in ,

MK putuskan ambang batas parlemen 4% tak berlaku pada Pemilu 2029

Gedung Mahkamah Konstitusi (MK) di Jakarta. Google Maps/Miqdad Abdul Halim

Jakarta, KAHMINasional.com – Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan sebagian permohonan Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) tentang ambang batas parlemen (parliamentary threshold) 4% suara sah nasional dalam Undang-Undang Pemilihan Umum (UU Pemilu).

MK berpendapat, norma tersebut tak sejalan dengan prinsip kedaulatan rakyat, keadilan pemilu, dan melanggar kepastian hukum yang dijamin konstitusi. Namun, MK memerintahkan ambang batas parlemen 4% tetap berlaku hanya hingga Pemilu 2024.

“Mengabulkan permohonan pemohon untuk sebagian,” kata Ketua MK, Suhartoyo, saat membacakan amar Putusan Nomor 116/PUU-XXI/2023 di Gedung MK, Jakarta, pada Kamis (29/2).

“Menyatakan norma Pasal 414 ayat (1) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum adalah konstitusional sepanjang tetap berlaku untuk Pemilu DPR 2024 dan konstitusional bersyarat untuk diberlakukan pada Pemilu DPR 2029 dan pemilu berikutnya sepanjang telah dilakukan perubahan terhadap norma ambang batas parlemen serta besaran angka atau persentase ambang batas parlemen dengan berpedoman pada persyaratan yang telah ditentukan,” imbuhnya.

Baca Juga :  DPR Segera Gelar Rapat Tentukan Jadwal Pemilu 2024

Wakil Ketua MK, Saldi Isra, menambahkan, Mahkamah tak mendapati dasar metode dan argumen yang memadai dalam menentukan besaran angka atau persentase ambang batas parlemen, termasuk metode dan argumen yang digunakan dalam menentukan 4% dari jumlah suara sah secara nasional.

Merujuk keterangan pembentuk undang-undang, presiden dan DPR terhadap permohonan a quo, MK pun tidak menemukan dasar rasionalitas dalam penetapan parliamentary threshold 4% dengan metode dan argumen penghitungan atau rasionalitas yang jelas.

Saldi melanjutkan, ambang batas parlemen berdampak terhadap konversi suara sah menjadi jumlah kursi DPR. Jika diletakkan dalam basis argumentasi sistem pemilihan proporsional yang dianut, jumlah suara yang diperoleh partai politik (parpol) peserta pemilu selaras dengan kursi yang diraih di DPR agar hasil pemilu menjadi proporsional. Dengan demikian, sistem pemilu proporsional semestinya meminimalisasi suara yang terbuang agar hasil pemilu tidak menjadi tidak proporsional (disproporsional).

Baca Juga :  Wawako Pariaman Minta KAHMI Jaga Marwah Islam

Namun, jika merujuk hasil Pemilu 2004, suara yang terbuang atau tidak bisa dikonversi menjadi kursi mencapai 19.047.481 suara sah atau sekitar 18% dari suara sah nasional. Pada Pemilu 2009, terdapat 13.595.842 suara tidak dapat dikonversi menjadi kursi DPR (9,7%) dan 2.964.975 suara (2,4%) yang tak bisa dikonversi menjadi kursi DPR pada Pemilu 2014

“Prinsip demokrasi menempatkan rakyat sebagai pemilik kedaulatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (2) UUD 1945. Namun, kebijakan ambang batas parlemen telah ternyata mereduksi hak rakyat sebagai pemilih. Hak rakyat untuk dipilih juga direduksi ketika mendapatkan suara lebih banyak, namun tidak menjadi anggota DPR karena partainya tidak mencapai ambang batas parlemen,” ulas Saldi.

Baca Juga :  Bupati Bone Bolango: Almarhum Indra Yasin Sosok Teladan

Diketahui, Perludem menggugat parliamentary threshold 4% dalam Pasal 414 ayat (1) UU Pemilu. Sebab, penentuan ambang batas tersebut dianggap tak didasari perhitungan yang jelas. Padahal, menjadi satu variabel penting dari sistem pemilu dan berdampak langsung kepada proses konversi suara menjadi kursi.

Perludem pun mengajukan cara penentuan ambang batas parlemen dengan rumus membagi bilangan 75% dengan rata-rata besaran jumlah besaran daerah pemilihan (dapil), ditambah satu, dan dikali dengan akar jumlah dapil.

Sumber :

Fatah S

Berkarier di industri media sejak 2010 dan menjadi penulis buku.