in

Perginya Sang Kekasih

Finance Director PT Insan Cita Mandiri Sejahtera, Fathorrahman Fadli. Dokumentasi pribadi
Finance Director PT Insan Cita Mandiri Sejahtera, Fathorrahman Fadli. Dokumentasi pribadi

Oleh Fathorrahman Fadli, Dosen Universitas Pamulang dan Direktur Keuangan PT Insan Cita Mandiri Sejahtera (K-Pay)

Malam itu, saya datang sebelum jenazah datang. Saya bersama tetangga duduk-duduk sekadarnya di kursi yang disediakan tetangga. Rumah Kiai Ochen, demikian saya memanggil​​nya, malam itu masih gelap karena sejak istrinya sakit. Seluruh keluarga itu lebih banyak di rumah sakit. Namun, lampu kamar rumah masih tetap menyala sebagai penerang bahwa rumah itu berpenghuni.

Sebenarnya, malam itu saya sudah capai sekali karena habis pulang dari Bandung. Namun, Selasa malam itu, saya baca WhatsApp dari Kiai Ochen bahwa istrinya sudah tiada. Di atas travel Citi Trans, rasa capai saya hilang.

Sesampai di pool BSD, saya ambil sepeda motor dan langsung pacu pulang. Sesampai di rumah, saya ketuk pintu dan bunda pun muncul. “Bun, istri Bang Ochen meninggal. Saya besok mengajar jam pertama hingga siang hari, jadi saya lebih baik malam ini ke sana,” jelasku. Bunda pun oke. “Hati-hati, Ayah. Jangan ngebut, kan, baru pulang,” pesannya.

Greng… greng… motor kupacu lagi menuju Ciputat. Saya berusaha mengikuti map, tetapi tiba-tiba HP-ku lowbatt. Padahal, alamat Kiai Ochen tersimpan di dalam HP. Tak habis akalku, saya menepi di warung Madura. “Numpang nge-charge HP, ya, Cong,” pintaku pada penjaga. Begitu di-charge dua menit, ternyata baterai masih 60%. “Wah, sontoloyo!” pikirku. HP-ku ini enggak sopan, saat genting malah nakal. Akhirnya, saya minta kertas ke tukang warung untuk menulis alamat rumah Kiai Ochen dengan jelas. Tukang warung Madura tak mungkin punya kertas, akhirnya alamat tersebut saya tulis pada sobekan kertas kardus bekas kue makanan anak-anak. Kutulis dengan mantap hati, Jalan Daha 19 Cirendeu, Pisangan, Ciputat.

Baca Juga :  Pemberdayaan di Kawasan Bekas Bencana

Saya agak sedikit berputar untuk menuju rumah duka itu. Waktu sudah semakin larut. Namun, semangat untuk berjumpa Kiai Ochen pada saat duka itu sangatlah tinggi. Kiai Ochen adalah kawan diskusi yang ciamik di berbagai grup, tetapi yang terasa paling intelektual adalah saat kami berdiskusi dan berdebat di WAG Kahmipro_politik.

Tanya sana-sini, akhirnya sampai juga. Rumah Kiai Ochen tampak berdiri kokoh di samping Masjid As Salam. Masjid itu tampaknya ramai aktivitasnya. Ramadan lalu, Kiai Ochen sempat memberi tahu bahwa dirinya sedang memberi “kultum” malam itu. Rasanya doi juga jadi aktivis masjid. Ramai juga pengurus masjid yang ikut datang malam itu. Mereka sibuk menyiapkan kedatangan jenazah. Namun, tetangga tak bisa masuk rumah karena tak ada keluarga yang datang.

Untuk membunuh waktu dan mengusir dinginnya malam, saya cabut satu batang rokok merek RESTU, asli produk dari kampung. Rasanya nikmat satu tingkat di atas Dji Sam Soe. Harganya pun sungguh pro kaum proletar, cuma Rp12.000. RESTU itu kuisap pelan-pelan seraya membunuh duka di hatiku.

Baru sepertiga batang, tiba-tiba ada mobil sedan hitam merayap pelan mencari parkiran. Ternyata dia adalah sahabat dan rekan kerja Kiai Ochen, Velix Wanggai, putra Papua yang lembut nan pintar. Dia dan satu-dua orang masuk rumah dan bergegas mempersiapkan jenazah datang. Kami cari-cari tempat sebagai alas jenazah disemayamkan. Akhirnya, kami putuskan untuk menggiring kasur kamar depan bawah untuk alas jenazah. Para tetangga sibuk mencari kain batik penutup aurat sang mayat.

Baca Juga :  Selebrasi Kebangsaan dengan Kerelawanan dan Filantropi

Beberapa saat kemudian, ambulans datang tanpa bunyi-bunyian. Tenang dan tiba-tiba sudah tiba di depan rumah. Tak tampak wajah Kiai Ochen. Rasanya dia bawa mobil sendiri, terpisah dari ambulans. Beberapa menit kemudian, dia datang dengan wajah tenang, tetapi tubuh yang sedikit lemas. Aku pun memeluknya seraya membisikkan, “Sabar, ya”. Tubuhnya yang besar ternyata sangat empuk. Padahal, bayanganku, dia berbadan keras sekali. Malam itu, tubuhnya lembek. Mungkin karena berhari-hari tidak tidur atau kekurangan tidur.

Dua anaknya, Tita dan Javi, terlihat juga tenang dan ikhlas. Setelah mayat rapi dan saya bersama tetangga membacakan Yasin dan tahlil ala NU, saya bergeser bergabung dengan Luthfi Pattimura, seorang jurnalis dan Pemimpin Redaksi Majalah Forum Keadilan. Rupanya, Bang Lutfi adalah senior HMI juga. Beliau kayaknya asal Maluku dan besar di Ternate. Dia sudah seperti kakak beradik bagi Bang Ochen. Dekat sekali hubungan mereka. Keduanya mengaku saling curhat soal kehidupan masing-masing.

“Ochen, kita pergi dari kampung ke Jakarta, jelas bukan sekadar cari makan, tapi ada sesuatu yang mesti kita perjuangkan untuk kebaikan negeri ini,” jelasnya malam itu.

Baca Juga :  Smart Syariah di Munas XI KAHMI

“Apa pun alasannya, sepeninggal istrimu, engkau akan kembali berubah banyak, sama sekali berbeda dengan ketika istrimu masih ada. Berbeda Ochen!” demikian cucu Pattimura itu menasihati sang Kiai.

Kepada saya, Kiai Ochen juga bercerita perihal nasihat anak-anaknya. “Ayah jangan terlalu bersedih hati, ya. Itu semua sudah diatur oleh Allah,” pinta anaknya.

Kiai Ochen lalu berucap pada saya, “Pada anak-anak, saya bilang, ‘Iya, Ayah tahu dan mengerti, tapi ibumu itu bukan lagi hanya seorang istri, tapi juga seorang adik, sahabat, orang yang disayang. Jadi, wajarlah kalau Ayah merasa kehilangan,'” ujarnya malam itu.

Sebagai suami, dia sudah berusaha memberikan pelayanan terbaik untuk istrinya. Kepada dokter-dokter yang merawatnya, doi selalu bilang, “Saya ini awam dalam bidang kedokteran, silakan Anda ambil jalan yang terbaik untuk kesembuhan istri saya. Silakan,” pintanya kepada dokter. Namun, ajal tak bisa tergantikan. Kanker yang diderita istrinya sudah pada stadium yang mematikan. Allah kemudian memanggilnya dengan jiwa yang tenang.

Semoga almarhumah, Mbak Hj. Uus Kudsiah (yang sempat menyaksikan tulisan saya berjudul “Jika Engkau Masih Menyimpan Penyakit Hati, Segeralah Perbaiki Kualitas Sujud-sujudmu Itu” dan masih terpampang di Ruang Profesor Bahtiar Effendi di FISIP UIN Ciputat) mendapatkan tempat yang mulia di sisi Allah. Amin.

Sumber :

Fatah S

Berkarier di industri media sejak 2010 dan menjadi penulis buku.