in

Ramadan sebagai bulan transformasi (3)

Shamsi Ali, Direktur Jamaica Muslim Center New York. Istimewa

Oleh Shamsi Ali, Direktur Jamaica Muslim Center New York

Semua amalan ritual yang ada di bulan Ramadan (puasa, tarawih, tilawah, ragam tasbih, dan zikir) harusnya mengantar pada situasi kehidupan sosial yang lebih baik. Perubahan itulah yang kita maksud dengan transformasi atau perubahan mendasar (foundational change).

Tiga hal mendasar telah disampaikan terdahulu. Perubahan kualitas iman dari iman yang bersifat pasif menjadi iman yang berkarakter aktif. Juga bahwa Ramadan hendaknya menjadi momentum terbaik untuk melakukan transformasi hati dan jiwa. Hati dan keadaan kejiwaan (mental state) inilah yang kemudian menentukan terjadinya transformasi yang ketiga, yaitu pentingnya membangun akhlak karimah atau perilaku yang baik (mulia).

Keempat, Ramadan harus menjadi bulan untuk merekatkan kembali hubungan kekeluargaan. Berbicara tentang keluarga, ini tentu yang paling esensial adalah unit keluarga terkecil. Biasanya di Amerika disebut dengan immediate family members. Jika di Amerika, mereka ini bisa disponsori izin tinggal, misalnya. Pasangan suami-isteri atau orang tua-anak, merekalah yang masuk ke dalam kategori ini.

Baca Juga :  Ruang Ekonomi KAHMI

Makna transformasi keluarga di bulan Ramadan adalah mencoba merajut kembali relasi kekeluargaan yang rentang tercabik-cabik karena banyak faktor. Salah satunya adalah kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek), khususnya di bidang telekomunikasi dan informasi.

Kita sadar bahwa kemajuan iptek tidak selamanya bersahabat dengan aspek kemanusiaan kita. Sebaliknya, boleh saja membawa pada hal-hal yang tidak dikehendaki (undesirable).

Kemajuan alat komunikasi, khususnya media sosial, benar-benar menjadikan dunia kita terdisrupsi (mengalami gangguan) secara mendasar. Tidak saja terlupakan, seringkali nilai-nilai kemanusiaan (human values) itu, yang seharusnya menjadi pegangan kehidupan manusia, tergantikan oleh inovasi keilmuan dan teknologi.

Salah satu nilai yang terabaikan dengan kemajuan alat komunikasi (means of telecommunications) adalah kerekatan relasi antaranggota keluarga. Di sini terjadi fenomena paradoks. Asumsinya, alat-alat komunikasi menjadikan komunikasi antarmanusia, khususnya keluarga, menjadi lebih dekat. Namun, yang terjadi justru sebaliknya: kerenggangan dan seringkali miskomunikasi antarmanusia, termasuk antaranggota keluarga.

Renggangnya komunikasi dan miskomunikasi yang terjadi ini menjadikan satu nilai mengecil bahkan terasa hilang. Nilai itu dikenal dalam agama dengan silaturrahim (hubungan rahim). Rahim yang dimaksudkan pada kata itu adalah karakter relasi yang penuh kasih sayang (rahmah). Dengan kemajuan iptek, khususnya di bidang telekomunikasi, menjadikan relasi antarmanusia, termasuk keluarga, kehilangan nilai rahmah.

Saya melihat bahwa cara komunikasi kita dalam dunia saat ini sangat berbeda bahkan sangat jauh dari nilai-nilai komunikasi masa lalu. Ambillah contoh bagaimana momen-momen koneksi kekeluargaan itu begitu kental di masa lalu melalui santapan makanan bersama: orang tua dan anak, suami-istri, bahkan keluarga jauh. Sesuatu yang sederhana, tetapi sangat bermakna dalam mengekspresikan relasi antaranggota keluarga.

Baca Juga :  Hirau pada Kaum Pinggiran

Situasi itu kini telah minim bahkan tergantikan. Suami dan istri masing-masing sibuk dengan dirinya dan alat komunikasinya. Orang tua dan anak juga demikian. Masing-masing sangat tergantung pada alat komunikasi yang ada di tangannya. Akibatnya, tidak saja terjadi gap komunikasi, tetapi nilai relasi rahim menjadi minim dan gersang. Hubungan antaranggota keluarga pun semakin gersang dan renggang.

Di sinilah Ramadan hadir untuk memungkinkan terjadinya transformasi itu. Ambillah satu bentuk amalan yang dijadikan kembali sebagai tradisi: makan di satu meja bersama seluruh anggota keluarga di waktu sahur. Kemudian, dilanjutkan dengan salat Subuh berjamaah bersama di masjid atau di rumah jika masjid memang jauh. Tradisi ini akan dengan sendirinya merekatkan kembali relasi kekeluargaan.

Baca Juga :  Merindukan Imamul Mujahidin

Sekiranya waktu dan kesempatan itu ada, hendaknya di rumah-rumah keluarga muslim ada halakah keluarga selama Ramadan. Di halakah ini masing-masing anggota keluarga berkesempatan mengomunikasikan isi hati dan kepala. Di sini akan terjadi silatul fikr (menyambung ide dan pikiran) selain silaturahmi.

Sesungguhnya pembiasaan makan bersama dengan anggota keluarga akan membawa dampak positif untuk terbangunnya komunikasi positif bagi anggota keluarga, sesuatu yang telah terdisrupsi secara mendasar dengan kemajuan iptek selama ini. Sekali lagi, Ramadan menjadi momen yang tepat untuk mereparasi itu kembali. Semoga. (Bersambung)

Sumber :

Fatah S

Berkarier di industri media sejak 2010 dan menjadi penulis buku.