in ,

Koorpres KAHMI: Good Governance Harus Diwujudkan Secara Serius

Koordinator Presidium MN KAHMI, Ahmad Riza Patria, memberikan testimoni dalam Takziah Mengenang Wafatnya Almarhum Harry Azhar Azis, Minggu (19/12/2021). LMD MN KAHMI
Koordinator Presidium MN KAHMI, Ahmad Riza Patria, memberikan testimoni dalam Takziah Mengenang Wafatnya Almarhum Harry Azhar Azis, Minggu (19/12/2021). LMD MN KAHMI

Kahminasional.com, Jakarta – Koordinator Presidium Majelis Nasional Korps Alumni Himpunan Mahasiswa Islam (MN KAHMI), Ahmad Riza Patria, menyatakan, good governance harus diwujudkan secara serius.

Dalam sambutannya pada Kajian Reboan #14 yang digelar Lembaga Kajian Strategis MN KAHMI, Ariza, sapaannya, menerangkan, terdapat beberapa prinsip dalam pelaksanaan good governance. Yakni, partisipasi dan ketanggapan atas kebutuhan stakeholder.

Kemudian, kemampuan untuk menjembatani perbedaan kepentingan masyarakat, akuntabilitas, transparansi, sesuai kerangka hukum, memiliki visi luas, serta kesetaraan dan kewajaran.

“Semua itu adalah nilai-nilai demi kesejahteraan rakyat,” ucapnya dalam webinar bertajuk “Reformasi Birokrasi; Harapan, Tantangan, dan Problematika Penyetaraan Jabatan Struktural dan Fungsional ASN”, Kamis (3/2).

Namun, Wakil Gubernur DKI Jakarta ini mengingatkan, good governance tidak akan berdampak apa-apa jika tidak bisa direalisasikan melalui pelayanan publik.

Baca Juga :  "Perhatian Harry Azhar kepada HMI dan KAHMI Sangat Besar"

“Jadi, pelayanan publik adalah standar yang bisa dilihat masyarakat, apakah pemerintah sudah berjalan baik atau belum,” jelasnya.

Dengan demikian, aparatur sipil negara (ASN) menjadi ujung tombak atau garda terdepan dalam memastikan pemerintah berjalan baik. “[Karena] mereka adalah kalangan yang bersentuhan langsung dengan masyarakat dalam pelayanan publik.”

Oleh karena itu, diperlukan reformasi birokrasi secara kultural dan struktural demi memastikan pelayanan publik berjalan optimal.

“Kedua ini harus sama-sama dijalankan,” kata Ketua DPD Partai Gerindra DKI Jakarta itu.

Saat Orde Baru (Orba) berkuasa selama 32 tahun, ungkap Ariza, birokrasi cenderung bersifat feodal dan asal bapak senang (ABS). Namun, itu berubah seiring terjadinya reformasi pada 1998.

Baca Juga :  BPN Sebut Pemindahan Ibu Kota untuk Tekan Kesenjangan

“Di era reformasi, kita coba reformasi birokrasi dengan mengubah kultur itu semua sehingga menghasilkan birokrasi yang melayani,” ujarnya.

Ariza berkeyakinan, reformasi birokrasi yang kembali digaungkan Presiden Joko Widodo (Jokowi), yakni melakukan penyetaraan dari administratif ke fungsional, bertujuan menghasilkan “struktur yang miskin”, tetapi kaya fungsi.

“Maka, ikhtiar pemerintah dalam penyetaraan bisa dianggap sebagai upaya kita sesuai tata pemerintahan yang baik,” terang Ketua Umum Ikatan Cendikiawan Muslim Indonesia (ICMI) Wilayah DKI Jakarta ini.

Meskipun demikian, dirinya mengakui, upaya tersebut menghadapi problem dan tantangan dalam pelaksanaannya.

Menurutnya, perlu adanya pendampingan dan peningkatan kompetensi bagi ASN mengingat reformasi birokrasi yang dilakukan pemerintahan Jokowi menyebabkan terjadinya pergeseran pola pikir dan aturan main secara teknis.

Baca Juga :  "Putusan MK soal UU Cipta Kerja Banyak yang Tidak Jelas"

“Selain itu, kita berharap, diskusi ini dapat menemukan apa saja solusi yang tepat,” tutup Ariza.

Sumber :

Fatah S

Berkarier di industri media sejak 2010 dan menjadi penulis buku.