in

Menimbang Pindahnya Ibu Kota Negara (Bagian 1)

Alumnus HMI Cabang Palu, lulusan Universitet Lyon (Prancis) dan IPB, dosen Fakultas Pertanian Universitas Tadulako Palu dan pengkaji pertimbangan lingkungan Program Food Estate, Muhammad Nur Sangadji. Foto Independensi.com
Alumnus HMI Cabang Palu, lulusan Universitet Lyon (Prancis) dan IPB, dosen Fakultas Pertanian Universitas Tadulako Palu dan pengkaji pertimbangan lingkungan Program Food Estate, Muhammad Nur Sangadji. Foto Independensi.com

Oleh Muhammad Nur Sangadji, Alumnus HMI Cabang Palu, Lulusan Universitet Lyon Prancis, dan IPB; Dosen Fakultas Pertanian Universitas Tadulako Palu; serta Pengkaji Pertimbangan Lingkungan Program Food Estate

Ibu kota negara berpindah. Itu wacana yang berangsur-angsur merakit argumentasinya. Bahkan, saya hendak urun rembuk, bukan sekadar berpindah, tetapi perpindahan itu bisa saya katakan sebuah pilihan the glory of the past.

Tiba-tiba ada gagasan pindah ibu kota. Lalu, pro kontra mencuat di mana-mana. Mungkin biasalah dalam demokrasi. Tidak mengapa sepanjang yang berniat benar-benar tulus dan yang menolak pun bermaksud sama. Kalau begitu, mari adu gagasan. Bicara tentang indikator-indikator manfaat dan atau risiko secara objektif.

Menurut hemat saya, ada sejumlah pertimbangan yang boleh diletakkan. Pertama, aspek historis; kedua, sisi analogi atau pembanding; ketiga, secara

harus menguntungkan; keempat, secara sosial mesti diterima; kelima, secara strategis lebih efektif dan efisien; keenam, secara ekologis lebih berkelanjutan; ketujuh, secara teknik memungkinkan dan dari dukungan ketersediaan sumber daya, terutama lokal, tersedia cukup dan memadai.

Baca Juga :  BPN Sebut Pemindahan Ibu Kota untuk Tekan Kesenjangan

Saya sengaja tidak memasukkan aspek politik sebagai pertimbangan karena hiruk pikuk selama ini adalah soal politik itu. Dan jika pertimbangan ketujuh aspek ini telah diletakkan dengan jujur, tulus, dan elegan, maka politik tinggal mengikuti saja. Dan ini baru mungkin kalau para politician kita adalah juga negarawan. Loh, apa bedanya? Ada ahli yang bilang, “The politician always thinking their next position. While, the state man always thinking their next generation“. Wallahu a’lam.

Ibu Kota Berpindah dari Masa ke Masa
Secara historis, ide tentang pindah ibu kota telah ada sejak zaman Orde Baru. Presiden Soekarno pada tahun 1960-an telah menggagas perpindahan ibu kota ke Kalimantan. Sama pulaunya seperti yang direncanakan sekarang. Bahkan, kalau tarik lebih ke belakang, pusat pemerintahan di era kolonial Belanda dipindahkan dari Kota Ternate ke Kota Batavia atau Jakarta yang sekarang.

Saiful Rurai, pengkaji sejarah, kebudayaan, politik, dan pembangunan Maluku Utara, mengonfirmasi kebenaran historis ini. Beliau menunjuk catatan FSA de’Clercq (De Boijdragen tot de Kennis der Residentie Ternate, 1890) dan disertasi Pastor Dr. Kareel Steenbrink, ibu kota VOC adalah dari Ternate. Nanti, Gubernur Jenderal ke-4, Jan Peterzoon Coen, memindahkan ke Batavia (1916) setelah mengirim dua surat dari Ternate ke Heren Zeventijn, Dewan Direksi VOC/Dewan 17.

Baca Juga :  "Menyelamatkan" Munas KAHMI

Apabila kita mundur lebih jauh lagi ke belakang, jauh sebelum kedatangan Portugis dan Spanyol ke Indonesia (baca: Maluku), Kesultanan Tidore telah memiliki tradisi pindah ibu kota secara periodik. Saat kapal Trinidad dan Victoria milik Spanyol tiba di Pulau Tidore tahun 1521, Ibu Kota Kesultanan Tidore ada di Desa Mareku. Sisa-sisa peninggalan istananya masih terlihat. Saat ini, ibu kota kesultanannya ada di Desa Soasio.

Apabila kita bandingkan dengan negara modern sebagai analogi, kita bisa tunjukkan beberapa saja sebagai contoh. Amerika Serikat dari Washington ke New York, Australia dari Melbourne ke Canberra, Belanda dari Amsterdam ke Den Haag. Pastilah semua negara ini punya pertimbangan sendiri-sendiri.

Baca Juga :  Pemberdayaan di Kawasan Bekas Bencana

Asas Efisiensi
Sekarang, coba kita tinjau dari aspek efisiensi. Posisi Jakarta yang letaknya relatif terlalu ke barat sangat merugikan kawasan timur dari jangkauan akses transportasi. Penerbangan Papua atau Maluku Utara butuh jarak dan ongkos perjalanan yang tidak kecil. Meletakkannya di tengah membuat posisi dan biaya menjadi lebih seimbang, adil, dan proporsional. Ekonomi biaya tinggi bisa ditekan.

Ada lagi satu soal yang jarang terdengar dalam diskursus pindah ibu kota ini, yaitu aspek pemerintahan. Negeri, yang pernah bernama Nusantara dan kini bernama Indonesia, ini pernah punya pemerintahan pertama di era kerajaan. Namanya Kerajaan Kutai Kertanegara. Ini kerajaan pertama dan letaknya pun ada di Kalimantan. Jadi, sesungguhnya secara historis politik pemerintahan, kita menemukan lokasi di mana kita pernah punya pemerintahan yang beradab di zaman silam. Jauh sebelum datang periode penindasan imperialisme. Seandainya, akhirnya kita benar-benar jadi pindah ke Kalimantan, maka kejayaan masa silam (the glory of the past) ini berharap lahir kembali. Semoga.

Sumber :

Fatah S

Berkarier di industri media sejak 2010 dan menjadi penulis buku.