in ,

Ada Masalah Hukum dalam Kebijakan Penyetaraan Birokrasi Jokowi

Akademisi Universitas Brawijaya, Aan Eko Widiarto, dalam Kajian Reboan #14 bertema "Reformasi Birokrasi; Harapan, Tantangan, dan Problematika Penyetaraan Jabatan Struktural dan Fungsional ASN" yang digelar Lembaga Kajian Strategis MN KAHMI, Kamis (3/2/2022). Tangkapan layar Zoom/LMD MN KAHMI/Fatah Sidik
Akademisi Universitas Brawijaya, Aan Eko Widiarto, dalam Kajian Reboan #14 bertema "Reformasi Birokrasi; Harapan, Tantangan, dan Problematika Penyetaraan Jabatan Struktural dan Fungsional ASN" yang digelar Lembaga Kajian Strategis MN KAHMI, Kamis (3/2/2022). Tangkapan layar Zoom/LMD MN KAHMI/Fatah Sidik

Kahminasional.com, Jakarta – Terjadi beragam polemik di balik kebijakan pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang menyederhanakan birokrasi hingga tersisa dua eselon. Salah satunya, kebijakan tersebut tidak disertai payung hukum.

Hal ini diungkap akademisi Universitas Brawijaya, Aan Eko Widiarto, dalam Kajian Reboan #14 bertema “Reformasi Birokrasi; Harapan, Tantangan, dan Problematika Penyetaraan Jabatan Struktural dan Fungsional ASN”, Kamis (3/2).

“Dengan adanya penyetaraan, maka JA (jabatan administratif) lebur jadi JF (jabatan fungsional). Problemnya, kebijakan tidak didasari oleh hukum,” ujarnya dalam webinar yang digelar Lembaga Kajian Strategis MN KAHMI ini.

Penyederhanaan birokrasi membuat posisi eselon III dan eselon IV, yang sebelumnya jabatan administratif, disetarakan menjadi jabatan fungsional ahli madya dan ahli muda.

Baca Juga :  KAHMI Siap Bantu Pemerintah Evakuasi WNI dari Ukraina

Eko menerangkan, jabatan aparatur sipil negara (ASN) sesuai Pasal 47 Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 11 Tahun 2017 dibagi menjadi tiga, yakni JA, JF, dan JPT. Beleid ini pun tidak menyebutkan adanya konsep penyetaraan.

Sementara itu, pemerintah menjadikan Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Menpan RB) Nomor 28 Tahun 2019 sebagai alas hukum dalam menyunat hierarki birokrasi menjadi dua eselon. Di dalamnya memuat penyetaraan, khususnya Pasal 8.

“Hierarki PP lebih tinggi daripda permen apa pun. Kalau permen pakai Pasal 8 sehingga dari sisi hukum tidak bisa permen mengenyampingkan PP karena permen di bawah PP,” urai Koordinator Dewan Pakar Majelis Daerah KAHMI Kota Malang ini.

Baca Juga :  Penyetaraan ASN, Pemkab Gowa Temukan Tiga Masalah

Menurut Eko, hal tersebut menunjukkan kebijakan presiden yang progresif acapkali “meninggalkan” hukum mengingat ada proses birokrasi dalam penyusunan regulasi sehingga berlarut-larut.

“Akhirnya pada 2020, baru diubah PP 11/2017 [menjadi PP 17/2020]. [Di dalamnya] baru disebutkan dasar hukumnya [penyetaraan]. inilah yang saya katakan tadi, prinsip negara hukum tidak konsisten kita laksanakan,” tuturnya.

Bagi Eko, fenomena ini lazim terjadi di negara hukum (rechtsstaat), yang lebih menekankan kepada civil law sehingga segala ketentuan harus ditulis. Hal ini mengakibatkan terjadinya hiperregulasi, disharmonisasi regulasi, konflik regulasi, inkonsistensi, multitafsir, kekosongan regulasi, hingga adanya pertentangan antara regulasi dengan kebijakan.

Dirinya menyatakan, kasus lain yang pernah terjadi adalah dalam penyusunan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (UU Ciptaker), yang disusun untuk meminimalisasi regulasi.

Baca Juga :  Pesan Sekjen Manimbang kepada KAHMI Kabupaten Bekasi

“[Penyusunan UU Ciptaker] timbulkan masalah secara tata norma karena menyelesaikan masalah dengan masalah,” kata alumnus Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) ini.

“Maunya pangkas hiperregulasi dengan cara yang tidak regulasi. Maksudnya, membuat UUCK yang tidak berbasis UU Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan sehingga oleh MK (Mahkamah Konstitusi) dinyatakan inskonstitusional bersyarat,” pungkas Eko.

Sumber :

Fatah S

Berkarier di industri media sejak 2010 dan menjadi penulis buku.