in

Membela Konstitusi

Pengurus PB HMI 2006-2008, Qomaruddin. Dokumentasi pribadi
Pengurus PB HMI 2006-2008, Qomaruddin. Dokumentasi pribadi

Oleh: Qomaruddin, Pengurus PB HMI 2006-2008

Kekuasaan pada dasarnya punya kecenderungan untuk mendominasi dan otoriter. Lebih dari itu, kekuasaan juga memiliki nafsu untuk mempertahankan kekuasaannya dengan waktu yang relatif tidak dibatasi. Nikmatnya kekuasan bagi penguasa membuat para elite kekuasaan tidak sadar diri, bahwa kekuasaan sebetulnya adalah manifestasi dari kekuasaan publik yang dititipkan kepada dirinya (amanah).

Kekuasaan yang otoriter dan tiran, dalam pandangan Thomas Hobbes, merupakan jelmaan monster yang besar, menakutkan, dan kejam (Leviathan). Dan pada saatnya, insting kekuasaan tersebut akan memangsa rakyatnya sendiri. Sebagai masyarakat demokrasi, tentunya kita tidak menginginkan apa yang dipikirkan oleh Thomas Hobbes tersebut terjadi.

Indonesia pernah mengalami hal kelam tersebut, di mana suara-suara kritis dibungkam, aktor gerakan diasingkan dan dipenjara, berserikat tidak diperbolehkan, masyarakat diintimidasi untuk mengikuti kemauan penguasa, dan gerakan lainya. Berangkat dari peristiwa itu, muncul berbagai gerakan perlawanan di mana-mana untuk menumbangkan kekuasaan yang tiran dan diktaktor tersebut. Pertanyaanya, apa kita harus menjustifikasi pendapat Habermas, bahwa revolusi–atau apa pun namanya–gerakan perubahan adalah gerakan menghilangkan ketidakadilan lama dengan mengantikan dengan ketidakadilan baru? Tentu jawabanya tidak karena kita hidup membawa nilai kebaikan (value), baik tentang keadilan, kebenaran, dan kemanusian untuk kesejahteraan dan kemakmuran masyarakat.

Dari sini pentingnya gerakan perlawanan yang dilakukan oleh para tokoh reformasi dan pejuang reformasi. Mereka berjuang melawan rezim otoriter dengan segala macam kekuatan dan dinamika yang dimiliki. Salah satu agenda utama dari perjuangan reformasi adalah mengubah UUD 1945 tentang masa jabatan presiden. Perubahan masa jabatan presiden menjadi prioritas utama bagi para kaum reformis untuk dilakukan perubahan. Upaya ini dilakukan agar kediktatoran dan tirani tumbang dan tidak muncul kembali di muka bumi kepemimpinan NKRI, negeri ini.

Baca Juga :  Gus Yahya "Kubur" HMI Connection

Namun, kita sebagai warga negara Indonesia yang pernah ikut andil dalam pergerakan reformasi–walaupun perannya terlalu kecil dan amat kecil–menjadi confused, melihat gejala-gejala negara Leviathan akan muncul lagi, di mana posisi para tokoh dan pejuang reformasi sekarang masuk dalam formasi kekuasaan saat ini. Apakah mereka tidak sadar ataukah begitu manisnya kekuasaan sehingga mampu merontokkan kesadaran kritisnya bersamaan dengan keadilan sosial saat ini? Mestinya mereka menjadi alarm yang paling keras bagi dirinya dan kekuasaan agar kekuasaan menjadi kehendak umum, bukan kehendak oligarki. Jangan sampai kalian para pejuang reformasi menjadi bagian apa yang dikatakan Habermas, “menghilangkan ketidakadilan lama dengan membuat ketidakadilan baru”. Don’t let it happen!

Kekuasaan yang otoriter cenderung ingin masa kekuasaannya dipertahankan tanpa ada batas waktu. Itulah tabiat kekuasaan yang tidak terkontrol. Untuk menghindari watak kekuasaan tersebut, maka konstitusilah yang mengatur agar kekuasaan dipergunakan sebaik-baiknya demi kebaikan, kemaslahatan, dan kesejahteraan masyarakat.

Konstitusi sebagai peraturan ketatanegaraan harus hidup dan dipatuhi bersama (living constitution), bukan dihidupkan dengan cara mengamendemen sesuai kebutuhan kelompok (oligarki) yang tidak adil dan tidak logis. Konstitusi menjadi syarat mutlak keberlangsungan suatu negara. Maka, menjadi irasional apabila ada yang mengatakan dirinya paling konstitusional, tetapi praktiknya suka otak-atik konstitusi demi kepentingan kelompoknya sendiri (ambivalen).

Baca Juga :  Nuansa Kongres HMI dalam Muswil KAHMI Malut

Menurut KC Wheare, konstitusi adalah keseluruhan sistem ketatanegaraan dari suatu negara yang berupa kumpulan peraturan-peraturan yang membentuk, mengatur, atau memerintah dalam pemerintahan suatu negara. Jelas apa yang dikatakan oleh Wheare, bahwa konstitusi adalah mengatur dan memerintah semua warga negara tanpa kecuali, baik kepala pemerintahan maupun rakyat itu sendiri. konstitusi berlaku secara mutlak untuk semua warga negara tanpa harus membeda-bedakan dan demokrasi mengatakan, bahwa manusia di hadapan hukum itu sama.

Kita sebagai rakyat juga memiliki hak untuk mempertanyakan kepada elite politik dan elite kekuasaan apa yang mendasari secara fundamental tentang keinginan kekuasaan untuk menunda pemilihan persiden (pilpres), yang itu secara pasti melanggar konstitusi dan mengkhianati perjuangan reformasi. Sebagai elite, janganlah menampakkan kelicikan di hadapan rakyat. Mestinya negara adalah tempat berkumpulnya para manusia-manusia unggul, berkualitas, dan negarawan yang berhati besar demi terwujudnya keadilan, kebenaran, dan kemakmuran rakyatnya. Negara bukan tempat berkumpulnya oligarki yang licik demi mempertahankan kekuasaan.

Apa betul yang dikatakan oleh Hannah Arendt, seorang filusuf Jerman, yang mempertanyakan kembali tentang konsep hak yang mendasar, apa benar kita masih memiliki hak atas hak kita sendiri (right to have right) sehingga kita hanya untuk bersuara saja tidak pernah dihiraukan secara serius. Hak kita sebagai warga negara meminta agar konstitusi ditaati dan dijalankan oleh para penguasa dan pemerintahan agar demokrasi bisa berjalan sesuai konstitusi.

Baca Juga :  Problematika Penundaan Pemilu dan Perpanjangan Masa Jabatan Presiden-Wakil Presiden serta Anggota Legislatif

Kita sebagai warga negara, yang sadar atas kesadaran, berhak menjaga dan membela konstitusi kita yang coba diobok-obok elite politik dan kekuasaan yang berorientasi kepentingan oligarki. Sebagai kitab sucinya negara, konstitusi wajib kita jaga, kita taati, dan kita laksanakan amanah-amanah yang ada di dalamnya. Jangan sampai konstitusi kita terdegradasi oleh perilaku dan sikap elite-elite kekuasaan dan politik yang akan mengamendemen konstitusi demi oral kekuasaan oligarkinya.

Warga negara Indonesia yang terikat konstitusi wajib hukumnya melakukan pembelaan dan memperjuangkan konstitusi dari sikap elite politik dan elite kekuasaan yang mencoba mengotak-atik konstitusi yang terkonsep dari hasil konsensus tertinggi warga Negara Kesatuan Republik Indonesia. Ini adalah marwah kita sebagai rakyat, jangan sampai konstitusi sebagai landasan kita bernegara dengan mudahnya diobok-obok demi kepentingan oligarki, bukan kepentingan demokrasi–yang kedaulatanya sepenuhnya ada pada rakyat. Praktik-praktik yang tidak rasional dan tidak konstitusional harus kita cegah agar kesewenang-wenangan tidak terjadi di negeri tercinta ini.

Sumber :

Fatah S

Berkarier di industri media sejak 2010 dan menjadi penulis buku.