in

Anies dan Politik Identitas

Ketua Bidang Agama dan Ideologi MN KAHMI 2017-2022, Moksen Idris Sirfefa. Dokumentasi pribadi
Ketua Bidang Agama dan Ideologi MN KAHMI 2017-2022, Moksen Idris Sirfefa. Dokumentasi pribadi

Oleh Moksen Idris Sirfefa, Ketua Bidang Agama dan Ideologi MN KAHMI 2017-2022

 

Identity is people’s source of meaning and experience – Manuel Castells

Empat hari pasca-pencapresan oleh Partai NasDem, Anies Rasyid Baswedan menghadiri undangan pernikahan anak Habib Rizieq Syihab (HRS) sekaligus peringatan Maulid Nabi saw di Petamburan, Jakarta. Lawan politik ramai-ramai ngetwit wacana politik identitas. Niluh Djelantik, Ketua Departemen Bidang UMKM Partai NasDem, langsung menyatakan diri keluar dari kepengurusan partai besutan Surya Paloh itu. Salah satu petinggi Partai Demokrat, partai potensial koalisi NasDem, juga mewanti-wanti agar Anies tidak membawa-bawa politik identitas.

Para buzzer optimistis bahwa jualan isu politik identitas cukup efektif untuk menjatuhkan citra Anies karena isu Formula E gagal digoreng. Mengapa politik identitas dipakai untuk melawan Anies? Karena di pemahaman mereka, politik identitas identik dengan diskriminasi rasial, intoleran, radikal, ekstrem, dan–lebih celaka lagi–merupakan identitas politik Islam. Dalam framing kelompok ini, politik identitas mengerikan dan berbahaya. Politik identitas harus dilawan karena bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945. Wacana politik identitas dibangun mereka dengan tujuan memunculkan trauma dan ketakutan politik (political fear) bagi para followers dan vooters Anies, yang mayoritas kelas menengah kota.

 

Politik Identitas: Kesamaan dan Perbedaan

Pada masa lalu, politik identitas disebut politik aliran Islam dan nasionalis sekuler. Sejauh ini, definisi tentang politik identitas belum ditemukan di dalam kepustakaan ilmu politik. Yang ditemukan hanya pengertian politik dan pengertian identitas. Tulisan ini tidak mengulas arti politik melainkan arti identitas karena kata itu yang menjadi momok akhir-akhir ini. Justru politisi yang gamang terhadap politik identitas adalah ahistoris.

Identitas adalah sumber makna (jati diri) dan pengalaman seseorang, (identity is people’s source of meaning and experience), tulis sosiolog Spanyol, Manuel Castells. Menurut Castells (2010), identitas terbagi dalam tiga kategori: identitas legitimasi, identitas resistensi, dan identitas proyek. Identitas legitimasi dikenalkan institusi paling dominan di dalam masyarakat, dalam hal ini kita sebut pemerintah. Nama, tempat tanggal lahir, jenis kelamin, alamat, agama, golongan darah–di dalam KTP dan Kartu Keluarga–yang secara tersirat juga menerangkan etnisitas seseorang.

Identitas resistensi adalah identitas yang terbentuk karena adanya resistensi atau perlawanan terhadap logika kelompok dominan. Identitas proyek diperoleh akibat kontruksi identitas, misalnya pengangkatan dan pemberian gelar adat kepada figur tertentu dari luar komunitas adat bersangkutan.

Jika mengikuti Castells, yang ditakutkan sebagian orang tentang kebangkitan politik identitas adalah identitas legitimasi atau identitas yang melekat dengan diri seseorang berupa nama, keluarga, asal-usul, agama, etnis, lingkungan pergaulan, budaya, dan sebagainya. Bagaimana bisa semua itu ditanggalkan dan seseorang menjadi bukan manusia (unidentified being)? Kauffman (1990) mendefinisikan politik identitas sebagai politik budaya yang mengekspresikan “keyakinan tentang identitas itu sendiri (the belief that identity itself)”. Politik identitas memolitisasi bidang kehidupan yang sebelumnya tidak didefinisikan sebagai politik, termasuk seksualitas, interpersonal, hubungan, gaya hidup, busana, demontrasi buruh, termasuk tren minum kopi. Masing-masing daerah menunjukkan identitasnya; kopi papua, kopi aceh, kopi toraja, dan seterusnya.

Menurut Fukuyama (2018), sebagian besar perjuangan politik dunia kontemporer diwarnai dengan politik identitas, dari berbagai revolusi demokratis hingga gerakan sosial baru; dari nasionalisme dan Islamisme hingga politik identitas diangkat oleh kelompok kiri (the left) dan kelompok kanan (the right) di negara-negara demokrasi-liberal. Kaum kiri lebih menekankan isu-isu kesetaraan dan keadilan, sedangkan kaum kanan lebih menuntut kebebasan yang lebih luas dalam semua lini kehidupan.

Di Amerika Serikat, praktik politik identitas diawali Marthin Luther King Jr, seorang pendeta Baptis di Atlanta Georgia. Dia menuntut hak-hak kesetaraan sipil pada tahun 1954 dan menjadi martir bagi kaum kulit hitam Amerika saat berpidato di Memphis, Tennessee, 4 April 1968.  Selain itu, ada juga gerakan politik Islam yang digagas oleh Louis Farakhan dengan gerakan The Nation of Islam-nya, yang menuntut kesetaraan hak-hak muslim negro Amerika. Namun, gerakan ini kemudian melunak setelah terjadi kesepahaman antara Farakhan dan Wareeth Dien Muhammad, mantan pesaingnya, untuk bersepakat menyatukan diri dalam arus besar masyarakat Amerika yang plural dan heterogen.

Baca Juga :  Kepemimpinan Rusia Memenuhi Naskah yang Ditulis Ribuan Tahun Lalu

Juga masyarakat Amerika di Queebeck yang berbudaya dan berbahasa Prancis, yang ingin memisahkan diri dari Kanada yang berbahasa Inggris. Juga sebagian orang Papua berbahasa Indonesia, tetapi memandang ras mereka Melanesia sehingga ingin memisahkan diri dari Indonesia yang ras Melayu. Padahal, Maluku dan Nusa Tenggara yang ras Melanesia tetapi merasa nyaman menjadi bagian dari Indonesia. Nasionalisme sendiri kumpulan identitas kultural, etnis, bahasa, agama, menyatu dalam kesamaan padangan untuk hidup bersama. Dayak dan Papua “berbeda”, tetapi “sama” dalam kehidupan berbangsa dan bernegara Indonesia.

Jika seseorang secara etnis adalah Papua, maka identitasnya Papua. Jika seseorang berasal dari Hadhrami, maka identitasnya Arab. Identitas dapat dipahami sebagai ciri-ciri fisik atau kualitas yang membuat seseorang atau sekelompok orang yang membuat mereka berbeda atau unik dari yang lain (make them different or unique from others). Namun, identitas juga adalah kondisi atau fakta yang menjadikan sekelompok orang sama (being the same) atau memiliki kesamaan (sameness).

Orang Papua dan Dayak secara fisik berbeda, tetapi memiliki kesamaan sebagai WNI, maka Indonesia menjadi identitas dari orang Papua dan orang Dayak. Atau orang China, Arab, dan peranakan Eropa yang lahir dan besar di Indonesia secara etnik berbeda, tetapi memiliki ketergantungan ideologis, psikologis, dan sosilogis dengan Indonesia dan mereka mengaku sebagai orang Indonesia. Hal yang sama terjadi di belahan dunia yang lain, seperti di Amerika dan Eropa.

Politik identitas adalah aktivitas politik yang berbasis identitas atau menggunakan identitas dalam keterlibatan politik atau sebaliknya, memperjuangkan kepentingan dan kebaikan identitas melalui sarana politik. Politik identitas yang ekstrem dihubungkan dengan penindasan, kekerasan yang memicu keinginan untuk melepaskan diri (self-determination). Tuntutan untuk persamaan hak-hak kewarganegaraan, seperti di masyarakat Aborigin, kaum perempuan, dan kaum LGBT termasuk kategori ini.

Dalam makna yang positif, politik identitas adalah bagaimana seseorang atau anggota kelompok mengartikulasikan secara eksplisit kalibrasi kesamaan dan perbedaan itu dalam satu hubungan soliditas yang dikecualikan (relations of exclusion) sehingga dapat menyatukan kelompok mana pun. Misalnya, identitas sebagai perbedaan (identity as differences) jika diarahkan keluar (eksternal) dan sebagai kesamaan (identity as sameness) jika ditujukan ke dalam (internal). Jadi, politik identitas adalah gagasan tentang kesamaan dan perbedaan. Apa yang dilakoni Anies lebih menekankan pada ekspresi kesamaan (sameness) dan perbedaan (differences). Jadi, salah jika politik identitas dikembangkan seolah-olah bentuk eksklusivisme politik.

Perbedaan adalah takdir alam (sunnatullah) dan memperkenalkan diri sendiri atau kelompok kepada pihak lain adalah tabiat kemanusiaan sebagai makhluk sosial. Tuhan menciptakan manusia dari seorang lelaki dan perempuan, kemudian berkembang menjadi suku bangsa untuk saling memperkenalkan diri (lita’ârafû) dalam rangka taat kepada-Nya (al-Hujurat: 13). Giddens (1996) menyebutkan, dorongan kepada aktualisasi diri berdasarkan kepercayaan dasar, yang dalam konteks personal hanya dapat dilakukan dengan “membuka” diri terhadap orang lain (a mutual process of self-disclosure). Tanpa pengenalan, identitas tidak dapat dinamakan identitas. Maka, hati-hati “memusuhi” (politik) identitas karena hal itu berarti Anda memusuhi diri Anda sendiri. Tuhan sendiri pun ingin dikenali sehingga Dia menciptakan manusia untuk mengenal-Nya (kuntu kanzan makhfiyyan fa-ahbabtu ‘an u’rafa fa khalaqtu al-khalqa li-kay u’rafa), demikian firman Tuhan dalam sebuah hadis Qudsi.

Baca Juga :  Smart Syariah di Munas XI KAHMI

Pada tahap ini, identitas pribadi seorang figur di dalam suatu kelompok politik berperan mewarnai dinamika kelompok politiknya melalui pencitraan pribadi. Itu sebabnya, di dalam kajian-kajian tentang modernitas, identitas dihubungkan dengan teori tentang diri (the self) dan interpretasi diri terhadap dirinya sendiri (self’s interpretation of itself) yang oleh banyak ahli dibedakan dalam dua kategori, yaitu identitas individu (how a person is) dan identitas kelompok (how a person are).

 

Identitas Anies

Politik identitas adalah produk sejarah bangsa Indonesia. Sejak zaman pergerakan Indonesia, politik identitas menjadi satu-satunya pilihan untuk membebaskan bangsa Indonesia dari kolonialisme dan imperialisme. Mulai dari zaman Budi Utomo 1908, Wahidin Sudirohusodo, Sutomo, dan Soeradji adalah nama-nama priyayi kelas menengah Jawa yang berpendidikan modern dan berprofesi dokter.  Kemudian, era 1928 ditandai dengan Sumpah Pemuda, di mana kelas menengah pelajar dan pemuda menyuarakan identitas kedaerahan dan kelompok sosialnya. Memasuki era kemerdekaan, kelompok-kelompok kelas menengah Indonesia membentuk partai-partai politik yang berhaluan primordialis, sosialis, komunis, dan Islamis. Memasuki era kemerdekaan 1945 dengan adanya BPUPKI, representasi identitas muncul di 9 anggotanya. Politik identitas itu tergambar dari 155 anggota yang duduk di Majelis Konstituante dan puncaknya adalah identitas Islam dan nasionalisme.

Pada era Demokrasi Terpimpin (1956), Soekarno menggagas identitas nasionalisme, agama, dan komunisme (Nasakom) sebagai antitesis demokrasi parlementer yang banyak konflik. Bahkan, jauh sebelumnya pada tahun 1927 (setahun sebelum Sumpah Pemuda), Soekarno telah mengumandangkan politik identitas lewat artikel yang dimuat di Indonesia Moeda, sebuah publikasi terbitan Klub Studi Umum (Algemeene Studie Club/ASC), kelompok diskusi yang dia dan teman-temannya bentuk sewaktu kuliah di Bandung. Dalam artikel itu, Soekarno mendesakkan pentingnya sebuah persatuan nasional kaum nasionalis, islamis, dan Marxis dalam perlawanan tanpa kompromi (nonkooperatif) terhadap Belanda.

Memasuki Indonesia modern, partai-partai politik zaman Orde Baru hingga orde reformasi menggunakan atribut keagamaan dan jargon-jargon nasionalisme sebagai identitas. Megawati Soekarnoputri dan kini diikuti anaknya Puan Maharani di spanduk dan baliho tertulis kata “Merdeka” dengan kepalan tangan dan gambar Soekarno di belakangnya. Itulah politik identitas sebagai pelanjut Soekarnoisme. Pasca-Orde Baru, sinetron-sinetron islami mewarnai layar televisi Indonesia. Oleh Ariel Heryanto (2018), budaya pasca-Islamisme ini digandrungi banyak orang, lalu kaum perempuan mengganti tren berbusana muslimnya mengikuti budaya layar ini, tetapi perusahaan-perusahaan televisi itu tidak dituduh melakukan politik identitas.

Politik identitas pada masa Soekarno berbeda pemaknaannya dengan politik identitas yang berkembang di masa Jokowi. Gerakaan sosial 212–yang diklaim berhasil memenangkan Anies sebagai Gubernur DKI mengalahkan Ahok–dinilai sebagai politik identitas. Juga ketika alumni gerakan 212 menyatakan dukungan kepada Prabowo-Sandiaga Uno dalam Pilpres 2019 dicap sebagai politik identitas. Sementara itu, kalau perkumpulan orang Batak dan orang Manado mendukung pasangan capres Jokowi-Ma’ruf Amin tidak dianggap politik identitas. Politik identitas adalah persamaan dan perbedaan, mengapa harus takut?

Mari kita memahami sejarah politik kebangsaan para the founding fathers bangsa Indonesia. Siapa yang tidak mengenal H.O.S. Tjokroaminoto, pendiri Syarikat Islam (selanjutnya menjadi Sarekat Dagang Islam) dan seorang guru? Dia adalah seorang sosialis muslim, yang darinya Soekarno, Semaun, Kartosuwiryo, Alimin, Muso, dan Tan Malaka belajar tentang nasionalisme Indonesia. Siapa yang tidak mengenal Mr. Kasman Singodimedjo, yang pernah menjabat Jaksa Agung dan Ketua Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP), adalah anggota aktif Muhammadiyah dan mantan Sekjen Partai Islam Masyumi? Siapa yang tidak mengenal Mohammad Natsir, seorang ulama, politikus, dan pejuang? Dia merupakan pendiri dan pemimpin partai Islam Masyumi dan pernah menjabat Menteri dan Perdana Menteri, sebagai Presiden Liga Muslim Dunia (World Muslim League), dan Ketua Dewan Masjid Dunia (World Mosque Council). Siapa yang tidak mengenal Alexander Andrias Maramis, orang Manado Kristen yang menjadi salah satu anggota Panitia 9 (dari 67 anggota BPUPKI) yang merumuskan Piagam Jakarta pada 22 Juni 1945? Dia juga aktif di KNIP dan menjadi Menteri Keuangan dan Duta Besar Indonesia di Finlandia.

Baca Juga :  Aktivis Profesional dan Aktivis Magang

Identitas para pemimpin bangsa itu tidak seperti yang dipahami sebagian aktivis politik bahkan media sosial, terutama para buzzer yang pragmatis dan ahistoris. Pemahaman tentang politik identitas yang miopik membuat mereka bertindak memalukan. Contoh, dalam suatu acara resmi Partai Solidaritas Indonesia (PSI), Ketua Umumnya, Grace Natalie, berpidato berapi-api menolak Perda Syariah. Namun, dalam kesempatan yang lain, dia menolak praktik poligami, yang merupakan gerakan politik identitas kaum feminis di negara-negara Barat.

Kunjungan Anies ke tokoh politik dan tokoh civil society mesti dipandang sebagai kekerabatan (kinship) dan pertemanan (friendship) sebagai pemimpin di ibu kota Jakarta. Anies ingin membangun aliansi jangka panjang dalam menghadapi kontestasi politik pada tahun 2024 dan itu wajar saja. Anies besar di Yogyakarta dan baru memasuki arena politik Indonesia 10 tahun terakhir, makanya harus menjalin kekerabatan dengan siapa saja. Jika kekerabatan didasarkan pada interrelasional seksual, sedarah, sekampung, sedaerah, maka secara tidak langsung mereka saling mengenal identitasnya masing-masing. Sebaliknya, kalau pertemanan karena bukan keluarga atau sekampung, maka yang dibutuhkan adalah kejujuran (sincerity) dan bagaimana menjaga martabat (honour) di antara mereka. Hubungan Anies dengan HRS, dengan Paloh, dengan AHY, dengan Prabowo, dengan Jokowi, dan dengan siapa pun harus dikontekskan dalam dua kerangka intensi hubungan politik personal tersebut.

Dari aspek nasionalisme, Anies adalah cucu dari A.R. Baswedan, tokoh pejuang dan karib A.A. Maramis di KNIP. A.R. Baswedan adalah keturunan Arab Hadhrami yang karier politiknya cemerlang.  Pada masa mudanya tahun 1928, dia memobilisasi para pemuda keturunan Arab di Semarang memperjuangkan nasionalisme Indonesia. Dia kemudian menjabat Ketua Persatuan Arab Indonesia (PAI) yang kemudian menjadi Partai Arab Indonesia (PAI). Dia seorang pejuang kemerdekaan, diplomat, mubalig, dan jurnalis. Tulisan-tulisannya di terbitan bulanan Aliran Baroe menjadi corong PAI dalam memompa semangat nasionalisme Indonesia.

Selain di PAI dan KNIP, A.R. Baswedan menjadi salah satu anggota BPUPKI, yang merumuskan dasar negara. Setelah menjadi anggota parlemen dan anggota Dewan Konstituante dari Partai Masyumi, dia diangkat menjadi Menteri Muda Penerangan era Kabinet Syahrir. A.R. Baswedan adalah salah satu diplomat Indonesia pertama dan mendapat pengakuan de jure dan de facto pertama bagi eksistensi Republik Indonesia dari Mesir.

Sejak kecil, Anies hidup bersama dan mendapat bimbingan langsung dari sang kakek. Saat mahasiswa, Anies bergabung di HMI, organisasi mahasiswa muslim modernis. Di HMI, Anies diajarkan Nilai Identitas Kader (NIK), di mana setiap kader HMI adalah kader umat sekaligus kader bangsa. Dengan NIK HMI itu, komitmen keislaman dan keindonesiaan menjadi nilai dasar semua alumni HMI, termasuk Anies, dalam membangun Indonesia. Pidato perpisahan Anies di Balai Kota DKI,  Minggu, 16 Oktober 2022, dengan menyanyikan dua lagu, bukan Salâm min-ba’îd dan Kun-anta, tetapi Berkibarlah Benderaku dan Maju Tak Gentar, secara tegas mengisyaratkan Anies Rasyid Baswedan beridentitas Indonesia sejati.

Sumber :

Fatah S

Berkarier di industri media sejak 2010 dan menjadi penulis buku.