in ,

Keras! Kritik Akademisi Unhas soal Pencabutan Izin Usaha Pertambangan

Guru Besar Universitas Hasanuddin (Unhas), Abrar Saleng (kanan bawah), menyampaikan paparannya dalam webinar "Legalitas dan Transparansi Pencabutan IUP Operasi Produksi dan Percepatan RKAB 2022 untuk PEN Sektor Minerba Pascapandemi Covid-19" yang digelar Lembaga Kajian Strategis MN KAHMI, Rabu (16/3/2022). Foto LMD MN KAHMI/Azka Rizqi
Guru Besar Universitas Hasanuddin (Unhas), Abrar Saleng (kanan bawah), menyampaikan paparannya dalam webinar "Legalitas dan Transparansi Pencabutan IUP Operasi Produksi dan Percepatan RKAB 2022 untuk PEN Sektor Minerba Pascapandemi Covid-19" yang digelar Lembaga Kajian Strategis MN KAHMI, Rabu (16/3/2022). Foto LMD MN KAHMI/Azka Rizqi

Kahminasional.com, Jakarta – Guru Besar Universitas Hasanuddin (Unhas), Abrar Saleng, mengkritisi keputusan pemerintah mencabut ribuan izin usaha pertambangan (IUP) dan IUP khusus (IUPK). Ada beberapa argumen yang menjadi alasannya.

Pertama, terjadi perubahan regulasi dari Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (UU Minerba) menjadi UU Nomor 3 Tahun 2020. Transisi peraturan tersebut semestinya didahului dengan sosialisasi agar masyarakat, terutama pengusaha pertambangan, mengetahui aturan mainnya.

“[Pencabutan IUP/IUP itu] jadi kayak orang ilmu silat, belum siap dipukul, tetapi sudah dipukul karena dia enggak tahu aturan baru,” katanya dalam webinar “Legalitas dan Transparansi Pencabutan IUP Operasi Produksi dan Percepatan RKAB 2022 untuk PEN Sektor Minerba Pascapandemi Covid-19″, Rabu (16/3).

Alasan berikutnya, pemerintah sepatutnya tidak langsung mencabut IUP/IUPK tanpa didahului teguran atau peringatan.

“Seseorang tidak boleh kehilangan haknya tanpa sepengetahuan haknya. Itulah asas hukumnya. Banyak orang tidak pernah ditegur, tidak pernah disurati, tidak pernah disampaikan, tiba-tiba hilang,” ungkap Abrar.

Baca Juga :  Akademisi Akui Birokrasi yang Fleksibel Dibutuhkan, tetapi...

Dicontohkannya dengan proses pengajuan izin, di mana pemerintah masih memberikan kesempatan kepada pengusaha untuk memperbaiki kelengkapan dokumen yang dipersyaratkan sebelum akhirnya disetujui.

“Sama halnya dengan mekanisme penerbitan IUP. Waktu penerbitannya itu bisa memasukkan setiap persyaratan dokumen-dokumen dicari dengan baik. Semestinya juga ketika mau dicabut, disampaikan juga beberapa kelemahan. Apalagi, ada transisi regulasi,” tuturnya.

Selanjutnya, pemerintah semestinya menyiapkan regulasi soal pelaksanaan proses rencana kegiatan dan anggaran biaya (RKAB) secara daring (e-RKAB) melalui Online Single Submission (OSS). Padahal, Apalagi, dokumen kini tidak lagi diserahkan kepada pemerintah daerah (pemda), tetapi pusat melalui Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM).

“Selama ini, orang masukan dokumen secara [tatap muka], sekarang harus lewat online, lewat OSS. Kemudian, semakin banyak juga [problem], terutama [akibat] keterlambatan daerah mengirim data waktu kewenangan bergeser dari gubernur ke menteri sehingga data tidak terdaftar di MODI (Minerba One Data Indonesia) dan MOMI (Minerba One Map Indonesia),” urainya. “Sehingga, berapa pun banyak dokumen yang dimasukkan, kalau tidak nyambung dengan OSS, itu tidak bisa masuk.”

Baca Juga :  Ariza Mau Munas KAHMI Berikutnya di Sulut, Ini Alasannya

Baginya, keterlambatan ini mestinya dipahami pemerintah lantaran terjadinya mekanisme baru dan belum berfungsi 100%. “Sangat naif kalau RKAB-nya tidak masuk atau tidak selesai, lalu menjadi dasar pencabutan IUP,” kritiknya.

Pertimbangan lainnya, menurut Abrar, pemerintah semestinya memberikan dispensasi mengingat transisi regulasi terjadi di tengah pandemi Covid-19.

“Pandemi itu bencana nonalam sehingga harus ada kemudahan-kemudahan atau dispensasi dari pemerintah terhadap pemegang IUP yang selama ini rajin dan waktu menjadi kewenangan pemerintah daerah. Ini juga perlu perubahan kewenangan membuat semua terlambat,” terangnya.

“Tanpa pandemi saja transisi regulasi harus memberikan kemudahan, apalagi ada pandemi,” imbuh pakar hukum pertambangan ini.

Abrar mengingatkan, usaha pertambangan juga diatur di dalam UU Nomor 25 tahun 2007 tentang Penanaman Modal selain UU Minerba. Dengan demikian, perlu ada kepastian hukum kepada investor yang memegang IUP/IUPK.

Baca Juga :  KAHMI Malut Mau Alumni HMI Jadi Capres 2024, Siapa yang Diusulkan?

Dirinya pun curiga, pemerintah langsung mencabut IUP/IUPK karena sudah ada calon investor baru yang sudah siap berinvestasi. “Meskipun nanti melalui mekanisme lelang.”

Dalam webinar ini, yang merupakan agenda rutin Kajian Reboan dan digelar Lembaga Kajian Strategis Majelis Nasional Korps Alumni Himpunan Mahasiswa Islam (LKS MN KAHMI), turut menghadirkan beberapa pembicara. Salah satunya, Dirtipidter Bareskrim Polri, Brigjen Pipit Rismanto.

Kemudian, Kemudian, Staf Khusus Menteri ESDM, Irwandy Arif; Wakil Ketua Komisi VII DPR, Eddy Soeparno; pengamat kebijakan pertambangan, La Ode Ida; dan akademisi Universitas Tarumanegara (Untar), Ahmad Redi.

Sumber :

Fatah S

Berkarier di industri media sejak 2010 dan menjadi penulis buku.