in ,

Hari Buruh 2024, nasib perempuan pekerja masih mengenaskan

Ilustrasi aksi saat Hari Buruh 2024 di Jakarta. Twitter/@WandaRoxanne
Ilustrasi aksi saat Hari Buruh 2024 di Jakarta. Twitter/@WandaRoxanne

Jakarta, KAHMINasional.com – Diberlakukannya Undang-Undang (UU) Cipta Kerja membuat standar kerja layak berkurang bagi perempuan pekerja, termasuk perlindungan substantif. Ini tampak dari beberapa hal, seperti penurunan standar perlindungan upah dan standar hidup layak dalam pengupahan, potensi jam kerja kian panjang, status kerja semakin fleksibel dengan skema upah satuan waktu dan/atau satuan hasil, diskriminasi terhadap pekerja disabilitas, hingga potensi kemunduran perlindungan pada perempuan buruh.

“Undang-undang Cipta Kerja juga mengakomodir kepentingan agenda politik ekonomi global melalui proyek investasi, infrastruktur, dan proyek energi di Indonesia. Akibatnya, banyak sumber-sumber penghidupan rakyat yang terampas oleh negara hingga perempuan buruh terus mengalami penindasan dan pemiskinan sistematis,” kata Solidaritas Perempuan dalam keterangannya, Rabu (1/5).

Dicontohkannya dengan perempuan pesisir Makassar, Sulawesi Selatan, yang kehilangan wilayah kelolanya karena megaproyek reklamasi Pelabuhan Makassar New Port dan CPI. Imbasnya, mereka terpaksa menjadi buruh di pelelangan ikan dan menerima upah minim demi memenuhi kebutuhan keluarga.

Demikian pula dengan investasi di pesisir Teluk Bone Cungkeng, Bandar Lampung, yang menghancurkan ruang kelola perempuan nelayan hingga akhirnya menjadi buruh perikanan di Pulau Pasaran, Lampung, dengan berbagai kerentanan yang dialami. Kekerasan seksual dan diskriminasi upah, misalnya.

Baca Juga :  FORHATI: Perempuan aktor terdepan menjaga lingkungan

“Berikan pengakuan, pelindungan jaminan sosial, kesehatan, dan asuransi untuk nelayan dan keluarga kami. Kami juga menolak segala bentuk penggusuran di Teluk Bone Cungkeng yang merugikan masyarakat pesisir,” ucap perempuan buruh perikanan Pulau Pasaran, Lampung, Samsiah.

Sementara itu, ketimpangan penguasaaan lahan oleh negara di sektor perkebunan skala besar mengakibatkan perampasan tanah dan konflik agraria berkepanjangan. Ini seperti yang dialami perempuan dan masyarakat 22 desa di Kabupaten Ogan Ilir, Sumatera Selatan, dengan PT Perkebunan Nusantara (PTPN) VII Unit Cinta Manis.

Perempuan petani di Takalar, salah satunya Daeng Lina, juga harus melakukan perjuangan panjang untuk merebut kembali kedaulatan mereka terhadap tanah yang dirampas PTPN XIV. Sebab, kehadiran perusahaan negara tersebut memaksa perempuan setempat menjadi buruh di tanahnya sendiri akibat pemiskinan strukural yang terjadi.

“Saat ini, saya sudah tidak bisa lagi menyekolahkan anak saya karena tanah saya yang menjadi sumber pendapatan dirampas oleh perusahaan. Kembalikan tanah kami! Jangan lagi ada perpanjangan izin HGU PTPN XIV! Saya sebagai perempuan sangat menderita karena sudah tidak ada tanah. Saya harus ke Makassar jadi buruh tani bersama suami,” beber Daeng Lina.

Kisah pilu senada dialami perempuan Desa Mantangai Hulu, Kabupaten Kapuas, Kalimantan Tengah. Mereka terpaksa menjadi buruh tani di tanah sendiri akibat proyek strategis nasional (PSN) lumbung pangan (food estate).

Baca Juga :  KAHMI-BPKH Berkolaborasi Perkuat Peran Keumatan

Apalagi, mereka tak pernah dilibatkan pada seluruh tahapan proyek, dari perencanaan hingga pemantauan. Padahal, perempuan dayak di Mantangai memiliki relasi holistik dalam mengelola hutan dan sumber daya alam (SDA) secara tradisional dan kearifan lokal yang diyakini secara turun-menurun.

“Ada program food estate, saya tidak pernah mereka undang rapat, tidak pernah diberikan pengetahuan. Sampai sekarang, tanah saya sudah digarap. Pohon-pohon yang ada di atasnya sudah diratakan semua,” ujar Dijah, perempuan petani Desa Mantangai Hulu.

Berdasarkan data Solidaritas Perempuan, feminisasi migrasi timbul karena pola pembangunan industri ekstraktif dengan mengeksploitasi SDA yang mengakibatkan ketimpangan dan kerusakan ekologi. Feminisasi migrasi meluas di Indonesia dengan berbagai situasi kerentanan yang dialami, seperti pelecehan seksual, kekerasan fisik, pelanggaran hak kerja.

“Namun, pemerintah masih lemah dalam mengimplementasikan kebijakan UU PPMI (Pelindungan Pekerja Migran Indonesia) Nomor 18 Tahun 20017 untuk memastikan perlindungan dan pemenuhan hak bagi perempuan buruh migran,” sesalnya.

Situasi kekerasan dan ketidakadilan perempuan buruh migran semakin berlapis akibat kebijakan diskriminasi melalui Keputusan Menteri Ketenagakerjaan (Kepmenaker) Nomor 260 Tahun 2015 tentang Penghentian dan Pelarangan Penempatan Tenaga Kerja Indonesia pada Pengguna Perseorangan di Negara-Negara Kawasan Timur Tengah. Sebba, membawa perempuan dalam lingkaran eksploitasi dan perdagangan orang (human trafficking) di seluruh tahapan migrasi.

Baca Juga :  "Perhatian Harry Azhar kepada HMI dan KAHMI Sangat Besar"

“Kami menuntut pemerintah untuk memenuhi hak-hak buruh dan memberikan jaminan perlindungan hukum yang memadai agar kami dapat bekerja dengan bermartabat dan terhindar dari eksploitasi ditempat kerja,” tegas perempuan buruh migran asal Lampung Timur, Sugiarti.

Oleh karena itu, dalam rangka memperingati Hari Buruh (Mayday) 1 Mei 2024, Solidaritas Perempuan menyuarakan beberapa hal guna perlindungan kepada perempuan buruh di berbagai sektor. Pertama, mendesak UU Cipta Kerja dicabut.

Kedua, mendorong UU PPMI segera diimplementasikan secara menyeluruh. Kemudian, mendesak Kepmenaker 260/2015 segera dicabut karena memicu eksploitasi terhadap perempuan buruh migran.

Selain itu, meminta UU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (PPRT) segera disahkan demi terwujudnya perlindungan bagi pekerja rumah tangga di dalam negeri maupun di luar negeri. Solidaritas Perempuan juga menuntut pemerintah mewujudkan kerja dan upah layak hidup bagi perempuan buruh tani, buruh perikanan, buruh perkebunan, buruh migran, dan pekerja rumah tangga.

Sumber :

Fatah S

Berkarier di industri media sejak 2010 dan menjadi penulis buku.