in

Kosmos, Wahyu, dan Akal

Pengasuh Pesantren-Sekolah Alam Planet NUFO Mlagen Rembang, guru utama di Rumah Perkaderan-Tahfidh Al-Qur'an Monasmuda Institute Semarang, serta pengajar FISIP UMJ dan Pascasarjana Ilmu Politik UI, Mohammad Nasih. Foto Rilis.id
Pengasuh Pesantren-Sekolah Alam Planet NUFO Mlagen Rembang, guru utama di Rumah Perkaderan-Tahfidh Al-Qur'an Monasmuda Institute Semarang, serta pengajar FISIP UMJ dan Pascasarjana Ilmu Politik UI, Mohammad Nasih. Foto Rilis.id

Oleh Mohammad Nasih, Pengasuh Pesantren-Sekolah Alam Planet NUFO Mlagen Rembang, Guru Utama di Rumah Perkaderan-Tahfidh Al-Qur’an Monasmuda Institute Semarang, serta Pengajar FISIP UMJ dan Pascasarjana Ilmu Politik UI

Kekeliruan fatal kalangan filsuf-mutakallimûn dari seluruh firqah dalam sepanjang sejarah peradaban Islam sampai saat ini dalam memandang wahyu dan akal adalah membandingkan keduanya. Mereka terjebak dalam pertanyaan mana yang lebih tinggi antara akal dan wahyu. Padahal, walaupun saling berkait erat, tetapi keduanya berbeda ranah. Dengan begitu, mereka telah membandingkan dua sesuatu yang tidak apple to apple. Lebih fatal lagi, mereka “lupa” membandingkan antara kosmos (alam semesta) dengan wahyu. Padahal, sesungguhnya yang apple to apple untuk dibandingkan adalah keduanya.

Cara pandang di atas menyebabkan istilah-istilah yang salah kaprah dalam kajian keislaman, di antaranya “dalil naql dan ‘aql“, “tafsir bi al-ma’tsur dan bi al-ra’yi“, atau “tafsir bi al-manqul dan bi al-ma’qûl“, dan lain-lain. Padahal, sekali lagi, akal hanya sekadar sarana, bukan sumber kebenaran. Memang muncul problem kerangka pikir kritis ini ketika dihadirkan masalah ijma’ yang seolah menjadikan akal sebagai sumber kebenaran. Namun, jika dianalisis secara mendalam, ijma’ pun sesungguhnya hanya hasil penarikan kesimpulan dari data-data yang tersaji pada fakta dalam kosmos.

Karena kekeliruan itu, maka kesimpulan yang mereka tarik juga keliru. Kekeliruan itu tampak dalam tabel di bawah ini:

Paham (Firqah)

Mengetahui TuhanMengetahui Benar/SalahKewajiban Mengetahui TuhanKewajiban Mengetahui Benar/Salah

Mu’tazilah

AkalAkalAkalAkal

Asy’ariyah

AkalWahyuWahyu

Wahyu

Maturidiah  Samarkand

Akal

AkalAkal

Wahyu

Maturidiah BukharaAkalAkalWahyu

Wahyu

Mengenai akal, sesungguhnya ia adalah (sekadar) sarana yang membuat manusia dituntut untuk mampu menangkap adanya kesesuaian antara kosmos dan wahyu sebagai sama-sama tanda-tanda dari Allah Swt. Itulah sebab akal menjadi prasyarat untuk menjadi manusia mukallaf dengan prinsip tidak ada agama bagi orang yang tidak punya akal (lâ dîna liman lâ ‘aqla lah). Hanya saja, walaupun sama-sama tanda, untuk menyebut kosmos dan wahyu, Allah menggunakan kata yang kadang berbeda. Di dalam diskursus sains Islam, kosmos disebut sebagai ayat kauniah, sedangkan wahyu disebut sebagai ayat qauliah. Cukup banyak ayat Al-Qur’an yang menegaskan keduanya benar-benar adalah sama-sama tanda-tanda Allah Swt.

هُوَ الَّذِي أَنْزَلَ عَلَيْكَ الْكِتَابَ مِنْهُ آيَاتٌ مُحْكَمَاتٌ هُنَّ أُمُّ الْكِتَابِ وَأُخَرُ مُتَشَابِهَاتٌ ۖ فَأَمَّا الَّذِينَ فِي قُلُوبِهِمْ زَيْغٌ فَيَتَّبِعُونَ مَا تَشَابَهَ مِنْهُ ابْتِغَاءَ الْفِتْنَةِ وَابْتِغَاءَ تَأْوِيلِهِ ۗ وَمَا يَعْلَمُ تَأْوِيلَهُ إِلَّا اللَّهُ ۗ وَالرَّاسِخُونَ فِي الْعِلْمِ يَقُولُونَ آمَنَّا بِهِ كُلٌّ مِنْ عِنْدِ رَبِّنَا ۗ وَمَا يَذَّكَّرُ إِلَّا أُولُو الْأَلْبَابِ

Baca Juga :  Reformulasi dan Reorientasi Gerakan Kader HMI

Dialah yang menurunkan Alkitab kepadamu. Di antara (isi)-nya, ada ayat-ayat yang muhkamât. Itulah induk seluruh ketetapan, sedangkan yang lain adalah (ayat-ayat) mutasyâbihât. Adapun orang-orang yang dalam hatinya condong kepada kesesatan, maka mereka mengikuti sebagian ayat-ayat yang mutasyâbihât daripadanya untuk menimbulkan fitnah untuk mencari-cari ta’wil-nya, padahal tidak ada yang mengetahui ta’wil-nya melainkan Allah. Dan orang-orang yang mendalam ilmunya berkata, “Kami beriman kepada Alkitab itu, semuanya itu dari sisi Tuhan kami. Dan tidak dapat mengambil pelajaran [daripadanya] melainkan orang-orang yang berakal. (Ali Imran: 7).”

إِنَّ فِي خَلْقِ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَاخْتِلَافِ اللَّيْلِ وَالنَّهَارِ لَآيَاتٍ لِأُولِي الْأَلْبَابِ

“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal (Ali Imran: 190).”

Yang sangat menarik adalah kedua ayat yang membicarakan tentang wahyu dan alam semesta ini sama-sama menyatakan bahwa yang bisa memahami adalah ulul albâb (orang-orang yang memiliki kecerdasan alias berakal). Karena itulah, ketiganya,baik kosmos, wahyu, maupun akal, mestinya didudukkan secara benar. Sebab, memosisikannya secara tidak tepat akan menghasilkan kesimpulan yang menyesatkan.

Kosmos dan wahyu sesungguhnya merupakan satu kesatuan. Karena begitu complicated-nya, seringkali manusia masih luput dalam memahaminya. Karena itu, wahyu berfungsi penting dalam memberikan informasi dan konfirmasi. Akal yang sehat dan bersih dari kepentingan material akan melihat ini sehingga mampu menangkap bahwa kesesuaian antara keduanya merupakan bukti bahwa wahyu. Walaupun disampaikan oleh manusia, tetapi dia bukan manusia kebanyakan, melainkan manusia yang memiliki kualitas kenabian. Benar-benar merupakan firman Allah. Kualitas kenabian itulah yang membuatnya memiliki akal, yang oleh Ibnu Sina disebut sebagai akal mustafâd, yang mampu menerima pesan dari Allah. Dalam konteks ini, akal dengan kualitas tertinggi pun hanya sekadar sebagai penerima pesan Allah, bukan produsen pesan kebenaran.

Jika hanya melihat alam semesta saja, akal juga tidak mampu mengantarkan kepada pemahaman akhirat karena sifatnya gaib. Hanya dengan wahyulah manusia bisa memahami perspektif tentang yang gaib. Dalam hal ini, informasi dan konfirmasi wahyu bahkan bersifat mutlak. Akal tidak akan mampu menjangkau sesuatu yang bersifat gaib. Kebenaran informasi dan konfirmasi wahyu tentang kosmos yang sebelumnya tidak bisa dipahami kemudian menjadi bisa dipahami, membuat wahyu mengantarkan kepada iman kepada yang gaib. Dengan kata lain, jika informasi yang diberikan oleh wahyu tentang segala hal yang terverifikasi ternyata adalah benar, maka ketika wahyu menyampaikan tentang sesuatu yang termasuk dalam kategori “tak bisa diverifikasi (gaib)”, juga harus dianggap sebagai kebenaran.

Baca Juga :  Membela Konstitusi

Kosmos ibarat alat elektronik super canggih yang dibuat oleh seorang kreator (baca: produsen). Karena barang elektronik tersebut terlalu rumit bagi banyak orang yang akan menggunakannya, maka sang pencipta kemudian juga membuat handbook untuk memandu para pengguna agar bisa memanfaatkannya secara benar dan memudahkan aktivitas mereka dalam kehidupan sehari-hari. Jika buku panduan itu dipahami dengan benar, lalu dijalankan sesuai dengan panduan, maka barang elektronik akan bisa difungsikan dengan baik dan optimal. Sebaliknya, tanpa adanya buku panduan itu, sangat mungkin terjadi trial and error yang menyebabkan terjadi kerusakan, bukan hanya pada alat elektroniknya, tetapi juga bisa membahayakan penggunanya jika terjadi kecelakaan. Dari sini nampak bahwa wahyu memiliki sesuatu melebih yang dimiliki oleh kosmos. Kosmos hanya menyajikan data yang bersifat verifikatif. Sedangkan wahyu, di samping manyajikan informasi global tentang kosmos, juga menyampaikan informasi tentang segala yang akan terjadi setelah kehidupan dalam kosmos ini berakhir.

Lebih fatal lagi adalah kesimpulan semua firqah tersebut, bahwa akal tanpa wahyu bisa mengetahui Tuhan. Padahal, faktanya lebih banyak orang yang mengandalkan akalnya justru tidak percaya kepada Tuhan atau semakin mempertanyakan eksistensi Tuhan. Sebagaimana dikatakan oleh Al-Qur’an sendiri, jika pun mereka sampai kepada kesadaran tentang kemestian adanya Tuhan, tetapi basisnya hanyalah dugaan (dhann). Padahal, Al-Qur’an menegaskan, dugaan tidaklah bermanfaat sedikit pun untuk kebenaran hakiki. Misalnya, kepercayaan kepada Tuhan dengan konsepsi politeisme. Konsepsi teologi yang benar adalah konsepsi yang disampaikan oleh Allah sendiri dalam wahyu-Nya yang diterima oleh para utusan-Nya.

قُلْ هَلْ مِنْ شُرَكَائِكُمْ مَنْ يَهْدِي إِلَى الْحَقِّ ۚ قُلِ اللَّهُ يَهْدِي لِلْحَقِّ ۗ أَفَمَنْ يَهْدِي إِلَى الْحَقِّ أَحَقُّ أَنْ يُتَّبَعَ أَمَّنْ لَا يَهِدِّي إِلَّا أَنْ يُهْدَىٰ ۖ فَمَا لَكُمْ كَيْفَ تَحْكُمُونَ – وَمَا يَتَّبِعُ أَكْثَرُهُمْ إِلَّا ظَنًّا ۚ إِنَّ الظَّنَّ لَا يُغْنِي مِنَ الْحَقِّ شَيْئًا ۚ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ بِمَا يَفْعَلُونَ

Baca Juga :  ​Merayakan Kemurungan Hidup Bersama Filsafat

“Katakanlah, ‘Apakah di antara sekutu-sekutumu ada yang menunjuki kepada kebenaran?’ Katakanlah, ‘Allahlah yang menunjuki kepada kebenaran’. Maka, apakah orang-orang yang menunjuki kepada kebenaran itu lebih berhak diikuti ataukah orang yang tidak dapat memberi petunjuk kecuali [apabila] diberi petunjuk? Mengapa kamu [berbuat demikian]? Bagaimanakah kamu mengambil keputusan? Dan kebanyakan mereka tidak mengikuti kecuali persangkaan saja. Sesungguhnya persangkaan itu tidak sedikit pun berguna untuk mencapai kebenaran. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka kerjakan (Yunus: 35-36).”

إِنَّ الَّذِينَ لَا يُؤْمِنُونَ بِالْآخِرَةِ لَيُسَمُّونَ الْمَلَائِكَةَ تَسْمِيَةَ الْأُنْثَىٰ – وَمَا لَهُمْ بِهِ مِنْ عِلْمٍ ۖ إِنْ يَتَّبِعُونَ إِلَّا الظَّنَّ ۖ وَإِنَّ الظَّنَّ لَا يُغْنِي مِنَ الْحَقِّ شَيْئًا

“Sesungguhnya orang-orang yang tiada beriman kepada kehidupan akhirat, mereka benar-benar menamakan malaikat itu dengan nama perempuan. Dan mereka tidak mempunyai sesuatu pengetahuan pun tentang itu. Mereka tidak lain hanyalah mengikuti persangkaan, sedang sesungguhnya persangkaan itu tiada berfaedah sedikit pun terhadap kebenaran (al-Najm: 27-28).”

Jika alam semesta disebut makro kosmos, diri manusia sendiri disebut sebagai mikro kosmos, tak mengherankan jika Al-Qur’an juga menekankan agar memperhatikannya. Dan sekali lagi, Al-Qur’an juga menyebut bahwa di dalam keduanya terdapat ayat-ayat Allah.

سَنُرِيهِمْ آيَاتِنَا فِي الْآفَاقِ وَفِي أَنْفُسِهِمْ حَتَّىٰ يَتَبَيَّنَ لَهُمْ أَنَّهُ الْحَقُّ ۗ أَوَلَمْ يَكْفِ بِرَبِّكَ أَنَّهُ عَلَىٰ كُلِّ شَيْءٍ شَهِيدٌ

“Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda [kekuasaan] Kami di segala wilayah bumi dan pada diri mereka sendiri hingga jelas bagi mereka bahwa Al-Qur’an itu adalah benar. Tiadakah cukup bahwa sesungguhnya Tuhanmu menjadi saksi atas segala sesuatu? (Fushshilat: 53).”

Ayat ini makin menegaskan bahwa manusia harus menggunakan segenap potensi yang diberikan kepadanya, berupa akal dan seluruh panca indera, untuk melihat dan merasakan alam semesta. Sebab, dengan cara itu manusia akan menyadari bahwa keduanya memang sesuai. Kesesuaian itu merupakan tanda bahwa Sang Pencipta Alam itu ada dan Dia adalah yang berfirman berupa wahyu yang memandu itu. Karena itu, apa pun yang dikatakan oleh wahyu menyangkut segala sesuatu yang tidak terverifikasi sebagaimana makro dan mikro kosmos–seperti akhirat, surga, neraka, dan segala yang gaib lainnya–harus dipercayai sesuai panduan wahyu. Wallahu a’lam bi al-shawab.

Sumber :

Fatah S

Berkarier di industri media sejak 2010 dan menjadi penulis buku.