in

Ramadan sebagai bulan transformasi (2)

Direktur Jamaica Muslim Center New York, Shamsi Ali. Istimewa

Oleh Shamsi Ali, Direktur Jamaica Muslim Center New York

Transformasi hati dan jiwa atau tazkiyah an-nafs (pembersihan jiwa) menjadi fondasi bagi terjadinya transformasi dalam kehidupan manusia, baik tataran personal (fardi), keluarga, maupun komunitas (umat). Tanpa hati dan jiwa yang bersih, semua sisi kehidupan menjadi buruk dan amburadul.

Sekali lagi, itulah makna dari titah baginda Nabi. “Pada tubuh manusia ada segumpal darah yang jika baik, akan baik semua anggota tubuhnya. Namun, jika buruk, maka akan buruk semua anggota tubuhnya.”

Ketiga, urgensi menjadikan Ramadan sebagai bulan transformasi akhlak: setiap orang yang melakukan puasa tidak saja untuk tujuan ritual dengan perhitungan pahala, tetapi sekaligus melakukan “pelatihan” akhlak yang mulia.

Secara legal (fiqh), puasa seolah sekadar menahan makan, minum, dan hubungan suami istri. Namun, hakikatnya puasa adalah latihan, terutama menahan diri dari segala perilaku yang tidak sesuai etika. Etika itu esensinya ada pada hakikat. Karenanya, fikih tanpa akhlak adalah hambar, sebagaimana hukum tanpa etika hilang nilai (value).

Baca Juga :  ​Merayakan Kemurungan Hidup Bersama Filsafat

Dengan menahan diri dari kesenangan dunia di siang hari, seseorang harusnya mampu mengingatkan diri bahwa di atas dari eksistensi fisik (material) ini ada nilai yang lebih tinggi. Hal ini akan mengingatkan pentingnya menjaga nilai itu. Kejujuran, ketawaduan, dan semua perilaku kebaikan (kindness) bagian dari nilai yang terangkum dalam tatanan akhlak manusia. Sebaliknya, keculasan, kecurangan, arogansi, ketamakan, dan kekikiran adalah nilai buruk yang melanggar tatanan perilaku mulia (akhlak karimah).

Sesungguhnya akhlak dalam tatanan ajaran agama (Islam) menjadi intisarinya (essence). Beragama tanpa akhlak bagaikan pohon yang tak berbuah (kasyajar bilaa tsamar). Akhlaklah yang menjadi cerminan dari nilai-nilai keimanan dan ubudiah. Dan karenanya, iman tanpa akhlak dipertanyakan, sebagaimana ibadah-ibadah ritual tanpa akhlak menjadi hampa.

Hadis-hadis Rasulullah saw banyak mengingatkan pentingnya nilai ibadah-ibadah teraplikasikan dalam bentuk perilaku yang baik. Puasa, misalnya, terancam hampa ketika seseorang menahan makan dan minum, tetapi tidak menjaga perkataan dan perbuatannya. Puasa yang seperti ini hanya akan menghasilkan lapar dan dahaga semata.

Baca Juga :  Ugal-ugalan Ibu Kota Baru

Sedemikian pentingnya akhlak karimah itu sehingga Rasulullah seolah menyimpulkan misi kerasulannya (dakwah) dengan “akhlak karimah“. Sebagaimana beliau tegaskan, “Sesungguhnya saya diutus untuk menyempurnakan kemuliaan akhlak“. Beliau bahkan menggariskan bahwa faktor terbesar seseorang masuk surga karena akhlak yang baik (husnul khuluq). Sebaliknya, seseorang yang buruk akhlak, walau ibadah ritualnya banyak, akan bangkrut dan akhirnya masuk neraka.” (hadis al-muflis).

Rasulullah saw sendiri, dengan segala ketinggian iman dan ibadah-ibadahnya, justru secara khusus terpuji dalam Al-Qur’an bukan dengan semua itu. Justru Allah memujinya karena kemuliaan akhlak beliau. “Sesungguhnya engkau memiliki akhlak yang tinggi (khuluqin ‘adzim).”

Akhlak karimah atau karakter mulia ini menjadi titik sentra (pusat) ketauladan baginda Rasulullah yang wajib diteladani. “Sungguh bagi kalian pada Rasulullah ada uswah hasanah (keteladanan yang baik).”

Baca Juga :  Kerasnya Bang Harry adalah Kelembutan

Sayangnya, umat Islam sering kali membatasi diri dalam meneladani Rasulullah pada aspek-aspek ubudiah semata. Salat, puasa, haji, dan ragam ritual menjadi perhatian besar. Namun, keteladanan karakter dan perilaku sosial Rasulullah terabaikan. Di masjid-masjid, salat berjemaah menjadi ramai, tetapi di samping-samping masjid banyak saudara-saudara yang kelaparan tanpa ada uluran tangan, hal yang sejatinya terancam sebagai “kedustaan dalam beragam” (al-ma’un).

Di bulan Ramadan, umat mampu menahan diri dari makan dan minum. Namun, lidah, mata, telinga, dan pikiran melanggar semua norma dan etika yang digariskan Islam. Umat Islam mampu menahan diri untuk tidak makan dan minum, tetapi jiwa dan pikiran masih dikuasai oleh kerakusan duniawi. Termasuk kerakusan pada kekuasaan melalui berbagai pengangkangan peraturan dan etika.

Semoga di bulan Ramadan ini kita mampu melakukan pembenahan akhlak dan karakter ke arah yang lebih baik. Amin. (Bersambung)

Sumber :

Fatah S

Berkarier di industri media sejak 2010 dan menjadi penulis buku.