in

Public Ethics Management

Finance Director PT Insan Cita Mandiri Sejahtera, Fathorrahman Fadli. Dokumentasi pribadi
Finance Director PT Insan Cita Mandiri Sejahtera, Fathorrahman Fadli. Dokumentasi pribadi

Oleh Fathorrahman Fadli, Finance Director PT Insan Cita Mandiri Sejahtera

Bangsa yang rapuh etika publiknya itu salah satunya adalah kita, Indonesia. Anda boleh berdebat dari pagi sampai pagi lagi dengan saya soal ini. Tentu akan saya layani dengan senang hati. Apalagi, mereka adalah seorang pejabat publik.

Tengok saja, misalnya etika publik kita soal karut sengkarut minyak goreng yang diprotes emak-emak. Apakah pejabat publik kita tidak melihat dan mendengar berapa puluh video TikTok yang mencibirnya? Lalu, ada seorang menteri yang merasa tidak mampu mengatasi kesemrawutan itu namun pada detik yang sama, mereka tidak menunjukkan etika publik yang seharusnya. Mundur, misalnya, atau bunuh diri karena merasa malu tidak mampu melayani rakyatnya dengan baik. Lalu, di mana etika publiknya?

Di dunia lain, misalnya, ada para pelaku kejahatan sistemik yang dilakukan oleh oknum kepolisian, lalu menyebabkan enam anak muda pengawal ulama karismatik Habib Rizieq Shihab (HRS), terbunuh sia-sia, lalu isi perutnya diaduk-aduk, beberapa tubuhnya terluka karena tersiksa. Sampai di pengadilan, pelakunya divonis bebas. Lalu, di mana etika publik para hakim yang katanya bekerja atas nama keadilan itu?

Baca Juga :  Selebrasi Kebangsaan dengan Kerelawanan dan Filantropi

Di bidang pertanahan, misalnya, ada seorang eks menteri menceritakan bahwa tanah-tanah di Indonesia ini sudah dikuasai para cukong aseng dan asing hingga 70% lebih dari total luas lahan yang dimiliki Indonesia. Terus, kalau sudah mereka kuasai, apakah ada etika publik mereka bahwa penguasaan lahan seluas itu telah menutup akses masyarakat terhadap lahan? Itu sejatinya sama dan sebangun dengan tindakan membunuh mata pencarian seluruh rakyat, bukan?

Di lain bidang, yakni soal kesehatan masyarakat, apakah pemangku kebijakan di bidang kesehatan di negeri ini memiliki etika publik? Nanti dulu. Hari-hari ini kita justru dikejutkan oleh dipecatnya eks Menteri Kesehatan, Terawan Agus, dari organisasi profesinya, Ikatan Dokter Indonesia (IDI). Konon kabarnya, Bapak Dokter yang juga tentara ini dinilai telah melakukan beberapa kesalahan sebagaimana tudingan Dewan Etik Kedokteran Indonesia. Itu urusan merekalah, benar apa salahnya di mana. Namun, tak lama setelah kabar pemecatan itu, banyak masyarakat protes atas keputusan itu.

Baca Juga :  Ruang Ekonomi KAHMI

Apa maknanya rakyat protes atas kebijakan yang dinilai tidak bijak itu? Terawan dikenal sebagai dokter yang kreatif dan banyak menyembuhkan pasien dengan cara dan teknik yang berbeda dengan dokter pada umumnya. Termasuk kreativitas Terawan dalam melahirkan vaksin nusantara. Konon, itu pula yang dijadikan alasan dia dipecat oleh IDI. Lalu, akal sehat kita meradang, betapa keadilan dan etika publik di negeri benar-benar di titik nadir, bukan?

Public Ethics Management
Di sini, kita sebagai bangsa merasa betapa pentingnya kita belajar mengenai public ethics management (PEM). PEM ini penting karena pejabatnya saja tidak punya etika, apalagi yang bukan pejabat, kata orang-orang di warung kopi.

Public ethics kita sebagai bangsa memang tidak banyak perbaikan. Oleh karena itu, bangsa ini tidak memiliki kemajuan yang diharapkan. Perjalanan bangsa ini selalu tertatih-tatih, hidup dari utang ke utang. Anda tidak percaya? Lihat saja postur APBN kita dari tahun ke tahun. Semua menunjukkan bahwa kita sedang tidak baik-baik saja.

Baca Juga :  Taiganja, Semangat Pelestarian pada Logo Munas XI KAHMI

Para ekonom terlalu sering melihat tren defisit neraca berjalan APBN kita semakin membesar. Menteri Keuangan selalu menutup pembesaran defisit keuangan itu dengan cara-cara yang apologetis. Alasan-alasan mengemuka, tetapi pada saat yang sama, dia berhadapan dengan realitas keuangan negara yang compang-camping. Lalu, dia merasa pantas dan dielu-elukan sebagai menteri terbaik meskipun prestasinya adalah menjaga utang negara agar tetap sustainable. Lalu, di mana etika publiknya? Mundur sebagaimana menteri-menteri di Jepang sana?

Rasa-rasanya tidak. Sebab, kursi empuk kekuasaan itu lebih nikmat daripada cibiran kelompok-kelompok kritis dalam masyarakat. Rasa-rasanya pula para pejabat publik kita tidak ada urusan dengan kehormatan dirinya sehingga perilaku memalukan adalah bagian integral dari kehidupan mereka. Kalau sudah demikian, memang kita tidak perlu protes lagi. Serahkan kembali negeri ini pada keajaiban Tuhan seraya belajar betapa pentingnya public ethics management itu!

Sumber :

Fatah S

Berkarier di industri media sejak 2010 dan menjadi penulis buku.