in

World Without Agriculture?

Alumnus HMI Cabang Palu, lulusan Universitet Lyon (Prancis) dan IPB, dosen Fakultas Pertanian Universitas Tadulako Palu dan pengkaji pertimbangan lingkungan Program Food Estate, Muhammad Nur Sangadji. Foto Independensi.com
Alumnus HMI Cabang Palu, lulusan Universitet Lyon (Prancis) dan IPB, dosen Fakultas Pertanian Universitas Tadulako Palu dan pengkaji pertimbangan lingkungan Program Food Estate, Muhammad Nur Sangadji. Foto Independensi.com

Oleh Muhammad Nur Sangadji, Alumnus HMI Cabang Palu, Lulusan Universitet Lyon (Prancis) dan IPB, Dosen Fakultas Pertanian Universitas Tadulako Palu, dan Pengkaji Pertimbangan Lingkungan Program Food Estate

Saya ingat satu ketika saat diundang ceramah oleh mahasiswa kedokteran Universitas Tadulako. Saya berkelakar sambil memperkenalkan diri sebagai petani. Saya bilang begini, “No farmers, no agriculture, no food, no living. Jadi, tanpa petani, kamu bisa apa?” Adik-adik mahasiswa kedokteran ini menyela, “Tanpa Fakultas Kedokteran, tidak ada dokter. Tanpa dokter, siapa yang urus kesehatan orang?” Saya bilang, “(tetap dalam suasana berkelakar) Masih ada ‘dukter'”. Mereka balik tanya, “Apa itu dukter?” Saya jawab, “Dukun terlatih. Artinya, masih ada alternatif. Namun, dunia pertanian, tidak ada alternatifnya karena kita tidak akan pernah bisa membuat makanan dari plastik.” Tentu sesuatu yang tidak mungkin.

Mengusung humanity sebagai salah satu tema utama Musyawarah Nasional (Munas) KAHMI adalah gagasan kekinian. Pertimbangan yang bisa dikatakan cukup maju di tengah selebrasi seremonial yang sekadar heboh tak bermakna. Pilihan humanity sesuatu tentang krisis hari ini, soal yang menjadi kebutuhan umat manusia. Tema itu–berikut tangkaiannya–menjadi bermakna melengkapkan Munas XI KAHMI di Kota Palu, Sulawesi Tengah.

Baca Juga :  Taiganja, Semangat Pelestarian pada Logo Munas XI KAHMI

Pertanian Kini
Kelakar ini saya jadikan pembuka artikel ini untuk menandaskan bahwa tanpa pertanian, kehidupan berhenti. Beralasan untuk khawatir karena baru-baru ini ada kabar resmi, data dari situs resmi Bappenas RI. Dalam situs itu ada rilis berita yang sangat menghebohkan dunia pertanian. Bappenas memprediksi pada tahun 2063 tidak akan ada lagi petani di Indonesia. Ini mengejutkan, tetapi pasti bukan tanpa alasan.

Apriori, saya pikir mereka berhipotesis berdasarkan angka presentasi alih usaha petani pada sektor usaha lainnya. Atau angka alih fungsi lahan pertanian ke lahan peruntukan lain. Tulisan ini tidak hendak mendebat angka-angka rasionya. Hanya mengikuti logika dan menyoal akibatnya.

Pada tahun 1973, total petani Indonesia sebesar 65,4%. Pada tahun 1990, jumlah petani tinggal 28 persen. Jadi, apabila trennya linier, maka diduga pada tahun 2063, tidak ada lagi petani. Logikanya sederhana saja, membandingkan tahun dan presentasenya. Ditemukan angka 1,8-an persen per tahun petani kita beralih usaha. Maka, kita butuh waktu 28/1,8 sama dengan 33 tahun. Sekarang tahun 2022, maka 33 tahun kemudian adalah 2055. Indonesia tidak lagi punya petani. Sembilan tahun lebih cepat daripada prediksi Bappenas.

Ironi Petani
Kita menyebutnya petani. Di negara lain ada sejumlah istilah untuknya. Ada peasant, farmer, dan agriculturist. Selain kosa kata petani, ada diksi lain yang juga populer. Agribussinesman dan pelaku agroindustri. Kedua kosa kata terakhir apakah termasuk–kelompok yang boleh–disebut petani juga?

Baca Juga :  Kang Hero Beri Solusi Menekan Harga Minyak Goreng, Ini Tawarannya

Terlepas dari benar salahnya, kita bisa melihat dari sisi yang lain. Terdapat petani yang benar-benar bertani meski tidak memiliki lahan. Ada juga petani yang benar-benar bertani, tetapi lahannya sempit, di bawah 0,2 hektare. Bahkan, ada juga petani yang ikut kerja bertani di lahan orang lain. Selain itu, ada yang benar-benar petani, mempunyai lahan di atas 0,2 hektare, dan juga menjual hasil pertaniannya sendiri. Ada juga orang yang tinggal di desa, tidak bertani tetapi menjual hasil pertanian. Sebaliknya, ada orang tinggal di kota, tetapi memodali orang desa bertani.

Apa pun kategori dan status petani tersebut, mereka semua berkontribusi menyediakan pangan untuk kehidupan. Tanpa mereka, ketersediaan pangan tidak dapat menjangkau konsumen. Petani yang memproduksi dan pedagang atau distributor yang membagi menjadi satu kesatuan yang sangat penting dalam analisis ekonomi. Yaitu, produksi, distribusi, dan konsumsi.

Saat ini dan/atau bahkan sejak dahulu, nasib para petani selalu tidak menentu. Didesak dari dalam maupun dari luar. Jumlah keturunan dan pembagian warisan lahan pertanian berlangsung alamiah. Rasio lahan per kapita mengecil dengan sendirinya. Lahan yang sudah kecil itu dengan mudah dilepas untuk kebutuhan mendesak. Paling sering saat menikahkan anak.

Baca Juga :  Merindukan Imamul Mujahidin

Miris
Bukan hanya pertanian atau lahan untuk bertani yang lenyap–tergusur atau digusur–petani juga lenyap, “disedot” tawaran menggiurkan untuk berganti profesi. Sejenak, mereka yang tetap bertahan. Boleh jadi terpaksa karena tidak ada alternatif lain. Begitu ada peluang alih profesi secara instan, langsung ditangkap. Terutama tawaran dari sektor ekstraktif, seperti pertambangan dan perkebunan skala besar. Mereka tinggalkan profesi sebagai petani. Beralih profesi bahkan untuk status sebagai satpam. Dunia tanpa petani, nyaris maujud. Hal itu menjadikannya kerisauan tersendiri.

Beramai-ramainya orang meninggalkan sektor pertanian bukan isapan jempol. Itu fakta yang juga pernah disinyalir Bappenas, yang memprediksi profesi pertanian di Indonesia akan hilang tahun 2063. Forum seterhormat Munas KAHMI tentu menjadikan hal ini sebagai pembahasan. Kredo HMI “insan akademis, insan pencipta, insan pengabdi, insan yang bernapaskan Islam, dan insan yang bertanggung jawab atas terwujudnya adil dan makmur yang diridai” takkan mendiamkan lenyapnya profesi pertanian di Indonesia.

Sumber :

Fatah S

Berkarier di industri media sejak 2010 dan menjadi penulis buku.