunia–tren masyarakat kekinian yang kian akrab dengan gadget. Satu sisi, mereka kian “akrab” dengan piranti alat komunikasi sekaligus juga makin asing dengan pergaulan antarsesamanya. Apa pasal? Intensitas penggunaan alat komunikasi handphone yang meningkat nyaris mengalahkan komunikasi antarpersonal dan live, man to man. Tren itu lalu mendapat sebutan “era revolusi industri 4.0” yang diikuti kenyamanan dan kemudahan dalam pelayanan–sekaligus menjadi kunci sukses dalam bisnis.

Segera saja perilaku bisnis yang tidak tanggap dengan tren itu, yang anteng dengan gaya lama, akan terdepak dari percaturan dunia usaha. Ujung-ujungnya, deklinasi bisnis menjadi konsekuensinya. Sebagai contoh, makin banyak perusahaan besar kini perlahan sirna. Bukan karena kekeliruan mereka semata, hal ini karena mereka kalah bersaing dengan pemain-pemain baru yang memanfaatkan smartphone dan internet sebagai basis dalam menjalankan bisnisnya (startup).

Baca Juga :  Menghidupkan Demokrasi Ekonomi Kita

Era disrupsi–tokoh yang meramaikannya pertama kali dalam konteks Indonesia istilah ini adalah Renald Khasali. Fenomena ini selain menghajar institusi bisnis, juga mengusik “kedamaian” dunia kedermawanan, dunia yang jauh dari kesan kompetitif. Ternyata, di jagat kedermawanan pun diterpa “wabah disrupsi”. Komunitas para pegiat kedermawanan dijangkiti “kompetisi”. Istilah yang lebih kena, “saling unggul ber-fastabiqul khairaat“, berlomba-lomba menolong masyarakat.

Dahulu, orang yang mau berderma menitipkan bantuannya kepada lembaga-lembaga filantropi. Merekalah yang menjadi jembatan penyambung antara dermawan dengan masyarakat beneficiaries. Namun, dengan perkembangan teknologi, kini banyak bermunculan platform yang melakukan hal yang sama seperti yang dilakukan oleh lembaga kedermawanan. kitabisa, pedulisehat, dan berbagiberas sebagian kecil di antaranya. Inisiatornya rata-rata anak-anak muda.

Baca Juga :  Menghangatkan Pramunas KAHMI

Mereka menggalang bantuan dan berkampanye dengan memanfaatkan pendekatan teknologi. Cara kerjanya lebih efisien, lebih cepat, lebih tepat, dan lebih transparan. Masyarakat yang ikut berdonasi bisa mendapatkan informasi secara update terkait donasi yang mereka berikan sehingga masyarakat bisa lebih percaya.

Era disrupsi menjadi suatu masa, suatu kondisi di mana lembaga-lembaga kedermawanan dikondisikan sedemikian rupa sehingga harus berbenah. Lembaga kedermawanan terseret tren untuk turut dalam kompetisi agar bisa mengikuti semangat zaman bahwa zaman baru telah manyapa.

Bencana dan kemalangan hadir tak kenal jeda. Kita diberi-Nya kapasitas untuk bisa berpikir dan berinisiatif. Amal kebaikan menjadi alarm yang senantiasa membangunkan manusia untuk tetap melek. Ketidaktahuan terus menyadarkan kita untuk eling dan waspada. Ada tugas mulia yang perlu dilakoni sebagai manusia bagi sesamanya.

Baca Juga :  K-Pay dan Revolusi Kebudayaan

Sumber :

Fatah S

Berkarier di industri media sejak 2010 dan menjadi penulis buku.