Kolom Arsip - KAHMI Nasional https://www.kahminasional.com Korps Alumni Himpunan Mahasiswa Islam Thu, 18 Jul 2024 05:59:28 +0000 id hourly 1 https://wordpress.org/?v=6.6 https://www.kahminasional.com/assets/img/2021/11/favicon-kahmi-nasional-48x48.png Kolom Arsip - KAHMI Nasional https://www.kahminasional.com 32 32 202918519 Heboh oknum PBNU kunjungan ke Israel https://www.kahminasional.com/read/2024/07/18/9836/heboh-oknum-pbnu-kunjungan-ke-israel/ Thu, 18 Jul 2024 05:59:28 +0000 https://www.kahminasional.com/?p=9836 Oleh Shamsi Ali, Presiden Nusantara Foundation, mantan anggota Muslim-Jewish Advisory Council Beberapa waktu lalu terjadi kehebohan di Tanah Air karena salah seorang petinggi Nahdlatul Ulama (NU), kini Ketua Umum PBNU KH Yahya Cholil Staquf, melakukan pertemuan dengan Perdana Menteri (PM) Israel, Benjamin Natanyahu. Menurut informasi yang kita terima, pertemuan itu diatur oleh sebuah organisasi Yahudi […]

Artikel Heboh oknum PBNU kunjungan ke Israel pertama kali tampil pada KAHMI Nasional.

]]>
Oleh Shamsi Ali, Presiden Nusantara Foundation, mantan anggota Muslim-Jewish Advisory Council

Beberapa waktu lalu terjadi kehebohan di Tanah Air karena salah seorang petinggi Nahdlatul Ulama (NU), kini Ketua Umum PBNU KH Yahya Cholil Staquf, melakukan pertemuan dengan Perdana Menteri (PM) Israel, Benjamin Natanyahu. Menurut informasi yang kita terima, pertemuan itu diatur oleh sebuah organisasi Yahudi internasional bernama American Jewish Committee (AJC).

AJC adalah satu dari sekian banyak organisasi Yahudi yang paling aktif mempromosikan kegiatan-kegiatan yang bertujuan mendekatkan umat Islam dengan Israel. Saya katakan dengan Israel, bukan dengan Yahudi, karena umumnya kegiatan-kegiatan yang mereka lakukan selalu ada kaitannya dengan Israel.

Saya pernah sangat dekat dengan AJC. Bahkan, ketika Muslim-Jewish Advisory Council (MJA) didirikan sebagai bagian dari AJC, saya termasuk diminta untuk menjadi anggotanya. MJA-AJC ini adalah kumpulan high profile muslim dan Yahudi yang diharapkan duduk bersama membicarakan langkah-langkah untuk menghadapi musuh bersama: islamophobia dan antisemit. Mengingat tujuannya yang mulia itu, saya kemudian dengan senang bergabung.

Sayangnya, dalam pertemuan-pertemuan yang diadakan pada umumnya hanya membicarakan strategi menghadapi antisemitisme dan sangat minim membicarakan islamophobia. Puncak ketidaksetujuan saya adalah ketika di suatu waktu Israel menggempur Palestina (Gaza) dengan korban rakyat sipil yang tidak sedikit. Saya meminta agar Muslim-Jewish Advisory Council bersuara menyerukan penghentian pembunuhan massal kepada rakyat sipil. Pernyataan saya malah dianggap tidak toleran dan cenderung antisemit.

Saya dikontak secara pribadi oleh Direktur MJAC-AJC ketika itu agar nonaktif sementara. Saya jawab tegas bahwa saya berhabung dengan MJAC bukan karena keinginan saya, tetapi Anda yang meminta saya. Karenanya, saya bukan hanya nonaktif, saya keluar dari MJAC karena saya anggap tidak sesuai dengan misi yang disampaikan.

Sejak itu, saya terputus relasi dengan organisasi ini. Belakangan saya terkejut karena justru AJC begitu aktif melakukan penetrasi ke umat Islam Indonesia. Salah satunya adalah dengan berusaha mengundang tokoh-tokoh agama nasional untuk berkunjung ke Israel. Karenanya, saya tidak terkejut sama sekali ketika beberapa tahun lalu, KH Yahya Staquf diundang ke Israel dan sempat bertemu dengan Benjamin Natanyahu. Apalagi, baru-baru ini kunjungan 5 tokoh muda NU itu tidak lepas dari peranan AJC.

AJC bahkan aktif melakukan pendekatan dan penetrasi ke institusi-institusi Islam. Saya pernah dikontak oleh beberapa guru besar UIN, UIM, dan lain-lain. Bahkan, salah seorang ketua umum sebuah organisasi Islam nasional baru-baru ini mengontak saya meminta masukan. Konon kabarnya, diminta untuk bertemu dengan Direktur MJC yang baru.

Saya tidak perlu menuliskan secara perinci misi AJC dan beberapa organisasi Yahudi lainnya karena saya tahu Israel bagi 99% Yahudi adalah misi keyakinan yang menjadi tujuan utama dalam semua perjuangan mereka. Untuk itu, saya kita tidak perlu terkejut dan juga tidak perlu khawatir. Bukankah kejahatan memang akan terus hadir hingga akhir zaman?

Justru yang mengejutkan dan disayangkan adalah ketika umat Islam, khususnya tokoh-tokoh umat, begitu naif menghadapi langkah-langkah mereka. Saya tidak tahu apa kepentingan yang mereka dapatkan. Sebab, saya tahu betul orang-orang Yahudi tidak mudah memberi kompensasi (materi). Palingan tiket dan akomodasi dan pujian semata. Setelah itu, nama-nama tokoh itu akan dipakai sebagai pembenaran seolah mewakili bangsa Indonesia untuk membangun kedekatan dengan Israel. Selebihnya, kita juga tahu ke mana arahnya.

Bagi tokoh-tokoh yang naif dan terpakai itu, sebenarnya yang ingin dicapai hanya popularitas dan keinginan dilihat sebagai pahlawan toleransi, kerja sama antarumat beragama, dan perdamaian. Mereka ingin menjadi pahlawan dadakan.

Tanpa sadar para tokoh itu telah ikut menjadi pembenaran terhadap kejahatan kemanusiaan dan genosida yang dilakukan oleh Israel di Gaza. Ini dahsyat. Mereka seolah tidak punya sensitivitas dan hati nurani dalam melihat pembantaian puluhan ribu kaum sipil, termasuk anak-anak, perempuan/ibu, dan orang-orang tua. Saya malu mempertanyakan keislaman mereka karena saya yakin Islam terlalu mulia untuk dikaitkan dengan mereka. Namun, minimal saya mempertanyakan rasa kemanusiaan mereka.

Saya termasuk orang-orang pertama yang menggagas dialog Yahudi-Muslim di Amerika. Bahkan, saya menulis buku bersama dengan seorang pendeta Yahudi berjudul Anak-Anak Ibrahim: Hal-hal yang Menyatukan dan Memisahkan Muslim dan Yahudi. Tujuan saya murni untuk meredam kesalahpahaman dan kebencian kepada Islam dan masyarakat muslim di Amerika. Juga karena saya memahami jika antisemitisme di Amerika cukup tinggi. Karenanya, saya merasa penting jika kedua komunitas ini bisa bekerja sama menghadapi musuh bersama itu.

Maka, komitmen saya terhadap dialog antaragama tidak perlu dipertanyakan. Dengan segala perbedaan politik dengan Yahudi, saya tetap komitmen membangun dialog dengan mereka dalam hal-hal yang menjadi kepentingan bersama (mutual interest), khususnya dalam upaya memerangi islamophobia dan antisemitisme.

Akan tetapi, ketika sudah berkaitan dengan Israel dan kekejamannya, maka saya perlu mengambil garis tegas dan jelas. Dengan penjajah, apalagi penjajahan atas bumi suci Al-Quds, tidak akan saya toleransi. Sebagian tokoh Yahudi di Amerika paham posisi saya ini. Sehingga, pada saat peluncuran buku saya yang diterjemahkan ke dalam bahasa Arab di Dubai, saya tidak hadir karena saya tahu Emirat dan Israel membangun kedekatan dan hubungan diplomasi.

Untuk itu, saya ingatkan bahwa kita umat Islam harus ada pembatas yang jelas dalam menyikapi mana dialog antaragama, termasuk dengan Yahudi, dan mana yang sesungguhnya yang menjadi kepentingan Israel. Dan dalam hal ini, saya berani mengatakan bahwa AJC adalah satu dari banyak organisasi yang membawa kepentingan Israel atas nama dialog antaragama. Maka, jangan naif, apalagi karena didorong oleh penyakit wahan (inferiority complex) demi kepentingan duniawi.

Saya sekali lagi mengingatkan semua organisasi Islam dan tokoh-tokohnya untuk lebih jeli dan berhati-hati. Tidak perlu over self confident, merasa mampu membujuk Israel. Who are you? Kepala-kepala negara saja jika tidak sesuai kepentingannya, tidak dipedulikan. Bahkan, organisasi-organisasi internasional, termasuk PBB, seolah direndahkan. Israel merasa menguasai segala hal di dunia ini. Apalagi, kalau hanya guru agama yang belum tentu juga mampu mengomunikasikan idenya secara baik.

Hentikan semua hal yang dapat dijadikan Israel sebagai pembenaran dalam aksi kejahatan kemanusiaan dan genosida yang dilakukannya. Istafti qalbak, tanya diri Anda baik sebagai manusia, apalagi sebagai orang yang beriman. Benarkah langkah Anda?

Artikel Heboh oknum PBNU kunjungan ke Israel pertama kali tampil pada KAHMI Nasional.

]]>
9836
Ramadan sebagai bulan transformasi (5) https://www.kahminasional.com/read/2024/03/30/9576/ramadan-sebagai-bulan-transformasi-5/ Fri, 29 Mar 2024 22:31:26 +0000 https://www.kahminasional.com/?p=9576 Oleh Shamsi Ali, Direktur Jamaica Muslim Center New York Seringkali kita mengasosiasi keutamaan Ramadan dengan bulannya. Padahal, semua rentang waktu itu, dari menit ke jam, jam ke hari, hari ke minggu dan bulan, semuanya sama di mata Allah. “Sesungguhnya bilangan bulan di sisi Allah ada 12 bulan. Empat bulan di antaranya adalah bulan-bulan Muharam (dilarang […]

Artikel Ramadan sebagai bulan transformasi (5) pertama kali tampil pada KAHMI Nasional.

]]>
Oleh Shamsi Ali, Direktur Jamaica Muslim Center New York

Seringkali kita mengasosiasi keutamaan Ramadan dengan bulannya. Padahal, semua rentang waktu itu, dari menit ke jam, jam ke hari, hari ke minggu dan bulan, semuanya sama di mata Allah. “Sesungguhnya bilangan bulan di sisi Allah ada 12 bulan. Empat bulan di antaranya adalah bulan-bulan Muharam (dilarang melakukan perang).”

Keutamaan bulan Ramadan ada pada bagaimana respons dan perilaku (behaviors) kita padanya. Apakah direspons secara positif dan sepenuh hati atau dibiarkan berlalu tanpa respons positif dan setengah hati dalam menjalankan amalan-amalan ritual yang ada (puasa, kiam, dan lain-lain). Apalagi, menjadikannya sebagai momentum transformasi atau perubahan mendasar dalam kehidupan nyata.

Keenam, transformasi sosial. Kita meyakini Islam bukan sekadar agama (religion). Islam bukan sekadar sistem yang penuh dengan amalan-amalan ritual pemuas batin semata. Namun, sebagai diin atau sistem dan petunjuk hidup yang sempurna dan menyeluruh. Islam hadir selain sebagai tuntunan hidup individual, juga menjadi tuntunan kehidupan sosial kolektif (jemaah).

Pada tataran ini, kehidupan sosial yang kita maksud adalah kehidupan yang menyangkut acuan/aturan dalam menjalankan kehidupan pada aspek muamalat: Islam itu selain hadir untuk menuntun manusia di dalam rumah-rumah ibadah saat Ramadan atau bulan lainnya, juga hadir untuk menuntun manusia agar menjalani hidupnya di pasar, supermarket, hingga di parlemen dan istana negara.

Sesungguhnya pada aspek muamalat inilah nilai akhlak (moral behaviors) menjadi sebuah keharusan. Kejujuran dan amanah dalam kehidupan sosial ini menjadi salah satu karakteristik orang-orang yang beriman (QS Al-Mukminun ayat 8). Kejujuran dalam berbisnis menjadi jalan kebaikan dan kemuliaan dunia-akhirat (attaajiru as-shoduuq). Demikian seharusnya Islam menjadi tuntunan dalam menjalankan kehidupan muamalat kita.

Pada tataran inilah puasa Ramadan hadir sebagai momen penting untuk melakukan transformasi itu: melakukan pembenahan kebiasaan dan perilaku muamalat ke arah yang lebih benar dan baik. Jika selama ini dalam berbisnis seringkali tidak jujur, maka bulan Ramadan adalah masa untuk melakukan self transformation, menjadi pribadi dengan karakter kejujuran, termasuk dalam niaga dan bisnis.

Koneksi rasional antara puasa dan perubahan mendasar atau transformasi sosial ini ada pada esensi puasa: menahan. Orang berpuasa berjuang menahan diri dari makan, minum, dan hal lain yang membatalkan puasa. Namun, esensi menahan (imsak) di sini adalah menahan diri dari kecenderungan hawa nafsu yang seringkali tak terkendalikan. Nafsu yang tak terkendalikan inilah yang kemudian berakibat kepada ragam transgresi (thughyaan) dalam kehidupan. Thughyaan ini pulalah yang membawa kepada ragam kerusakan (zhaharal fasaadu) dan penderitaan (jahiim) dalam kehidupan.

Dengan puasa di bulan Ramadan, seorang muslim melakukan kontemplasi/perenungan serta introspeksi (muhasabah), termasuk dalam perilaku sosialnya (social behaviors) yang dilakukan selama ini: apakah sudah sesuai dengan ajaran Allah dan Rasul-Nya dan bermanfaat bagi dirinya dan orang-orang di sekitarnya atau sebaliknya, justru melenceng dari ajaran dan tuntunan Rasul-Nya bahkan membahayakan bagi dirinya dan lingkungannya?

Diakui atau tidak, kita hidup dalam dunia yang penuh dengan thughyaan. Semua itu disebabkan oleh kerakusan hawa nafsu yang tak terkontrol. Berbagai pelanggaran, baik hukum maupun etika (moral), diakibatkan oleh kerakusan itu.

Pada tataran nasional, kita melihat kerakusan-kekuasaan itu, misalnya, terwujud dengan kecenderungan membangun dinasti melalui perilaku nepotisme dan pelanggaran etika. Semua ini masuk dalam kategori pelanggaran muamalat yang harus ditransformasi. Jika tidak, maka akan menjadi norma yang berakhir pada karakter bangsa.

Pada tataran global, thughyaan juga terjadi hampir dalam segala skala kehidupan. Secara ekonomi, dunia kapitalis menghalalkan segala cara dengan ragam manipulasi alam demi memenuhi kerakusan hawa nafsunya. Selain semakin memperbesar jurang pemisah antara yang kaya dan miskin, dunia maju (norther nations) dan dunia ketiga (southern nations), juga semakin memperparah kerusakan lingkungan yang semakin mengkhawatirkan.

Di sinilah Islam dan puasa Ramadan harus menjadi momentum untuk melakukan perenungan dan transformasi. Semua bermula dari penataan hati dan jiwa yang berdampak positif pada perilaku dan karakter manusia. Dengan menata hati dan memperkuat spiritulitas melalui puasa Ramadan, hawa nafsu akan secara efektif terkendalikan untuk diarahkan kepada nilai dan orientasi positif konstruktif.

Ini pula salah satu makna dari firman Allah: “Dan barang siapa yang takut akan maqaam (kebesaran) Tuhannya dan menahan diri dari dorongan hawa nafsunya, maka sesungguhnya jannah yang menjadi tujuan akhirnya” (An-Nazi’at). Jannah di sini selain surga di akhirat kelak, juga kedamaian dan kebahagiaan di dunia yang sementara ini. Semoga!

Artikel Ramadan sebagai bulan transformasi (5) pertama kali tampil pada KAHMI Nasional.

]]>
9576
Ramadan sebagai bulan transformasi (3) https://www.kahminasional.com/read/2024/03/18/9510/ramadan-sebagai-bulan-transformasi-3/ Sun, 17 Mar 2024 20:57:06 +0000 https://www.kahminasional.com/?p=9510 Oleh Shamsi Ali, Direktur Jamaica Muslim Center New York Semua amalan ritual yang ada di bulan Ramadan (puasa, tarawih, tilawah, ragam tasbih, dan zikir) harusnya mengantar pada situasi kehidupan sosial yang lebih baik. Perubahan itulah yang kita maksud dengan transformasi atau perubahan mendasar (foundational change). Tiga hal mendasar telah disampaikan terdahulu. Perubahan kualitas iman dari […]

Artikel Ramadan sebagai bulan transformasi (3) pertama kali tampil pada KAHMI Nasional.

]]>
Oleh Shamsi Ali, Direktur Jamaica Muslim Center New York

Semua amalan ritual yang ada di bulan Ramadan (puasa, tarawih, tilawah, ragam tasbih, dan zikir) harusnya mengantar pada situasi kehidupan sosial yang lebih baik. Perubahan itulah yang kita maksud dengan transformasi atau perubahan mendasar (foundational change).

Tiga hal mendasar telah disampaikan terdahulu. Perubahan kualitas iman dari iman yang bersifat pasif menjadi iman yang berkarakter aktif. Juga bahwa Ramadan hendaknya menjadi momentum terbaik untuk melakukan transformasi hati dan jiwa. Hati dan keadaan kejiwaan (mental state) inilah yang kemudian menentukan terjadinya transformasi yang ketiga, yaitu pentingnya membangun akhlak karimah atau perilaku yang baik (mulia).

Keempat, Ramadan harus menjadi bulan untuk merekatkan kembali hubungan kekeluargaan. Berbicara tentang keluarga, ini tentu yang paling esensial adalah unit keluarga terkecil. Biasanya di Amerika disebut dengan immediate family members. Jika di Amerika, mereka ini bisa disponsori izin tinggal, misalnya. Pasangan suami-isteri atau orang tua-anak, merekalah yang masuk ke dalam kategori ini.

Makna transformasi keluarga di bulan Ramadan adalah mencoba merajut kembali relasi kekeluargaan yang rentang tercabik-cabik karena banyak faktor. Salah satunya adalah kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek), khususnya di bidang telekomunikasi dan informasi.

Kita sadar bahwa kemajuan iptek tidak selamanya bersahabat dengan aspek kemanusiaan kita. Sebaliknya, boleh saja membawa pada hal-hal yang tidak dikehendaki (undesirable).

Kemajuan alat komunikasi, khususnya media sosial, benar-benar menjadikan dunia kita terdisrupsi (mengalami gangguan) secara mendasar. Tidak saja terlupakan, seringkali nilai-nilai kemanusiaan (human values) itu, yang seharusnya menjadi pegangan kehidupan manusia, tergantikan oleh inovasi keilmuan dan teknologi.

Salah satu nilai yang terabaikan dengan kemajuan alat komunikasi (means of telecommunications) adalah kerekatan relasi antaranggota keluarga. Di sini terjadi fenomena paradoks. Asumsinya, alat-alat komunikasi menjadikan komunikasi antarmanusia, khususnya keluarga, menjadi lebih dekat. Namun, yang terjadi justru sebaliknya: kerenggangan dan seringkali miskomunikasi antarmanusia, termasuk antaranggota keluarga.

Renggangnya komunikasi dan miskomunikasi yang terjadi ini menjadikan satu nilai mengecil bahkan terasa hilang. Nilai itu dikenal dalam agama dengan silaturrahim (hubungan rahim). Rahim yang dimaksudkan pada kata itu adalah karakter relasi yang penuh kasih sayang (rahmah). Dengan kemajuan iptek, khususnya di bidang telekomunikasi, menjadikan relasi antarmanusia, termasuk keluarga, kehilangan nilai rahmah.

Saya melihat bahwa cara komunikasi kita dalam dunia saat ini sangat berbeda bahkan sangat jauh dari nilai-nilai komunikasi masa lalu. Ambillah contoh bagaimana momen-momen koneksi kekeluargaan itu begitu kental di masa lalu melalui santapan makanan bersama: orang tua dan anak, suami-istri, bahkan keluarga jauh. Sesuatu yang sederhana, tetapi sangat bermakna dalam mengekspresikan relasi antaranggota keluarga.

Situasi itu kini telah minim bahkan tergantikan. Suami dan istri masing-masing sibuk dengan dirinya dan alat komunikasinya. Orang tua dan anak juga demikian. Masing-masing sangat tergantung pada alat komunikasi yang ada di tangannya. Akibatnya, tidak saja terjadi gap komunikasi, tetapi nilai relasi rahim menjadi minim dan gersang. Hubungan antaranggota keluarga pun semakin gersang dan renggang.

Di sinilah Ramadan hadir untuk memungkinkan terjadinya transformasi itu. Ambillah satu bentuk amalan yang dijadikan kembali sebagai tradisi: makan di satu meja bersama seluruh anggota keluarga di waktu sahur. Kemudian, dilanjutkan dengan salat Subuh berjamaah bersama di masjid atau di rumah jika masjid memang jauh. Tradisi ini akan dengan sendirinya merekatkan kembali relasi kekeluargaan.

Sekiranya waktu dan kesempatan itu ada, hendaknya di rumah-rumah keluarga muslim ada halakah keluarga selama Ramadan. Di halakah ini masing-masing anggota keluarga berkesempatan mengomunikasikan isi hati dan kepala. Di sini akan terjadi silatul fikr (menyambung ide dan pikiran) selain silaturahmi.

Sesungguhnya pembiasaan makan bersama dengan anggota keluarga akan membawa dampak positif untuk terbangunnya komunikasi positif bagi anggota keluarga, sesuatu yang telah terdisrupsi secara mendasar dengan kemajuan iptek selama ini. Sekali lagi, Ramadan menjadi momen yang tepat untuk mereparasi itu kembali. Semoga. (Bersambung)

Artikel Ramadan sebagai bulan transformasi (3) pertama kali tampil pada KAHMI Nasional.

]]>
9510
Anies dan Politik Identitas https://www.kahminasional.com/read/2022/10/17/8922/anies-dan-politik-identitas/ Mon, 17 Oct 2022 15:55:51 +0000 https://www.kahminasional.com/?p=8922 Oleh Moksen Idris Sirfefa, Ketua Bidang Agama dan Ideologi MN KAHMI 2017-2022   Identity is people’s source of meaning and experience – Manuel Castells Empat hari pasca-pencapresan oleh Partai NasDem, Anies Rasyid Baswedan menghadiri undangan pernikahan anak Habib Rizieq Syihab (HRS) sekaligus peringatan Maulid Nabi saw di Petamburan, Jakarta. Lawan politik ramai-ramai ngetwit wacana politik identitas. […]

Artikel Anies dan Politik Identitas pertama kali tampil pada KAHMI Nasional.

]]>
Oleh Moksen Idris Sirfefa, Ketua Bidang Agama dan Ideologi MN KAHMI 2017-2022

 

Identity is people’s source of meaning and experience – Manuel Castells

Empat hari pasca-pencapresan oleh Partai NasDem, Anies Rasyid Baswedan menghadiri undangan pernikahan anak Habib Rizieq Syihab (HRS) sekaligus peringatan Maulid Nabi saw di Petamburan, Jakarta. Lawan politik ramai-ramai ngetwit wacana politik identitas. Niluh Djelantik, Ketua Departemen Bidang UMKM Partai NasDem, langsung menyatakan diri keluar dari kepengurusan partai besutan Surya Paloh itu. Salah satu petinggi Partai Demokrat, partai potensial koalisi NasDem, juga mewanti-wanti agar Anies tidak membawa-bawa politik identitas.

Para buzzer optimistis bahwa jualan isu politik identitas cukup efektif untuk menjatuhkan citra Anies karena isu Formula E gagal digoreng. Mengapa politik identitas dipakai untuk melawan Anies? Karena di pemahaman mereka, politik identitas identik dengan diskriminasi rasial, intoleran, radikal, ekstrem, dan–lebih celaka lagi–merupakan identitas politik Islam. Dalam framing kelompok ini, politik identitas mengerikan dan berbahaya. Politik identitas harus dilawan karena bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945. Wacana politik identitas dibangun mereka dengan tujuan memunculkan trauma dan ketakutan politik (political fear) bagi para followers dan vooters Anies, yang mayoritas kelas menengah kota.

 

Politik Identitas: Kesamaan dan Perbedaan

Pada masa lalu, politik identitas disebut politik aliran Islam dan nasionalis sekuler. Sejauh ini, definisi tentang politik identitas belum ditemukan di dalam kepustakaan ilmu politik. Yang ditemukan hanya pengertian politik dan pengertian identitas. Tulisan ini tidak mengulas arti politik melainkan arti identitas karena kata itu yang menjadi momok akhir-akhir ini. Justru politisi yang gamang terhadap politik identitas adalah ahistoris.

Identitas adalah sumber makna (jati diri) dan pengalaman seseorang, (identity is people’s source of meaning and experience), tulis sosiolog Spanyol, Manuel Castells. Menurut Castells (2010), identitas terbagi dalam tiga kategori: identitas legitimasi, identitas resistensi, dan identitas proyek. Identitas legitimasi dikenalkan institusi paling dominan di dalam masyarakat, dalam hal ini kita sebut pemerintah. Nama, tempat tanggal lahir, jenis kelamin, alamat, agama, golongan darah–di dalam KTP dan Kartu Keluarga–yang secara tersirat juga menerangkan etnisitas seseorang.

Identitas resistensi adalah identitas yang terbentuk karena adanya resistensi atau perlawanan terhadap logika kelompok dominan. Identitas proyek diperoleh akibat kontruksi identitas, misalnya pengangkatan dan pemberian gelar adat kepada figur tertentu dari luar komunitas adat bersangkutan.

Jika mengikuti Castells, yang ditakutkan sebagian orang tentang kebangkitan politik identitas adalah identitas legitimasi atau identitas yang melekat dengan diri seseorang berupa nama, keluarga, asal-usul, agama, etnis, lingkungan pergaulan, budaya, dan sebagainya. Bagaimana bisa semua itu ditanggalkan dan seseorang menjadi bukan manusia (unidentified being)? Kauffman (1990) mendefinisikan politik identitas sebagai politik budaya yang mengekspresikan “keyakinan tentang identitas itu sendiri (the belief that identity itself)”. Politik identitas memolitisasi bidang kehidupan yang sebelumnya tidak didefinisikan sebagai politik, termasuk seksualitas, interpersonal, hubungan, gaya hidup, busana, demontrasi buruh, termasuk tren minum kopi. Masing-masing daerah menunjukkan identitasnya; kopi papua, kopi aceh, kopi toraja, dan seterusnya.

Menurut Fukuyama (2018), sebagian besar perjuangan politik dunia kontemporer diwarnai dengan politik identitas, dari berbagai revolusi demokratis hingga gerakan sosial baru; dari nasionalisme dan Islamisme hingga politik identitas diangkat oleh kelompok kiri (the left) dan kelompok kanan (the right) di negara-negara demokrasi-liberal. Kaum kiri lebih menekankan isu-isu kesetaraan dan keadilan, sedangkan kaum kanan lebih menuntut kebebasan yang lebih luas dalam semua lini kehidupan.

Di Amerika Serikat, praktik politik identitas diawali Marthin Luther King Jr, seorang pendeta Baptis di Atlanta Georgia. Dia menuntut hak-hak kesetaraan sipil pada tahun 1954 dan menjadi martir bagi kaum kulit hitam Amerika saat berpidato di Memphis, Tennessee, 4 April 1968.  Selain itu, ada juga gerakan politik Islam yang digagas oleh Louis Farakhan dengan gerakan The Nation of Islam-nya, yang menuntut kesetaraan hak-hak muslim negro Amerika. Namun, gerakan ini kemudian melunak setelah terjadi kesepahaman antara Farakhan dan Wareeth Dien Muhammad, mantan pesaingnya, untuk bersepakat menyatukan diri dalam arus besar masyarakat Amerika yang plural dan heterogen.

Juga masyarakat Amerika di Queebeck yang berbudaya dan berbahasa Prancis, yang ingin memisahkan diri dari Kanada yang berbahasa Inggris. Juga sebagian orang Papua berbahasa Indonesia, tetapi memandang ras mereka Melanesia sehingga ingin memisahkan diri dari Indonesia yang ras Melayu. Padahal, Maluku dan Nusa Tenggara yang ras Melanesia tetapi merasa nyaman menjadi bagian dari Indonesia. Nasionalisme sendiri kumpulan identitas kultural, etnis, bahasa, agama, menyatu dalam kesamaan padangan untuk hidup bersama. Dayak dan Papua “berbeda”, tetapi “sama” dalam kehidupan berbangsa dan bernegara Indonesia.

Jika seseorang secara etnis adalah Papua, maka identitasnya Papua. Jika seseorang berasal dari Hadhrami, maka identitasnya Arab. Identitas dapat dipahami sebagai ciri-ciri fisik atau kualitas yang membuat seseorang atau sekelompok orang yang membuat mereka berbeda atau unik dari yang lain (make them different or unique from others). Namun, identitas juga adalah kondisi atau fakta yang menjadikan sekelompok orang sama (being the same) atau memiliki kesamaan (sameness).

Orang Papua dan Dayak secara fisik berbeda, tetapi memiliki kesamaan sebagai WNI, maka Indonesia menjadi identitas dari orang Papua dan orang Dayak. Atau orang China, Arab, dan peranakan Eropa yang lahir dan besar di Indonesia secara etnik berbeda, tetapi memiliki ketergantungan ideologis, psikologis, dan sosilogis dengan Indonesia dan mereka mengaku sebagai orang Indonesia. Hal yang sama terjadi di belahan dunia yang lain, seperti di Amerika dan Eropa.

Politik identitas adalah aktivitas politik yang berbasis identitas atau menggunakan identitas dalam keterlibatan politik atau sebaliknya, memperjuangkan kepentingan dan kebaikan identitas melalui sarana politik. Politik identitas yang ekstrem dihubungkan dengan penindasan, kekerasan yang memicu keinginan untuk melepaskan diri (self-determination). Tuntutan untuk persamaan hak-hak kewarganegaraan, seperti di masyarakat Aborigin, kaum perempuan, dan kaum LGBT termasuk kategori ini.

Dalam makna yang positif, politik identitas adalah bagaimana seseorang atau anggota kelompok mengartikulasikan secara eksplisit kalibrasi kesamaan dan perbedaan itu dalam satu hubungan soliditas yang dikecualikan (relations of exclusion) sehingga dapat menyatukan kelompok mana pun. Misalnya, identitas sebagai perbedaan (identity as differences) jika diarahkan keluar (eksternal) dan sebagai kesamaan (identity as sameness) jika ditujukan ke dalam (internal). Jadi, politik identitas adalah gagasan tentang kesamaan dan perbedaan. Apa yang dilakoni Anies lebih menekankan pada ekspresi kesamaan (sameness) dan perbedaan (differences). Jadi, salah jika politik identitas dikembangkan seolah-olah bentuk eksklusivisme politik.

Perbedaan adalah takdir alam (sunnatullah) dan memperkenalkan diri sendiri atau kelompok kepada pihak lain adalah tabiat kemanusiaan sebagai makhluk sosial. Tuhan menciptakan manusia dari seorang lelaki dan perempuan, kemudian berkembang menjadi suku bangsa untuk saling memperkenalkan diri (lita’ârafû) dalam rangka taat kepada-Nya (al-Hujurat: 13). Giddens (1996) menyebutkan, dorongan kepada aktualisasi diri berdasarkan kepercayaan dasar, yang dalam konteks personal hanya dapat dilakukan dengan “membuka” diri terhadap orang lain (a mutual process of self-disclosure). Tanpa pengenalan, identitas tidak dapat dinamakan identitas. Maka, hati-hati “memusuhi” (politik) identitas karena hal itu berarti Anda memusuhi diri Anda sendiri. Tuhan sendiri pun ingin dikenali sehingga Dia menciptakan manusia untuk mengenal-Nya (kuntu kanzan makhfiyyan fa-ahbabtu ‘an u’rafa fa khalaqtu al-khalqa li-kay u’rafa), demikian firman Tuhan dalam sebuah hadis Qudsi.

Pada tahap ini, identitas pribadi seorang figur di dalam suatu kelompok politik berperan mewarnai dinamika kelompok politiknya melalui pencitraan pribadi. Itu sebabnya, di dalam kajian-kajian tentang modernitas, identitas dihubungkan dengan teori tentang diri (the self) dan interpretasi diri terhadap dirinya sendiri (self’s interpretation of itself) yang oleh banyak ahli dibedakan dalam dua kategori, yaitu identitas individu (how a person is) dan identitas kelompok (how a person are).

 

Identitas Anies

Politik identitas adalah produk sejarah bangsa Indonesia. Sejak zaman pergerakan Indonesia, politik identitas menjadi satu-satunya pilihan untuk membebaskan bangsa Indonesia dari kolonialisme dan imperialisme. Mulai dari zaman Budi Utomo 1908, Wahidin Sudirohusodo, Sutomo, dan Soeradji adalah nama-nama priyayi kelas menengah Jawa yang berpendidikan modern dan berprofesi dokter.  Kemudian, era 1928 ditandai dengan Sumpah Pemuda, di mana kelas menengah pelajar dan pemuda menyuarakan identitas kedaerahan dan kelompok sosialnya. Memasuki era kemerdekaan, kelompok-kelompok kelas menengah Indonesia membentuk partai-partai politik yang berhaluan primordialis, sosialis, komunis, dan Islamis. Memasuki era kemerdekaan 1945 dengan adanya BPUPKI, representasi identitas muncul di 9 anggotanya. Politik identitas itu tergambar dari 155 anggota yang duduk di Majelis Konstituante dan puncaknya adalah identitas Islam dan nasionalisme.

Pada era Demokrasi Terpimpin (1956), Soekarno menggagas identitas nasionalisme, agama, dan komunisme (Nasakom) sebagai antitesis demokrasi parlementer yang banyak konflik. Bahkan, jauh sebelumnya pada tahun 1927 (setahun sebelum Sumpah Pemuda), Soekarno telah mengumandangkan politik identitas lewat artikel yang dimuat di Indonesia Moeda, sebuah publikasi terbitan Klub Studi Umum (Algemeene Studie Club/ASC), kelompok diskusi yang dia dan teman-temannya bentuk sewaktu kuliah di Bandung. Dalam artikel itu, Soekarno mendesakkan pentingnya sebuah persatuan nasional kaum nasionalis, islamis, dan Marxis dalam perlawanan tanpa kompromi (nonkooperatif) terhadap Belanda.

Memasuki Indonesia modern, partai-partai politik zaman Orde Baru hingga orde reformasi menggunakan atribut keagamaan dan jargon-jargon nasionalisme sebagai identitas. Megawati Soekarnoputri dan kini diikuti anaknya Puan Maharani di spanduk dan baliho tertulis kata “Merdeka” dengan kepalan tangan dan gambar Soekarno di belakangnya. Itulah politik identitas sebagai pelanjut Soekarnoisme. Pasca-Orde Baru, sinetron-sinetron islami mewarnai layar televisi Indonesia. Oleh Ariel Heryanto (2018), budaya pasca-Islamisme ini digandrungi banyak orang, lalu kaum perempuan mengganti tren berbusana muslimnya mengikuti budaya layar ini, tetapi perusahaan-perusahaan televisi itu tidak dituduh melakukan politik identitas.

Politik identitas pada masa Soekarno berbeda pemaknaannya dengan politik identitas yang berkembang di masa Jokowi. Gerakaan sosial 212–yang diklaim berhasil memenangkan Anies sebagai Gubernur DKI mengalahkan Ahok–dinilai sebagai politik identitas. Juga ketika alumni gerakan 212 menyatakan dukungan kepada Prabowo-Sandiaga Uno dalam Pilpres 2019 dicap sebagai politik identitas. Sementara itu, kalau perkumpulan orang Batak dan orang Manado mendukung pasangan capres Jokowi-Ma’ruf Amin tidak dianggap politik identitas. Politik identitas adalah persamaan dan perbedaan, mengapa harus takut?

Mari kita memahami sejarah politik kebangsaan para the founding fathers bangsa Indonesia. Siapa yang tidak mengenal H.O.S. Tjokroaminoto, pendiri Syarikat Islam (selanjutnya menjadi Sarekat Dagang Islam) dan seorang guru? Dia adalah seorang sosialis muslim, yang darinya Soekarno, Semaun, Kartosuwiryo, Alimin, Muso, dan Tan Malaka belajar tentang nasionalisme Indonesia. Siapa yang tidak mengenal Mr. Kasman Singodimedjo, yang pernah menjabat Jaksa Agung dan Ketua Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP), adalah anggota aktif Muhammadiyah dan mantan Sekjen Partai Islam Masyumi? Siapa yang tidak mengenal Mohammad Natsir, seorang ulama, politikus, dan pejuang? Dia merupakan pendiri dan pemimpin partai Islam Masyumi dan pernah menjabat Menteri dan Perdana Menteri, sebagai Presiden Liga Muslim Dunia (World Muslim League), dan Ketua Dewan Masjid Dunia (World Mosque Council). Siapa yang tidak mengenal Alexander Andrias Maramis, orang Manado Kristen yang menjadi salah satu anggota Panitia 9 (dari 67 anggota BPUPKI) yang merumuskan Piagam Jakarta pada 22 Juni 1945? Dia juga aktif di KNIP dan menjadi Menteri Keuangan dan Duta Besar Indonesia di Finlandia.

Identitas para pemimpin bangsa itu tidak seperti yang dipahami sebagian aktivis politik bahkan media sosial, terutama para buzzer yang pragmatis dan ahistoris. Pemahaman tentang politik identitas yang miopik membuat mereka bertindak memalukan. Contoh, dalam suatu acara resmi Partai Solidaritas Indonesia (PSI), Ketua Umumnya, Grace Natalie, berpidato berapi-api menolak Perda Syariah. Namun, dalam kesempatan yang lain, dia menolak praktik poligami, yang merupakan gerakan politik identitas kaum feminis di negara-negara Barat.

Kunjungan Anies ke tokoh politik dan tokoh civil society mesti dipandang sebagai kekerabatan (kinship) dan pertemanan (friendship) sebagai pemimpin di ibu kota Jakarta. Anies ingin membangun aliansi jangka panjang dalam menghadapi kontestasi politik pada tahun 2024 dan itu wajar saja. Anies besar di Yogyakarta dan baru memasuki arena politik Indonesia 10 tahun terakhir, makanya harus menjalin kekerabatan dengan siapa saja. Jika kekerabatan didasarkan pada interrelasional seksual, sedarah, sekampung, sedaerah, maka secara tidak langsung mereka saling mengenal identitasnya masing-masing. Sebaliknya, kalau pertemanan karena bukan keluarga atau sekampung, maka yang dibutuhkan adalah kejujuran (sincerity) dan bagaimana menjaga martabat (honour) di antara mereka. Hubungan Anies dengan HRS, dengan Paloh, dengan AHY, dengan Prabowo, dengan Jokowi, dan dengan siapa pun harus dikontekskan dalam dua kerangka intensi hubungan politik personal tersebut.

Dari aspek nasionalisme, Anies adalah cucu dari A.R. Baswedan, tokoh pejuang dan karib A.A. Maramis di KNIP. A.R. Baswedan adalah keturunan Arab Hadhrami yang karier politiknya cemerlang.  Pada masa mudanya tahun 1928, dia memobilisasi para pemuda keturunan Arab di Semarang memperjuangkan nasionalisme Indonesia. Dia kemudian menjabat Ketua Persatuan Arab Indonesia (PAI) yang kemudian menjadi Partai Arab Indonesia (PAI). Dia seorang pejuang kemerdekaan, diplomat, mubalig, dan jurnalis. Tulisan-tulisannya di terbitan bulanan Aliran Baroe menjadi corong PAI dalam memompa semangat nasionalisme Indonesia.

Selain di PAI dan KNIP, A.R. Baswedan menjadi salah satu anggota BPUPKI, yang merumuskan dasar negara. Setelah menjadi anggota parlemen dan anggota Dewan Konstituante dari Partai Masyumi, dia diangkat menjadi Menteri Muda Penerangan era Kabinet Syahrir. A.R. Baswedan adalah salah satu diplomat Indonesia pertama dan mendapat pengakuan de jure dan de facto pertama bagi eksistensi Republik Indonesia dari Mesir.

Sejak kecil, Anies hidup bersama dan mendapat bimbingan langsung dari sang kakek. Saat mahasiswa, Anies bergabung di HMI, organisasi mahasiswa muslim modernis. Di HMI, Anies diajarkan Nilai Identitas Kader (NIK), di mana setiap kader HMI adalah kader umat sekaligus kader bangsa. Dengan NIK HMI itu, komitmen keislaman dan keindonesiaan menjadi nilai dasar semua alumni HMI, termasuk Anies, dalam membangun Indonesia. Pidato perpisahan Anies di Balai Kota DKI,  Minggu, 16 Oktober 2022, dengan menyanyikan dua lagu, bukan Salâm min-ba’îd dan Kun-anta, tetapi Berkibarlah Benderaku dan Maju Tak Gentar, secara tegas mengisyaratkan Anies Rasyid Baswedan beridentitas Indonesia sejati.

Artikel Anies dan Politik Identitas pertama kali tampil pada KAHMI Nasional.

]]>
8922
Perginya Sang Kekasih https://www.kahminasional.com/read/2022/06/10/8847/perginya-sang-kekasih/ Fri, 10 Jun 2022 07:54:13 +0000 https://www.kahminasional.com/?p=8847 Oleh Fathorrahman Fadli, Dosen Universitas Pamulang dan Direktur Keuangan PT Insan Cita Mandiri Sejahtera (K-Pay) Malam itu, saya datang sebelum jenazah datang. Saya bersama tetangga duduk-duduk sekadarnya di kursi yang disediakan tetangga. Rumah Kiai Ochen, demikian saya memanggil​​nya, malam itu masih gelap karena sejak istrinya sakit. Seluruh keluarga itu lebih banyak di rumah sakit. Namun, […]

Artikel Perginya Sang Kekasih pertama kali tampil pada KAHMI Nasional.

]]>
Oleh Fathorrahman Fadli, Dosen Universitas Pamulang dan Direktur Keuangan PT Insan Cita Mandiri Sejahtera (K-Pay)

Malam itu, saya datang sebelum jenazah datang. Saya bersama tetangga duduk-duduk sekadarnya di kursi yang disediakan tetangga. Rumah Kiai Ochen, demikian saya memanggil​​nya, malam itu masih gelap karena sejak istrinya sakit. Seluruh keluarga itu lebih banyak di rumah sakit. Namun, lampu kamar rumah masih tetap menyala sebagai penerang bahwa rumah itu berpenghuni.

Sebenarnya, malam itu saya sudah capai sekali karena habis pulang dari Bandung. Namun, Selasa malam itu, saya baca WhatsApp dari Kiai Ochen bahwa istrinya sudah tiada. Di atas travel Citi Trans, rasa capai saya hilang.

Sesampai di pool BSD, saya ambil sepeda motor dan langsung pacu pulang. Sesampai di rumah, saya ketuk pintu dan bunda pun muncul. “Bun, istri Bang Ochen meninggal. Saya besok mengajar jam pertama hingga siang hari, jadi saya lebih baik malam ini ke sana,” jelasku. Bunda pun oke. “Hati-hati, Ayah. Jangan ngebut, kan, baru pulang,” pesannya.

Greng… greng… motor kupacu lagi menuju Ciputat. Saya berusaha mengikuti map, tetapi tiba-tiba HP-ku lowbatt. Padahal, alamat Kiai Ochen tersimpan di dalam HP. Tak habis akalku, saya menepi di warung Madura. “Numpang nge-charge HP, ya, Cong,” pintaku pada penjaga. Begitu di-charge dua menit, ternyata baterai masih 60%. “Wah, sontoloyo!” pikirku. HP-ku ini enggak sopan, saat genting malah nakal. Akhirnya, saya minta kertas ke tukang warung untuk menulis alamat rumah Kiai Ochen dengan jelas. Tukang warung Madura tak mungkin punya kertas, akhirnya alamat tersebut saya tulis pada sobekan kertas kardus bekas kue makanan anak-anak. Kutulis dengan mantap hati, Jalan Daha 19 Cirendeu, Pisangan, Ciputat.

Saya agak sedikit berputar untuk menuju rumah duka itu. Waktu sudah semakin larut. Namun, semangat untuk berjumpa Kiai Ochen pada saat duka itu sangatlah tinggi. Kiai Ochen adalah kawan diskusi yang ciamik di berbagai grup, tetapi yang terasa paling intelektual adalah saat kami berdiskusi dan berdebat di WAG Kahmipro_politik.

Tanya sana-sini, akhirnya sampai juga. Rumah Kiai Ochen tampak berdiri kokoh di samping Masjid As Salam. Masjid itu tampaknya ramai aktivitasnya. Ramadan lalu, Kiai Ochen sempat memberi tahu bahwa dirinya sedang memberi “kultum” malam itu. Rasanya doi juga jadi aktivis masjid. Ramai juga pengurus masjid yang ikut datang malam itu. Mereka sibuk menyiapkan kedatangan jenazah. Namun, tetangga tak bisa masuk rumah karena tak ada keluarga yang datang.

Untuk membunuh waktu dan mengusir dinginnya malam, saya cabut satu batang rokok merek RESTU, asli produk dari kampung. Rasanya nikmat satu tingkat di atas Dji Sam Soe. Harganya pun sungguh pro kaum proletar, cuma Rp12.000. RESTU itu kuisap pelan-pelan seraya membunuh duka di hatiku.

Baru sepertiga batang, tiba-tiba ada mobil sedan hitam merayap pelan mencari parkiran. Ternyata dia adalah sahabat dan rekan kerja Kiai Ochen, Velix Wanggai, putra Papua yang lembut nan pintar. Dia dan satu-dua orang masuk rumah dan bergegas mempersiapkan jenazah datang. Kami cari-cari tempat sebagai alas jenazah disemayamkan. Akhirnya, kami putuskan untuk menggiring kasur kamar depan bawah untuk alas jenazah. Para tetangga sibuk mencari kain batik penutup aurat sang mayat.

Beberapa saat kemudian, ambulans datang tanpa bunyi-bunyian. Tenang dan tiba-tiba sudah tiba di depan rumah. Tak tampak wajah Kiai Ochen. Rasanya dia bawa mobil sendiri, terpisah dari ambulans. Beberapa menit kemudian, dia datang dengan wajah tenang, tetapi tubuh yang sedikit lemas. Aku pun memeluknya seraya membisikkan, “Sabar, ya”. Tubuhnya yang besar ternyata sangat empuk. Padahal, bayanganku, dia berbadan keras sekali. Malam itu, tubuhnya lembek. Mungkin karena berhari-hari tidak tidur atau kekurangan tidur.

Dua anaknya, Tita dan Javi, terlihat juga tenang dan ikhlas. Setelah mayat rapi dan saya bersama tetangga membacakan Yasin dan tahlil ala NU, saya bergeser bergabung dengan Luthfi Pattimura, seorang jurnalis dan Pemimpin Redaksi Majalah Forum Keadilan. Rupanya, Bang Lutfi adalah senior HMI juga. Beliau kayaknya asal Maluku dan besar di Ternate. Dia sudah seperti kakak beradik bagi Bang Ochen. Dekat sekali hubungan mereka. Keduanya mengaku saling curhat soal kehidupan masing-masing.

“Ochen, kita pergi dari kampung ke Jakarta, jelas bukan sekadar cari makan, tapi ada sesuatu yang mesti kita perjuangkan untuk kebaikan negeri ini,” jelasnya malam itu.

“Apa pun alasannya, sepeninggal istrimu, engkau akan kembali berubah banyak, sama sekali berbeda dengan ketika istrimu masih ada. Berbeda Ochen!” demikian cucu Pattimura itu menasihati sang Kiai.

Kepada saya, Kiai Ochen juga bercerita perihal nasihat anak-anaknya. “Ayah jangan terlalu bersedih hati, ya. Itu semua sudah diatur oleh Allah,” pinta anaknya.

Kiai Ochen lalu berucap pada saya, “Pada anak-anak, saya bilang, ‘Iya, Ayah tahu dan mengerti, tapi ibumu itu bukan lagi hanya seorang istri, tapi juga seorang adik, sahabat, orang yang disayang. Jadi, wajarlah kalau Ayah merasa kehilangan,'” ujarnya malam itu.

Sebagai suami, dia sudah berusaha memberikan pelayanan terbaik untuk istrinya. Kepada dokter-dokter yang merawatnya, doi selalu bilang, “Saya ini awam dalam bidang kedokteran, silakan Anda ambil jalan yang terbaik untuk kesembuhan istri saya. Silakan,” pintanya kepada dokter. Namun, ajal tak bisa tergantikan. Kanker yang diderita istrinya sudah pada stadium yang mematikan. Allah kemudian memanggilnya dengan jiwa yang tenang.

Semoga almarhumah, Mbak Hj. Uus Kudsiah (yang sempat menyaksikan tulisan saya berjudul “Jika Engkau Masih Menyimpan Penyakit Hati, Segeralah Perbaiki Kualitas Sujud-sujudmu Itu” dan masih terpampang di Ruang Profesor Bahtiar Effendi di FISIP UIN Ciputat) mendapatkan tempat yang mulia di sisi Allah. Amin.

Artikel Perginya Sang Kekasih pertama kali tampil pada KAHMI Nasional.

]]>
8847
Aktivis Profesional dan Aktivis Magang https://www.kahminasional.com/read/2022/05/31/8813/aktivis-profesional-dan-aktivis-magang/ Tue, 31 May 2022 08:45:58 +0000 https://www.kahminasional.com/?p=8813 Oleh Rudy Gani, Wakil Sekretaris Jenderal MN KAHMI Menjadi aktivis adalah sebuah profesi yang seharusnya profesional. Sebab, dunia aktivis adalah dunianya kaum intelektual yang kritis dan penuh dengan dinamika. Maka, wajar apabila seorang aktivis profesional itu dianggap sebagai kelompok terpelajar yang selalu menggaungkan ide serta kritikan kepada pemerintah. Namun, menjadi aktivis yang profesional tentu saja […]

Artikel Aktivis Profesional dan Aktivis Magang pertama kali tampil pada KAHMI Nasional.

]]>
Oleh Rudy Gani, Wakil Sekretaris Jenderal MN KAHMI

Menjadi aktivis adalah sebuah profesi yang seharusnya profesional. Sebab, dunia aktivis adalah dunianya kaum intelektual yang kritis dan penuh dengan dinamika. Maka, wajar apabila seorang aktivis profesional itu dianggap sebagai kelompok terpelajar yang selalu menggaungkan ide serta kritikan kepada pemerintah.

Namun, menjadi aktivis yang profesional tentu saja tidak mudah. Sebab, tantangan serta “godaan” kerap datang menyapa seorang aktivis. Baik dalam konteks godaan materi maupun jabatan. Karena itulah, seorang aktivis dituntut untuk selalu berpikiran jernih dan tahan banting, khususnya pada godaan-godaan materi serta jabatan tersebut.

Kembali dalam konteks aktivis yang profesional. Aktivis profesional adalah mereka yang bekerja secara tersistematis, disiplin, dan mencintai pekerjaannya itu sendiri.

Aktivis profesional adalah mereka yang mengejar cita-cita bersama dengan cara bekerja sama dengan seluruh kelompok berkepentingan. Tujuannya hanya satu, yaitu bagaimana agar pekerjaan mereka (cita-citanya) terwujud di masyarakat. Jadi, aneh rasanya jika seorang aktivis yang “mengklaim” dirinya aktivis, tetapi tidak memiliki arah serta memperjuangkan cita-cita bernegara alias tidak memikirkan masyarakatnya. Tidak bersikap dan bertindak kritis yang melekat dengan identitasnya sebagai aktivis serta sama sekali tidak pernah menyentuh persoalan utama masyarakat. Jika bertemu dengan aktivis model begini, maka sudah dipastikan ia tidak pantas disebut aktivis profesional.

Di beberapa kesempatan, banyak yang mengatakan bahwa puncak karier dari seorang aktivis itu adalah “politisi”, baik di DPR RI, DPRD provinsi, bahkan tingkat kabupaten/kota. Sekilas, pernyataan ini memang benarlah adanya.

Namun, jika ditelaah secara kritis, penulis menilai, bahwa pandangan ini tentu saja tidak tepat sepenuhnya. Mengapa demikian? Sebab, menyatakan bahwa puncak dari karier seorang aktivis itu hanyalah sebagai politisi tentu saja mengerdilkan perjuangan aktivis yang begitu luas.

Aktivis tidak saja “dikutuk” untuk menjadi seorang “legislator”, aktivis tidak hanya pandai “beretorika” seperti orang-orang di parlemen. Namun, seorang aktivis yang pro pada kecakapan, pro pada nilai keindonesiaan, pro pada keberlangsungan cita-cita bernegara adalah mereka yang memiliki kemampuan lebih tanpa harus “tergiring” menjadi seorang politisi di parlemen.

Faktanya, terdapat seorang CEO sebuah perusahaan berlatar belakang aktivis pergerakan. Juga menteri di republik ini yang latar belakangnya aktivis tanpa harus menjadi politisi lebih dahulu. Juga tak terhitung jumlahnya aktivis yang bergelut di dunia NGO dan memiliki pengaruh luar biasa bagi NKRI yang berlatar aktivis.

Mengopinikan bahwa aktivis harus menjadi anggota dewan sungguh sangatlah naif. Sebab, potensi seorang aktivis yang profesional tidak saja menjadi seorang anggota dewan. Artinya, ruang gerak aktivis profesional tidak saja ada di dunia politik meskipun interaksinya pasti berkait dengan dunia politik.

Inilah yang membedakan aktivis profesional dengan aktivis magang. Jika aktivis profesional bekerja untuk keberlangsungan NKRI, maka aktivis magang hanya berpikir bagaimana caranya memperoleh jabatan.

Jika aktivis profesional berpikir Indonesia untuk ratusan tahun mendatang, maka aktivis magang berpikir lima tahunan saja. Itulah perbedaan yang kemudian berimplikasi pada gerak dan tindakan aktivis yang profesional dan magang.

Lalu pertanyaanya, berapa banyakkah aktivis profesional saat ini? Jangan-jangan zaman ini telah memproduksi lebih banyak aktivis magang yang kerjanya hanya untuk mengejar materi dan jabatan semata. Jika benar ini terjadi, maka 2024, siap-siaplah melihat wajah Indonesia yang pasti “begini-begini saja”.

Artikel Aktivis Profesional dan Aktivis Magang pertama kali tampil pada KAHMI Nasional.

]]>
8813
“Dakwah Khusus” yang Membuat Kita Iri https://www.kahminasional.com/read/2022/05/13/8754/dakwah-khusus-yang-membuat-kita-iri/ Fri, 13 May 2022 16:44:09 +0000 https://www.kahminasional.com/?p=8754 Oleh Iqbal Setyarso, Alumnus HMI Cabang Palu dan FISIP Universitas Tadulako Palu serta Penasihat Indonesia Care Iri? Mengapa? Karena kiprahnya hebat! Hebat karena pilihan area dakwahnya “tidak biasa” sehingga disebut dengan akronim LDK, Lembaga Dakwah Khusus. Ya, khusus untuk menyebut kata “terasing” yang sudah jarang disebut orang–seingat saya, istilah itu tahun 1980-an. Malah yang lebih […]

Artikel “Dakwah Khusus” yang Membuat Kita Iri pertama kali tampil pada KAHMI Nasional.

]]>
Oleh Iqbal Setyarso, Alumnus HMI Cabang Palu dan FISIP Universitas Tadulako Palu serta Penasihat Indonesia Care

Iri? Mengapa? Karena kiprahnya hebat! Hebat karena pilihan area dakwahnya “tidak biasa” sehingga disebut dengan akronim LDK, Lembaga Dakwah Khusus. Ya, khusus untuk menyebut kata “terasing” yang sudah jarang disebut orang–seingat saya, istilah itu tahun 1980-an. Malah yang lebih netral istilah yang dibuat orang Barat, indigenous people.

“Dakwah Khusus” bukanlah hal yang baru bagi Persyarikatan Muhammadiyah (secara historis di Sulawesi Tengah–lokasi Munas XI KAHMI ini–sudah ada lembaga pendidikan dan dakwah Islam yang cukup tua, Al-Khairaat). Kendatipun demikian, Peryarikatan Muhammadiyah–selanjutkan disebut Muhammadiyah–”berdakwah khusus”. Seiring berjalannya waktu, tepat pada Muktamar ke-39 Muhammadiyah di Padang pada 1974, secara tegas dan jelas Muhammadiyah mendeklarasikan konsep Dakwah Masa Kini. Pada masa itu, konsep dakwah ini bertujuan untuk mengantisipasi arus modernisasi yang begitu cepat berkembang di Indonesia yang membawa pengaruh negatif terhadap perkembangan kemajuan Islam dan umatnya.

Mengingat program dakwah masa kini dianggap cukup berat untuk dilaksanakan, program tersebut dipecah menjadi beberapa bagian, satu di antaranya dakwah terhadap masyarakat terasing. Pada Muktamar ke-41 Muhammadiyah di Solo pada 1985, dibentuklah Lembaga Dakwah Khusus (LDK). Kata “khusus” menggambarkan bahwa program dakwah yang diselenggarakan oleh LDK tertuju kepada segmen sosial tertentu, yaitu dakwah untuk daerah pedalaman dan suku-suku terasing. Namun, pada perjalanannya, dengan beberapa pertimbangan, LDK digabung ke dalam Majelis Tabligh sehingga nama majelis tersebut berubah menjadi Majelis Tabligh dan Dakwah Khusus (MTDK).

Perkembangan Sasaran Dakwah
Dalam paparan lebih perinci disebutkan, Muhammadiyah membagi sasaran dakwah ke dalam tiga bentuk, sasaran utama, sasaran umum, dan sasaran khusus. Sasaran utama adalah seluruh anggota persyarikatan Muhammadiyah dan sasaran umum adalah seluruh kaum muslimin dan muslimat. Sementara itu, sasaran khusus adalah kelompok masyarakat yang memiliki karakteristik khusus.

Dengan demikian, tugas LDK, yang tadinya hanya menangani dakwah di pedalaman, menjadi bertambah empat fokus garapan sehingga totalnya menjadi lima sasaran objek dakwah, yaitu (1) berdakwah pada komunitas kalangan atas, (2) komunitas kalangan bawah, (3) komunitas kalangan menengah, (4) komunitas dunia virtual, dan (5) dakwah untuk masyarakat pedalaman. Sehubungan dengan hal ini, maka penting kiranya adanya satu buku panduan agar tugas dakwah sebagaimana diamanahkan muktamar dapat berjalan dengan baik.

Kembali pada perbincangan tentang “dakwah khusus” ini. Kekhususan dakwah ini “berkat” keterpencilannya. Satu sisi, kekhususan ini mengundang instansi pemerintah secara khusus untuk mengalokasikan anggaran untuk bermacam-macam hajat, ada yang menjudulinya pemberdayaan, tunjangan kurang. Dahulu bahkan ada sebutan “tunjangan kemahalan”. Meski dikucuri banyak dana sampai kurun waktu yang lama, keterasingan, keterpencilan, dan keterisolasian seolah-olah masih lestari.

Barrier dakwah seolah terlalu kuat untuk disibak. Di antara wacana yang mengemuka di komunitas alumni HMI, isu “keterasingan”, termasuk di dalamnya keterpencilan dan keterisolasian, hadir di tengah-tengah perbincangan. Di antara koleksi buku di perpustakaan saya, ada buku tipis berjudul Masyarakat Terasing, diapit sebagai penjelas judul, Dakwah dan Pemberdayaan…Tanggung Jawab Siapa? Buku itu seolah hendak bertanya kepada pembacanya (buku ini terbit tahun 1997, cetakan pertama).

Dalam buku tipis itu, dilampirkan alamat dai dan mubalig Muhammadiyah. Menilik tahun terbitnya, saya yakin sebagian sudah berubah atau berganti. Dalam buku itu ada ilustrasi sejumlah foto menunjukkan sejumlah tempat di mana para dai dan mubalig itu berdakwah. Beberapa foto menyebutkan, Muhammadiyah pernah berdakwah di Desa Mambi (Sulawesi Selatan); Kampung Waesuhan, Pulau Buru (Maluku); Petta-Sangir, Talaud (Sulawesi Utara); Kupang (Nusa Tenggara Timur); Dolo, Sigi (Sulawesi Tengah), bahkan Baduy, Lebak (Jawa Barat), dan banyak tempat lainnya. Itu sudah lama terjadi, seperti disebut dalam buku ini, bermula tahun 1974. Kalau sekarang, tahun 2022, dengan tahun terbit buku itu, 1997, setidaknya 25 tahun lalu telah berlalu. Dakwah khusus dalam makna kekinian tampaknya masih diperlukan.

Muhammadiyah dikenal masyarakat dengan dakwah bilhal, aksi konkret mendakwahi umat. Terasa kehebatannya–tanpa pretensi dipuji–sampai ke kawasan dakwah yang “khusus”: terasing, terisolasi, bahkan terpinggirkan dari akses ekonomi dan zona nyaman manusia kebanyakan. Di satu sisi, sasaran dakwahnya bermukim di “zona tak nyaman” karena keterasingannya, keterisolasiannya, dan keterpinggirkannya dari kenyamanan. Di sisi lain, para dai dan mubalig itu insyaallah juga diganjar pahala luar biasa karena dakwah.

Maka, menarik pula dipikirkan dalam kondisi kekinian pun takkan luput dari amatan umum dan amatan langit melakukan dakwah khusus menjadi wasilah ke surga. Komunitas alumni HMI bisa mewujudkan apa yang telah dirintis sebagian aktivis dakwah–salah satunya yang diunggah kanda Nur Sangadji dan istri pada beberapa angle aktivitas dakwahnya. Apa yang disampaikan dalam istilah Prancis, noblesse oblige, yang makna harfiahnya “bangsawan mewajibkan” atau dalam pemaknaan bebasnya, siapa pun yang mengaku mulia harus berperilaku mulia. Seseorang bertindak dengan cara yang sesuai dengan posisi dan hak istimewa yang dengannya seseorang dilahirkan, dianugerahkan, dan/atau diperolehnya.

Para kader alumni HMI, yang menurut estimasi statistik jumlahnya tak kurang dari 13 juta se-Indonesia, ini lapisan intelektual bangsa, niscaya memanggul noblesse oblige sebagai hamba Allah yang mulia karena risalah yang dibawa Nabi Muhammad. Pelajaran dakwah, sebagaimana diperankan kader-kader dakwah, dai, dan mubalig Muhammadiyah, demikian terang benderang, bahwa Sulteng secara umum sudah menjadi ladang amaliah dengan kekayaan suku terasing di banyak tempat. Nawaitu mulia ini menjadi azzam yang didengar langit. Semoga ini juga dimaknai cara hebat berkontribusi untuk bangsa. Aku Indonesia, Aku berdakwah!

Rujukan: Tim Lembaga Dakwah Khusus PP Muhammadiyah. 2018. Panduan dan Strategi Dakwah Khusus. Jakarta: UHAMKA Press

Artikel “Dakwah Khusus” yang Membuat Kita Iri pertama kali tampil pada KAHMI Nasional.

]]>
8754
Hirau pada Kaum Pinggiran https://www.kahminasional.com/read/2022/05/13/8752/hirau-pada-kaum-pinggiran/ Fri, 13 May 2022 07:14:50 +0000 https://www.kahminasional.com/?p=8752 Oleh Iqbal Setyarso, Alumnus HMI Cabang Palu dan FISIP Universitas Tadulako Palu serta Penasihat Indonesia Care Ramadan baru usai, tinggallah kenangan manisnya: berinteraksi dengan Al-Qur’an. Saya menyimak buku lama yang pernah ditulis KH Ali Mustafa Ya’qub, Imam Besar Masjid Istiqlal Jakarta, Islam Masa Kini. Yang saya nukil di sini, bagian mengenai kritik Allah kepada Nabi […]

Artikel Hirau pada Kaum Pinggiran pertama kali tampil pada KAHMI Nasional.

]]>
Oleh Iqbal Setyarso, Alumnus HMI Cabang Palu dan FISIP Universitas Tadulako Palu serta Penasihat Indonesia Care

Ramadan baru usai, tinggallah kenangan manisnya: berinteraksi dengan Al-Qur’an. Saya menyimak buku lama yang pernah ditulis KH Ali Mustafa Ya’qub, Imam Besar Masjid Istiqlal Jakarta, Islam Masa Kini. Yang saya nukil di sini, bagian mengenai kritik Allah kepada Nabi Muhammad, sang Penyampai Risalah.

Pada suatu ketika diceritakan, Nabi Muhammad saw semasih berada di Makkah, mengajarkan agama Islam kepada sekelompok orang dari kalangan rakyat jelata. Mereka ini antara lain Khubab bin al-Arrit, Abdullah bin Ma’ud, Shuhaib al-Rumi, Ammar bin Yasir, Salman al-Farisi, dan Bilal al-Habsyi. Tiba-tiba datang tokoh-tokoh bangsawan Quraisy menghadap Nabi saw. Mereka adalah Al-Arqa bin Habis al-Tamimi dan Uyainah bin Hishn al-Fazari.

Kepada Nabi saw, mereka berkata, “Kami adalah orang-orang terhormat di kalangan suku kami. Apabila kami duduk dalam satu majelis dengan Anda, kami tidak ingin suku kami melihat kami duduk bersama orang-orang seperti Bilal, Shuhaib, dan kawan-kawannya. Oleh karena itu, suruhlah mereka itu pergi meninggalkan tempat ini”. Demikian pinta para pembesar Quraisy itu kepada Nabi saw.

Berharap tokoh-tokoh kaum musyrikin Quraisy itu mau mendengarkan ajaran Islam sehingga nantinya mereka mau masuk Islam, Nabi saw akhirnya menyetujui permintaan itu. Namun, orang-orang Quraisy itu memandang tinggi kaumnya sehingga mereka tidak menerima penyampaian lisan dari Nabi saw, mereka ingin ada pernyataan “hitam di atas putih” bahwa apabila orang-orang Quraisy itu duduk dalam majelis bersama Nabi, kelompok Bilal dan kawan-kawan harus pergi meninggalkan majelis itu.

Permintaan ini lagi-lagi disetujui Nabi saw. Beliau memanggil Ali bin Abi Thalib untuk menulis perjanjian diskriminatif itu. Maka, dengan hati-hati Ali bin Abi Thalib menulis butir-butir perjanjian yang didiktekan Nabi saw atas permintaan tokoh-tokoh Quraisy itu. Setelah rampung, lalu dibacakan kepada Nabi saw. Naskah perjanjian itu disimpan oleh Ali bin Abi Thalib.

Sementara, Bilal dan kawan-kawan yang sejak dari tadi mendengar pembicaraan orang-orang Quraisy dengan Nabi saw tanpa disuruh mereka meninggalkan Nabi saw dan pergi menjauh dari beliau, kemudian duduk di suatu sudut. Barangkali Bilal dan kawan-kawannya menyadari bahwa mereka adalah kelompok marginal (pinggiran), di mana mereka “tidak pantas” duduk berdampingan dengan kelompok Quraisy tadi.

Akan halnya dengan Ali bin Abi Thalib. Setelah beliau selesai menulis perjanjian itu, tiba-tiba Allah menurunkan Surat Al-An’am ayat 52, di mana Nabi saw dikritik atas perbuatan mengusir kelompok Bilal dan kawan-kawan.

Perjanjian diskriminatif ini yang dikritik Allah melalui ayat-ayat-Nya. Yang eksplisit, antara lain Surat Al-An’am ayat 52 yang kontennya memuat kritik atas perbuatan mengusir kelompok Bilal itu. “Dan Janganlah kamu usir orang-orang yang selalu menyembah Tuhannya pada pagi hari dan petang, sedangkan mereka menghendaki keridaan-Nya. Kamu tidak memikul sedikit pun tanggung jawab atas perbuatan mereka dan mereka tidak memikul sedikit pun tanggung jawab atas perbuatan kamu, di mana hal itu menyebabkan kamu [berhak] mengusir mereka. Apabila demikian, maka kamu termasuk orang-orang yang zalim.”

Setelah ayat ini turun, Nabi saw memanggil Ali bin Abi Thalib dan minta naskah perjanjian itu diberikan kepada beliau. Naskah itu kemudian beliau robek-robek dan dibuangnya. Kemudian, beliau menemui Bilal dan kawan-kawanya yang sedang memojok jauh dari beliau. Dengan perasaan menyesal atas perbuatan tadi, Nabi saw merangkul Bilal dan kawan-kawannya satu persatu.

Kritik Allah yang Eksplisit
Sikap diskriminatif ala pemuka Quraisy ini masyhur dalam pembahasan penyikapan Nabi saw terhadap orang lain yang dipandang “kelas pinggiran” bahkan eksplisit dalam Al-Qur’an. Dalil lainnya, Nabi pernah “pilih hormat” dengan pembesar Quraisy lainnya, antara lain Utbah bin Rabi’ah, Abu Jahl, Abbas bin Abd al-Muttalib, Ubay bin Khalaf, dan Umayyah bin Khalaf. Ini disebut eksplisit dalam Surat ‘Abasa ayat 1-2. “Dia (Muhammad) bermuka masam dan berpaling karena telah datang seorang buta kepadanya.”

Sikap Nabi sawlah yang menjadi sebab sehingga ayat ini turun, yaitu pilih hormat kepada pembesar Quraisy dan tidak memperhatikan bahkan bermuka masam ketika ditanya Abdullah bin Ummi Maktum dalam kesempatan yang berbeda. Hal yang tak kunjung direspons Nabi itu pertanyaan singkat, “Ajarilah aku tentang agama yang diturunkan Allah kepada Anda”. Sebegitunya Allah kritik Nabi saw dan masuk dalam Al-Qur’an bahkan disebut sebagai salah satu surat dalam Al-Qur’an (‘Abasa).

Sejak surat itu turun, Nabi saw selalu bersikap hormat kepada Abdullah bin Ummi Maktum. Nabi selalu menyambut dan menghormatinya. Beliau selalu berkata, “Selamat datang, wahai orang yang menyebabkan diriku dikritik Allah.”

Nabi saw secara nasab (silsilah) sejatinya bukan orang biasa. Beliau keturunan orang-orang terkemuka dalam kabilahnya. Toh, itu tidak menjadikan beliau diposisikan lebih tinggi daripada orang lain. Allah tetap mengkritisi Nabi saw atas kekhilafan sikapnya. Nash (dalil dari Al-Qur’an) lainnya disebut dalam Surat Al-Kahf ayat 28. “Dan bersabarlah kamu bersama-sama dengan orang-orang yang menyembah Allah pagi dan sore dengan mengharap rida-Nya. Janganlah kedua matamu berpaling dari mereka karena mengharapkan perhiasan dunia ini. Dan janganlah kamu mengikuti orang yang hatinya Kami lalaikan dari mengingat Kami serta menuruti hawa nafsunya, sementara keadaannya itu melewati batas.”

Orang-orang yang menyembah Allah pagi dan sore dengan mengharapkan rida-Nya itu orang-orang yang kebetulan kelompok kelas bawah, kelas pinggiran. Kelompok inilah yang mendominasi para pengikut para Nabi saw sejak nabi-nabi dahulu sampai Nabi Muhammad saw. Mereka orang-orang polos dalam menyembah dan mengabdi kepada Allah. Tidak ada motivasi apa pun bagi mereka kecuali hanyalah mengharap rida Allah. Dalam beberapa hadis yang diriwayatkan Imam Tirmidzi, kelompok orang-orang mukmin seperti itu akan memasuki surga 500 ratus tahun lebih dahulu daripada kelompok mukmin “kelas gedongan”.

Etik Dakwah
Sejumlah ayat, khususnya tentang kritik Allah yang eksplisit dimuat dalam Al-Qur’an berikut sebab-sebab yang melatarbelakangainya (asbab al-nuzul), menjadi dasar kode etik dakwah Islam, yaitu tidak melakukan diskriminasi sosial. Karena itu, seorang dai atau mubalig tidak boleh sama sekali memilih masyarakat yang hendak didakwahinya. Tidak boleh mendahulukan kelas gedongan dan elite, sementara kelas kampung yang becek ditinggalkan. Apalagi, jika kelas becek–terkadang telah disanggupi lebih dahulu–itu tiba-tiba dibatalkan karena ada permintaan dari kelompok elite.

Apabila ini dilakukan oleh dai atau mubalig, maka ia berhadapan dengan ayat-ayat tadi, di mana konsekuensinya adalah mendatangkan murka Allah meski boleh jadi di mata manusia hal itu kelihatan “hebat”.

Artikel Hirau pada Kaum Pinggiran pertama kali tampil pada KAHMI Nasional.

]]>
8752
K-Pay dan Kecerdasan Eksponensial https://www.kahminasional.com/read/2022/05/13/8750/k-pay-dan-kecerdasan-eksponensial/ Fri, 13 May 2022 06:55:16 +0000 https://www.kahminasional.com/?p=8750 Oleh Fathorrahman Fadli, Finance Director PT Insan Cita Mandiri Sejahtera Era digital menuntut setiap orang berpikir cerdas. Sebab era digital ditandai dengan kecepatan, akurasi, dan realtime. Dalam konteks itu, maka setiap produk digital hanya orang-orang cerdas dan berpikir jauh ke masa depan yang bisa menangkap secara utuh keberadaannya. Bagi mereka yang pikirannya pendek, malas, jumud, […]

Artikel K-Pay dan Kecerdasan Eksponensial pertama kali tampil pada KAHMI Nasional.

]]>
Oleh Fathorrahman Fadli, Finance Director PT Insan Cita Mandiri Sejahtera

Era digital menuntut setiap orang berpikir cerdas. Sebab era digital ditandai dengan kecepatan, akurasi, dan realtime. Dalam konteks itu, maka setiap produk digital hanya orang-orang cerdas dan berpikir jauh ke masa depan yang bisa menangkap secara utuh keberadaannya. Bagi mereka yang pikirannya pendek, malas, jumud, tidak suka membaca, miopia, lambat, old fashion, instan, politis, intrik, suka menyebar aura negatif kehadirannya akan dipandang dengan mata yang picik.

Dunia sudah berubah dengan sangat cepat, yang bergerak lambat akan dilipat oleh perubahan itu sendiri. Tidak bisa lagi kita menyalahkan orang lain ketika perubahan itu tidak lagi bersahabat dengan diri Anda. Perubahan membutuhkan kemampuan adaptasi yang unik. Jika keunikan itu tidak Anda miliki, maka perubahan itu tidak pernah akan bersahabat dengan diri Anda. Adaptasi itu bukan menjadi bunglon, tetapi sebuah kemampuan untuk melihat masa depan dengan prinsip-prinsip yang menjunjung tinggi kehormatan diri sebagai manusia.

Dunia bisnis nyaris seluruhnya akan terus memasuki era digital. Manusia-manusia klasik dan berbagai jenisnya akan terus terkubur dalam museum-museum tua yang membutuhkan perawatan yang mahal. Manusia-manusia old fashion ini sudah tidak laku lagi dalam pasar bisnis yang realtime seperti saat ini dan mendatang.

Cara-cara bisnis yang old fashion, culas, menguntungkan sepihak (penjual), terlalu tamak, mengurangi takaran, kualitas barang jelek, lambat, layanan yang buruk, harga yang tidak kompetitif, pengiriman lambat, birokratis alias tidak simpel akan menjadi fakta-fakta sejarah yang ditinggalkan.

Eksponensialitas K-Pay
K-Pay, kehadirannya didahului oleh ide-ide dan pikiran-pikiran cerdas di tengah keprihatinan melihat kondisi yang membelitnya. Oleh karena itu, keberadaannya harus dikawal dengan pikiran-pikiran dan cara-cara serta tata kelola manajerial yang cerdas pula. Gaya old fashion jelas tidak akan cocok dalam menyemai dan mengawal pertumbuhannya.

K-Pay sebagai model sekaligus proses bisnis memiliki gejala eksponensialitas yang luar biasa. Ia bisa bergerak cepat melebihi apa yang diprediksikan. Ia bisa tumbuh melesat secara unpredictable, tetapi juga punya potensi menciut seperti kue basah murah yang dijual di pasar tradisional karena kehujanan dan kepanasan. Mengapa? Karena K-Pay lahir di dalam ruang politik yang pekat.

Ruang politik tidak bisa dihindari, tetapi mesti adalah langkah yang tegas untuk membatasi ruang politik agar ruang bisnisnya menjadi tumbuh secara sehat. Ruang politik dalam derajat tertentu akan digunakan untuk mendorong pertumbuhan ruang bisnis dan ekonominya.

Kapan K-Pay melesat secara eksponensial? Lalu, kapan K-Pay itu menciut bak kue pasar tradisional? K-Pay akan melesat cepat jika dan hanya jika (if and only if) seluruh warga HMI dan KAHMI berikut keluarga mereka memiliki rasa nasionalisme yang tinggi. Apa yang dimaksud nasionalisme itu? Yaitu, kecerdasan tradisional untuk membela produk-produk bangsanya sendiri agar uang yang mereka belanjakan hanya akan berputar di lingkungan anak-anak bangsa kita sendiri.

Jiwanya, batinnya, keberpihakannya, sikap-sikapnya, pola pikirannya, tindak-tanduknya selalu diletakkan pada prinsip kemanfaatan bagi bangsanya sendiri. Bukan bersikap bodoh, dungu, menuruti lifestyle yang diciptakan oleh bangsa lain yang hanya ingin menjoroki mereka sebagai objek ekonomi, menjadi pasar besar yang bodoh.

K-Pay membutuhkan jiwa yang berpihak pada kepentingan umat dan bangsa. Sebagai produk anak-anak bangsa, maka ia harus menjadi prioritas untuk didukung, dibenahi, dibantu, disemai pertumbuhannya agar kehadirannya dapat mendorong lahirnya kemampuan eksponensial.

Kemampuan eksponensial itu adalah kuadrat pertumbuhan yang melesat dan sulit dicegah. Ia ibarat gugusan atom yang mampu membangun kesadaran umat dan bangsa akan pentingnya kemandirian ekonomi. Jika kemandirian ekonomi ini tumbuh di kalangan rumah tangga-rumah tangga umat, maka kemandirian ekonomi akan bergerak secara mekanis sekaligus hasilnya akan sangat dramatis. Mencengangkan, apa pun produknya.

Kesadaran membeli produk-produk sendiri dan kesediaan untuk melakukan inovasi adalah awal dari kemandirian ekonomi umat dan bangsa. Oleh karena itu, kita tidak bisa lagi mengeluh akan ketertinggalan tanpa usaha yang terencana dan berkesinambungan untuk mengubah nasib ekonomi umat yang masih terpuruk. Tetaplah optimis.

Artikel K-Pay dan Kecerdasan Eksponensial pertama kali tampil pada KAHMI Nasional.

]]>
8750
Narasi Kewiraan nan Menyemangati https://www.kahminasional.com/read/2022/05/12/8726/narasi-kewiraan-nan-menyemangati/ Wed, 11 May 2022 19:11:31 +0000 https://www.kahminasional.com/?p=8726 Oleh Iqbal Setyarso, Alumnus HMI Cabang Palu dan FISIP Universitas Tadulako Palu serta Penasihat Indonesia Care Yogyakarta memang sarat percikan kewiraan. Ada tiga narasi kewiraan negeri ini. Narasi pertama, peristiwa bertarikh 23 Juli 1947 atau bertepatan 17 Ramadan 1366, diceritakan ulama Yogyakarta tengah bermusyawarah sehabis salat Lail dan iktikaf, bermunajat kepada Allah Swt di Masjid […]

Artikel Narasi Kewiraan nan Menyemangati pertama kali tampil pada KAHMI Nasional.

]]>
Oleh Iqbal Setyarso, Alumnus HMI Cabang Palu dan FISIP Universitas Tadulako Palu serta Penasihat Indonesia Care

Yogyakarta memang sarat percikan kewiraan. Ada tiga narasi kewiraan negeri ini. Narasi pertama, peristiwa bertarikh 23 Juli 1947 atau bertepatan 17 Ramadan 1366, diceritakan ulama Yogyakarta tengah bermusyawarah sehabis salat Lail dan iktikaf, bermunajat kepada Allah Swt di Masjid Taqwa, Jalan Suronatan, Yogyakarta. Hasil pertemuan itu, ulama bertekad membentuk badan perjuangan dengan nama Markas Ulama Angkatan Perang Sabil (MUAPS), disebut ringkas Angkatan Perang Sabil.

Badan perjuangan ini bertujuan membantu pemerintah RI dalam menghadapi kesulitan menanggulangi musuh yang akan merobohkan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Para ulama itu mengutus Ki Bagus Hadi Kusuma, KH Mahfud Siraj, dan KH Ahmad Badawi untuk menyampaikan kebulatan tekad ulama Yogyakarta ke hadapan Sri Sultan Hamengku Buwana IX. Maksud kebulatan tekad itu disambut baik, yang kemudian Sri Sultan mengeluarkan keputusan persetujuan doa restunya sekaligus menghubungkannya dengan Panglima Besar Sudirman.

Narasi kedua, bertarikh 5 Februari 1947, bertepatan 14 Rabiualawal 1366. Atas prakarsa Lafran Pane bersama 14 kawannya mahasiswa Sekolah Tinggi Islam (yang kemudian menjadi Universitas Islam Indonesia/UII), berdiri organisasi mahasiswa. Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) adalah organisasi mahasiswa yang didirikan di Yogyakarta. Semangat pendiriannya dilandasi tujuan terbinanya insan akademis, pencipta, pengabdi yang bernapaskan Islam dan bertanggung jawab atas terwujudnya masyarakat adil makmur yang diridai Allah Swt.

HMI merupakan organisasi kemahasiswaan, perkaderan, dan perjuangan. Kekayaan HMI adalah gagasan dan intelektualitas kader-kadernya. “Kekayaan gagasannya menjadi intangible assets”, salah satunya ditunjukkan dengan kontribusi konkretnya dalam berpartisipasi di berbagai bidang kehidupan, termasuk partisipasi kader-kader terbaiknya di pemerintahan dan instansi. Sejumlah figur publik yang amat dikenal, termasuk beberapa tokoh yang telah tiada, menorehkan catatan emas dalam pengabdiannya bagi Indonesia dan dunia.

Narasi ketiga, Diponegoro–culture hero Tanah Jawa yang amat fenomenal. Namanya masyhur. Mujahid yang Sultan Ngabdul Hamid Sani Erucakra kabirul mukminin sayyidin panatagama Rasulillah sallallahu alaihi wasallam ing tanah Jawa. Orang alim nan salih ini memiliki orang kepercayaan, Sentot Ali Basya, juga seorang guru, Kiai Modjo. Dikitari orang-orang ikhlas, kewiraannya dilakoni hingga ajal menjemput. Pada kemudian hari, Diponegoro mengimami perang sabil (perang Jawa) yang menguras keuangan penjajah Belanda.

Di pihak Belanda, tentara pribumi maupun orang Belanda, tewas tidak kurang 15.000 jiwa, sementara di pihak orang Jawa syahid tidak kurang dari 200.000 jiwa. Jumlah dana yang dihabiskan mencapai 20.000.000 gulden, angka yang sangat besar pengabdian ketika itu. Kepada Diponegoro, konon rakyat Belgia–yang dulu dikuasai Belanda–berterima kasih karena secara tidak langsung Belgia merdeka dari Belanda gara-gara ekonomi Belanda morat-marit. Narasi kewiraan Diponegoro menjadi inspirasi berkelanjutan bahkan setelah Indonesia merdeka.

Urgensi Merawat Narasi
Merawat narasi sama sekali jauh dari tendensi unjuk kejemawaan diri. Satu sisi, dalam diri kita sebagai anak bangsa ada sepercik kewiraan, sebuah elan kejuangan dengan itu kita mewarnai kehidupan. Di sisi lainnya, ada semangat “menjadi” dan maujud kebaikan untuk sesama dengan itu kita memiliki makna. Kejuangan dan kebermaknaan menjadi alasan eksistensi kita dalam kehidupan. Pertanyaan substansial bermunculan, siapakah kita? Dari mana kita? Siapa pencipta kita? Ke mana kita akan kembali setelah kehidupan ini? Serangkaian pertanyaan itu diringkas Syaikh Yusuf Qaradhawi dengan tiga pertanyaan mendasar, dari mana saya? Mau ke mana saya? Kenapa saya diciptakan? Ketiga pertanyaan itu diuraikan demikian oleh fukaha.

Pertama, dari mana kita berasal? Pertanyaaan ini sangat bermasalah bagi kelompok materialisme yang tidak beriman kecuali pada hal-hal yang bisa dilihat dan diraba. Mereka tidak peduli panggilan fitrahnya. Mereka mengagung-agungkan akalnya yang pada akhirnya mereka dalam kebutaan yang mendalam sehingga mereka mengatakan, bahwa alam dan seisinya, yang penataannya penuh dengan keindahan, terjadi dengan sendirinya tanpa ada yang menciptakan.

Berbeda dengan mereka yang peduli dan memperhatikan panggilan suara fitrahnya. Mereka menegaskan, bahwa di balik keindahan alam dan seisinya ini ada Allah yang menciptakan, mengatur, dan menjaganya. Dan kepada Allah, hati nurani manusia berhubungan dengan penuh pengagungan, harapan, tawakal, dan pertolongan. Hal itulah yang mereka rasakan dalam hati nurani mereka dengan secara mendasar. Dan inilah agama Allah yang disinyalir dalam Al-Qur’an Surat Ar-Ruum sebagai berikut yang artinya, “Maka, hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama [Allah]; [tetaplah atas] fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah. [Itulah] agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.” (QS Ar-Ruum: 30)

Tak dapat dipungkiri bahwa panggilan fitrah itu berada dan berbisik dalam diri manusia baik dalam keadaan senang maupun susah. Buktinya, ketika ia mengalami suatu kejadian yang terus-menerus, takut kembali pada kejadian yang menakutkan dan harapannya dikecewakan oleh manusia sekitarnya, maka saat itulah panggilan suara fitrah itu menjerit-jerit, mengadu kepada Sang Pemilik Segala Alam.

Suatu ketika, ada seorang bertanya kepada Ja’far al-Shodiq RA tentang eksistensi Allah. Seorang itu mengakatakan, “Apakah kamu pernah mengendarai perahu?” Ja’far al-Shodiq RA menjawab, “Ya”. Kemudian, seorang itu bertanya lagi, “Apakah pernah terlintas dalam benak Anda, bagaimana andai kata perahu yang Anda tumpangi ini diserbu angin besar, kemudian terbalik, sementara pada saat itu tidak ada cara atau seseorang yang dapat menolongnya?” Dia menjawab, “Ya”. Terus, pertanyaan terakhir yang dilontarkan seorang itu adalah, “Apakah Anda merasa saat itu akan ada Zat yang dapat menolongmu jika ia berkehendak?” Dijawab oleh Ja’far al-shodiq RA, “Betul”. “Nah, itulah Allah,” cetus seorang itu.

Kenyataan di atas telah diperkuat oleh beberapa ayat Al-Qur’an, di antaranya adalah Surat Az-Zumar, yang artinya, “Dan apabila manusia itu ditimpa kemudaratan, dia memohon [pertolongan] kepada Tuhannya dengan kembali kepada-Nya.” (Az-Zumar: 8)

Kedua, mau ke mana manusia setelah mati? Pada pertanyaan yang kedua pun kelompok materialisme juga menyalahkan dan berusaha untuk menjawab dengan jawaban yang merendahkan dan membuat manusia hina. Dengan gampangnya mereka mengatakan, perjalanan manusia berakhir sesuai dengan akhir hidupnya. Dia akan kembali lagi ke asalnya menjadi debu yang berterbangan dibawa angin tanpa ada konsekuensi selanjutnya.

Bagi mereka yang beriman, mereka tahu akan kembali ke mana, mereka sadar bahwa mereka tidak diciptakan bukan untuk dunia, tetapi mereka mengerti betul jika dunia itu diciptakan untuknya. Dan lebih dari itu, sampai pada akhir pemahaman dan kesimpulan bahwa mereka diciptakan untuk kehidupan abadi (akhirat), sementara hidup di dunia ini cuma sebagai ladang persiapan untuk dijadikan bekal menuju ke sana, sampai akhirnya mereka menyandang kalung yang bertuliskan salamun alaikum, tibtum fadkhuluha kholidiina. (QS Az-Zumar: 73)

Sulit bagi akal yang kotor memercayai dan mengimani Sang Pencipta yang menciptakan alam ini dengan penuh penataan yang sangat indah sekali jika masih memercayai bahwa kehidupan ini akan berakhir dengan kefanaan. Jika masih mengimani bawa tak akan ada tangan Tuhan yang akan membalas orang-orang yang sukanya mencuri, merampok, mencopet, dan membuat kerusakan yang lainnya dan juga tak ditemukan pertolongan Allah bagi orang-orang yang lemah dan terzalimi. Hal ini adalah kesia-siaan dan mainan. Sementara, Allah jauh dan disucikan dari itu semua sesuai dengan firmannya yang artinya, “Apakah manusia mengira bahwa ia akan dibiarkan begitu saja [tanpa pertanggung jawaban]?” (QS. Qiyamah: 36). Dan banyak lagi ayat yang menyinggung tentang hal ini.

Ketiga, kenapa manusia itu diciptakan? Pertanyaan ketiga inilah yang wajib manusia tanyakan setelah ia tahu tentang dirinya sebagai karya cipta dari sang pencipta Allah Azza wa Jalla. Kenapa ia diciptakan ke dunia ini? Kenapa ia dibedakan dari jumlah karya cipta yang lainnya? Dan apakah misi dan fungsi saya didunia ini? Jawabannya adalah bahwa setiap Pencipta pasti tahu tentang rahasia ciptaan-Nya dengan bentuknya yang berbeda-beda. Sedangkan Allah adalah satu-satunya Zat yang menciptakan, mengatur, dan menjaga manusia.

Kemudian, coba kita tanyakan, Ya, Allah, kenapa engkau menciptakan manusia? Apakah engkau menciptakannya untuk makan dan minum saja? Apakah engkau menciptakan-Nya hanya menjadi hiasan saja? Dan beberapa pertanyaan yang lainnya. Dengan halusnya Allah membantah semua pertanyaan itu dengan ayat yang artinya, “Ingatlah, ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat, ‘Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi’, mereka berkata, ‘Mengapa Engkau hendak menjadikan khalifah di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan menyucikan Engkau?’ Tuhan berfirman, ‘Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang kamu tidak ketahui.'” (SQ. Al-Baqarah: 30)

Ayat di atas sudah sangat jelas mengatakan, bahwa peranan, misi, dan fungsi manusia di dunia ini adalah sebagai khalifah yang ditugas langsung oleh Allah Azza wa Jalla. Namun, hal pertama yang perlu diperhatikan dengan tajam oleh manusia sebagai khalifah adalah mengetahui Tuhannya dan beribadah kepada-Nya dengan sungguh-sungguh dan benar karena hal itu merupakan panggilan awal dari setiap risalah kenabian yang dikuatkan oleh firmannya yang artinya, “Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku. Aku tidak menghendaki rezeki sedikitpun dari mereka dan Aku tidak menghendaki supaya mereka memberi Aku makan.” (QS. Adz Dzariyat: 56).

Jiwai Sejarah, Hikmati Anugerah-Nya
Kita syukuri Allah menganugarahkan memori, baik yang tertulis, terdata rapi pada zaman serba digital ini, atau “memori yang kita rekam dalam ingatan”. Semua kita jiwai, kita hikmati sebagai pemberian-Nya, anugerah-Nya agar kita menjadikannya pembelajaran, bukan sekadar sebagai bahan belajar tanpa efek keinsafan dan kesungguhan menyerapnya. Kalau itu sudah mengefek pada diri kita, insyaallah kita menuju proses menjadi hamba-Nya yang beruntung.

Artikel ini ingin mengajak diri kita, termasuk pribadi saya, menjiwai dan menghikmati, setidaknya bertolak dari tiga narasi kewiraan yang saya sampaikan ini: tentang HMI dan sekelumit kelahirannya, tentang Angkatan Perang Sabil, dan tentang mujahid besar bernama Diponegoro. Lokus ketiganya di Yogyakarta.

Kita bersama menanti, apakah narasi keempat itu lokusnya Palu? Kitalah penentunya, akan bagaimana kiprah kita sehingga Munas XI KAHMI nanti akan menorehkan sejarah atau hanya menjadi sejarah (saja)!

Artikel Narasi Kewiraan nan Menyemangati pertama kali tampil pada KAHMI Nasional.

]]>
8726