in

Masih Impor Pangan, Rokhmin Dahuri Nilai Indonesia Belum Maju

Mantan Menteri KKP, Rokhmin Dahuri. Tangkapan layar akun YouTube KAHMI Nasional

Indikator kerja utama pembangunan pertanian seharusnya berdasarkan delapan hal.

Mantan Menteri Kelautan dan Perikanan, Rokhmin Dahuri, menilai, Indonesia belum maju, sejahtera, dan mandiri karena masih impor pangan hingga kini. Pernyataan tersebut dikomparasikannya dengan studi Badan Pangan Dunia (FAO) pada 200.

“Jika suatu negara/bangsa punya penduduk lebih dari 100 juta kemudian pangannya masih impor, maka menurut studi FAO itu, tidak mungkin bangsa/negara tersebut maju, sejahtera, dan mandiri,” katanya dalam webinar Reboan bertema “Food Estate; Mewujudkan Ketahanan Pangan untuk Kesejahteraan Petani dan Nelayan” yang diadakan Lembaga Kajian Strategis MN KAHMI secara hibrida, Rabu (20/10).

Hasil Sensus Penduduk 2020 yang dilaksanakan Badan Pusat Statistik (BPS) menyebutkan, jumlah populasi di Indonesia sebanyak 270,2 juta jiwa per September 2020. Sementara itu, RI mengimpor pangan, seperti susu, daging, kopi, teh, hingga bahan pangan, sebesar US$6,14 miliar atau setara Rp88,21 triliun sepanjang Semester I-2021.

Buruknya pengelolaan sektor pangan tersebut juga tecermin dari rendahnya Indeks Ketahanan Pangan (Global Food Security Index/GFSI). Berdasarkan data The Economist Intelligence Unit (EIU), Indeks Ketahanan Pangan Indonesia pada 2020 sebesar 59,5 atau turun 3,1 dibanding setahun sebelumnya sehingga turun tiga peringkat menjadi 65. Imbasnya, sekitar 30% anak-anak di Indonesia mengalami kerdil (stunting) akibat gizi buruk.

Baca Juga :  Senator: Demokrasi seperti Pisau Bermata Dua

Rokhmin mengingatkan, pangan merupakan hidup atau matinya sebuah bangsa. Karenanya, negara semestinya berikhtiar mewujudkan ketahanan pangan. “Meskipun saya tengarai banyak policy maker dan para pengambil kebijakan keputusan masih abai.”

Dalam pembangunan pertanian, menurutnya, indikator kerja utama berdasarkan delapan hal. Produksi, terutama bahan pangan pokok, harus lebih besar dari konsumsi, salah satunya.

Berikutnya, seluruh warga negara mendapatkan bahan pangan bergizi, sehat, dan mencukupi setiap saat; produsen pangan, terutama petani dan nelayan, harus sejahtera; Indeks Keamanan Pangan tinggi; kontribusi sektor pertanian, peternakan, perikanan, dan perkebunan signifikan; dan seluruh indikator itu mesti berkelanjutan (sustainable).

“Malangnya, kondisi sampai saat ini … sebagian besar bahan pangan masih impor karena produksi lebih besar daripada konsumsi,” jelasnya. “Yang tidak kalah memprihatinkan adalah sistem pertanian kita, sistem pangan kita itu masih rentan terhadap global climate change maupun gejolak alam serta kurang berkelanjutan.”

Mantan Ketua Ketua Lembaga Pertanian Mahasiswa Islam (LPMI) ini pun menyarankan beberapa hal dalam menata pembangunan pertanian. Pertama, meningkatkan sarana produksi dengan memproteksi lahan pertanian sebagaimana dilakukan Belanda dan Jepang, lalu menggenjot pemanfaatan alat mesin pertanian (alsintan), penyediaan modal atau kredit lunak atau murah bagi petani dan nelayan seperti yang dipraktikkan Thailand.

Baca Juga :  Semarakkan Muswil, KAHMI Sulsel Gelar Seminar Nasional

Kedua, merevitalisasi semua unit usaha; melakukan ekstensifikasi lahan pertanian, perikanan, dan peternakan sesuai daya dukung wilayah; memasifkan diversifikasi pangan dan budi daya; membangun lumbungan pangan (food estate) dengan prinsip berskala ekonomi, integritas rantai pasok, teknologi mutakhir, dan berkelanjutan; revitalisasi dan pembangunan infrastruktur baru sesuai kebutuhan; serta memberikan subsidi pada keluaran (output).

“Dalam penelitian kami, jangan pernah subsidi pada input kayak benih, pupuk, kemudian alat tangkap. Itu akan lenyap karena bisa terjadi kemalasan. Tapi kalau mau subsidi pada output. Jadi misalnya produksi padi ongkos produksi per kilo Rp8.000 sudah jadi beras tapi kalau sebagian konsumen mampunya Rp6.000, pemerintah melalui Bulog atau Badan Pangan nanti beli beras dari petani Rp10.000 biar petani ada untung minimal Rp2.000, kemudian pemerintah jual lagi Rp8.000 ke rakyat, jadi subsidi dan petani/nelayan, konsumen sejahtera, dinamika ekonomi akan bangkit. Itulah kemajuan yang dilakukan Amerika, Jepang, Eropa, Kanada, dan seterusnya,” tuturnya.

Baca Juga :  DPD Kritik Rencana Penghapusan Koperasi TKBM Pelabuhan: Logika yang Dipaksakan

Ketiga, imbuh Rokhmin, mengembangkan industri pascapanen yang mengedepankan proses dan pengemasan. Keempat, menata konsumsi dan pasar domestik dengan menurunkan konsumsi beras per kapita via diversifikasi bahan baku nonberas serta menggantikan daging dengan ikan atau hasil laut/perairan lainnya. Pun mengganti bahan baku mie instan berupa gandum dengan lainnya, semisal sagu. “Dari poran pun enak.”

Selanjutnya, membenahi sistem logistik. Keenam, menyetop impor untuk komoditas atau bahan pangan yang dihasilkan dalam negeri, apalagi menjadi kebutuhan pokok.

“Untuk bahan pangan yang produksinya lebih kecil dari konsumsi nasional, seperti ikan salmon, tepung ikan, boleh impor tapi harus terkendali,” jelasnya. “Bahan pangan yang produksinya dapat ditingkatkan dan lebih besar dari konsumsi boleh impor sementara. Kalau produksinya melebihi bahan pangan harus setop impor. Itu harga mati,” tegasnya.

Ketujuh, meningkatkan kualitas sumber daya manusia (SDM). Terakhir, melakukan kebijakn fiskal dan politik ekonomi.

“Jadi kalau bangsa ini cerdas, bekerja keras, bekerja sama, berserah diri kepada Allah dengan iman dan takwa, pasti sudah menjadi negara maju, berdaulat, dan makmur, serta tidak didikte bangsa lain,” tandasnya.

Sumber :

Fatah S

Berkarier di industri media sejak 2010 dan menjadi penulis buku.

Tinggalkan Balasan