in

Untuk Sulteng yang Lebih Baik

Alumnus HMI Cabang Palu, Fakultas Ekonomi Universitas Tadulako, dan Paramadina Graduate School of Diplomacy, serta Pengurus MW KAHMI Sulawesi Tengah, Salihudin. Dokumentasi pribadi
Alumnus HMI Cabang Palu, Fakultas Ekonomi Universitas Tadulako, dan Paramadina Graduate School of Diplomacy, serta Pengurus MW KAHMI Sulawesi Tengah, Salihudin. Dokumentasi pribadi

Oleh Salihudin, Alumnus HMI Cabang Palu, Fakultas Ekonomi Universitas Tadulako, dan Paramadina Graduate School of Diplomacy serta Pengurus MW KAHMI Sulawesi Tengah

Bangunan rusak atau terbakar jauh lebih mudah diperbaiki. Pascakonflik Poso, Pemerintah Sulteng telah melakukan perbaikan fisik atas Poso. Pemulihan fisik justru tidak semudah itu. Recovery psikis tidak mudah dilakukan.

Narasi Poso yang kelam dimulai tahun 1998-2001. Sesudah itu, riak-riaknya yang justru amat mengusik dan merepotkan. Poso hari ini, bangunan-bangunan yang dulu terbakar sudah sulit ditemui karena sudah direhabilitasi. Pembangunan fisik dalam pemulihan konflik Poso memang telah dilakukan. Namun, trauma akibat konflik tersebut pasti masih terbayang ataupun membekas dalam ingatan orang, terutama pelaku ataupun korban yang mengalaminya, baik secara langsung maupun tidak langsung. Menghapus trauma memang tidak semudah membangun bangunan yang baru untuk mengganti yang telah rusak. Hal tersebut disebabkan konflik itu melibatkan massa, trauma yang ditimbulkannya adalah trauma kolektif. Efeknya bukan kesadaran historis yang berbasis peristiwa, melainkan kesadaran yang berbekas dalam jiwa. Bekas peristiwa itu kemudian yang membentuk pola-pola kesadaran ataupun struktur mental yang negatif yang akan memengaruhi perilaku aktual.

Tampaknya hal tersebut telah menjadi kesadaran dari berbagai pihak. Berbagai program yang dilakukan berbagai pihak, baik bersifat hiburan maupun pembangunan yang berbasis materi, telah dilakukan kepada korban. Hal tersebut memang penting, tetapi tidak cukup. Sifat menghibur adalah menyenangkan, tetapi hanya sesaat; tidak abadi. Apabila sudah bosan, akan tidak efektif lagi. Karena itu, diperlukan terapi yang menyeluruh terhadap semua yang terlibat, tidak terkecuali pihak kalah ataupun menang, Islam atau Kristen, penduduk Poso atau bukan, dan seterusnya.

Lalu, apakah yang disebut trauma? Trauma adalah bekas atau torehan dari suatu peristiwa negatif di masa silam, tulis Budi F. Hardiman dalam sebuah bukunya, Memahami Negativitas: Diskursus tentang Massa, Teror, dan Trauma (Kompas, 2008). Sedangkan peristiwa negatif, menurutnya, adalah kehadiran sesuatu yang menakutkan atau menyedihkan dan manusia terseret ke dalam hal yang menakutkan itu tanpa mampu mengendalikan dirinya.

Poso: Trauma yang Mendikte Kekinian
Konflik Poso adalah peristiwa negatif yang di dalamnya memuat narasi kelam pembunuhan, pemerkosaan, perusakan, penindasan, dan seterusnya pada manusia. Mengingat peristiwa konflik Poso sama dengan mengingatkan kembali peristiwa-peristiwa negatif tersebut. Bagi korban yang mengalami atau melihat pembantaian keluarganya, misalnya, berarti mengingat kembali peristiwa tersebut seakan baru saja terjadi di depan matanya. Inilah yang kemudian menimbulkan trauma.

Baca Juga :  Koorpres: Lebih Sulit Putuskan Tuan Rumah Munas XI KAHMI daripada Piala Dunia

Dampak dari peristiwa ini semakin membesar apabila dalam peristiwa negatif tersebut melekat suatu identitas tertentu, misalnya agama. Penderitaan seorang individu menjadi penderitaan kolektif karena orang tersebut menganut agama yang sama dengan dirinya. Maka, penderitaan yang dialami harus dibalaskan oleh semua orang yang seagama. Dari sini ekses berantai bertumbuh. Mengental dalam label dan aksi terorisme. “Jenisnya” yang sangat berbeda dari aktivitas terosisme yang lain. Dari penafsiran sebuah teks agama yang membentuk doktrin bahwa seorang manusia adalah bersaudara dengan hanya yang seagama.

Konflik Poso bermula dari sebuah kriminal murni, yaitu perkelahian dua orang anak muda yang kebetulan berbeda agama. Terlepas dari adanya penyebab lain, perkelahian itu kemudian menjadi kerusuhan sosial bernuansa SARA yang masif. Dikarenakan konfliknya bersifat masif, maka trauma individu menjadi trauma kolektif atau dialami oleh banyak orang. Trauma itu sendiri, tulis Budi Hardiman, adalah berbasis peristiwa, tetapi trauma itu sendiri tidaklah berciri peristiwa. Dia adalah bekas yang membekukan peristiwa dan menghadirkan kembali serta melebih-lebihkan sisi gelapnya. Karena itu, tulis Budi Hardiman, juga trauma bagaikan seorang diktator yang mendikte kekinian korbannya. Jika orang mengalami trauma, maka akan susah menghapusnya. Apa yang dialami pada suatu peristiwa seakan-akan terulang terus-menerus, seperti mesin yang digerakkan secara mekanis. Jika korban mengingat peristiwanya, maka ia seakan-akan mau membalas peristiwa tersebut seketika.

Sebaliknya, korban mengingat ulang peristiwanya demi menghindari peristiwa itu, kemudian terjadi lagi di masa depan. Karena itu, menurut Budi Hardiman, mengingat dan melupakan di dalam trauma merupakan bagian dari mekanisme psikis yang tidak pernah dilepaskan. Korban ingin melupakannya, tetapi justru mengingatnya. Ingatannya akan negativitas peristiwa itu menajam justru saat dia ingin melupakannya. Budi Hardiman menyimpulkan, mengingat dan melupakan seolah-olah bergerak dalam sistem-sistem paksaan psikis dalam diri korban.

Dengan demikian, prosesi pemaafan menjadi sulit. Korban bukannya tidak mau memaafkan pelaku, tetapi tidak mampu keluar dari jerat-jerat prasangka yang menimpanya setiap saat. Apabila ia memaafkan pelaku, berarti dia merasa diinjak-injak harga dirinya. Gejolak batinnya ditindas oleh pelaku. Dia tidak punya harga diri lagi. Terjadilah konflik batin yang menyesakkan dada. Ketika ego lebih besar yang dominan, maka tindakan balas dendam menjadi sesuatu yang alamiah dan wajar.

Baca Juga :  Ugal-ugalan Ibu Kota Baru

Oleh karena itu, diperlukan detraumatisasi. Detraumatisasi, menurut Budi Hardiman, harus dimulai dengan semacam askese duniawi yang ditandai oleh tiga latihan, yaitu diam, ketenangan hati, dan merelakan. Penjelasannya sebagai berikut. Diam bukanlah hilangnya bunyi juga bukan membisu, melainkan mendengarkan dalam kesunyian. Manusia sebagai elemen massa mendengar prasangka kolektifnya dan bertindak menurutnya. Ada pemaksaan dari prasangka kolektifnya sehingga ia secara terpaksa juga bertindak walaupun tidak sesuai hati nurani. Hati nurani dipenjarakan oleh sebuah prasangka kolektif. Karena itu, untuk menepis prasangka, orang harus berlatih menjadi pendengar yang baik. Untuk itulah, diam sebagai pertanda memuncaknya bahasa, kulminasi komunikasi. Ketenangan hati lahir dari sikap mendengarkan. Ketenanganan hati dapat dicapai melalui pengumpulan diri.

Ketenangan hati diperoleh dari sebuah sikap keterbukaan. Di dalam ketenangan hati korban berkata “ya” sekaligus “tidak” terhadap traumanya. Dia berkata “ya” karena bekas traumatis itu membentuk jati diri individu dan sosialnya. Tetapi, dia berkata “tidak” karena jati diri itu mengarah ke masa depan. Diri yang tercerai-berai oleh trauma dapat melupakan trauma dengan lari dari ketenangan hati dan membenamkan diri dalam kegaduhan. Tetapi, ketercerai-beraian ini itu hanya dapat dikumpulkan kembali lewat membiarkan yang telah lewat melalui langkah-langkah panjang dari kesabaran.

Pemerintah Indonesia melalui Pemerintah Sulawesi Tengah telah berikhtiar atas Poso. Antara lain, memberikan bantuan/stimulan untuk perbaikan ekonomi, perbaikan infrastruktur dan rumah ibadah, pembangunan pesantren, dan lain-lain. Namun, untuk selanjutnya, demi masa depan Poso khususnya, masih perlu fokus pada perbaikan ekonomi berbasis komunitas dan peningkatan pendidikan dan kompetensi dan juga humanitarian aid serta penataan birokrasi. Tidak berlebihan untuk anak-anak Poso dan Sulteng perlu diberikan beasiswa/akses pendidikan ke luar negeri yang lebih banyak untuk masa depan Sulteng yang lebih baik.

Trauma Healing Kolektif
Askese untuk diam dan pengumpulan diri berkaitan dengan hal yang dasariah: merelakan. Merelakan berarti membiarkan ada. Merelakan bukanlah fatalisme ataupun defaith-isme, melainkan suatu upaya memutus rantai kekerasan. Detraumatisasi dimulai dengan merelakan. Artinya, tidak menghantam kata-kata dengan kata-kata-karena selama itu pula orang masih berkubang dalam prasangka kolektif, tetapi mendengarkan dalam kesunyian. Dan, dalam sikap mendengarkan orang menjadi dekat dengan dirinya, mengumpulkan diri dan memasuki ketenangan hati.

Baca Juga :  Kosmos, Wahyu, dan Akal

Jalan untuk menghapus trauma di Poso mungkin masih jauh. Diperlukan upaya yang terus-menerus untuk menghapus trauma kolektif ini. Trauma kolektif bukan hanya disembuhkan melalui pembangunan ekonomi, tetapi juga berbasis pembangunan sosial, hukum, serta agama. Bagi umat Islam, tindakan merelakan tidak sulit dilaksanakan karena agama telah mengajarkan doktrin keikhlasan. Keihklasan adalah melampaui tindakan merelakan dan melupakan.

Menurut Taufikurrohman dalam jurnal Eduprof Volume 1 Tahun 2019, secara etimologi, kata ikhlas dapat berarti membersihkan (bersih, jernih, suci dari campuran dan pencemaran, baik berupa materi ataupun imateriel). Sedangkan secara terminologi, ikhlas mempunyai pengertian kejujuran hamba dalam keyakinan atau akidah dan perbuatan yang hanya ditujukan kepada Allah. Kata ikhlas, dalam Kamus Istilah Agama, diartikan dengan melakukan sesuatu pekerjaan semata-mata karena Allah, bukan kerena ingin memperoleh keuntungan diri (lahiriah atau batiniah). Jadi, dengan keikhlasan berarti melampaui tindakan merelakan dan melupakan.

Nurcholish Madjid dalam Islam Doktrin dan Peradaban menulis, keikhlasan bukanlah yang statis, yang sekali terwujud akan tetap bertahan selamanya, melainkan dinamis, yang senantiasa menuntut kesungguhan pemeiharan dan peningkatan. Keihklasan, lanjut Nurcholish, terasa pada tingkat pribadi sendiri (true to one’s) dalam komunikasinya dengan Sang Maha Pencipta (Al-Khaliq) dan usaha mendekatkan diri kepada-Nya. Selanjutnya, keikhlasan dalam beragama adalah juga bermakna keutuhan (integritas) diri yang paling mendalam, yang kemudian mengejawantahkan dalam akhlak mulia berupa perbuatan baik kepada sesama. Itulah prinsip agama yang benar dan itulah perintah Allah kepada hamba-Nya. (QS Al-Bayyinah/98: 5).

Menghapus trauma konflik Poso bukan perkara memberikan kepuasaan material ekonomi atau memenuhi hasrat politik. Menghapus trauma harus dapat menyentuh kedirian yang terdalam bagi siapa saja yang mengalami. Jalannya berupa pendidikan dan pengasuhan yang harus mendorong proses pendewasaan, yakni kemampuan untuk mendengarkan suara hati sendiri. Ini membutuhkan kearifan, hati nurani, dan pikiran yang jernih.

Di sinilah pentingnya Munas KAHMI di Palu. Dengan munas ini, secara tidak langsung juga merupakan trauma healing kolektif bagi tidak hanya masyarakat Poso, tetapi juga masyarakat Sulawesi Tengah secara keseluruhan. Dengan ribuan orang kader HMI berkumpul di Sulawesi Tengah, memberikan semacam sugesti kepercayaan diri bahwa masyarakat Sulawesi Tengah, termasuk Poso, tidak sendiri menghadapi berbagai musibah.

Sumber :

Fatah S

Berkarier di industri media sejak 2010 dan menjadi penulis buku.