in

“Dakwah Khusus” yang Membuat Kita Iri

Alumnus HMI Cabang Palu dan FISIP Universitas Tadulako serta Pembina Indonesia Care, Iqbal Setyarso. Dokumentasi pribadi
Alumnus HMI Cabang Palu dan FISIP Universitas Tadulako serta Pembina Indonesia Care, Iqbal Setyarso. Dokumentasi pribadi

Oleh Iqbal Setyarso, Alumnus HMI Cabang Palu dan FISIP Universitas Tadulako Palu serta Penasihat Indonesia Care

Iri? Mengapa? Karena kiprahnya hebat! Hebat karena pilihan area dakwahnya “tidak biasa” sehingga disebut dengan akronim LDK, Lembaga Dakwah Khusus. Ya, khusus untuk menyebut kata “terasing” yang sudah jarang disebut orang–seingat saya, istilah itu tahun 1980-an. Malah yang lebih netral istilah yang dibuat orang Barat, indigenous people.

“Dakwah Khusus” bukanlah hal yang baru bagi Persyarikatan Muhammadiyah (secara historis di Sulawesi Tengah–lokasi Munas XI KAHMI ini–sudah ada lembaga pendidikan dan dakwah Islam yang cukup tua, Al-Khairaat). Kendatipun demikian, Peryarikatan Muhammadiyah–selanjutkan disebut Muhammadiyah–”berdakwah khusus”. Seiring berjalannya waktu, tepat pada Muktamar ke-39 Muhammadiyah di Padang pada 1974, secara tegas dan jelas Muhammadiyah mendeklarasikan konsep Dakwah Masa Kini. Pada masa itu, konsep dakwah ini bertujuan untuk mengantisipasi arus modernisasi yang begitu cepat berkembang di Indonesia yang membawa pengaruh negatif terhadap perkembangan kemajuan Islam dan umatnya.

Mengingat program dakwah masa kini dianggap cukup berat untuk dilaksanakan, program tersebut dipecah menjadi beberapa bagian, satu di antaranya dakwah terhadap masyarakat terasing. Pada Muktamar ke-41 Muhammadiyah di Solo pada 1985, dibentuklah Lembaga Dakwah Khusus (LDK). Kata “khusus” menggambarkan bahwa program dakwah yang diselenggarakan oleh LDK tertuju kepada segmen sosial tertentu, yaitu dakwah untuk daerah pedalaman dan suku-suku terasing. Namun, pada perjalanannya, dengan beberapa pertimbangan, LDK digabung ke dalam Majelis Tabligh sehingga nama majelis tersebut berubah menjadi Majelis Tabligh dan Dakwah Khusus (MTDK).

Baca Juga :  Sulteng, UMKM, dan Pasar (Bagian 1)

Perkembangan Sasaran Dakwah
Dalam paparan lebih perinci disebutkan, Muhammadiyah membagi sasaran dakwah ke dalam tiga bentuk, sasaran utama, sasaran umum, dan sasaran khusus. Sasaran utama adalah seluruh anggota persyarikatan Muhammadiyah dan sasaran umum adalah seluruh kaum muslimin dan muslimat. Sementara itu, sasaran khusus adalah kelompok masyarakat yang memiliki karakteristik khusus.

Dengan demikian, tugas LDK, yang tadinya hanya menangani dakwah di pedalaman, menjadi bertambah empat fokus garapan sehingga totalnya menjadi lima sasaran objek dakwah, yaitu (1) berdakwah pada komunitas kalangan atas, (2) komunitas kalangan bawah, (3) komunitas kalangan menengah, (4) komunitas dunia virtual, dan (5) dakwah untuk masyarakat pedalaman. Sehubungan dengan hal ini, maka penting kiranya adanya satu buku panduan agar tugas dakwah sebagaimana diamanahkan muktamar dapat berjalan dengan baik.

Kembali pada perbincangan tentang “dakwah khusus” ini. Kekhususan dakwah ini “berkat” keterpencilannya. Satu sisi, kekhususan ini mengundang instansi pemerintah secara khusus untuk mengalokasikan anggaran untuk bermacam-macam hajat, ada yang menjudulinya pemberdayaan, tunjangan kurang. Dahulu bahkan ada sebutan “tunjangan kemahalan”. Meski dikucuri banyak dana sampai kurun waktu yang lama, keterasingan, keterpencilan, dan keterisolasian seolah-olah masih lestari.

Barrier dakwah seolah terlalu kuat untuk disibak. Di antara wacana yang mengemuka di komunitas alumni HMI, isu “keterasingan”, termasuk di dalamnya keterpencilan dan keterisolasian, hadir di tengah-tengah perbincangan. Di antara koleksi buku di perpustakaan saya, ada buku tipis berjudul Masyarakat Terasing, diapit sebagai penjelas judul, Dakwah dan Pemberdayaan…Tanggung Jawab Siapa? Buku itu seolah hendak bertanya kepada pembacanya (buku ini terbit tahun 1997, cetakan pertama).

Baca Juga :  Eddy Boekoesoe, Hasrat Memberdayakan Masjid

Dalam buku tipis itu, dilampirkan alamat dai dan mubalig Muhammadiyah. Menilik tahun terbitnya, saya yakin sebagian sudah berubah atau berganti. Dalam buku itu ada ilustrasi sejumlah foto menunjukkan sejumlah tempat di mana para dai dan mubalig itu berdakwah. Beberapa foto menyebutkan, Muhammadiyah pernah berdakwah di Desa Mambi (Sulawesi Selatan); Kampung Waesuhan, Pulau Buru (Maluku); Petta-Sangir, Talaud (Sulawesi Utara); Kupang (Nusa Tenggara Timur); Dolo, Sigi (Sulawesi Tengah), bahkan Baduy, Lebak (Jawa Barat), dan banyak tempat lainnya. Itu sudah lama terjadi, seperti disebut dalam buku ini, bermula tahun 1974. Kalau sekarang, tahun 2022, dengan tahun terbit buku itu, 1997, setidaknya 25 tahun lalu telah berlalu. Dakwah khusus dalam makna kekinian tampaknya masih diperlukan.

Muhammadiyah dikenal masyarakat dengan dakwah bilhal, aksi konkret mendakwahi umat. Terasa kehebatannya–tanpa pretensi dipuji–sampai ke kawasan dakwah yang “khusus”: terasing, terisolasi, bahkan terpinggirkan dari akses ekonomi dan zona nyaman manusia kebanyakan. Di satu sisi, sasaran dakwahnya bermukim di “zona tak nyaman” karena keterasingannya, keterisolasiannya, dan keterpinggirkannya dari kenyamanan. Di sisi lain, para dai dan mubalig itu insyaallah juga diganjar pahala luar biasa karena dakwah.

Baca Juga :  Smart Syariah di Munas XI KAHMI

Maka, menarik pula dipikirkan dalam kondisi kekinian pun takkan luput dari amatan umum dan amatan langit melakukan dakwah khusus menjadi wasilah ke surga. Komunitas alumni HMI bisa mewujudkan apa yang telah dirintis sebagian aktivis dakwah–salah satunya yang diunggah kanda Nur Sangadji dan istri pada beberapa angle aktivitas dakwahnya. Apa yang disampaikan dalam istilah Prancis, noblesse oblige, yang makna harfiahnya “bangsawan mewajibkan” atau dalam pemaknaan bebasnya, siapa pun yang mengaku mulia harus berperilaku mulia. Seseorang bertindak dengan cara yang sesuai dengan posisi dan hak istimewa yang dengannya seseorang dilahirkan, dianugerahkan, dan/atau diperolehnya.

Para kader alumni HMI, yang menurut estimasi statistik jumlahnya tak kurang dari 13 juta se-Indonesia, ini lapisan intelektual bangsa, niscaya memanggul noblesse oblige sebagai hamba Allah yang mulia karena risalah yang dibawa Nabi Muhammad. Pelajaran dakwah, sebagaimana diperankan kader-kader dakwah, dai, dan mubalig Muhammadiyah, demikian terang benderang, bahwa Sulteng secara umum sudah menjadi ladang amaliah dengan kekayaan suku terasing di banyak tempat. Nawaitu mulia ini menjadi azzam yang didengar langit. Semoga ini juga dimaknai cara hebat berkontribusi untuk bangsa. Aku Indonesia, Aku berdakwah!

Rujukan: Tim Lembaga Dakwah Khusus PP Muhammadiyah. 2018. Panduan dan Strategi Dakwah Khusus. Jakarta: UHAMKA Press

Sumber :

Fatah S

Berkarier di industri media sejak 2010 dan menjadi penulis buku.