Tokoh KAHMI Arsip - KAHMI Nasional Korps Alumni Himpunan Mahasiswa Islam Thu, 01 Aug 2024 22:55:44 +0000 id hourly 1 https://wordpress.org/?v=6.6.1 https://www.kahminasional.com/assets/img/2021/11/favicon-kahmi-nasional-48x48.png Tokoh KAHMI Arsip - KAHMI Nasional 32 32 202918519 Penjahit perkawanan yang mahal ongkosnya https://www.kahminasional.com/read/2024/08/02/9865/penjahit-perkawanan-yang-mahal-ongkosnya/ Thu, 01 Aug 2024 22:55:44 +0000 https://www.kahminasional.com/?p=9865 Oleh Fathorrahman Fadli, Direktur Eksekutif Indonesia Development Research (IDR) Membicarakan Bang Ichan ibarat datang pada penjahit baju yang mahal sekali ongkosnya. Namun, ongkos di sini bukan berarti uang, tetapi lebih luas dari itu semua. Ichan itu orang yang bersedia melepas perbedaan, ketidaksetujuan, bahkan kebenciannya kepada seseorang atas nama pentingnya merawat pertemanan. Saya tahu hal ini […]

Artikel Penjahit perkawanan yang mahal ongkosnya pertama kali tampil pada KAHMI Nasional.

]]>
Oleh Fathorrahman Fadli, Direktur Eksekutif Indonesia Development Research (IDR)

Membicarakan Bang Ichan ibarat datang pada penjahit baju yang mahal sekali ongkosnya. Namun, ongkos di sini bukan berarti uang, tetapi lebih luas dari itu semua. Ichan itu orang yang bersedia melepas perbedaan, ketidaksetujuan, bahkan kebenciannya kepada seseorang atas nama pentingnya merawat pertemanan. Saya tahu hal ini setelah 10 tahun menemaninya menghidupkan diskusi-diskusi yang selalu energik di Institut Peradaban (IP) bersama para tokoh-tokoh senior di Jakarta dalam berbagai profesi, mulai politisi, jenderal tentara, pejabat negara, tokoh birokrasi, pengamat ekonomi, pengamat politik, akademisi, hingga tokoh-tokoh LSM.

Ichan memiliki jaringan pertemanan yang luas. Pertemanan ini sebagai konsekuensi logis dari pekerjaannya belaka. Ia memang membutuhkan jejaring perkawanan yang luas untuk kepentingannya menjadi narasumber atas berbagai acara diskusi yang ia gelar setiap minggu. Ia menjaga dan membangun terus jejaring perkawanan itu secara apik. Beberapa di antaranya kemudian menjadi teman dekatnya yang menempel plek dari hari ke hari.

Saya sendiri hanya bertemu setiap hari Rabu siang, sekitar pukul 12.00 hingga azan Magrib tiba atau bahkan di atas Isya jika diskusinya memanas. Di luar itu, hanya bertemu dalam acara-acara yang memungkinkan untuk dihadiri secara bersama.

Tidak mudah meniru Ichan

Rasa-rasanya tidak mudah meniru Ichan. Sebab, ia tercipta hanya dalam edisi yang terbatas. Sosoknya unik, punya pendapat sendiri atas sesuatu. Ia sosok yang tak bisa didikte. Sering juga bersilang pendapat dalam banyak topik diskusi di Institut Peradaban. Namun, semua tetap berjalan dengan apa adanya. Dalam diskusi dengan Salim Said, yang kami anggap sebagai guru, Ichan tak segan-segan memotong penjelasan sang guru itu. “Enggak begitu jugalah, Bang. Gini-gini, Aku jelasin dulu konteksnya,” pinta Ichan.

Namun, Pak Salim juga tak mau kalah. Ia kerap membenamkan kemauan Ichan itu dengan berkata, “Ichan, let’s me finish, please!”

Menyaksikan keduanya berdiskusi selalu asyik. Misalnya, Salim Said melihat politik dari sudut sejarah yang memang digelutinya, sedangkan Ichan menghidupkannya dalam dimensi realitas politik kekinian yang sedang berjalan dan bagaimana konteks peristiwa politik itu terjadi. Pergaulan Ichan yang luas sangat dimungkinkan ia mendapat informasi yang baru dan segar mengenai dinamika politik yang teejadi di Tanah air. Ichan sangat diandalkan kami dalam mendapatkan informasi-informasi mutakhir selama sepekan. Kemudian, kami bersama-sama membahasnya dari sudut-sudut lain guna memperkaya wawasan.

Perkawanan yang mahal

Bagi Ichan, perkawanan itu mahal sekali harganya. Ia mampu mempertahankan perkawanan itu meski ongkosnya sangat mahal. Salah satu ongkos yang mahal itu adalah bagaimana dia membenamkan rasa benci dan ketidaksukaan atas seseorang. Ia hanya bisa luapkan hal itu pada orang-orang yag dianggap close untuk mengutarakannya. Berkali-kali bahkan bisa dianggap sering ia curhat soal seseorang yang tidak ia sukai kepada saya disela-sela senggang membersamai kami. Namun demi menjaga perkawanan itu ia menjaganya agar tidak dikonsumsi publik. Di sinilah pandainya Ichan dalam menjaga adab berteman. Meskipun untuk itu ia harus bersedia untuk terbakar sendiri. Disini pula mahalnya ongkos perkawanan versi Ichan yang unik itu.

Sosok yang moderat

Pertanyaan penting yang perlu dikemukakan adalah mengapa Ichan menjadi moderat? Menurut hemat saya, sikap moderat yang dipilihnya dengan sadar itu adalah konsekuensi logis dari kebutuhan dia akan pertemanan yang luas. Keinginan dia untuk terus berenang dalam pergaulan yang luas dan berbeda itu disadari atau tidak adalah konsekuensi logisnya adalah bersikap moderat. Sangat tidak masuk akal jika Ichan justru mengambil sikap radikal dan fundamentalis. Untuk semua itu, maka dia harus melonggarkan sejumlah nilai yang dianggapnya tidak selaras dengan keinginannya. Dia harus menjadi muara dari sejumlah perbedaan yang ada di antara aneka rupa pertemanan yang berbeda secara ideologis dan pilihan politis bahkan perbedaan agama dan mondialitas seseorang. Sebab, bagi Ichan, perbedaan itu adalah sesuatu yang taken for granted belaka.

Keberadaannya tidak perlu dipertentangkan dan dipertajam begitu rupa. Ichan seolah mengajak untuk sama-sama menjahit perbedaan itu menjadi rajutan tenun kebinekaan yang indah rupa dan enak dipandang. Namun, menurut saya, hal itu impian yang terlalu indah. Sebab, pada jamaknya kehidupan, pergesekan, perbenturan, bahkan konflik adalah bagian integral dari kehidupan itu sendiri. Konflik sangat dibutuhkan dalam usaha mendinamisasi keadaan agar tidak menuju titik jenuh. Justru salah satu maksud Tuhan menciptakan setan agar dunia bergerak secara dinamis. Di sinilah kita akan lihat dan menyaksikan manusia tamak dengan muka yang lucu. Dari pemandangan itu membuat kita bisa tertawa sehat.

Penyuka film dan kulineran

Mendengarkan Ichan dan Umar Husin bicara tentang film dan dunia intelijen sungguh sangat kaya. Mereka berdua sangat menyukai film. Informasi Ichan soal film biasanya sangat up date. Begitu pula Cak Umar Husin. Keduanya penyuka film dan dunia intelijen. Ia kerap merekomendasi sejumlah film baru yang layak kita tonton. Saya yang minim soal film hanya menyaksikan diskusi mereka dengan decak rasa kagum belaka.

Di samping menggandrungi film-film berkelas, Ichan juga menyukai aneka kuliner yang menurutnya enak rasanya. Jika lagi banyak duit, Ichan tak segan-segan mentraktir saya dan Zaki Mubarak untuk makan-makan. Suatu ketika, kami makan malam di restoran ala Timur Tengah di kawasan Santa, Kebayoran Baru. Begitu duduk, dengan muka tersenyum geli, dia bicara pada saya, “Ong, coba kau baca itu.” Kami kemudian memasangkan mata ke tulisan yang berbunyi, “Makanan ini paling enak nomor dua se-Timur Tengah.”

Kemudian, Ichan berucap, “Resto kau itu tulis saja seperti itu: masakan ini paling enak nomor dua se-Madura, yang nomor satunya suruh mereka cari, kan?” kelakarnya sambil tertawa lebar.

Gagasan-gagasan Ichan

Ichan terbilang man of ideas yang produktif. Sebagai pemikir, ia memiliki banyak sekali ide dan gagasan yang tumpah ruah. Saat duduk sebagai anggota DPD yang pertama, Ichan memiliki banyak ide, yang menurut saya, masih relevan untuk diwujudkan segera. Misalnya, Ichan melihat pentingnya menyebar sejumlah kantor kementerian yang selama ini terpusat di Jakarta ke berbagai daerah di Indonesia. Lakukan saja secara bertahap, misalnya dimulai dari penyebaran kantor BUMN yang relevan dengan karakter wilayahnya seperti kantor BUMN yang sudah ada. PT PAL di Surabaya, PT KAI di Bandung, PT Dirgantara Indonesia (eks PT Nurtanio) di Bandung, PT Bukit Asam di Sumatra, dan lain-lain.

Dalam hal kementerian, misalnya, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan di Yogyakarta, Kementerian Kelautan di Sulawesi, Kementerian Lingkungan Hidup di Kalimantan, Kementerian Investasi dan Perencanaan Pembangunan di Jakarta, dan seterusnya. Harapan Ichan, agar orang daerah tidak tertarik ke Jakarta semua sebab daerah juga menarik perhatian mereka untuk hidup sejahtera.

Merintis koran politik

Suatu ketika, saya dipanggil Ichan untuk rapat bersama Bang Hamid Basyaib. Kami rapat bertiga untuk merintis sebuah koran politik yang diharapkan dapat menjadi salah satu referensi utama para pembaca, wabilkhusus para pengambil kebijakan negara. Kami berbagi tugas, Ichan menjadi Pemimpin Umum, Hamid Basyaib sebagai Pemimpin Redaksi,dan saya sebagai Redaktur Pelaksana. Sambil menunggu Ichan dapat investor, saya dan Bang Hamid Basyaib bekerja keras untuk membangun database mempermudah kerja-kerja jurnalistik selanjutnya. Bagi kami yang berlatar jurnalis, database itu sangatlah penting untuk mendukung akurasi dan kecepatan dalam menulis berita atau analisis. Kami sudah membicarakan secara detail aksi-aksi korporasi yang akan dilakukan. Kami bertekad untuk membangun kesadaran baru masyarakat Jakarta untuk bertoleh ke media yang akan kami bangun. Misalnya, koran politik akan memasang iklan-iklan jumbo di tempat-tempat strategis Jakarta, seperti Jalan Raya Sudirman, segitiga emas Kuningan, dan jalan-jalan tol di mana sejuta mata tertuju padanya.

Sayangnya, hingga beberapa bulan berlalu, rencana itu pun belum juga terwujud. Saya dan Bang Hamid Basyaib akhirnya menyerah pada keadaan. Andai saja koran itu terbit, tentu saja akan ikut menghiasi belantika politik nasional kita sebagai bangsa.

Dari pergaulan dengan Ichan dan teman-teman yamg mengitarinya, kita banyak belajar tentang arti pentingnya berteman. Namun, percayalah padaku bahwa berteman dengan cara Ichan sungguh mahal ongkosnya: memandam sakit hati dan ketidakcocokkan yang harus terpelihara. Saya pribadi tidak bisa menjadi Ichan. Lebih baik saya memilih berteman secara apa adanya belaka. Titik!

Artikel Penjahit perkawanan yang mahal ongkosnya pertama kali tampil pada KAHMI Nasional.

]]>
9865
Kak Aida, perempuan mentor tangguh https://www.kahminasional.com/read/2024/07/13/9830/kak-aida-perempuan-mentor-tangguh/ Fri, 12 Jul 2024 18:11:18 +0000 https://www.kahminasional.com/?p=9830 Oleh Lena Maryana Mukti, Duta Besar LBBP RI untuk Kuwait dan Koordinator MPI “Len, apa kabar?” Begitu suara Kak Aida menyapa setiap kali kami berkesempatan saling mengubungi. Biasanya kami menanyakan kesehatan masing-masing. Saya sangat menyesal tidak bisa bertemu fisik dengan beliau saat berkunjung ke tanah air pada bulan Mei 2024. Kami hanya sempat bertukar kabar melalui […]

Artikel Kak Aida, perempuan mentor tangguh pertama kali tampil pada KAHMI Nasional.

]]>
Oleh Lena Maryana Mukti, Duta Besar LBBP RI untuk Kuwait dan Koordinator MPI

“Len, apa kabar?” Begitu suara Kak Aida menyapa setiap kali kami berkesempatan saling mengubungi. Biasanya kami menanyakan kesehatan masing-masing.

Saya sangat menyesal tidak bisa bertemu fisik dengan beliau saat berkunjung ke tanah air pada bulan Mei 2024. Kami hanya sempat bertukar kabar melalui telepon. Saat itu, beliau minta didoakan karena akhir-akhir ini merasa tidak sehat. Yang dikeluhkan beliau adalah rasa sakit di tangan dan bagian belakang punggungnya.

Saya mengenal Kak Aida ketika saya aktif di Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Cabang Ciputat 1983-1989. Saat itu, saya mengikuti training HMI, yang salah satu narasumbernya adalah Kak Aida. Saya tidak ingat kapan tahunnya. Yang masih melekat di ingatan saya, meskipun sudah lewat kurang lebih 40 tahun, adalah sosok perempuan yang bertubuh tidak terlalu besar, tetapi suaranya sangat tegas dan jelas. Gaya bicara beliau runtut dan kadang diselingi pernyataan yang membuat kami tersenyum. Gaya bicara Kak Aida masih tetap sama meskipun sudah menginjak usia 70 tahunan.

Beliau selalu semangat apabila bertutur tentang pengawalan partisipasi dan representasi perempuan, baik di lingkungan kampus Institut Pertanian Bogor (IPB), di mana beliau mengabdikan diri sepanjang hidupnya, maupun di Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI), organisasi intelektual muslim Indonesia yang ikut beliau dirikan dan di berbagai organisasi lainnya, termasuk di Maju Perempuan Indonesia (MPI), yang terbentuk pada 09 November 2011.

Dalam semua kegiatan MPI, Kak Aida tidak pernah absen memberi sumbang saran. Beliau akan tekun mengikuti meskipun sebagai seorang Guru Besar, kadang kegiatan diskusi virtual yang MPI lakukan sudah sangat beliau pahami. Beliau akan hadir dari awal hingga akhir diskusi. Beliau sangat paham bahwa kehadiran beliau akan memberi semangat kepada juniornya.

Beberapa tahun yang lalu, saat ultah beliau ke-70 tahun, saya dan Mbak Yuda berniat mengunjungi kediaman Kak Aida di Bogor. Bahkan, kami sudah membelikan bunga ucapan selamat ultah untuk beliau. Keinginan kami dengan alasan akan cari lain waktu karena saat itu hari sudah menjelang sore. Hingga wafatnya beliau, niat mengunjungi beliau di Bogor tidak terwujud.

Kabar sakitnya Kak Aida saya dengar dari anaknya tanggal 30 Juni 2024. Bunyi pesan WhatsApp (WA) yang saya terima sebagai berikut:

“Assalamualaikum, Bu Lena, saya Desina putrinya Bu Aida, mohon maaf baru mengabarkan bahwa Ibu Aida sedang dirawat sudah selama 17 hari. Saat ini, komunikasinya sangat terbatas, tetapi barusan minta saya info ke Ibu. Mohon doanya, ya, Bu, untuk kesembuhan Bu Aida. Terima kasih.”

Saya langsung telepon dan menanyakan kondisi beliau. Dari anak keduanya, saya mendapat tambahan informasi bahwa sesungguhnya Kak Aida bersiap keluar dari rumah sakit, tetapi tiba-tiba kondisinya menurun dan harus diobservasi kembali. Belakangan, saya mendapat informasi bahwa beliau menderita CA dan sudah menyebar.

Dada saya langsung sesak dan tidak kuasa menahan tangis.

Kembali saya hubungi anak beliau, Jumat, 12 Juli 2024, pukul 04.00 waktu Kuwait (pukul 08.00 WIB), saat bersiap akan salat Subuh untuk menanyakan perkembangan terakhir kesehatannya. Karena anaknya sedang dalam perjalanan ke RS, saya dijanjikan akan diberi kabar tentang kondisi Kak Aida.

Saat menunggu kabar, saya buka Al-Qur’an dan membacakan Surat Yasin untuk memohon kepada Sang Khalik, Allah Swt agar memberikan yang terbaik untuk Kak Aida.

Setelah memanjatkan doa selesai Yasinan, saya membatin, “Jika Allah berkehendak, mudahkanlah jalan Kak Aida menghadap-Nya di hari Jumat yang penuh keberkahan.”

Ternyata, berita wafatnya Kak Aida datang beberapa jam setelah itu. Air mata saya tidak terbendung karena kesedihan yang luar biasa ditinggal seorang kakak, mentor, guru, sekaligus panutan saya. Duka saya bertambah karena belum sempat menghadirkan Kak Aida di Kuwait, seperti yang selalu saya sampaikan ke beliau ketika kami berkomunikasi.

Saya ingin memperkenalkan beliau ke perempuan Kuwait bahwa kami punya perempuan intelektual tangguh yang sempurna sebagai sosok pendidik, sosok istri yang luar biasa ketika almarhum suami Kak Aida masih ada, juga sosok seorang ibu sekaligus nenek yang tidak pernah berhenti membagi ilmu dan membagi kebaikan.

Ya Allah Yang Maha Pengasih dan Penyayang, terimalah kembalinya Kak Aida ke haribaan-Mu. Terangilah alam kuburnya, ampuni segala dosa dan kesalahannya, dan tempatkanlah almarhumah di jannah-Mu. Lahal Fatihah. Amin.

Artikel Kak Aida, perempuan mentor tangguh pertama kali tampil pada KAHMI Nasional.

]]>
9830
Bamsoet dukung gelaran Tribute to Akbar Tandjung https://www.kahminasional.com/read/2024/05/14/9777/bamsoet-dukung-gelaran-tribute-to-akbar-tandjung/ Tue, 14 May 2024 14:51:51 +0000 https://www.kahminasional.com/?p=9777 Jakarta, KAHMINasional.com – Forum Aktivis Nasional (FAN) dan Kelompok Cipayung Plus berencana mengadakan “Tribute to Akbar Tandjung” di MPR RI, 19 April 2024. Kegiatan ini digelar sebagai bentuk penghargaan atas kontribusi dan keteladanan Akbar Tandjung dalam politik kebangsaan di Tanah Air, terutama mengkader generasi muda. Kegiatan tersebut pun didukung Ketua MPR, Bambang Soesatyo. Sebab, Akbar […]

Artikel Bamsoet dukung gelaran Tribute to Akbar Tandjung pertama kali tampil pada KAHMI Nasional.

]]>
Jakarta, KAHMINasional.com – Forum Aktivis Nasional (FAN) dan Kelompok Cipayung Plus berencana mengadakan “Tribute to Akbar Tandjung” di MPR RI, 19 April 2024. Kegiatan ini digelar sebagai bentuk penghargaan atas kontribusi dan keteladanan Akbar Tandjung dalam politik kebangsaan di Tanah Air, terutama mengkader generasi muda.

Kegiatan tersebut pun didukung Ketua MPR, Bambang Soesatyo. Sebab, Akbar Tandjung dinilai memiliki peran penting dalam percaturan politik Indonesia, khususnya menjelang dan pascareformasi.

Sebelum reformasi, Akbar Tandjung dipercaya menahkodai beberapa kementerian. Eks Ketua Umum Partai Golkar ini juga sempat memimpin DPR periode 1999-2004.

“Berbagai sepak terjang Pak Akbar sejak mahasiswa hingga kini menjadikannya sebagai sosok yang disegani dan dihormati oleh siapa pun, baik dari kalangan politisi, akademisi, cendikiawan, hingga kalangan pemuda,” ujar Bamsoet, sapaan Bambang Soesatyo, usai menerima Ketua Panitia “Tribute to Akbar Tandjung” sekaligus anggota DPD RI, Angelius Wake Kako, di Jakarta, Selasa (14/5).

Bamsoet melanjutkan, perjalanan Akbar Tandjung dalam politik kebangsaan dimulai sejak 1966, ketika menjadi aktivis Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia Universitas Indonesia (KAMI UI) dan Laskar Ampera berasma Arief Rahman Hakim. Pada 1967-1968, Akbar diamanahkan menjadi Ketua Senat Mahasiswa Fakultas Teknik UI.

“Pada tahun 1968, Pak Akbar juga aktif dalam Dewan Mahasiswa Universitas Indonesia dan Majelis Permusyawaratan Mahasiswa Universitas Indonesia. Pada 1969-1970, Pak Akbar menjabat Ketua Umum HMI Cabang Jakarta. Pada 1972, beliau turut mendirikan forum komunikasi organisasi mahasiswa ekstrauniversiter (GMNI, GMKI, PMKRI, PMII, dan HMI) dengan nama Kelompok Cipayung. Periode 1972-1974, ia menjabat Pengurus Besar HMI,” urainya.

Di tingkat dunia, sambung Wakil Ketua Umum Partai Golkar ini, Akbar Tandjung membawa nama Indonesia karena dipercaya menjadi President of Asean Inter Parliamentary Organization (AIPO) 2002-2003 dan President of Parliamentary Union of OIC Members (PUOICM) 2003-2004.

“Atas berbagai dedikasinya, berbagai penghargaan sudah diterima oleh Pak Akbar. Di dalam negeri, beliau mendapatkan Bintang Republik Indonesia Utama (1998) dan Bintang Mahaputra Adipradana (1992). Penghargaan dari luar negeri, antara lain, Grand Cross of the Order of Orange Nassau dari Belanda (1996), dan Grand Cordon of the Order of the Rising Sun dari Jepang (2022),” kata Bamsoet.

Artikel Bamsoet dukung gelaran Tribute to Akbar Tandjung pertama kali tampil pada KAHMI Nasional.

]]>
9777
Panji Gumilang: Saya seorang pendidik dan tidak pernah meragukan siapa penggantinya https://www.kahminasional.com/read/2023/07/05/9288/panji-gumilang-saya-seorang-pendidik-dan-tidak-pernah-meragukan-siapa-penggantinya/ Wed, 05 Jul 2023 05:32:02 +0000 https://www.kahminasional.com/?p=9288 Jakarta, KAHMINasional.com – Wisma Al-Islah terasa hotel bintang empat di tengah pelosok desa. Inilah kesan kuat kami ketika bermalam di lantai 4 kamar 523 Wisma Ma’had Al-Zaytun, sehari penuh, Selasa, 19 September 2006. Pondok pesantren modern yang menyandang sebutan “pusat pendidikan dan pengembangan budaya toleransi serta budaya perdamaian” ini berdiri di areal 1.200 hektare di […]

Artikel Panji Gumilang: Saya seorang pendidik dan tidak pernah meragukan siapa penggantinya pertama kali tampil pada KAHMI Nasional.

]]>
Jakarta, KAHMINasional.com – Wisma Al-Islah terasa hotel bintang empat di tengah pelosok desa. Inilah kesan kuat kami ketika bermalam di lantai 4 kamar 523 Wisma Ma’had Al-Zaytun, sehari penuh, Selasa, 19 September 2006. Pondok pesantren modern yang menyandang sebutan “pusat pendidikan dan pengembangan budaya toleransi serta budaya perdamaian” ini berdiri di areal 1.200 hektare di Desa Haurgeulis, 20 kilometer dari Indramayu, Jawa Barat.

Sekitar pukul 10.30 WIB, pria berposter tubuh besar dan tinggi, ketua yang dituakan pondok pesantren ini, datang ke lantai satu menyapa Fathorrahman Fadli dan Alfi Rahmadi dari Majalah Visi Kita. Biasa disapa Syaikh AS Panji Gumilang, dari nama lengkapnya Abdussalam Rasyidi Panji Gumilang. Ia alumni HMI Cabang Ciputat, tetapi tidak mau disebut alumni, apalagi alumni senior.

Tamat dari Pondok Modern Gontor 1966, ia menuruskan studinya di IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta mengikuti jejak dua seniornya di Gontor: Nurcholis Madjid (Cak Nur), Ketua Umum HMI Cabang Ciputat 1964-1965, dan Abdullah Syukri Zarkasyi, Ketua Lembaga Dakwah Himpunan Islam (LDMI) Cabang ini pada periode yang sama. Dua seniornya ini kuliah di Fakultas Adab, sama dengan Panji Gumilang. Cak Nur menuntaskan studi sarjana penuh (Drs) 1961-1968 dan Syukri Zarkasyi merampungkan studi sarjana muda (BA) 1960-1965.

Sejarah HMI selanjutnya mencatat: Cak Nur terpilih Ketua Umum PB HMI dua periode, 1966-1969 dan 1969-1971, tetapi tidak membuat Cak Nur riang karena pertanda bakal telat menikahi kekasihnya: Omi Komaria. Cak Nur, satu-satunya Ketua Umum PB HMI pemegang mandat dua periode karena “kecelakaan sejarah” nasional. Ia terpilih lagi karena dianggap tokoh muda intelektual Islam paling fasih menjembatani islah antara Masyumi, yang telah dibubarkan pada 1960 dengan senior, dan pemimpin HMI pada zamannya yang sejak awal memiliki sejarah buruk, khususnya mengenai konsep dasar Indonesia serta militansi Masyumi sebagai partai politik Islam.

Menyaksikan secara dekat pergolakan pemikiran Cak Nur merumuskan evolusi landasan HMI dari semula berupa Nilai-nilai Islamisme saat seniornya ini mengemban tugas ketua umum HMI Cabang Ciputat yang kelak berubah menjadi Nilai-nilai Dasar Islam (NDI) dan dibakukan menjadi NDP (1971), Panji Gumilang sampai sekarang tidak pernah menyebut dirinya sebagai alumni HMI. Itu karena ia ingin sepanjang masa menjiwai nilai-nilai dasar perjuangan yang dirumuskan seniornya itu.

Dari NDP itulah Panji Gumilang, yang lahir pada 30 Juli 1946, mengaku kepada kami menjadi salah satu katalisator terwujudnya cita-citanya menjadi “petani” saat ini: petani yang membajak sawah dan ternak sapi dengan teknologi. Di HMI Cabang Ciputat dekade akhir 1960-an, ia ketua Lembaga Pertanian Mahasiswa Islam (LPMI). Berikut perbincangannya:

Hal apa yang membuat Kanda yakin mengelola Ma’had Al-Zaytun ini?
Dari sebuah mimpi. Ketika Anda punya cita-cita dan harapan, maka tuangkan dalam mimpi itu. Belajar membuat mimpi sebetulnya telah kita pelajari dalam HMI. Menjadi insan cita dengan membawa sebuah perubahan baru. Lalu dalam prosesnya, saya yakinkan kepada Anda, yakin usaha sampai! (hahaha).

Ada anggapan moto ini untuk ukuran zaman kini, kata “sampai” dikedepankan terlebih dulu, kemudian yakinnya belakangan. Jadi, wajar menjadi lebih pragmatis dan materialistik. Menurut Kanda?
Tidak bisa! Tanpa keyakinan orang, tidak akan sampai. Dan orang sampai tanpa keyakinan itu biasanya by accident. Itulah yang akan menggagalkan kesampaiaannya. Seperti bangsa dan negara kita saat ini dijalankan dengan sedikit keyakinan sehingga pimpinannya sampai dianulir berkali-kali. Ia belum yakin terhadap plularisme, demokrasi, dan perdamaian sehingga pasang-surut. Satu tampil, kemudian dianulir lagi; begitu seterusnya. Kalau yakin, sebetulnya sisa Belanda yang kita pakai itu bisa bagus. Begitu juga sisa Jepang. Yang diambil hanya sisa-sisa yang baiknya. Apalagi, kita pakai sunah yang diajarkan oleh Nabi Muhammad saw. Maka, “yakin usaha sampai” itu sebuah kata yang luar biasa. Tidak bisa diubah!

Mengapa gaung alumni HMI tidak terlalu terdengar mengabdi dirinya secara langsung untuk pesantren?
Dalam menilai, jangan conditioning (kondisional). Jangan secara personal dan parsial. Harus dinilai dari cita-citanya. Sebab, terkadang ada proses orang mencari jati dirinya itu berkelana ke mana-mana dulu. Dalam adagium Arab disebutkan “safir tajid ‘iwadhan ‘amman tufariquhu wan-shab fainna lazizu al-‘aisyi fi an-nashabi”. Bersafarlah kamu, maka akan temukan pengganti yang terbaik dari yang kamu tinggalkan sebelumnya. Mengapa demikian? Karena dalam perjalanan itulah sesungguhnya kamu akan temukan lezatnya sebuah perjalanan untuk meraih cita-cita.

Tetapi, kapan “sampainya”? Pasti ada hal yang taktis-strategis agar umur tidak habis dalam menempuh cita-cita itu?
Ada titik akhir atau titik didih dalam perjalanannya kelak. Maka, sering kita berdoa, “Ya, Allah, jadikan akhir kami dengan husnul al-khatimah atau penutup yang baik”. Sebab, dalam perjalanan hidup ada bagian yang integral dan tak terpisahkan dari masa lalu dan masa yang akan datang. Perjalanan bangsa ini tidak dilalui 10-60 tahun. Jadi, yang disebut bangsa itu adalah bukanlah hari ini. Yang tidak ada lagi (wafat, red), termasuk yang masih dalam kandungan dan yang dicita-citakan akan lahir: semuanya disebut sebagai bangsa. Jadi, jangan dinilai hari ini sebab manusia itu qad yazid wa yanqush (turun-naik, red). Karena itulah dalam Al-Qur’an disebutkan, bahwa yang terakhir adalah lebih baik dari yang pertama. Ini semua tertuju untuk membangun dunia baru yang bahagia yang diridai Allah Ta’ala.

Tetapi, mengapa dalam proses kehidupannya, secara empirik, alumni HMI antre dalam satu gerbong panjang politik, sementara banyak gerbong sesungguhnya perlu diisi, seperti ekonomi dan pendidikan. Mengapa terjadi seperti ini?
Kalau saya ditanya bagaimana dengan HMI? Maka, saya jawab HMI itu bagus. Siapa yang bilang tidak bagus? Kita ini menamakan diri sebagai sekumpulan pemuda Islam yang memiliki tujuan jelas. Hanya saja dalam perjalanannya, ini yang kadang-kadang saja, dia pikir bahwa hidup hari ini mulus-mulus saja. Padahal, dalam perjalanan hidup, selamanya tidak mulus terus. Namanya juga hidup. Karena itu, perlu sustainable (keberlanjutan) yang memang banyak kandungannya, baik itu nilai ekonomi, nilai cita-cita, kreasi, maupun masa depan. Karena punya kandungan ini, maka HMI itu disebut korps. Sebagai sebuah korps, di satu sisi yang antre tadi salah sendiri mengapa antre. Tetapi, pada sisi lain: tentu bagi yang sudah “duduk” bisa berbuat yang terbaik untuk gerbong yang lain; misalnya melakukan advokasi untuk kemajuan dunia pendidikan. HMI lahir dari kampus dan mestinya kembali lagi ke kampus, dalam arti lembaga pendidikan sebagai kawah candradimuka kaderisasi.

*

Namanya Al-Zaytun. Bukan jenis buah yang tumbuh di Bait al-Maqdis, Palestina, tetapi lembaga pendidikan pesantren di Haurgeulis. Al-Zaytun Indonesia tampaknya tengah meracik peradaban laiknya zaman Nabi Musa ketika menerima wahyu di bukit Tursina sana. “Dan demi negeri yang aman ini”, demikian terjemahan QS al-Tin ayat 3. Ada transfer cita-cita sebuah negeri; aman secara lahir dan batin yang dibangun oleh Syaikh Abdussalam Panji Gumilang di Al-Zaytun, Haurgeulis.

Ayat tersebut dikontekstualkan dengan membangun fasilitas hotel berbintang di Ma’had Al-Zaytun. Kebutuhan makan, minum, olahraga, tidur, dan ragam kebutuhan para santrinya dibuat dengan canggih, luks, dan higienis. Tidak ada yang tidak termanfaatkan di sini. Bahkan, air kencing sekalipun disuling menjadi pakan hewan ternak dan pupuk, terutama untuk jati emas dan mahoni. Inilah salah satu prinsipnya, “Tuhanku sesungguhnya tidak ada yang sia-sia dari semua ciptaan-Mu”.

Ketika orang menggunjing Al-Zaytun berpaham sesat, mereka jawab dengan berbuat. Ketika lembaga pendidikan ramai-ramai menuntut hak bantuan operasional sekolah (BOS), diam-diam Al-Zaytun mengubah kurs dolar dengan harga sapi. Dengan sapi, percaya atau tidak, menurut ketua yang dituakan Ma’had Al-Zaytun ini (mereka menyebut pimpinan pesantrennya dengan istilah ini, red), justru ingin membebaskan beban apa pun dalam pendidikan. Caranya?

Menurut Panji Gumilang, pola pikir tentang sapi selama ini harus diubah terlebih dahulu. Yang dianggap nikmat dari sapi bukan dagingnya, tetapi justru kotorannya. Kotoran pada satu sapi bisa memproduksi pupuk untuk 10 pohon jati. Dari jumlah ini, jika disetarakan dengan kurs dolar Paman Sam, ia yakin bisa menyekolahkan anak sampai tingkat doktor dengan standar usia 25 sehingga usia di atas ini saatnya mengabdi terjun ke tengah masyarakat secara langsung dan permanen.

Apakah hal ini investasi pendidikan dari kotoran? Bukan! Justru dari daging sapi yang manusia makan kelak menjadi kotoran. Sebaliknya, kalau dari kotoran sapi, bisa jadi “daging pendidikan” untuk menggerakkan roda kehidupan. Demikian itu urai Ketua Lembaga Pertanian Mahasiswa Islam (LPMI) HMI Cabang Ciputat dekade akhir 1960-an ini ketika kami meninjau 1.200 hektare areal Ma’had Al-Zaytun, sehari penuh, 19 September 2006.

Saat kami berkunjung ke kantor Bagian Pendidikan dan Pengajaran, salah seorang ustaz muda menyapa kami, “Bang, saya juga alumni HMI”. Mengelilingi Ma’had ini ditemani Ustaz Nawawi, sekretaris pribadi Syaikh Panji Gumilang. Ternyata Nawawi juga alumni HMI Cabang Ciputat.

*

Bagaimana Kanda melihat proses kaderisasi antargenerasi HMI hari ini?
Sebagai kader yang pernah duduk di satu tempat dan kita bergabung dalam satu ikatan, satu generasi antargenerasi lainnya harus memberi pencerahan agar apa yang dikhitahkan itu menjadi nyata. Belum pernah ada peradaban maju di dunia ini tanpa melalui kemajuan lembaga pendidikan sebagai tulang punggung peradaban. Lembaga pendidikan membentuk manusia-manusia yang tercerahkan.

Tetapi, nyatanya pencerahannya redup, Kanda?
Karena banyak HMI sekarang ini yang sudah menganggap dirinya sebagai alumni (hahaha). Padahal, istilah alumni itu adalah sudah selesai atau sisa-sisa atau pensiun dan masing-masing anggota HMI mulai membawa cita-citanya. Jadi, dalam konteks organisasi alumninya, wajar saja kalau potensinya kurang tergali karena mindset istilah alumni tadi. Saya tidak pernah menganggap diri saya sebagai alumni ataupun senior HMI, tetapi sebagai HMI sampai sekarang.

Mengapa demikian?
Agar nilai-nilai perjuangannya tidak menjadi sisa-sisa atau bahkan pensiun (hahaha). Jangan pernah jadi alumni sebab itu akan pensiun. Saya tidak ngajak lo! Sebab, frame-nya sudah lain kalau menggunakan istilah alumni.

Jadi, apa frame terbaik untuk menyebut HMI yang sudah habis masanya pada suatu jenjang tertentu?
Yang tersisa adalah “korps” sebagaimana Korps Alumni Mahasiswa Islam (KAHMI). Tetapi, kalau menginginkan ada satu panglimanya atau ingin menyatu, maka bukan alumni lagi namanya karena berbentuk sebuah organisasi pokok yang bergerak seperti gerakan organisasi. Maka, jangan pakai istilah alumni, tetapi buatlah fase-fase HMI. Misalnya, HMI fase I, II, dan III. Pendidikan saja ada stratanya. Lantas, kalau sudah alumni tetapi tanpa strata, ya, seperti ini jadinya. Jadi, ada sebuah ikatan berkelanjutan yang mengikat untuk mewujudkan cita-cita bersama.

*

Panji Gumilang memang gemilang. Setelah melalang buana ke sejumlah negara sahabat, ia kumpulkan para tenaga ahli tiap bidang keilmuan sebelum dan apalagi sesudah Ma’had Al-Zaytun berdiri setelah diresmikan Presiden Bacharuddin Jusuf Habibie, 1999. Mereka mewakili dari semua cabang besar keilmuan: skolastik (keagamaan), sosial humaniora, dan eksakta atau ilmu alam dan ilmu pasti. Di sini, di tanah Haurgeulis ini, mereka membuka kota.

Dulu, sebelum Al-Zaytun berdiri, desa ini tidaklah cantik seperti penamaannya “geulis”, melainkan kumuh dan gersang. Al-Zaytun menyulapnya menjadi geulis. Semua kebutuhan ma’had dikelola secara mandiri dan berteknologi yang lazim dilakukan oleh kampus-kampus beken, seperti ITB, IPB, UGM, dan sebagainya. Pergedungannya berinterior khas Timur Tengah, Eropa, kerajaan-kerajaan Nusantara, dan Indonesia. Segala pembangunan difungsikan sebagai metodologi dan praktik nyata proses belajar mengajar. Ambil contoh, ketika para santri belajar Al-Qur’an dalam topik Al-Baqoroh (sapi) pada kisah bani Israil, misalnya, mereka diajak membuat secara nyata rekayasa genetika agar dapat menciptakan sapi unggulan lebih dari yang dicita-citakan oleh bani Israil berabad lampau.

Sejauh ini untuk menciptakan sapi unggul berkelas dunia, Al-Zaytun mentransfer gen lima sapi unggulan dunia: sapi Prancis, Jerman, Australia, Madura, dan Bali. Melalui proses teknologi, antara lain, rekayasa genetika, sapi pedaging dan susu ini sekali lahir diharapkan mampu menghasilkan 50 “kepala” (mereka meralat istilah ekor pada hewan, red). Panji Gumilang menaksir harganya sekali lahir, Al-Zaytun bisa meraup Rp2 miliar per kepala. Tinggi sapinya mencapai 2,5 sampai 3 meter dengan besar badan rata-rata dua kaki sebagaimana yang kami saksikan di kandang sapi unggulan ini.

Uniknya lagi, Panji Gumilang bercita-cita agar warna keemasan sapi yang dulu diruetkan bani Israil kepada Nabi Musa, diubah jadi merah-putih! Dan saat kami saksikan pada 2-3 sapi sekitar usia satu tahun dan di bawahnya, memang sudah agak tampak warna bendera Indonesia ini meskipun corak merahnya masih samar-samar karena masih terus uji coba melalui rekayasa genetikanya.

Itu salah satu contoh metode pembelajaranya. Begitu juga ketika mereka belajar materi meteorologi. Mempelajari cuaca panas, tata cara salat Istiska (minta hujan), mereka bedah dengan menyiapkan wujud fisik bendungan sebagai ungkapan syukur atas nikmat dan anugerah Tuhan. Musim kering di negeri tropis seperti Indonesia yang melangkakan air, bagi Panji Gumilang, itu bentuk kufur nikmat. Sebab, saat Tuhan menganugerahkan musim hujan, kita selama ini tidak menampung debit air yang besar itu dalam teknologi bandungan.

*

Perbedaan yang paling kuat yang Kanda rasakan sebagai generasi HMI 1960-an dengan sekarang?
Zaman Anda lain. (Panji Gumilang sejenak diam, seolah-olah mengingat sesuatu).

Maksudnya?
Ini jawaban saya kalau di tanya seperti itu. Jawaban ini persis diberikan Kiai saya, KH. Imam Zarkaysi (salah satu Trimurti Pondok Modern Gontor, red). Saat itu, tahun 1965, beliau bicara tentang pendidikan putra-putri. Beliau bilang, “Mendidik satu putri lebih sulit [daripada] mendidik 1.000 putra”. Statement beliau seperti ini karena Gontor saat itu tidak membuka kampus putri, apalagi sekampus dengan putra. Tidak ada yang bertanya saat itu, hanya saya. “Ustaz, kalau begitu, kepada siapa nanti putri-putri ini kita didik?” tanya saya. Beliau jawab dengan luar biasa cerdasnya, “Zamanmu lain!”. Tidak ada penjelasan berikutnya: menyuruh maupun melarang. Artinya, ada inovasi dan nalar dalam interval waktu antargenerasi di sini. Nah, sekarang kita di Al-Zaytun membuka pendidikan putri dalam satu kampus dengan putra meskipun banyak yang menentang tidak setuju.

Dalam konteks HMI, di antara nalar “zamanmu lain” itu sentuhan inovasi terbaik generasi HMI terdahulu sebagai fondasi juga refleksi untuk kemajuan organisasi pengkaderan sekarang. Menurut Kanda?
Memang sentuhan itu adalah realita zamannya masing-masing agar terjadi kesinambungan historis dari tradisi baik yang telah ada pada zaman lalu. Tetapi, itu tergantung Anda yakin atau tidak dalam praktik kaderisasi yang semestinya senantiasa berkesinambungan. Dalam hal ini masih ada contoh yang diberikan KH Imam Zarkasyi. Seorang tokoh dari Padang bertanya kepada beliau, “Pak Kiai, nanti siapa yang akan mengantikan Pak Kiai?” Pertanyaan ini pernah ditanyakan KH Syukri Zarkasyi (putra Imam Zarkasyi, red) kepada saya. Jawaban yang saya berikan juga sama persis dengan jawaban KH Imam Zarkasyi kepada tokoh dari Padang itu. “Saya seorang pendidik dan tidak pernah meragukan siapa penggantinya karena semua anak didik saya akan tampil”. Saya meminjam jawaban dari ayahnya sendiri. Ini jawaban yang sang bervisi, apakah seperti Majalah Anda: Visi Kita? (Hahaha).

 

Naskah ini dikutip dari Rubrik Liputan Utama/Wawancara Majalah Visi Kita edisi 25 tahun 2006, ditulis Alfi Rahmadi dan diterbitkan Majelis Nasional KAHMI.

Artikel Panji Gumilang: Saya seorang pendidik dan tidak pernah meragukan siapa penggantinya pertama kali tampil pada KAHMI Nasional.

]]>
9288
Tak Terbukti Korupsi Hambalang, Anas Takkan Pernah Digantung di Monas https://www.kahminasional.com/read/2023/06/26/9281/tak-terbukti-korupsi-hambalang-anas-takkan-pernah-digantung-di-monas/ Mon, 26 Jun 2023 16:41:40 +0000 https://www.kahminasional.com/?p=9281 Jakarta, KAHMINasional.com – Mantan Ketua Umum Partai Demokrat, Anas Urbaningrum, masih harus menjalani wajib lapor sekalipun telah keluar dari Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Sukamiskin per 11 April 2023. Sebab, baru bebas murni pada Juli mendatang. Sejak menghirup udara bebas hingga kini, Anas belum mengeluarkan sepatah kata pun tentang politik, termasuk menyangkut Partai Demokrat. Padahal, ia selalu […]

Artikel Tak Terbukti Korupsi Hambalang, Anas Takkan Pernah Digantung di Monas pertama kali tampil pada KAHMI Nasional.

]]>
Jakarta, KAHMINasional.com – Mantan Ketua Umum Partai Demokrat, Anas Urbaningrum, masih harus menjalani wajib lapor sekalipun telah keluar dari Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Sukamiskin per 11 April 2023. Sebab, baru bebas murni pada Juli mendatang.

Sejak menghirup udara bebas hingga kini, Anas belum mengeluarkan sepatah kata pun tentang politik, termasuk menyangkut Partai Demokrat. Padahal, ia selalu dirongrong dengan janji “gantung Anas di Monas” jika melakukan korupsi dalam kasus Hambalang walaupun cuma Rp1, yang diucapkan pada 9 Maret 2012.

Menanggapi ini, Guru Besar Ilmu Hukum Universitas Al Azhar Indonesia (UAI), Suparji Ahmad, memiliki jawabannya. Menurutnya, menagih janji Anas tersebut perlu dikaji secara objektif dan kredibel.

“Membangun keyakinan bahwa Anas tidak bersalah tidak boleh secara subjektif, harus terstruktur dan teruji objektif dengan eksaminasi dan standar objektif norma teori dan filsafat hukum Sehingga, pendapat kita pendapat objektif,” tuturnya dalam diskusi “Mengapa Anas Tak Jadi Digantung di Monas?” di Jakarta, Senin (26/6).

Suparji melanjutkan, Anas masih memerlukan keadilan secara hukum dan sosial. Pasalnya, dengan fakta-fakta hukum yang ada, sangat mungkin Anas batal digantung di Monas.

“Secara hukum, Anas sudah menjalani hukuman 8 tahun. Meski masih ada kemungkinan melakukan upaya hukum peninjauan kembali (PK) 2, bukan tidak mungkin PK 2. Kedua, memperjuangkan Anas secara sosiologis karena sudah terstigma,” ucapnya.

“Buku Mas Tofik Pram ini salah satu upaya memperjuangkan itu,” sambungnya. Diskusi ini sekaligus membedah buku karya Tofik Pram berjudul Halaman Pertama Anas Urbaningrum.

Berdasarkan fakta persidangan, Suparji mengingatkan, justru tidak ada bukti-bukti Anas melakukan korupsi dalam proyek pembangunan Hambalang. Dengan demikian, tidak relevan untuk menangih janji menggantung Anas di Monas.

“Anas divonis tidak korupsi, tidak terima korupsi Hambalang sampai tingkat kasasi oleh belasan orang hakim [yang] mengadili sejak tingkat pertama,” katanya.

Sarat Kejanggalan
Tofik Pram menambahkan, kasus Anas sarat kejanggalan sejak awal. Dicontohkannya dengan bocornya surat perintah penyidikan (sprindik) hingga dugaan intervensi kekuasaan kala itu hingga membentuk persepsi Anas harus dinyatakan bersalah.

“Inilah dampak jangka panjang dari konstruksi opini tentang sosok Anas di masa lalu,” ujarnya. “Betapa narasi dan wacana yang dibangun kala itu benar-benar membungkus Anas dalam stigma negatif sehingga dia sudah ‘divonis’ bahkan jauh sebelum ditetapkan sebagai tersangka.”

“Segala bentuk informasi yang bisa meringankan Anas seolah tidak disajikan secara adil kepada publik, apa pasal? Sebab, konstruksi narasi yang dibangun waktu itu adalah Anas harus salah, dia harus pergi,” sambungnya.

Melalui buku yang ditulisnya, Tofik mencoba menghadirkan narasi alternatif tentang perjalanan kasus yang menjerat Anas. Tujuannya, mengajak pembaca agar adil sejak dalam pikiran.

“Sekaligus mengingatkan agar hati-hati bahwa politik berbiaya tinggi itu bisa menyebabkan kontroversi hati,” tegasnya.

Artikel Tak Terbukti Korupsi Hambalang, Anas Takkan Pernah Digantung di Monas pertama kali tampil pada KAHMI Nasional.

]]>
9281
Revolusi Cinta Ahmad Yohan https://www.kahminasional.com/read/2023/04/15/9192/revolusi-cinta-ahmad-yohan/ Sat, 15 Apr 2023 12:32:53 +0000 https://www.kahminasional.com/?p=9192 Oleh Hasan M. Noer, Peneliti dan Pengamat Sosial-Keagamaan; Khadimul Ma’had Pondok Madinatunnajah Kesultanan Menanga Solor, Flores, NTT Buya Hamka (1908-1981) melalui sebuah buku yang sudah menjadi klasik, Dari Lembah Cita-cita (1967), membuat kesaksian tentang bagaimana peran pemuda dalam mengubah dunia. Para pemuda pilihan itu ditempa oleh penderitaan rakyatnya, membuat mereka tampil revolusioner untuk membebaskan bangsanya […]

Artikel Revolusi Cinta Ahmad Yohan pertama kali tampil pada KAHMI Nasional.

]]>
Oleh Hasan M. Noer, Peneliti dan Pengamat Sosial-Keagamaan; Khadimul Ma’had Pondok Madinatunnajah Kesultanan Menanga Solor, Flores, NTT

Buya Hamka (1908-1981) melalui sebuah buku yang sudah menjadi klasik, Dari Lembah Cita-cita (1967), membuat kesaksian tentang bagaimana peran pemuda dalam mengubah dunia. Para pemuda pilihan itu ditempa oleh penderitaan rakyatnya, membuat mereka tampil revolusioner untuk membebaskan bangsanya dari penjajah.

“Dua orang pemuda telah datang kepadaku dan bertanya tentang apa rahasianya sehingga bangsa Arab yang semula berpecah belah dan hidup dalam gelap gulita kejahiliahan itu, dalam masa yang amat singkat—hanya 23 tahun—telah dapat disatukan dan dibangkitkan oleh Nabi saw menjadi bangsa yang besar dan kuat, gagah perkasa, mampu membuat riwayat umat menjadi gilang gemilang berabad-abad lamanya, sampai-sampai tidak ada ahli tarikh yang dapat memungkirinya” (Hamka, 1967: 9).

Sungguh besar posisi kedua pemuda itu dalam pandangan Hamka. Di saat tokoh pujangga baru terkemuka dan penulis roman terkenal, Tenggelamnya Kapal Van der Wijck ini duduk berhadapan dengan mereka dan terkenanglah beliau akan riwayat beberapa pemuda hebat yang telah mengukir sejarah dunia.

Kedua pemuda itu ingin mendengar dari Hamka tentang bagaimana menjadi pemuda yang berguna bagi bangsa di tengah zaman revolusi, yang oleh Bung Karno disebut-sebut sebagai “zaman yang berkobar-kobar” itu (Soekarno, Di Bawah Bendera Revolusi, 1965).

Terkenanglah Hamka pada beberapa pemuda sekolah militer Turki di bawah pimpinan Mustafa Kemal Attaturk (1881-1938) mengadakan perkumpulan rahasia untuk menumbangkan kekuasaan Sultan Turki Utsmani. Teringatlah Hamka pada pergerakan pemuda Mesir di bawah pimpinan Mustafa Kamil Pasha (1874-1908) untuk merebut kemerdekaan Mesir dari tangan penjajah.

Teringatlah Hamka pada pemuda Gandhi (1869-1948), advokat di Afrika Selatan dengan gaji besar demi melihat bangsanya dipandang hina oleh bangsa Inggris. Timbul gelora api perjuangan di dadanya untuk membela bangsa India.

Ditinggalkan penghasilannya yang besar dari membela perkara orang di muka hakim, ia berangkat menuju tanah airnya sendiri untuk menjemput kesengsaraan dan kemiskinan rakyat. Ia hendak berjuang membela nasib bangsanya dari penindasan bangsa Inggris.

Terkenanglah Hamka pada pemuda Sun Yat Sen (1866-1925), anak seorang petani China yang geram melihat bangsanya diperlakukan secara hina oleh bangsa kulit putih. Tergeraklah hatinya untuk memperbaiki bangsanya yang terhinakan agar dia naik ke atas puncak mercusuar kemuliaan.

Pada usia 28 tahun, ia mulai menanam benih kemerdekaan tanpa lelah dan putus asa hingga maut menjemputnya pada tahun 1925, sebelum tercapai kemerdekaan bangsa China. Ia pergi membawa “utang cita-cita” kemerdekaan bangsanya, tetapi utang itu dilunasi generasi penerusnya dengan merebut kemerdekaan China pada tahun 1945.

Teringatlah Hamka pada pemuda Hatta (1902-1980), dalam usia 25 tahun berhasil mendirikan perkumpulan politik Perhimpunan Indonesia di Leiden, Belanda. Bahkan, dalam usia 26 tahun, ia telah memimpim Kongres Liga melawan imperialisme dan menulis pleidoi pembelaannya, “Indonesia Merdeka” di depan Pengadilan Den Haag.

Teringatlah juga Hamka kepada pemuda Soekarno (1901-1970) dalam usia 28 tahun pula, seperti pemuda Sun Yat Sen, telah membacakan pleidoinya yang terkenal, Indonesia Menggugat, di Landrad Bandung.

Hanya orang “gila” yang bersedia menempuh bahaya di depannya. Pemuda Nurcholish Madjid (1939-2005) juga disebut “gila” oleh masyarakatnya tatkala dalam usia 31 tahun, berani memproklamirkan “ide pembaruan pemikiran Islam di Indonesia” pada era 1970-an.

Maka, tepat sekali perkataan Rasulullah saw, “Pemuda adalah satu bagian dari gila”. Rasulullah saw sendiri disebut “gila” oleh masyarakat di zamannya karena dia mengatakan yang belum dikatakan, dia berpikir yang belum dipikirkan, dia membuat riwayat yang belum diriwayatkan. Dia melawan arus, menggulung ombak, menaklukkan samudra. Sungguh, dia memang “gila” untuk sebuah zaman gelap gulita.

Pulang Kampung
Muhammad Asad (1979) menyebut kunci di balik sukses Rasulullah saw adalah terletak pada visi tsaurat al-rahmah (revolusi cinta), yang digerakkannya sepanjang sejarah 23 tahun mengemban misi kenabian. Visi besar ini berhulu pada konsep Islam agama rahman (QS. 21: 107). Konsep ini hadir menjadi lokus dari mana “revolusi cinta” bersandar, membuat sejarah meneguhkannya sebagai “telos dunia”.

Di sini, kita justru menemukan ide dan cita “revolusi cinta” itu pada tindakan politik seorang politisi muda, Ahmad Yohan (AYO). Ia memilih pulang kampung untuk mewujudkan “revolusi cintanya” yang berkobar-kobar.

Strategi politik Ahmad Yohan itu mengingatkan kita pada seorang teman ketika kami dengan bangga menerima selembar ijazah sebagai sarjana, ia berbisik pelan kepadaku, “Menjadi sarjana itu kita harus berani merevisi beberapa unsur cita-cita.”

Ya, sebagai sarjana baru, terkadang cita-cita kita tak realistis, terlalu artifisial (mengada-ada), bahkan absurd (tak masuk akal). Ia membutuhkan sebuah revolusi.

Melalui slogan “pulang kampung bangun kampung”, Yohan dengan tepat merumuskan revolusi cintanya dengan merevisi beberapa unsur cita-citanya agar bisa berdiri di sisi rakyat kecil di kampung-kampung. Seakan-akan ia dengan sadar mengambil alih cita-cita kawan kita di atas sambil meneguhkan posisi dirinya di pentas politik nasional.

Ia dengan disiplin, tekun, dan sabar menuntun hatinya untuk menegaskan pergulatan politiknya: Dari Kampung Aku berbakti untuk Indonesia! Ini tindakan revolusioner. Sebuah cita-cita mulia, realistis, dan masuk akal.

Secara substansif, slogan politik ini dimaksudkan sebagai peneguhan identitas politik personal sekaligus sebagai wujud panggilan moral kolektif untuk berbakti kepada lewo tanah dan suku ekang. Secara atraktif, Yohan telah memperlihatkan revolusi cintanya itu melalui kiprah sosialnya yang membesarkan hati.

Ia bukan saja menunjukkan kepeduliannya pada jeritan rakyat di kampung-kampung, tetapi juga datang untuk membalut luka yang tergores perih di dada mereka. Ia seakan menyimak dengan baik kata-kata indah seorang penyair

luka yang tergores perih,
tak kuasa kubawa berlari,
sampai jemari kasihmu,
sanggup membalut lukaku,
hingga hilang pedih perih.

Ya, Yohan telah membalut luka itu dengan jemari kasihnya. Ia memilih memungut serpihan-serpihan harapan rakyat yang tercecer di balik transaksi kedustaan. Ia menuntun hatinya untuk berharap kepada Allah agar ia diberikan daya untuk membangun dan menata kampung halamannya.

Dia ingin melihat masa depan negeri ini melalui kampung-kampung. Ya, bagaimana kampung-kampung itu diurus. Sejauh yang bisa dipantau, Yohan telah berada dalam proses membangun dari kampung ke kampung itu.

Di atas segalanya, dibutuhkan sekarang adalah kesaksian yang jujur dan tulus tanpa menyembunyikan kenyataan, positif maupun negatif. “Barang siapa yang menyembunyikan kesaksian, maka sesungguhnya ia telah membutakan hatinya” (QS. 2: 283). “Sebab, yang buta itu bukan mata, melainkan hati yang bersarang di dada” (QS. 22: 46).

Rupa-rupanya Yohan telah membalut luka di hati masyarakatnya bukan dengan tangannya, melainkan dengan hatinya. Inilah revolusi cinta anak-anak orang susah menapak anak tangga untuk menggenggam sebungkah amanah.

Yohan sangat menyadari tentang ide dasar dari mana Rasulullah saw tumbuh menjadi obor dunia karena kepekaan sosialnya: mengibarkan bendera revolusi cinta karena simbol kekuatan cinta adalah hati. Ya, ada pada hati yang peduli.

Yohan tampaknya sangat memahami bahwa saat membangun Kampung Madinah, Rasulullah saw memulai dengan “mempersaudarakan, mempersamakan, dan membebaskan” masyarakat dari sistem dominasi sosial yang zalim. Melalui strategi ini, “dunia baru pun ditemukan!” (Stoddard, 1966).

Kita tidak tahu, dari mana sumber ilham Ahmad Yohan memungut ide dasar pulang kampung bangun kampung. Namun, satu hal yang saya tahu pasti, Yohan menyadari dengan sungguh-sungguh, “Kampung adalah jiwa sebuah bangsa.”

Jika baik sebuah kampung, baiklah bangsa itu; jika buruk sebuah kampung, buruklah bangsa itu. Sebab, hadirnya bangsa karena kampung, hilang kampung musnahlah bangsa.

Misi pembebasan, persamaan, dan persaudaraan masyarakat telah menjadi “getah kemanusiaan” yang ditawarkan Ahmad Yohan untuk menautkan ulang keterbelahan politik, merekatkan lagi keterpisahan ideologi, dan memulihkan kembali keretakan sosial.

Oleh karena itu, kesediaannya pulang kampung adalah rahmat. Sebab, dengan begitu ia mampu meraih mandat rakyat untuk merebut kursi parlemen di Jakarta. Dari Jakarta, dengan cinta yang berkobar-kobar, ia berlari membangun kampung halamannya.

Tipikal Yohan adalah refleksi dari revolusi cinta orang-orang kecil yang berjuang mengubah takdirnya dengan logika terbalik, dengan bukti-bukti yang sulit dicerna akal sehat. Namun, itulah kuasa Ilahi.

Bangun Kampung
Pada posisi seperti itulah kita hendak melihat figur Ahmad Yohan sebagai potret kecil animasi sosok Gandhi, Soekarno, Hatta, Musthafa Kamil, Kemal Attaturk, Sun Yat Sen, atau Nurcholish Madjid pada ide dan cita “kegilaan” yang mereka tawarkan sebagai wujud dari revolusi cinta yang berkobar-kobar.

Kata kunci yang mereka bawa adalah bukti bukan bualan. Maka, benar kata Yohan dengan mengutip petuah bijak orang-orang tua di kampung, “Orang muda seperti kita ini jika berkata tanpa bukti, akan mudah ditinggalkan orang.”

Figur Ahamd Yohan tampil samar-samar di tingkat nasional meski ia adalah Ketua Umum Barisan Muda Partai Amanat Nasional (BM PAN). Ia memang tidak setenar tokoh politik nasional lainnya, tetapi melihat kiprah sosial-politiknya, ia jelas menjanjikan sebuah masa depan yang cerah.

Tokoh muda ini adalah anggota parlemen Fraksi PAN, alumnus UIN Yogyakarta, dan aktivis tulen HMI. Ia tampil di hadapan konstituennya dengan slogan autentik: Pulang Kampung Bangun Kampung. Sebuah slogan yang mengalirkan “energi cinta” pada penderitaan rakyat sebagai wujud dari pergulatan politiknya yang menggema keras akhir-akhir ini. Pergulatan politik inilah yang ingin ia tebarkan ke tengah khalayak.

Ia bagaikan Gandhi yang pulang kampung dari menikmati kenyamanan hidup sebagai pengacara hebat di Afrika Selatan menuju India yang telantar dan tak terurus. Ia berdiri tegak dengan teguhnya di sisi rakyat India yang bergelimang debu-debu kemiskinan dan berselimut bekas-bekas ketakberdayaan.

“Jika kampung halaman memanggilku tetapi Aku tak sanggup mendatanginya karena keterbatasanku, biarlah Dia Yang Mahakuasa mendatangi mereka dan berdiri tegak di belakang mereka sebagai pembelanya!” demikian Gandhi bertekad.

Yohan, sebagaimana Gadhi, terpanggil untuk pulang kampung karena menyaksikan kemiskinan dan ketakberdayaan masyarakatnya. Ia dengan riang mendatangi konstituennya dari kampung ke kampung, malah dari rumah ke rumah. Apa yang bisa diberikan, dia berikan. Apa yang mampu dibantu, dia bantu.

Apabila dia melihat ada masdrasah atau sekolah yang rusak, apabila dia melihat ada masjid atau gereja yang patut diperbaiki, dia mengulurkan tangan bantuannya. Kegiatan anak-anak muda, ia bantu dengan segenap keutuhan hatinya.

Pernah suatu hari ia berkisah. Ia mendatangi sebuah masjid untuk memperkenalkan diri sebagai calon wakil rakyat, tetapi jemaah di masjid itu menolaknya mentah-mentah. Alasannya logis, mereka sudah memiliki calon lain untuk diusung. Secara politik, tindakan masyarakat ini jelas mencederai demokrasi. Sungguhpun demikian, Yohan tak patah arang. Ia justru membalut luka di hatinya dengan sabar dan ikhlas.

Keikhlasannya membawa hikmah. Terbukti, setelah ia terpilih sebagai wakil rakyat dari NTT di Senayan, masjid pertama yang ia datangi dan memberikan bantuan adalah mesjid pertama yang menolak kehadirannya di saat kampanye.

Jemaah di masjid yang pernah menolaknya itu menerima bantuannya dengan berlinang air mata. Subhanallah, Inilah akhlak Rasulullah saw yang pernah dengan anggun ditunjukkan Yohan kepada konstituennya.

Kekuatan terbesar Ahmad Yohan justru ada pada komitmen personalnya untuk melakukan “investasi sosial” di tengah masyarakat. Ia sukses melakukan itu meski tantangannya sungguh berat.

Sesungguhnya politisi yang baik pasti bukanlah mereka yang datang di saat pemilu, lalu pergi setelah terpilih, tetapi mereka yang datang di saat rakyat susah dan pergi di saat rakyat tersenyum.

Ia seakan menghayati betul pesan John F. Kennedy dengan sedikit revisi, “Jangan bertanya tentang apa yang telah diberikan rakyat kepadamu, tetapi bertanyalah tentang apa yang telah engkau berikan kepada rakyat.”

Di sini juga kita menemukan tokoh muda ini bagaikan sosok Soekarno dan Hatta yang rela berkorban untuk rakyat sebelum rakyat berkorban untuk mereka. Karenanya, Soekarno pada detik-detik terakhir di Lapangan Ikada Jakarta meminta rakyat untuk berdiri di belakang Soekarno-Hatta agar nyala api kemerdekaan tak jadi padam.

“Jika bangsa ini memberiku 1.000 orang tua, Aku akan sanggup mencabut batang Semeru hingga ke akar-akarnya; tetapi jika bangsa ini memberiku 10 pemuda, Aku akan sanggup menggoncangkan dunia” (Hamka, 1967).

Soekarno telah membuktikan kata-katanya dan dunia mencatat kata-kata itu sebagai slogan politik paling heroik sepanjang sejarah. Yohan tak perlu menjadi Soekarno untuk meraih dukungan politik. Ia bahkan menjadikan pemuda untuk mewujudkan revolusi cintanya yang menyala-nyala.

Ia memilih dan menempatkan para pemuda pilihan sebagai agen politik untuk meraih kepercayaan sosial (social trust). Ia pun menanamkan nilai-nilai sosial (social values) dan menciptakan jaringan sosial (social networks) sejalan dengan dukungan dan partipisipasi politik masyarakatnya (Field, 2010: 26).

Melalui jaringan sosial itulah Yohan menemukan pijakan: perbedaan adalah kenyataan dan persatuan adalah keharusan. Ya, hanya dengan persatuan kita mampu membangun kampung dan hanya dengan perbedaan kita dapat menemukan cinta.

Kalimat terakhir itu, akan dengan mudah terkatakan di saat orang menemukan lokus agama sebagai revolusi cinta dan menjadikan telos sosial sebagai revolusi politiknya.

Ahmad Yohan mungkin terlalu jauh jika dibandingkan dengan tokoh dunia di atas, apalagi disandingkan dengan figur agung semacam Rasulullah saw. Namun, apa yang dilakukannya untuk umat dan bangsa di kampung halamannya sungguh mengharukan.

Lebih-lebih lagi di kala rakyat terperangkap di dalam rumah akibat pandemi Covid-19 ini—seperti terbaca kiprah sosialnya melalui media sosial—ia dengan sigap mengulurkan tangan bantuannya kepada rakyat yang sedang didera kesulitan hidup.

Sesungguhnya di balik kemunculan berbagai kiprah personal yang ditebarkannya, memberikan isyarat kuat bahwa keberhasilan sebuah gerakan sosial terletak pada revolusi cinta yang ditaburkannya. Suka atau terpaksa, slogan pulang kampung bangun kampung telah menjadi ikon Ahmad Yohan dalam memaknai revolusi cintanya.

Slogan itu telah menuntunnya untuk menemukan legitimasi moral paling genuine bahwa revolusi cinta yang digerakkan oleh Rasulullah saw di atas panggung politik dunia itu telah diembannya dengan penuh tanggung jawab sesuai batas kemampuan yang ditakdirkan Qadli Rabbul Jalil untuknya.

Benar kata orang, “Setiap zaman ada tokohnya, setiap tokoh ada zamannya”. Semoga revolusi cinta Ahmad Yohan di pentas politik nasional mewakili rakyat NTT, menjadi indikasi kuat bahwa dialah tokoh yang tepat untuk mewakili zamannya. Wallahu a’lam.

Artikel Revolusi Cinta Ahmad Yohan pertama kali tampil pada KAHMI Nasional.

]]>
9192
Cerita di Luar Arena Munas KAHMI: Fatah Yasin Traktir Puluhan Orang hingga Jutaan Rupiah https://www.kahminasional.com/read/2022/11/25/9071/cerita-di-luar-arena-munas-kahmi-fatah-yasin-traktir-puluhan-orang-hingga-jutaan-rupiah/ Fri, 25 Nov 2022 11:30:06 +0000 https://www.kahminasional.com/?p=9071 KAHMINasional.com, Palu – Banyak cerita menarik yang dihadirkan dari kegiatan Musyawarah Nasional (Munas) XI Korps Alumni Himpunan Mahasiswa Islam (KAHMI) di Kota Palu, Sulawesi Tengah (Sulteng), 24-27 November 2022. Selain dinamika kontestasi para calon presidium Majelis Nasional (MN), suasana kehangatan para kader di luar arena juga menghangatkan soliditas. Tak jarang memantik jenaka. Ini seperti pengalaman […]

Artikel Cerita di Luar Arena Munas KAHMI: Fatah Yasin Traktir Puluhan Orang hingga Jutaan Rupiah pertama kali tampil pada KAHMI Nasional.

]]>
KAHMINasional.com, Palu – Banyak cerita menarik yang dihadirkan dari kegiatan Musyawarah Nasional (Munas) XI Korps Alumni Himpunan Mahasiswa Islam (KAHMI) di Kota Palu, Sulawesi Tengah (Sulteng), 24-27 November 2022.

Selain dinamika kontestasi para calon presidium Majelis Nasional (MN), suasana kehangatan para kader di luar arena juga menghangatkan soliditas. Tak jarang memantik jenaka.

Ini seperti pengalaman unik yang dialami Ketua Bidang Pertanian MN KAHMI, M. Fatah Yasin, di sekitar masjid menjelang salat Jumat (25/11).

Mulanya, Wakil Sekretaris Jenderal Bidang Informasi dan Komunikasi MN KAHMI, Dwiki Setiawan, berjumpa dengan Yasin di stan Bank Syariah Indonesia (BSI), Sriti Convention Hall, Kota Palu.

Lantaran azan Jumat segera berkumandang, Dwiki lalu mengajak Yasin ke masjid terdekat untuk salat.

“Kita, kan, musafir, Dwiki, bisa salat Zuhur saja,” ucap Dwiki menirukan Yasin.

“Saya tarik tangannya, Mas Yasin pun turut. Jalan berdua ke arah masjid tak jauh dari lokasi munas,” imbuhnya.

Di dalam perjalanan, keduanya bertemu empat delegasi Majelis Daerah (MD) di Jawa Timur (Jatim). Keempatnya hendak mencari makan.

Dwiki beserta Yasin dan keempat delegasi MD Jatim lantas ke sebuah rumah makan sederhana tepat sebelum masjid.

Meski tidak kenal dengan keempat kader KAHMI Jatim itu, Yasin berupaya akrab dan bersahaja terhadap mereka.

“Mas Yasin mempersilakan mereka pesan minum dan makan, yang ternyata menunya khas Palu,” kata eks Ketua Umum Bakornas LAPMI PB HMI ini.

Usai salat Jumat, Yasin juga menawarkan kepada siapa pun jemaah yang lewat warung untuk masuk warung dan makan sepuasnya, yang disajikan prasmanan. Kebanyakan peserta munas dan beberapa protokoler Wakil Presiden Ma’ruf Amin.

“Perkiraan saya, ada mungkin 50 orang yang ditraktirnya. Berapa rupiah yang dikeluarkan? Sekian juta pokoknya,” seloroh Dwiki.

Artikel Cerita di Luar Arena Munas KAHMI: Fatah Yasin Traktir Puluhan Orang hingga Jutaan Rupiah pertama kali tampil pada KAHMI Nasional.

]]>
9071
JK Mau Kader KAHMI Lampaui Prestasinya https://www.kahminasional.com/read/2022/11/25/9065/jk-mau-kader-kahmi-lampaui-prestasinya/ Fri, 25 Nov 2022 09:36:51 +0000 https://www.kahminasional.com/?p=9065 KAHMINasional.com, Palu – Jusuf Kalla (JK) menjadi mantan kader Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) yang memiliki karier paling cemerlang. Sebab, dia tercatat pernah menjadi wakil presiden (wapres) di era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan pemerintah Joko Widodo (Jokowi). JK berharap ada anggota Korps Alumni HMI (KAHMI) yang dapat melampaui capaiannya tersebut. “Saya bersyukur bahwa selama […]

Artikel JK Mau Kader KAHMI Lampaui Prestasinya pertama kali tampil pada KAHMI Nasional.

]]>
KAHMINasional.com, Palu – Jusuf Kalla (JK) menjadi mantan kader Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) yang memiliki karier paling cemerlang.

Sebab, dia tercatat pernah menjadi wakil presiden (wapres) di era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan pemerintah Joko Widodo (Jokowi).

JK berharap ada anggota Korps Alumni HMI (KAHMI) yang dapat melampaui capaiannya tersebut.

“Saya bersyukur bahwa selama ada KAHMI, mungkin sayalah yang paling tinggi pangkatnya di negeri ini di KAHMI,” uca JK dalam “Gala Dinner KAHMI” di Kota Palu, Sulawesi Tengah (Sulteng), pada Kamis (24/11).

“Dua kali jadi wapres. Mudah-mudahan di masa datang ada KAHMI yang lebih baik dari saya. Udah, itu aja,” imbuh Ketua Dewan Etik Majelis Nasional (MN) KAHMI ini

Gala Dinner KAHMI turut dihadiri beberapa pengurus dan mantan kader. Koordinator Presidium MN KAHMI, Ahmad Doli Kurnia; Ketua Dewan Pakar MN KAHMI, Mahfud MD; dan eks Gubernur DKI Jakarta, Anies Baswedan; misalnya.

Artikel JK Mau Kader KAHMI Lampaui Prestasinya pertama kali tampil pada KAHMI Nasional.

]]>
9065
Akbar Tandjung Raih Penghargaan Tertinggi Kekaisaran Jepang https://www.kahminasional.com/read/2022/11/10/8956/akbar-tandjung-raih-penghargaan-tertinggi-kekaisaran-jepang/ Thu, 10 Nov 2022 13:24:07 +0000 https://www.kahminasional.com/?p=8956 KAHMINasional.com, Jakarta – Ketua Dewan Penasihat Korps Alumni Himpunan Mahasiswa Islam (KAHMI), Akbar Tandjung, menerima Grand Cordon of the Order of the Rising Sun dari pemerintah Jepang. Bintang tanda jasa tersebut merupakan penghargaan tertinggi kekaisaran Jepang. Penghargaan diberikan atas jasanya meningkatkan pertukaran di bidang politik, pemuda, dan olahraga antara Indonesia-Jepang. Penghargaan diberikan langsung oleh Kaisar […]

Artikel Akbar Tandjung Raih Penghargaan Tertinggi Kekaisaran Jepang pertama kali tampil pada KAHMI Nasional.

]]>
KAHMINasional.com, Jakarta – Ketua Dewan Penasihat Korps Alumni Himpunan Mahasiswa Islam (KAHMI), Akbar Tandjung, menerima Grand Cordon of the Order of the Rising Sun dari pemerintah Jepang.

Bintang tanda jasa tersebut merupakan penghargaan tertinggi kekaisaran Jepang. Penghargaan diberikan atas jasanya meningkatkan pertukaran di bidang politik, pemuda, dan olahraga antara Indonesia-Jepang.

Penghargaan diberikan langsung oleh Kaisar Jepang, Naruhito, kepada Akbar Tanjung, pada Rabu (9/11) waktu setempat.

“Kami merasa sangat terhormat atas apresiasi yang telah diberikan kepada saya,” ucapnya di sela-sela penganugerahan.

“Penghargaan ini juga menjadi salah satu bukti komitmen kami untuk selalu menghadirkan kerja sama yang baik dengan pemerintah Jepang,” imbuhnya.

Sementara itu, Menpora, Zainudin Amali, mengungkapkan, Akbar Tandjung merupakan salah satu tokoh politik kawakan yang sangat berpengaruh di Indonesia.

“Beliau ini adalah aktivis dan tokoh pemuda di zamannya. Pak Akbar pernah menjadi Ketua Umum PB HMI, yang organisasinya sampai saat ini masih eksis dan menciptakan banyak kader bangsa,” tuturnya.

Artikel Akbar Tandjung Raih Penghargaan Tertinggi Kekaisaran Jepang pertama kali tampil pada KAHMI Nasional.

]]>
8956
Mengenal Tokoh Angkatan 66 FAHMI IDRIS https://www.kahminasional.com/read/2022/05/26/8794/mengenal-tokoh-angkatan-66-fahmi-idris/ Thu, 26 May 2022 09:29:02 +0000 https://www.kahminasional.com/?p=8794 Oleh: Dr. Nazar Nasution SH, MA*) Inna lillahi wa inna lillahi rojiun. Pertama, kita sampaikan ucapan duka cita kepada keluarga atas berpulangnya Fahmi Idris. Seorang tokoh pejuang Angkatan 66 yang sangat gigih. Siapa Fahmi Idris ? Apabila menyebut nama Fahmi Idris, kami terkenang dengan perjuangan HMI tahun 1963-1966. Secara pribadi, saya mengenal seorang Fahmi Idris. […]

Artikel Mengenal Tokoh Angkatan 66 FAHMI IDRIS pertama kali tampil pada KAHMI Nasional.

]]>
Oleh: Dr. Nazar Nasution SH, MA*)

Inna lillahi wa inna lillahi rojiun. Pertama, kita sampaikan ucapan duka cita kepada keluarga atas berpulangnya Fahmi Idris. Seorang tokoh pejuang Angkatan 66 yang sangat gigih.
Siapa Fahmi Idris ?
Apabila menyebut nama Fahmi Idris, kami terkenang dengan perjuangan HMI tahun 1963-1966. Secara pribadi, saya mengenal seorang Fahmi Idris. Dia adalah tokoh yang dibesarkan pada tahun 1963, saat HMI Cabang Jakarta dipimpin oleh Ekki Syahruddin. Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) pada masa-masa itu mempunyai basis yang cukup kuat di Universitas Indonesia. Di lingkungan Fakultas Kedokteran, dikenal tokoh dr Sulastomo, Abdul Gaffur, Hakim Sorimuda. Di Fakulats Ekonomi muncul tokoh Mar’ie Muhammad, Ekki Syahruddin, Firdaus Wadjdi, Fahmi Idris. Di Fakultas Hukum, Harun Kamil, Sukayat, Nazar Nasution. Di Fakultas Teknik, Akbar Tandjung dan Saleh Elwainy. Serta aktivis-aktivis HMI di berbagai kampus lainnya, seperti IKIP, UNAS, UID, APP dan sebagainya.
“Bubarkan HMI !”, menjadi “Kobarkan HMI !”
Pada periode 1963-1966 tersebut, HMI berhadapan dengan PKI yang giat sekali menuntut pembubaran HMI. PKI bertujuan membubarkan HMI, mengingat HMI saat itu merupakan salah satu benteng ummat Islam. Sebagai seorang pemuda yang lantang dan berani, Fahmi tampil sebagai komandan lapangan di berbagai kegiatan HMI. Salah satu upaya dari CGMI/PKI untuk membubarkan HMI adalah dengan melakukan corat-coret di tembok-tembok kota. Bukan hanya di Jakarta, tetapi juga di seluruh Indonesia.
Aktivis HMI suatu saat pada malam hari menemukan ada corat-coret dengan tulisan “Bubarkan HMI !”. Tembok-tembok di ibukota, seperti di Matraman, Salemba, Kramat, Jalan Thamrin dan lain-lain dipenuhi dengan coretan tersebut. Apa response dari aktivis HMI menghadapi ulah CGMI tersebut ? Fahmi adalah salah seorang komandan lapangan HMI. Di bawah pimpinan Ekki Syahruddin, timbul gagasan yang simple tetapi cerdas dari aktivis-aktivis HMI. Mereka segera mendatangi toko bangunan terdekat, dan meskipun malam hari berhasil mendapatkan cat dan kuas dari toko tersebut, karena mereka sudah mengenalnya. Sering sebagai langganan untuk membuat spanduk dan poster-poster untuk berbagai kegiatan HMI. Maka kata “Bu” ditutup dengan cat putih dan sebagai gantinya dituliskan kata “Ko”. Sehingga kalimat “Bubarkan HMI” berubah menjadi “Kobarkan HMI”. Betapa kagetnya, Ketika pada pagi harinya aktivis CGMI menyaksikan bahwa corat-coret mereka telah berubah drastis. Semula memberikan kesan negatif kepada HMI, tetapi sebaliknya yang terjadi adalah kesan positif bagi HMI. Upaya GCMI yang didukung oleh PKI tersebut gagal total.
Langkahi Mayatku, Sebelum Bubarkan HMI
Sebagai organisasi mahasiswa Islam, HMI menjalin hubungan erat dengan organisasi pemuda dan pelajar Islam di dalam wadah Generasi Muda Islam (Gemuis). Di dalam lingkungan Gemuis, antara lain terdapat Gerakan Pemuda Anshor, Pemuda Muhammadiyah, Pelajar Islam Indonesia (PII) dan lain-lain. Menghadapi upaya pembubaran HMI yang dilancarkan oleh Partai Komunis Indonesia (PKI) melalui pendukung (onderbouw) nya, CGMI dan Pemuda Rakyat tersebut, maka Generasi Muda Islam secara spontan menggalang solidaritas dengan melakukan aksi massa keliling kota Jakarta. Aksi massa yang didukung oleh ribuan anggota GP Ansor, Pemuda Muhammadiyah, PII disamping massa HMI sendiri, dengan membawa poster besar bertuliskan: “Langkahi Mayatku, Sebelum Bubarkan HMI !”. HMI berhasil menghimpun massa yang terdiri dari mahasiswa UI, IKIP, APP, Unas dan lain-lain. Poster besar yang diarak keliling kota tersebut telah mendapat perhatian rakyat di sepanjang jalan yang dilalui. Ternyata, tulisan tersebut telah membuat aktivis CGMI yang membacanya cukup merinding, sehingga menimbulkan dampak psikologis dan mental bagi aktivis CGMI tersebut. Akibatnya, aksi mereka yang semula frontal, menjadi berubah dan mereka kemudian bersikap dan bertindak secara sporadis, yaitu melakukan kegiatan terpencar-pencar dan dalam skala terbatas.
Peristiwa Perpeloncoan (Mapram) UI
Peristiwa yang tidak bisa dilupakan di lingkungan kemahasiswaan adalah Masa Perpeloncoan mahasiswa baru Universitas Indonesia menjelang peristiwa G30S/PKI. Lebih dikenal sebagai Masa Prabakti Mahasiswa (Mapram) UI. Ribuan mahasiswa baru dikumpullan di halaman dalam kampus Universitas Indonesia yang terletak di Salemba 4 Jakarta. Yang menjadi pusat kegiatan adalah di halaman dalam yang membatasi Gedung Fakultas Hukum dan Fakultas Ekonomi UI. Panitia Mapram menyiapkan panggung lengkap dengan podium, di mana para mahasiswa baru duduk mendengarkan berbagai orasi yang disampaikan oleh Panitia Mapram maupun para Penceramah. Fahmi Idris adalah salah seorang anggota Panitia Mapram UI. Ketika itu tampil seorang tamu sebagai pembicara, yaitu Basirun Nugroho, dosen PTIK dengan tema “Kemahasiswaan”. Pada bagian akhir ceramahnya, Basirun tiba-tiba menyebutkan “HMI adalah Kontra Revolusi, karena itu harus dibubarkan !”. Kalimat tersebut mengagetkan semua yang hadir pada acara tersebut. Saya menyaksikan, Fahmi Idris sebagai anggota panitia, yang kebetulan berdiri di dekat podium, spontan berlari ke atas panggung dan mendekati podium. Fahmi langsung merebut mike yang dipegang Basirun. Terjadi saling merebut mike dan saling mendorong, sehingga Basirun terjatuh. Suasana kacau, dan akhirnya acara Mapram UI malam tersebut dihentikan, tidak dilanjutkan. Fahmi tampil mempertahankan organisasi yang dicintainya, HMI. Selain bangga dengan sikap spontan Fahmi tersebut, menurut pandangan saya, ucapan Basirun tersebut tidak sepantasnya dikeluarkan. Dia berbicara soal politik praktis dalam acara Mapram yang diikuti oleh para mahasiswa baru, yang memerlukan perkenalan dan wawasan tentang dunia akademik yang akan dijalaninya.
Peristiwa G30S/PKI
Peristiwa penting terjadi pada tanggal 30 Septmber 1965. Ternyata PKI berusaha merebut kekuasaan dengan melakukan Gerakan 30 September. Menghadapi ulah PKI tersebut, HMI langsung melakukan konsolidasi. Fahmi Idris adalah salah seorang aktivis HMI yang setiap hari tampil memimpin Apel-apel HMI dengan melakukan orasi untuk membangkitkan semangat HMI melawan PKI. Apel dilaksanakan di markas HMI Diponegoro 16. Beberapa hari kemudian, dibentuklah Kesatuan Aksi Pengganyangan Gestapu/PKI (KAP-GESTAPU), dipimpin oleh Subchan ZE (NU) dan Harry Tjan (Katolik). Aksi massa pertama dilaksanakan tgl 3 Oktober 1965 di lapangan Taman Sunda Kelapa. Berhasil dikerahkan mahasiswa, pemuda dalam jumlah cukup besar. Untuk pertama kalinya disuarakan tuntutan untuk pembubaran PKI sebagai dalang yang menggerakkan G30S. Lagi-lagi yang tampil adalah para aktivis HMI yang terdiri dari Mar’ie Muhammad, Ekki Syahruddin, Nazar Nasution, Firdaus Wadjid, Fahmi Idris, Faried Laksamana, Harun Kamil dan lain-lain yang selama ini berjuang melawan PKI yang berusaha membubarkan HMI. Kali ini temanya berbeda, yaitu menuntut Pembubaran PKI.

Bangkitnya KAMI: Tritura
Pada 25 Oktober 1965, atas prakarsa Syarif Thayeb (Menteri Perguruan Tinggi dan Ilmu Pengetahuan/PTIP) dibentuklah Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI), didukung oleh organisasi mahasiswa ekstra: HMI, PMKRI, GMKI, GMNI, Mapancas, SOMAL (Sekretariat Bersama Organisasi Lokal) yang terdiri dari IMADA, GMD, PMB, MMB, dan lain. KAMI dibentuk tidak hanya di Jakarta, tetapi juga di seluruh Indonesia (Bandung, Bogor, Yogya, Makasar, Medan dan lain-lain). Di lingkungan mahasiswa (KAMI) Jakarta dilaksanakan Apel Besar Mahasiswa pada 10 Januari 1966 bertempat di kampus perjuangan Orde Baru. KAMI mencetuskan TRITURA (Tiga Tuntutan Rakyat), yaitu: Bubarkan PKI. Turunkan Harga. Rombak Kabinet. Gagasan Tritura ini dirumuskan oleh tim dari Presidum KAMI Pusat, yaitu Ismid Hadad (IPMI), Nazar Nasution (HMI) dan Savrinus Suardi (PMKRI).
Peristiwa 10 Januari hingga 11 Maret 1966 merupakan masa penuh tantangan bagi mahasiswa Indonesia. Pada bulan Februari, tepatnya tanggal 24 Februari 1966, salah seorang anggota KAMI, Arief Rachman Hakim gugur ditembak oleh aparat Orde Lama. Maka dilakukanlah pemakaman Arief Rachman Hakim dengan prosesi berjalan kaki yang sangat panjang, mulai dari Salemba hingga ke Blok P, Kebayoran. Suasana duka yang meliputi mahasiswa Indonesia ini diungkapkan oleh Taufiq Ismail, penyair Angkatan 66 dengan kumpulan puisinya bertajuk TIRANI antara lain: Sebuah Jaket Berlumur Darah, Seorang Tukang Rambutan pada Istrinya, Karangan Bunga, Dari Catatan Seorang Demonstran, Bendera Laskar. Malam harinya, diumumkan bahwa KAMI dibubarkan oleh suatu institusi yang bernama Komando Ganyang Malaysia (KOGAM). Dengan SK 041/KOGAM, organisasi mahasiswa (KAMI) ini dibubarkan oleh institusi yang bertanggung jawab menghadapi konfrontasi Indonesia terhadap Malaysia yang menjadi kebijaksanaan dari pemerintahan Orde Lama/Sukarno. Suatu keputusan yang sangat unik bahwa KAMI dibubarkan oleh institusi tersebut. Namun Pimpinan KAMI, baik KAMI Pusat maupun KAMI Jakarta Raya tidak panik. Mereka secara kompak dan serempak membentuk wadah yang merupakan kelanjutan dari KAMI, yaitu Laskar Ampera Arief Rachman Hakim, dipimpin oleh Komandannya, Fahmi Idris. Tekad KAMI bulat, walaupun institusi harus bubar, namun perjuangan tetap harus dilanjutkan. Melalui Laskar Ampera Arief Rachman Hakim, dibentuklah rayon-rayon sebagai basis-basis perjuangan di Jakarta dengan menggunakan nama-nama Pahlawan Revolusi, seperti Rayon A. Yani, Rayon Panjaitan, Rayon Suprapto, Rayon MT Haryono, Rayon Sutoyo, Rayon S. Parman, Rayon Tendean. Perjuangan Laskar Ampera Arief Rachman Hakim selama beberapa bulan, pada akhirnya mengantarkan aksi-aksi mahasiswa berhasil dengan dibubarkannya PKI pada 12 Maret 1966. dibubarkan.
Fahmi Idris, sebagaimana aktivis-aktivis mahasiswa lainnya yang berjuang sepanjang tahun 1966 tersebut, kemudian dikenal sebagai pejuang Angkatan 66. Semoga Allah SWT memberikan tempat terbaik bagi rekan seperjuangan Fahmi Idris, dilapangkan kuburnya, diampuni kesalahannya. Aamiin.

*) Nazar Nasution adalah Sekjen Presidium KAMI PUSAT (1965-1966)

Artikel Mengenal Tokoh Angkatan 66 FAHMI IDRIS pertama kali tampil pada KAHMI Nasional.

]]>
8794