Pemindahan Ibu Kota Arsip - KAHMI Nasional https://www.kahminasional.com Korps Alumni Himpunan Mahasiswa Islam Tue, 23 Jul 2024 02:03:50 +0000 id hourly 1 https://wordpress.org/?v=6.6 https://www.kahminasional.com/assets/img/2021/11/favicon-kahmi-nasional-48x48.png Pemindahan Ibu Kota Arsip - KAHMI Nasional https://www.kahminasional.com 32 32 202918519 Peneliti BRIN beber 3 faktor investor tak tertarik investasi di IKN https://www.kahminasional.com/read/2024/07/23/9841/peneliti-brin-beber-3-faktor-investor-tak-tertarik-investasi-di-ikn/ Tue, 23 Jul 2024 02:03:50 +0000 https://www.kahminasional.com/?p=9841 Jakarta, KAHMINasional.com – Megaproyek Ibu Kota Negara (IKN) Nusantara hingga kini masih sepi peminat. Padahal, pemerintah telah menawarkan fasilitas hak guna usaha (HGU) 190 tahun bagi investor agar tertarik berinvestasi melalui Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 75 Tahun 2024. Peneliti Pusat Riset Hukum Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Ismail Rumadan, menyampaikan, ini menunjukkan kebijakan tersebut […]

Artikel Peneliti BRIN beber 3 faktor investor tak tertarik investasi di IKN pertama kali tampil pada KAHMI Nasional.

]]>
Jakarta, KAHMINasional.com – Megaproyek Ibu Kota Negara (IKN) Nusantara hingga kini masih sepi peminat. Padahal, pemerintah telah menawarkan fasilitas hak guna usaha (HGU) 190 tahun bagi investor agar tertarik berinvestasi melalui Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 75 Tahun 2024.

Peneliti Pusat Riset Hukum Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Ismail Rumadan, menyampaikan, ini menunjukkan kebijakan tersebut bukan solusi tepat guna. Sebab, secara normatif dan logika rasional, setidaknya ada 3 faktor yang menjadi pertimbangan pemodal untuk berinvestasi, yakni masalah kepastian hukum, stabilitas politik, dan stabilitas sosial masyarakat.

“Tiga masalah tersebut masih menjadi PR (pekerjaan rumah) besar bagi pemerintah Indonesia saat ini. Pertama, kondisi aturan hukum semakin karut-marut, saling tumpang tindih, dan tidak beraturan sesuai hierarki peraturan perundang-undangan,” katanya dalam keterangannya, Selasa (23/7).

Dicontohkannya dengan Perpres 75/2024 yang diterbitkan Presiden Joko Widodo (Jokowi) bertentangan dengan UUD 1945 dan Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA), utamanya yang terkait penguasaan hak atas tanah. “Kondisi aturan hukum seperti ini tidak menjamin adanya kepastian hukum bagi invertor untuk berinvestasi di IKN.”

Ismail menerangkan, pemberian fasilitas HGU atas tanah kepada investor selama 190 tahun menabrak semua aturan hukum maupun konstitusi tentang pertanahan di Indonesia. Bahkan, di zaman VOC saja kepemilikan HGU dibatasi 75 tahun.

“Investor, yang menjadi target pemerintah untuk berinvestasi di IKN, tentu tidak ikut-ikutan ‘gila’ dan ‘mabuk diri’ untuk merespons kebijakan pemerintah terkait pemberian HGU maupun pemberian fasilitas lain agar tertarik berinvestasi di Indonesia. Sebab, para investor tentu sadar dan paham betul bahwa berinvetasi dengan modal besar harus penuh perhitungan dan kehati-hatian agar modal yang diinvestasikan memiliki prospek, minimal modal yang diinvestasikan bisa kembali,” tuturnya.

Kedua, sambung Ismail, stabilitas politik di Indonesia sangat rapuh lantaran dibangun atas dasar demokrasi semu. Akibatnya, tidak ada jaminan bagi stabilitas politik di Indonesia saat ini dan ke depannya.

“Pemerintahan baru di bawah presiden terpilih, Prabowo Subianto, memiliki prinsip dan karakter politik yang berbeda dengan pemerintahan Jokowi yang minim wawasan kebangsaan. Sehingga, bisa jadi kebijakan IKN ditinjau kembali,” ucap Ketua Umum Pemuda Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) ini.

Ketiga, masalah stabilitas sosial masyarakat dan masalah ekologi tak memiliki daya dukung untuk sebuah ibu kota negara yang ideal. Menurutnya, masyarakat di wilayah IKN merasa dipinggirkan dan dirampas hak-haknya tanpa adanya kompensasi ganti rugi yang adil. Kondisi ini menyimpan konflik yang berkepanjangan ke depan.

“Kemudian dari sisi ekologi, pembangunan IKN berpotensi merusak lingkungan, mengganggu biodiversitas, kualitas lanskap wilayah, menurunnya stok karbon hutan, ketersediaan air, pencemaran, limbah, kebisingan, sampah, dan sistem drainase,” beber Ismail.

“Inilah kondisi faktual yang pastinya sudah dipahami oleh para calon investor, yang kemudian menjadi pertimbangan mendasar untuk melakukan investasi di ibu kota negara baru tersebut,” sambungnya.

Ismail meyakini investor memiliki perhitungan matang dan pertimbangan waras sehingga tak terjebak “rayuan gombal” pemerintah yang sungguh tidak rasional dalam penciptaan kondisi investasi yang wajar dan normal.

“Oleh karena itu, jangan berharap jika ada investor yang mau berinvestasi di IKN. Sebab, para calon investor juga tidak mudah percaya oleh janji-janji manis Presiden Jokowi yang penuh halusinasi untuk membangun IKN di tengah krisis politik, hukum, ekonomi, dan sosial saat ini,” jelasnya.

Baginya, kondisi tersebut justru mempertegas bahwa proyek IKN semestinya dibatalkan karena tidak realistis di tengah kondisi ekonomi Indonesia yang tidak baik, banyak rakyat menderita kelaparan, dan utang negara semakin membengkak dan mencekik.

“Sementara itu, APBN dikuras habis untuk membangun proyek IKN yang diprediksi akan gagal, terlebih lagi pembangunan IKN ini bertentangan dengan UUD 1945,” ujar Ismail, Dekan Fakultas Hukum Universitas Nasional (Unas).

Artikel Peneliti BRIN beber 3 faktor investor tak tertarik investasi di IKN pertama kali tampil pada KAHMI Nasional.

]]>
9841
Insaf atas Impian Pindah Ibu Kota Negara https://www.kahminasional.com/read/2022/05/04/8688/insaf-atas-impian-pindah-ibu-kota-negara/ Tue, 03 May 2022 22:42:59 +0000 https://www.kahminasional.com/?p=8688 Oleh Iqbal Setyarso, Alumnus HMI Cabang Palu dan FISIP Universitas Tadulako serta Pembina Indonesia Care Saat pro kontra pemindahan ibu kota dari Jakarta ke Penajam Paser Utara-Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur, menderas, saya sampai pada keinsafan untuk berpikir realistis. Pertama, bukankah Indonesia sedang didera krisis ekonomi dengan angka utang luar negeri (menurut Katadata, Rp7.052,5 triliun sampai […]

Artikel Insaf atas Impian Pindah Ibu Kota Negara pertama kali tampil pada KAHMI Nasional.

]]>
Oleh Iqbal Setyarso, Alumnus HMI Cabang Palu dan FISIP Universitas Tadulako serta Pembina Indonesia Care

Saat pro kontra pemindahan ibu kota dari Jakarta ke Penajam Paser Utara-Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur, menderas, saya sampai pada keinsafan untuk berpikir realistis. Pertama, bukankah Indonesia sedang didera krisis ekonomi dengan angka utang luar negeri (menurut Katadata, Rp7.052,5 triliun sampai Maret 2022)? itu pun kini pandemi sudah memasuki tahun ketiga. Kedua, sejauh ini, belum ada negara yang mau memberi pinjaman luar negeri.

Dengan kondisi ini, sangat tidak realistis (meskipun sangat ingin) untuk tidak meneruskan gagasan itu. Misalnya, dalam pemerintahan Presiden Joko Widodo periode kedua ini ada legacy agar bisa melahirkan kebijakan yang dahulu pernah digagas Presiden pertama Indonesia dan belum terwujud. Sungguh tidak realistis dalam perspektif banyak rakyat Indonesia, kecuali yang mengidolakan Presiden Joko Widodo.

Nrimo, Bukan Pasrah
Dalam kosa kata bahasa Jawa, terdapat istilah nrimo. Nrimo adalah menerima keadaan, tetapi tidak sekadar pasrah. Nrimo yang bukan pasrah sebagai ekspresi tidak ngoyo memburu pencapaian. Bisa dikatakan nrimo dengan sikap positif. Nrimo yang dimaknai realistis apalagi sampai “memburu” utangan. Realistis dengan trilunan rupiah per Maret 2022, berkonsentrasi untuk mengikhtiarkan pembayaran sembari mendorong ekspor komoditas dalam negeri. Saatnya menjawab tantangan, menggenjot ekspor, bukan dengan ramai-ramai bancakan menghabisi anggaran pembangunan.

Sejumlah kementerian, seperti Koperasi (plus UMKM), Perindustrian (berkonsentrasi pada industri kerajinan berteknologi tepat guna selain mengembangkan teknologi informatika dan komputer), Perdagangan, semua kompak membangun ikhtiar bersama untuk Indonesia maju. Wujud kemauan kuat ditunjukkan dengan melahirkan sejumlah policy ke arah conditioning iklim berusaha demi mengakselerasi usaha. Dalam kondisi kegentingan “darurat ekonomi” sangat realistis menciptakan kondisi percepatan berusaha, bukan saja usaha berbasis industri “basah” dan “bernilai ekonomi tinggi”, seperti pertambangan, tetapi juga UMKM (usaha menengah, kecil, dan mikro).

Kalau memang demikian, maka relevan dengan pilihan penyelengaraan Musyawarah Nasional (Munas) KAHMI sehingga bertempat di Kota Palu, Sulawesi Tengah (Sulteng). Pilihan Kota Palu sebagai sentra Munas KAHMI mengandung misi mulia dengan empati total kepada Palu, yang pernah menjadi menyandang bencana alam multidisaster, triple disaster: gempa bumi, likuefaksi, dan tsunami. Meskipun sudah berlalu sejak tahun 2018 silam, ekses dan dampak fisiknya masih membekas dan sejumlah korban yang belum memperoleh bantuan, terutama rumah (hunian tetap), masih menunggu uluran bantuan.

Realistis dengan Gagasan
Bencana Palu (meskipun telah empat tahun silam berlaju) masih menyisakan penyintas dengan problematikanya. Terlalu cuek atas fakta banyaknya penyintas dengan problematika pascabencana itu seakan mengekspresikan kebekuan hati. Terlebih, ada perhelatan seakbar musyawarah nasional sekelas alumni Himpunan Mahasiswa Islam (HMI). Rasanya, sangat tidak elok “membekukan perasaan” komunitas alumni HMI dari fakta mengenaskan itu.

Maka, “penebus kebekuan hati” itu kompak siap mengimplementasikan tiga semangat Munas KAHMI. Pertama, menghalau stigma Poso dari persepsi sebagai sarang terorisme dan konflik; kedua, mengedepankan kerelawanan sosial; dan ketiga, mengembangkan UMKM dan pengelolaan sumber daya secara sustainable. Ini cara bijak dan realistis dalam merayakan perhelatan bernama Munas KAHMI. Hanya dengan cara ini Munas KAHMI selain menjawab panggilan zaman yang kian kekinian, juga secara realistis membuktikan HMI sebagai organisasi kader masih relevan dengan zaman. Untuk itu, steering committee (panitia pengarah) dan organizing committee (panitia pelaksana) akan berupaya keras untuk memenuhi mandatnya.

Steering committee (SC) akan dilibati sejumlah orang dengan kompetensi lebih. Kompetensi lebih karena pengalaman dan jam terbang, wawasan dan perspektif yang luas, dan berbagai pertimbangan mungkin pula karena kebijaksanaannya dengan mempertimbangkan berbagai hal. Karena kompetensinya, maka orang-orang di SC mendapat mandat mengarahkan organizing committee (OC). OC mendapat mandat untuk berkoordinasi dengan bidang kerja lainnya dalam kepanitiaan event, berpartisipasi aktif melaksanakan kegiatan sesuai rencana, saling memberikan bantuan lintas divisi, melaporkan perkembangan kerjanya dalam rapat-rapat kepanitiaan, menyusun laporan alokasi anggaran di tiap divisi.

Artikel Insaf atas Impian Pindah Ibu Kota Negara pertama kali tampil pada KAHMI Nasional.

]]>
8688
Menimbang Pindahnya Ibu Kota Negara (Bagian 2) https://www.kahminasional.com/read/2022/05/02/8678/menimbang-pindahnya-ibu-kota-negara-bagian-2/ Sun, 01 May 2022 18:41:26 +0000 https://www.kahminasional.com/?p=8678 Oleh Muhammad Nur Sangadji, Alumnus HMI Cabang Palu, lulusan Universitet Lyon Prancis, dan IPB; Dosen Fakultas Pertanian Universitas Tadulako Palu; serta Pengkaji Pertimbangan Lingkungan Program Food Estate Seharusnya–alam bawah sadar saya mengatakan–saya menjuduli artikel bagian kedua ini Berharap Datangnya Sejahtera. Jadilah, judul ini tetap sekuel kedua: Menimbang Pindahnya Ibu Kota Negara. Bayangkan apabila Ibu Kota […]

Artikel Menimbang Pindahnya Ibu Kota Negara (Bagian 2) pertama kali tampil pada KAHMI Nasional.

]]>
Oleh Muhammad Nur Sangadji, Alumnus HMI Cabang Palu, lulusan Universitet Lyon Prancis, dan IPB; Dosen Fakultas Pertanian Universitas Tadulako Palu; serta Pengkaji Pertimbangan Lingkungan Program Food Estate

Seharusnya–alam bawah sadar saya mengatakan–saya menjuduli artikel bagian kedua ini Berharap Datangnya Sejahtera. Jadilah, judul ini tetap sekuel kedua: Menimbang Pindahnya Ibu Kota Negara. Bayangkan apabila Ibu Kota Negara Indonesia sudah resmi di Kalimantan, penerbangan dari Papua untuk mewakili Merauke dan penerbangan dari Aceh untuk mewakili Sabang, terasa seimbang. Sabang dan Merauke sengaja dipilih untuk menggambarkan keutuhan NKRI sebagai satu kesatuan yang kokoh. Lagu kebangsaan Dari Sabang sampai Merauke menyatakan itu.

Perasaan adil untuk kemudahan akses ke ibu kota negara tercipta. Paling tidak untuk daerah timur yang selama ini terasa timpang akibat jarak. Diksi sambung-menyambung menjadi satu itulah Indonesia makin terasa oleh jangkauan dan ibu kota menjadi perekat kebanggaan itu. Keterbukaan akses ini mendambakan lahirnya efektivitas dan efisiensi aliran barang dan jasa antarpulau Nusantara. Artinya, ekonomi biaya tinggi menemukan satu solusi yang memadai, yaitu jarak dan waktu.

Pertanyaannya, apa yang bakal berubah? Pasti relasi antarbirokrasi dan antara birokrasi dengan dunia usaha dan masyarakat. Di ibu kota baru ini akan tumbuh permukiman dan perumahan baru untuk menampung para birokrat pindahan dari Jakarta. Di sini juga akan muncul hotel, restoran, dan pusat-pusat belanja baru untuk interaksi dan transaksi baru. Penyediaan (supply) dan permintaan (demand) mengalami perubahan pola. Aliran barang dan jasa harian yang selama ini bertumpu di Jawa akan bergeser ke wilayah terdekat. Mungkin efeknya tidak mematikan produsen di Jawa, tetapi pasti menghidupkan produsen sekitar Kalimantan. Hal terpenting adalah perhitungan cermat terhadap daya dukung dan daya tampung untuk multisektor.

Efek Akseleratif
Berkait urusan rantai pasok, pulau-pulau terdekat bisa mengambil peran dan manfaat. Sulawesi dan khususnya Sulawesi Tengah termasuk yang terdekat. Selama ini, suplai barang berupa bahan baku pangan telah berlangsung. Kehadiran ibu kota baru dapat mengakselerasi dalam kecepatan serapan maupun kuantitasnya.

Daerah hinterland untuk ibu kota baru, yang selama ini dianggap tertinggal, dapat dipacu berkembang. Sulawesi dan Nusa Tenggara masuk dalam lingkaran pertama. Maluku dan Papua ada di lingkaran kedua. Ibu kota membutuhkan apa dan wilayah-wilayah ini memberikan apa atau sebaliknya dalam ikatan interkonektivitasnya.

Perlahan tetapi pasti, semua negara di dunia akan punya kantor kedutaan di Kalimantan. Itu artinya selain petinggi negaranya, rakyat dan usahawannya pasti berseliweran kian ke mari. Kebutuhan sekunder tetapi penting untuk komunitas ini adalah rekreasi. Ini akan menggairahkan sektor pariwisata. Kawasan pariwisata yang menjual keaslian ekologi dan kebudayaan bisa menjadi incaran. Bali, yang selama ini sudah terkenal, pastilah terus terjaga. Namun, objek baru, terutama di wilayah timur Indonesia, akan diserbu karena jangkauannya makin dekat. Bertemu dengan rasa ingin tahunya para petualangan mondial.

Atmosfir Baru Pembangun Optimisme
Sekarang tinggal berbenah dengan serius. Beberapa objek wisata yang sudah cukup populer bisa menjadi pemicu. Sebutlah Tana Toraja di Sulawesi Selatan, Raja Ampat di Papua, Kepulauan Togean dan Danau Poso di Sulawesi Tengah, serta objek wisata sejarah dan pulau-pulau kecil di Maluku dan Maluku Utara. Semua butuh energi saling support.

Dalam pariwisata itu, kekuatan promosi menjadi kata kunci. Namun, merawat potensi adalah substansi dan keamanan menjadi napas gerakannya. Promosi yang bagus dengan objek yang menarik tidak akan bermakna apa-apa apabila orang tidak merasa aman bepergian. Dan keamanan terbaik adalah keamanan partisipatif, yakni keamanan yang semua warga merasa bagian dari tanggung jawab mereka. Aparatur yang responsif bertemu dengan warga yang aktif (active citizenship) akan melahirkan keharmonisan yang berkelanjutan. Ini penting karena keamanan adalah penentu penghabisan.

Belum lama ini ada peringatan perjalanan diterbitkan di situs web Departemen Luar Negeri AS bertanggal 25 April 2022. Ini adalah peningkatan kewaspadaan level 2 dari empat level peringatan. Warganya diingatkan untuk mempertimbangkan kembali bepergian ke Sulawesi Tengah dan Papua karena kerusuhan sipil. Demikian tertulis di Peringatan Perjalanan AS (diakses detik.com pada Kamis, 28 April 2022).

Kita pasti kaget, tetapi tak perlulah panik. Jadikanlah sebagai pemicu untuk berbenah dengan serius agar tujuan besar bernegara (la raison d’etre d’une nation) benar-benar terwujud, dirasakan manfaatnya oleh seluruh rakyat Indonesia. Di negeri yang aman, tentram, sejahtera, dan diridai Ilahi Rabbi (baldatun, thayyibatun wa Rabbun gafur).

Artikel Menimbang Pindahnya Ibu Kota Negara (Bagian 2) pertama kali tampil pada KAHMI Nasional.

]]>
8678
Menimbang Pindahnya Ibu Kota Negara (Bagian 1) https://www.kahminasional.com/read/2022/05/01/8671/menimbang-pindahnya-ibu-kota-negara-1/ Sun, 01 May 2022 14:48:46 +0000 https://www.kahminasional.com/?p=8671 Oleh Muhammad Nur Sangadji, Alumnus HMI Cabang Palu, Lulusan Universitet Lyon Prancis, dan IPB; Dosen Fakultas Pertanian Universitas Tadulako Palu; serta Pengkaji Pertimbangan Lingkungan Program Food Estate Ibu kota negara berpindah. Itu wacana yang berangsur-angsur merakit argumentasinya. Bahkan, saya hendak urun rembuk, bukan sekadar berpindah, tetapi perpindahan itu bisa saya katakan sebuah pilihan the glory […]

Artikel Menimbang Pindahnya Ibu Kota Negara (Bagian 1) pertama kali tampil pada KAHMI Nasional.

]]>
Oleh Muhammad Nur Sangadji, Alumnus HMI Cabang Palu, Lulusan Universitet Lyon Prancis, dan IPB; Dosen Fakultas Pertanian Universitas Tadulako Palu; serta Pengkaji Pertimbangan Lingkungan Program Food Estate

Ibu kota negara berpindah. Itu wacana yang berangsur-angsur merakit argumentasinya. Bahkan, saya hendak urun rembuk, bukan sekadar berpindah, tetapi perpindahan itu bisa saya katakan sebuah pilihan the glory of the past.

Tiba-tiba ada gagasan pindah ibu kota. Lalu, pro kontra mencuat di mana-mana. Mungkin biasalah dalam demokrasi. Tidak mengapa sepanjang yang berniat benar-benar tulus dan yang menolak pun bermaksud sama. Kalau begitu, mari adu gagasan. Bicara tentang indikator-indikator manfaat dan atau risiko secara objektif.

Menurut hemat saya, ada sejumlah pertimbangan yang boleh diletakkan. Pertama, aspek historis; kedua, sisi analogi atau pembanding; ketiga, secara

harus menguntungkan; keempat, secara sosial mesti diterima; kelima, secara strategis lebih efektif dan efisien; keenam, secara ekologis lebih berkelanjutan; ketujuh, secara teknik memungkinkan dan dari dukungan ketersediaan sumber daya, terutama lokal, tersedia cukup dan memadai.

Saya sengaja tidak memasukkan aspek politik sebagai pertimbangan karena hiruk pikuk selama ini adalah soal politik itu. Dan jika pertimbangan ketujuh aspek ini telah diletakkan dengan jujur, tulus, dan elegan, maka politik tinggal mengikuti saja. Dan ini baru mungkin kalau para politician kita adalah juga negarawan. Loh, apa bedanya? Ada ahli yang bilang, “The politician always thinking their next position. While, the state man always thinking their next generation“. Wallahu a’lam.

Ibu Kota Berpindah dari Masa ke Masa
Secara historis, ide tentang pindah ibu kota telah ada sejak zaman Orde Baru. Presiden Soekarno pada tahun 1960-an telah menggagas perpindahan ibu kota ke Kalimantan. Sama pulaunya seperti yang direncanakan sekarang. Bahkan, kalau tarik lebih ke belakang, pusat pemerintahan di era kolonial Belanda dipindahkan dari Kota Ternate ke Kota Batavia atau Jakarta yang sekarang.

Saiful Rurai, pengkaji sejarah, kebudayaan, politik, dan pembangunan Maluku Utara, mengonfirmasi kebenaran historis ini. Beliau menunjuk catatan FSA de’Clercq (De Boijdragen tot de Kennis der Residentie Ternate, 1890) dan disertasi Pastor Dr. Kareel Steenbrink, ibu kota VOC adalah dari Ternate. Nanti, Gubernur Jenderal ke-4, Jan Peterzoon Coen, memindahkan ke Batavia (1916) setelah mengirim dua surat dari Ternate ke Heren Zeventijn, Dewan Direksi VOC/Dewan 17.

Apabila kita mundur lebih jauh lagi ke belakang, jauh sebelum kedatangan Portugis dan Spanyol ke Indonesia (baca: Maluku), Kesultanan Tidore telah memiliki tradisi pindah ibu kota secara periodik. Saat kapal Trinidad dan Victoria milik Spanyol tiba di Pulau Tidore tahun 1521, Ibu Kota Kesultanan Tidore ada di Desa Mareku. Sisa-sisa peninggalan istananya masih terlihat. Saat ini, ibu kota kesultanannya ada di Desa Soasio.

Apabila kita bandingkan dengan negara modern sebagai analogi, kita bisa tunjukkan beberapa saja sebagai contoh. Amerika Serikat dari Washington ke New York, Australia dari Melbourne ke Canberra, Belanda dari Amsterdam ke Den Haag. Pastilah semua negara ini punya pertimbangan sendiri-sendiri.

Asas Efisiensi
Sekarang, coba kita tinjau dari aspek efisiensi. Posisi Jakarta yang letaknya relatif terlalu ke barat sangat merugikan kawasan timur dari jangkauan akses transportasi. Penerbangan Papua atau Maluku Utara butuh jarak dan ongkos perjalanan yang tidak kecil. Meletakkannya di tengah membuat posisi dan biaya menjadi lebih seimbang, adil, dan proporsional. Ekonomi biaya tinggi bisa ditekan.

Ada lagi satu soal yang jarang terdengar dalam diskursus pindah ibu kota ini, yaitu aspek pemerintahan. Negeri, yang pernah bernama Nusantara dan kini bernama Indonesia, ini pernah punya pemerintahan pertama di era kerajaan. Namanya Kerajaan Kutai Kertanegara. Ini kerajaan pertama dan letaknya pun ada di Kalimantan. Jadi, sesungguhnya secara historis politik pemerintahan, kita menemukan lokasi di mana kita pernah punya pemerintahan yang beradab di zaman silam. Jauh sebelum datang periode penindasan imperialisme. Seandainya, akhirnya kita benar-benar jadi pindah ke Kalimantan, maka kejayaan masa silam (the glory of the past) ini berharap lahir kembali. Semoga.

Artikel Menimbang Pindahnya Ibu Kota Negara (Bagian 1) pertama kali tampil pada KAHMI Nasional.

]]>
8671
Mengapa Harus Pindah Ibu Kota Negara? https://www.kahminasional.com/read/2022/05/01/8665/mengapa-harus-pindah-ibu-kota-negara/ Sun, 01 May 2022 09:53:17 +0000 https://www.kahminasional.com/?p=8665 Oleh Iqbal Setyarso, Alumnus HMI Cabang Palu dan FISIP Universitas Tadulako serta Pembina Indonesia Care Judul artikel ini sama sekali bukan mempertanyakan, tetapi sekadar menghadirkan perspektif “mengapa harus pindah”? Indonesia salah satu bangsa yang punya orientasi ke masa lalu. Ini bukan sesuatu yang negatif. Artinya, bangsa yang punya orientasi pada masa lalu, meletakkan sejarah pada […]

Artikel Mengapa Harus Pindah Ibu Kota Negara? pertama kali tampil pada KAHMI Nasional.

]]>
Oleh Iqbal Setyarso, Alumnus HMI Cabang Palu dan FISIP Universitas Tadulako serta Pembina Indonesia Care

Judul artikel ini sama sekali bukan mempertanyakan, tetapi sekadar menghadirkan perspektif “mengapa harus pindah”? Indonesia salah satu bangsa yang punya orientasi ke masa lalu. Ini bukan sesuatu yang negatif. Artinya, bangsa yang punya orientasi pada masa lalu, meletakkan sejarah pada porsinya, dengan ingat sejarah–seperti kata sejarawan Louis Gottschalk, “understanding history“. Tetapi, kita juga bangsa yang futuristik dengan berpikir pada masa depan dan mendorong invention. Ini mengambil ibrah pembelajaran dari para ilmuwan muslim pada masa lalu. Kecenderungan berpikir jauh ke depan harus menjadi sikap dan cara pandang bangsa muslim karena pesan kenabian sarat dengan pembelajaran, baik dari masa lalu, merenungkan kekinian, sekaligus berpikir keakanan (masa depan).

Bahkan, sebuah hadis menyatakan, “Barang siapa yang harinya sekarang lebih baik daripada kemarin, maka dia termasuk orang yang beruntung. Barang siapa yang harinya sama dengan kemarin, maka dia adalah orang yang merugi. Barang siapa yang harinya sekarang lebih jelek daripada harinya kemarin, maka dia terlaknat”. Ini hadis yang perawinya daif, tetapi begitu masyhur dan memasyarakat. Menurut fukaha, karena secara substantif tidak bertentangan dengan hadis-hadis lainnya dan kontennya juga baik, maka hadis itu dibiarkan beredar di masyarakat.

Dalil lain, ini firman Allah, “Dan [ingatlah], tatkala Tuhanmu memaklumkan, ‘Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah [nikmat] kepadamu dan jika kamu mengingkari [nikmat-Ku], maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih (QS. Ibrahim: 7)”. Konstatasi ini lebih “mengena” untuk ikhtiar penghargaan bagi seorang hamba dalam memaknai hidupnya. Dimensi keakanan muslim mendorong optimisme sehingga senantiasa memandang hari esok lebih baik. Kesanggupan seorang muslim menempatkan kehidupan selanjutnya selalu lebih baik. Selalu do it better, lakukan dengan lebih baik. Dengan itu, pertanyaan di awal artikel ini mendapatkan konteksnya, “mengapa harus pindah”? Ada sejumlah argumentasi membingkai perspektif ini.

Asas spatiality. Ini bicara tentang Jakarta, Ibu Kota Negara (IKN). Spatiality adalah istilah yang digunakan dalam arsitektur untuk karakteristik yang dilihat dari aspek tertentu, menentukan kualitas sebuah ruang. Dibandingkan dengan istilah kelapangan, yang mencakup formal, penentuan dimensi ukuran–kedalaman, lebar, atau tinggi–spasitas adalah istilah kategori yang lebih tinggi. Mengacu Jakarta sebagai Ibu Kota Negara, saya ingin katakan, dengan sejumlah pertimbangan sehingga perlu pindah. Asas spatiality menjadi dalih rasional. Untuk tumbuh kembang, manusianya perlu ruang. Tidak cukup “hanya di sini” saja.

Munculnya IKN yang baru (katakanlah Kalimantan Timur), membetot perspektif baru, membuat semua yang suka atau tidak suka beradu argumentasi. Fakta tak terbantah bahwa Pulau Jawa padat penduduk berdasarkan Survei Penduduk Antarsensus (Supas) tahun 2015. Sebanyak 56,56% penduduk di Indonesia berada di Pulau Jawa. Pulau Jawa menjadi pulau paling padat di Indonesia. Sedangkan pulau lain, persentase kepadatan penduduk kurang dari Jawa. Data dari Supas tahun 2020, Pulau Jawa berada di peringkat pertama dengan persentase penduduk sebanyak 56,10%. Sementara itu, di posisi kedua, penduduk di Kalimantan bertambah menjadi 6,15%.

Asas disparitas kontribusi ekonomi. Tidak nyaman untuk berkutat mempertahankan disparitas kontribusi ekonomi (mengutip data BPS, Pulau Jawa pada tahun 2020 berada di peringkat pertama kontribusi ekonomi produk domestik bruto/PDB sebesar 59,14%, posisi kedua adalah Pulau Sumatra dengan PDB 21,4%, Pulau Kalimantan PDB 8,12%, Pulau Sulawesi PDB 6,19%, sedangkan Bali dan Nusa Tenggara PDB 2,95%. Kontribusi PDB paling rendah berada di Pulau Maluku dan Papua. Kedua pulau ini berkontribusi sebanyak 2,24% untuk Indonesia). Dalih disparitas ekonomi ini menguatkan tekad Indonesia perlu memindahkan ibu kotanya.

Asas darurat air bersih. Realistis ketika keberadaan air bersih dilanda kelangkaan, padahal air sumber kehidupan. Multiplying effect mendera saat kris air bersih menjadi masalah. Krisis air bersih menjadi masalah di Pulau Jawa. Berdasarkan data Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR), Pulau Jawa pada 2016 engalami krisis air yang parah. Salah satu indikator krisis air bersih adalah ketersediaan air yang berkurang, seperti daerah Jawa Tengah.

Asas security. Untuk menjadi kawasan aman dalam jangka panjang, kini waktu semakin pendek untuk bisa menikmati keamanan-ketentraman Jakarta. Ibu kota tumpuan negara seharusnya menjadi kawasan teraman dibanding daerah lain. Untuk menjadi kawasan aman dalam jangka panjang, kini waktu semakin pendek untuk bisa menikmati keamanan-ketentraman Jakarta. Selain itu, sekitar 50% daerah Jakarta mengalami penurunan keamanan banjir dalam waktu kurang dari 10 tahun. Padahal, kota besar idealnya memiliki tingkat keamanan banjir minimal 50 tahun. Tanah di Jakarta mengalami penurunan sekitar 35-50 cm dalam kurun waktu 10 tahun (2007-2017). Faktor bencana alam lain adalah aktivitas gunung berapi, seperti Gunung Krakatau dan Gunung Gede. Daerah Jakarta memiliki ancaman besar, seperti potensi gempa bumi, tsunami, banjir, dan penurunan tanah.

Asas pengendalian urbanisasi. Pertumbuhan urbanisasi sangat tinggi. Setiap tahun, provinsi Jakarta mengalami peningkatan urbanisasi terbanyak dibanding daerah lain. Contohnya, tahun 2017, Indonesia berada di peringkat ke-9 sebagai kota terpadat di dunia. Itu urgensi pemindahan ibu kota negara. Tanpa pengendalian, Jakarta secara statistical mengalami pemadatan karena derasnya arus urbanisasi. Sebelum “membeludak”, memindahkan ibu kota harus menjadi pilihan realistis. Harus ada kerelaan memilih aspek-aspek apa yang perlu tetap dipertahankan di Jakarta dan aspek-aspek apa yang harus pindah. Pemindahan ini pun bukan tanpa konsekuensi. Sejumlah hal harus disiapkan mengingat ibu kota negara perlu daya dukung keberadaannya. Perlu dipikirkan prioritas apa yang harus riil berpindah dan prioritas apa yang dipertahankan.

Pertama, aspek historis; kedua, sisi analogi atau pembanding; ketiga, secara ekonomi harus menguntungkan; keempat, secara sosial mesti diterima; kelima, secara strategis lebih efektif dan efisien; keenam, secara ekologis lebih berkelanjutan; ketujuh, secara teknik memungkinkan dan dari dukungan ketersediaan sumber daya, terutama lokal, tersedia cukup dan memadai.

Saya sengaja tidak memasukkan aspek politik sebagai pertimbangan karena hiruk pikuk selama ini adalah soal politik itu. Dan jika pertimbangan ketujuh aspek ini telah diletakkan dengan jujur, tulus, dan elegan, maka politik tinggal mengikuti saja. Dan ini baru mungkin kalau para politician kita adalah juga negarawan. Loh, apa bedanya? Ada ahli yang bilang, “The politician always thinking their next position. While, the state man always thinking their next generation“. Wallahu a’lam.

Ibu Kota Berpindah dari Masa ke Masa
Secara historis, ide tentang pindah ibu kota telah ada sejak zaman Orde Baru. Presiden Soekarno pada tahun 1960-an telah menggagas perpindahan ibu kota ke Kalimantan. Sama pulaunya seperti yang direncanakan sekarang. Bahkan, kalau tarik lebih ke belakang, pusat pemerintahan pada era kolonial Belanda dipindahkan dari Kota Ternate ke Kota Batavia atau Jakarta yang sekarang.

Saiful Rurai, pengkaji sejarah, kebudayaan, politik, dan pembangunan Maluku Utara, mengonfirmasi kebenaran historis ini. Beliau menunjuk catatan FSA de’Clercq (De Boijdragen tot de Kennis der Residentie Ternate, 1890) dan disertasi Pastor Dr. Kareel Steenbrink, ibu kota VOC adalah dari Ternate. Nanti, Gubernur Jenderal ke-4, Jan Peterzoon Coen, memindahkan ke Batavia (1916) setelah mengirim dua surat dari Ternate kepada Heren Zeventijn, Dewan Direksi VOC/Dewan 17.

Apabila kita mundur lebih jauh lagi ke belakang, jauh sebelum kedatangan Portugis dan Spanyol ke Indonesia (baca: Maluku), Kesultanan Tidore memiliki tradisi pindah ibu kota secara periodik. Saat kapal Trinidad dan Victoria milik Spanyol tiba di Pulau Tidore tahun 1521, Ibu kota Kesultanan Tidore ada di Desa Mareku. Sisa-sisa peninggalan istananya masih terlihat. Saat ini, ibu kota kesultanannya ada di Desa Soasio.

Bila kita bandingkan dengan negara modern sebagai analogi, kita bisa tunjukkan beberapa saja sebagai contoh. Amerika Serikat dari Washington ke New York, Australia dari Melbourne ke Canberra, Belanda dari Amsterdam ke Den Haag. Pastilah semua negara ini punya pertimbangan sendiri-sendiri.

Asas Efisiensi
Sekarang, coba kita tinjau dari aspek efisiensi. Posisi Jakarta yang letaknya relatif terlalu ke barat sangat merugikan kawasan timur dari jangkauan akses transportasi. Penerbangan Papua atau Maluku Utara butuh jarak dan ongkos perjalanan yang tidak kecil. Meletakkannya di tengah membuat posisi dan biaya menjadi lebih seimbang, adil, dan proporsional. Ekonomi biaya tinggi bisa ditekan.

Ada lagi satu soal yang jarang terdengar dalam diskursus pindah ibu kota ini. Yaitu, aspek pemerintahan. Negeri, yang pernah bernama Nusantara dan kini bernama Indonesia, ini pernah punya pemerintahan pertama di era kerajaan. Namanya Kerajaan Kutai Kertanegara. Ini kerajaan pertama dan letaknya pun ada di Kalimantan.

Artikel Mengapa Harus Pindah Ibu Kota Negara? pertama kali tampil pada KAHMI Nasional.

]]>
8665
Jakarta Bertuan, Betawi Berperadaban https://www.kahminasional.com/read/2022/04/28/8630/jakarta-bertuan-betawi-berperadaban/ Thu, 28 Apr 2022 01:39:41 +0000 https://www.kahminasional.com/?p=8630 Oleh: Usni Hasanudin, Wakil Departemen Pertahanan MN KAHMI dan Kaprodi Ilmu Politik FISIP UMJ Jakarta Bertuan. Undang-Undang Ibukota Negara (UU IKN) selesai diundangkan, bernomor 3 Tahun 2022. Keberlangsungan UU itu kini masuk babak baru di Mahkamah Konstitusi (MK). Terlepas soal UU 3/2022, negara masih memiliki UU 29 Tahun 2007, sama dalam hal kedudukan, sebagai ibu […]

Artikel Jakarta Bertuan, Betawi Berperadaban pertama kali tampil pada KAHMI Nasional.

]]>
Oleh: Usni Hasanudin, Wakil Departemen Pertahanan MN KAHMI dan Kaprodi Ilmu Politik FISIP UMJ

Jakarta Bertuan. Undang-Undang Ibukota Negara (UU IKN) selesai diundangkan, bernomor 3 Tahun 2022. Keberlangsungan UU itu kini masuk babak baru di Mahkamah Konstitusi (MK). Terlepas soal UU 3/2022, negara masih memiliki UU 29 Tahun 2007, sama dalam hal kedudukan, sebagai ibu kota negara. Dua regulasi sekaligus dengan “kedudukan sama, hanya fungsi berbeda”. Biarlah itu menjadi pekerjaan rumah pemerintah.

Jakarta tetaplah Jakarta dengan daya tariknya sendiri. Episentrumnya Indonesia, tentu dengan pengertian berbeda pada ilmu bumi. Pada konteks ini, episentrum Jakarta memiliki kesamaan dalam hal keseimbangan (equilibrium) dengan ilmu alam. Keduanya sama-sama memiliki satu titik tegak lurus. Ketika terjadi ketidakseimbangan, akan menimbulkan pergeseran, berdampak secara langsung, serta menciptakan rasa takut dan mencekam.

Ketakutan dan kecemasan akibat pergeseran lempeng dalam bumi akan terasa dipermukaan bumi (gempa). Begitu pun Jakarta sebagai episentrum ekonomi (investasi), kekuasaan (politik), dan peradaban (globalisasi). Keseimbangan ketiganya harus selalu terjaga manakala ketidakseimbangan ketiganya terjadi, suasana mencekam, ketidaknyamanan dan kegelisahan menyelimuti setiap langkah masyarakat. Bukan saja bagi warga Jakarta, tetapi warga negara Indonesia secara umum.

Pasca-diundangkan, banyak suara bahkan pandangan sejumlah pihak meminta dijaganya keseimbangan pasca-Jakarta dalam kekhususannya diambil alih dengan terbitnya UU 3/2022. Revisi UU 29/2007 pun menjadi menarik. Diperlukan kehati-hatian bahkan kajian tepat dan mendalam agar tidak menimbulkan pergeseran. Memang seakan tak substantif. Sebaliknya, keseimbangan ekonomi, kekuasaan, hingga peradaban menjadi persoalan krusial bahkan menentukan nasib Jakarta dengan tuannya.

Investasi, sejarah peradaban, globalisasi, metropolitan, bahkan megapolitan menjadi pilihan. Akan tetapi, semua bergantung pada pusaran politik kekuasaan. Kita yakini memang pusaran kekuasaan tidak selalu dimenangi ketika ekonomi masyarakat mengalami penurunan. Kekalahan politik dan menurunnya perekonomian masyarakat menyebabkan pusaran yang tidak stabil, saling terkait dan mengikat, mengalami pergeseran berarti guncangan. Di sisi lain, kondisi tersebut akan berpulang pada Betawi sebagai tuan di Jakarta, masyarakat inti Jakarta.

Di era keterbukaan informasi, Betawi semestinya menjadi bagian dari keseimbangan. Satu di antara keinginan untuk menghadirkan tuan rumah di daerahnya sebagai objek untuk menggawangi ekonomi, kekuasaan, dan peradaban Jakarta yang multikultural kosmopolitan dengan nilai, budaya, dan sosial kebetawian. Apa jadinya jika episentrum Jakarta tidak mengindahkan nilai budaya, sosial, dan kearifan lokal Jakarta? Atau sebaliknya, apa jadinya ketika sebagai tuan di Jakarta tidak menyadari pentingnya untuk ambil bagian dari episentrumnya Jakarta?

Sebagai tuan, Betawi selama ini memiliki talenta yang unik. Sikap yang berusaha menghapus batas-batas kultural untuk menciptakan sebuah masyarakat, di mana setiap individu tidak lagi terikat kepada budaya tertentu bahkan sebaliknya, secara bebas terlibat dalam percobaan-percobaan interkultural dan sekaligus tetap mengembangkan kehidupan kultural masing-masing.

Sejatinya sebagai tuannya Jakarta, aransemen yang harus diiramakan masyarakat Betawi salah satunya dapat menjaga keseimbangan, baik ekonomi, kekuasaan, maupun peradaban. Masyarakat Betawi dapat menunjukkan kehendaknya dalam memecahkan masalah persoalan Jakarta tanpa harus mempertontonkan dominasi. Justru harus membuka ruang bersama yang di dalamnya berbagai perbedaan dibicarakan, dihargai, dan menekan kepentingan Betawi yang notabenenya adalah tuannya Jakarta.

Tidak berlebihan kalau saya mengatakan Betawi memiliki kode ganda. Charles Jenks, mendefinisikan kode ganda sebagai pengombinasian teknik modern dengan merujuk secara simultan pada dua konteks, masa kini dan masa lalu. Sebagai tuan di Jakarta, Betawi adalah ikon keterbukaan, yang memberikan kesempatan sama bagi berbagai lapisan masyarakat, tidak ada ornamen maupun simbol yang menciptakan rasa takut masyarakat. Sebaliknya, Betawi menciptakan kegembiraan dalam interaksi sosial dan budaya yang berbeda di Jakarta.

Kesadaran selaku tuan di Jakarta tidak keliru ketika mengutip Ryaas Rasyid, yang menjelaskan visi otonomi daerah yang dirumuskan dalam tiga ruang lingkup interaksi utama, yakni politik, ekonomi, dan sosial budaya. Khusus untuk lingkup sosial budaya, dikatakannya, otonomi daerah harus dikelola sebaik mungkin demi menciptakan dan memelihara harmoni sosial dan pada saat yang sama memelihara nilai-nilai lokal yang dipandang bersifat kondusif terhadap kemampuan masyarakat dalam merespons dinamika kehidupan di sekitarnya.

Yang disampaikan Ryaas Rasyid dapat diterjemahkan sebagai memiliki kewenangan dalam hal memengaruhi kebijakan di Jakarta, yang bagi masyarakat Betawi dapat dibilang keharusan. Belum lagi ketika terjadi tumpang tindih kewenangan antara pemerintah pusat dengan daerah. Selaku tuan di Jakarta, Betawi semestinya mampu memengaruhi dan memiliki posisi tawar dengan memperhatikan banyaknya kepentingan di Jakarta.

Dengan demikian, Jakarta bertuan–satu hal yang selalu dilupakan bahkan seakan seperti tak bernilai. Jakarta masih memiliki tuan yang secara gamblang dapat menjadi bagian episentrum Jakarta atau sebagai tuan di Jakarta, Betawi tidak pernah menyadari pentingnya menjadi bagian untuk menjaga keseimbangan. Semua dikembalikan pada Jakarta dengan tuannya.

***

Betawi Berperadaban. Anies Baswedan pada kultumnya beberapa waktu lalu menyampaikan, “Orang tua akan bercerita masa lalu, anak muda akan bercerita masa depan”. Di antara keduanya memerlukan penyetara yang menghubungkan agar satu perubahan ke perubahan nilai tetap terjaga: yang muda belum merasakan tua, yang tua menghadapi zaman berbeda. Keduanya saling melengkapi, bukan sebaliknya, penyetara dalam Betawi dikenal dengan “adab” atau tata krama yang muda kepada yang tua, yang tua penuntun nilai bagi yang muda.

Perubahan satu hal yang pasti, nilai adalah satu hal yang hakiki (abadi). Menolak perubahan akan tertinggal peradaban, meninggalkan nilai akan tersesat pada peradaban. Membangun peradaban Betawi pada dasarnya pembangunan aspek sosial budaya karena yang dibangun adalah pranata sosial berunsurkan sistem nilai dan norma sehingga dapat membentuk pola perilaku berkelanjutan untuk generasi selanjutnya dalam hubungan-hubungan sosial, ekonomi, dan politik.

Betawi merupakan satu di antara banyak suku bangsa di Indonesia. Sebagai negara dengan keragaman budaya, Betawi tidak serta merta hadir, tetapi memiliki andil bahkan berkontribusi besar dalam kemerdekaan dan pembangunan di Indonesia, terlebih Betawi sebagai suku yang matang di setiap perubahan Indonesia karena posisinya di episentrum Indonesia. Perubahan inilah yang memengaruhi relasi nilai Betawi dan negara sebagai pintu peradaban Jakarta. Logis jika kemudian menciptakan suatu identitas Betawi bercampur dengan ragam baru menuntut pengembangan inovasi kreasi, baik secara pelembagaan maupun peningkatan pada aspek ilmu pengetahuan dan teknologi, untuk dapat bertahan.

Perubahan di atas perubahan: skala kecil perubahan perilaku dan pola pikir, skala besar perubahan struktur masyarakat yang secara langsung memengaruhi perkembangan positioning masyarakat Betawi. Kemampuan beradaptasi dalam setiap perubahan inilah “Betawi berperadaban”. Di tengah tekanan kolonial, demokrasi terpimpin, Orde Baru, sampai pada masa penuh persaingan demokrasi, Betawi tidak serta menonjolkan pola hidup individualis bahkan meneguhkan dirinya dalam identitas kebangsaan di tengah menguatnya arus kepentingan local wisdom di setiap daerah.

Berbeda ketika pemindahan ibu kota. Akselarasi peradaban membuka ruang untuk meningkatkan Betawi pada level lebih tinggi. Sebelumnya, hanya pengakuan dalam pelestarian budaya; sedangkan secara kelembagaan, Betawi belum menyentuh kewenangan istimewa di tataran pemerintah daerah. Bamus, misalnya, hanya sebatas koordinasi dengan pemerintah daerah.

Pembangunan identitas lokal masyarakat Betawi pada revisi UU 29/2007 adalah objek pembangunan politik masyarakat lokal. Pembangunan politik dan masyarakat lokal selain terkait identitas, dapat juga dilihat dengan pengamatan struktur masyarakat tradisional dan kosmologi yang menunjukkan perbedaan elemen fungsional dalam masyarakat. Oleh karena itu, bukan sesuatu yang harus dihapuskan atau dihindari, justru perlu dipertegas dengan jalur pertimbangan dan konsultasi. Tidak cukup sebatas koordinasi.

Perkembangan dan kemajuan teknologi informasi, tingkat pendidikan yang lebih tinggi membawa dampak bagi pelestarian dan pengembangan nilai-nilai hukum adat Betawi dalam masyarakat. Dampak yang dirasakan bahwa ada nilai-nilai dalam masyarakat Jakarta yang mulai mengalami perubahan nilai.

Sisi lain, kehidupan sosial-budaya, etik-moral, estetika, eko-lingkungan, religiusitas, dan pandangan tentang keberagamaan juga mengalami perubahan. Oleh karena itu, modernitas akan menimbulkan efek ambivalen, yaitu bukan hanya menguntungkan, melainkan juga merugikan dan ada kalanya menimbulkan kerusakan yang sangat tragis.

Berperadabannya Betawi dalam zaman modern saat ini perlu berpikir ke depan melalui revisi UU 29/2007 agar Betawi memperhatikan kehidupan sosio-budaya yang santun, etika hidup yang berbudaya, budaya hidup rukun dan damai, bekerja sama dan bekerja bersama-sama, budaya hidup dalam kecukupan dan kesederhanaan, budaya melestarikan alam, hingga budaya ketimuran yang selalu beradab dan berperikemanusiaan melalui pelembagaan formal dalam aturan perundangan.

Sebagai penutup, Jakarta Bertuan dengan Betawi berperadaban secara kelembagaan dapat kembali menghidupkan nilai Betawi yang telah menurun seakan kehilangan identitas budayanya. Upaya pembangunan budaya, yang bukan sebatas pelestarian dengan pendekatan desentralisasi dan otonomi daerah, membuka ruang bagi tumbuh dan berkembangnya masyarakat adat Betawi dalam proses pembangunan demokrasi dan otonomi daerah. Dengan kewenangan yang diberikan secara proporisonal antara kepentingan nasional, daerah, dan kepentingan masyarakat Betawi. Melalui revisi UU 29/2007, Betawi bukan saja menjadi episentrum, melainkan menjadi ekuilibrium melalui pembangunan budaya yang berkelanjutan.

Artikel Jakarta Bertuan, Betawi Berperadaban pertama kali tampil pada KAHMI Nasional.

]]>
8630
Ombudsman Ajak PPU Bersinergi soal Pelayanan Publik IKN https://www.kahminasional.com/read/2022/03/25/8053/ombudsman-ajak-ppu-bersinergi-soal-pelayanan-publik-ikn/ Fri, 25 Mar 2022 14:23:23 +0000 https://www.kahminasional.com/?p=8053 Kahminasional.com, Penajam Paser Utara – Ombudsman RI (ORI) mendorong adanya sinergi dengan Pemerintah Kabupaten Penajam Paser Utara (Pemkab PPU) terkait penyelanggaraan pelayanan publik di ibu kota negara (IKN). Pemerintah memindahkan IKN dari Jakarta ke Nusantara, Kalimantan Timur (Kaltim), yang teritorialnya “mencaplok” sebagian wilayah PPU-Kutai Kartanegara. Permintaan tersebut disampaikan Anggota Ombudsman, Hery Susanto, saat bertemu dan […]

Artikel Ombudsman Ajak PPU Bersinergi soal Pelayanan Publik IKN pertama kali tampil pada KAHMI Nasional.

]]>
Kahminasional.com, Penajam Paser Utara – Ombudsman RI (ORI) mendorong adanya sinergi dengan Pemerintah Kabupaten Penajam Paser Utara (Pemkab PPU) terkait penyelanggaraan pelayanan publik di ibu kota negara (IKN).

Pemerintah memindahkan IKN dari Jakarta ke Nusantara, Kalimantan Timur (Kaltim), yang teritorialnya “mencaplok” sebagian wilayah PPU-Kutai Kartanegara.

Permintaan tersebut disampaikan Anggota Ombudsman, Hery Susanto, saat bertemu dan berdialog dengan Plt. Bupati PPU, Hamdam Pongrewa, Kamis (24/3).

Dalam keterangannya, Hery berpendapat, pemindahan IKN bakal membuat aduan pelayanan publik melonjak. Karenanya, perlu ada sinergi dengan daerah penyangga.

“Terbentuknya IKN akan berpengaruh pada meningkatnya laporan pengaduan masyarakat yang akan menjadi konsekuensi Ombudsman RI dalam mengawasi pelayanan publik,” katanya.

Sementara itu, Hamdam mengakui, Pemkab PPU masih perlu penataan lebih matang, khususnya soal infrastruktur pelayanan publik yang akan dibangun, dalam persiapan IKN.

Selain itu, menurutnya, perlu adanya program formasi anggran khusus bagi daerah penyangga dan ganti rugi atas lahan warga atau swasta yang berada di kawasan IKN.

“Warga Kabupaten Penajam Paser Utama yang berada di wilayah IKN terkait iuran BPJS yang ditanggung pemda akan dilepas karena sudah tidak masuk ke dalam warga kabupten,” tandasnya.

Artikel Ombudsman Ajak PPU Bersinergi soal Pelayanan Publik IKN pertama kali tampil pada KAHMI Nasional.

]]>
8053
Ugal-ugalan Ibu Kota Baru https://www.kahminasional.com/read/2022/01/29/6359/ugal-ugalan-ibu-kota-baru/ Sat, 29 Jan 2022 00:02:11 +0000 https://www.kahminasional.com/?p=6359 Oleh Tamsil Linrung, Ketua Umum PB HMI MPO 1988-1990 dan Anggota DPD RI daerah pemilihan Sulawesi Selatan ​Pindah ibu kota negara (IKN) itu biasa. Tidak sedikit negara di dunia melakukannya. Yang tidak biasa adalah ngotot, memaksakan kehendak tanpa melihat urgensi dan momentumnya. Inilah sebenarnya sumber persoalan kita. Ketika APBN masih defisit, ekonomi belum stabil, dan […]

Artikel Ugal-ugalan Ibu Kota Baru pertama kali tampil pada KAHMI Nasional.

]]>
Oleh Tamsil Linrung, Ketua Umum PB HMI MPO 1988-1990 dan Anggota DPD RI daerah pemilihan Sulawesi Selatan

​Pindah ibu kota negara (IKN) itu biasa. Tidak sedikit negara di dunia melakukannya. Yang tidak biasa adalah ngotot, memaksakan kehendak tanpa melihat urgensi dan momentumnya. Inilah sebenarnya sumber persoalan kita. Ketika APBN masih defisit, ekonomi belum stabil, dan Covid-19 masih mengancam, kebijakan memindahkan ibu kota terasa tidak relevan.

Rakyat berhak curiga. Apalagi, memori kolektif mereka mencatat sejumlah pembangunan infrastruktur yang mengecewakan. Ada yang tidak efektif, ada yang tidak tepat sasaran, dan ada pula yang terancam mangkrak. Celakanya, sebagian dari duit pembangunan itu diperoleh dengan cara utang. Sudah utangnya menumpuk, eh, infrastruktur yang dihasilkan tidak maksimal.

Pemerintah seharusnya sensitif, menjawab kecurigaan rakyat dengan penjelasan komprehensif. Bukan justru ugal-ugalan mengetok palu bersama DPR. DPD memang menjadi bagian dari keputusan tersebut. Namun, DPD memberi catatan kritis dan telah disampaikan secara terbuka dalam beberapa tulisan dan pemberitaan.

Pemindahan IKN adalah pekerjaan besar, masif, dan multikompleks sehingga memerlukan perencanaan yang matang. Ini bukan saja tentang membangun kawasan, tetapi juga membangun peradaban. Peluangnya besar, tetapi itu sebanding dengan risikonya. Apabila tak direncanakan dan dikelola dengan baik, risiko dipastikan akan lebih dominan ketimbang peluangnya.

Paceklik ekonomi membuat potensi risiko itu membesar. Tak percaya? Tengok situasi berikut: aset ibu kota lama nyatanya akan dioptimalkan pemerintah sebagai salah satu sumber merogoh cuan demi menyuplai. Caranya beragam. Direktur Barang Milik Negara Direktorat Jenderal Kekayaan Negara Kementerian Keuangan, Encep Sudarwan memberi sinyal, “Aset DKI Jakarta tidak selalu dijual, namun juga dapat dikerjasamakan dengan pemberian waktu 30 tahun atau beberapa tahun dan duitnya digunakan di IKN (katadata.com).”

Proses pengalihan aset tentu rawan karena membuka celah korupsi. Apalagi, nilai aset DKI Jakarta begitu besar dan entah berapa yang akan dialihkan. Kementerian Keuangan mencatat, dari total aset negara sebesar Rp11.098 triliun, sebanyak Rp1.000 triliun di antaranya berada di Jakarta. Ini berbahaya. Apalagi, kita punya sejarah korupsi yang bikin bulu kuduk berdiri. Ya, bahkan dana bantuan sosial bagi rakyat miskin saja ditilap oleh Menteri Sosial, Juliari Batubara, salah satu dari tujuh menteri terbaik Jokowi menurut survei Charta Politika.

Dulu, Presiden Jokowi mengatakan, pembiayaan IKN tidak akan membebani APBN. Belakangan, dalam rapat kerja dengan Komisi XI DPR RI, 4 Februari 2020, Menteri Perencanaan dan Pembangunan Nasional (PPN)/Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), Suharso Monoarfa, mengatakan, dari Rp466 triliun total dana pembangunan IKN, sebanyak Rp89 triliun menggunakan APBN. Angka itu lalu berubah lagi. Pemerintah mengakui, skema IKN Nusantara akan lebih banyak mengeruk APBN, yakni sebesar 53,3% dari total dana. Lalu, apa jaminannya pernyataan-pernyataan ini tidak berubah lagi?

Janji yang terpungkiri ini mengingatkan kita pada proyek kereta api cepat Jakarta-Bandung. Janji yang terpungkiri seolah menjadi salah satu khas Jokowi selama memimpin. Terhadap perubahan sumber dana IKN, media massa menyebut, Presiden Jokowi meralat janjinya. Lalu, apa bahasa sederhana meralat janji?

Ironisnya, sumber dana buat menambal biaya pembangunan IKN Nusantara salah satunya dari pemulihan ekonomi nasional (PEN) klaster penguatan pemulihan ekonomi sebesar Rp178 triliun. Ini jelas keterlaluan. Bagaimana mungkin dana penanggulangan kondisi darurat pandemi Covid-19 digunakan untuk pendanaan lain di luar peruntukannya?

RUU APBN 2022 telah diketok pada November 2021 lalu. Kita tahu, untuk mengubah alokasi anggaran proyek nasional diperlukan mekanisme APBN Perubahan. Pengumuman penggun​​aan APBN tanpa melalui APBN Perubahan adalah contoh etika pengelolaan keuangan negara yang tidak elok. Boleh jadi situasi ini menjadi persoalan hukum.

Yang aneh, latar belakang pemilihan Penajam Paser Utara (PPU) sebagai lokasi IKN Nusantara tidak ditemukan dalam daftar inventarisasi masalah (DIM). Padahal, sangat penting bagi pemerintah mengungkap dan membahasnya sehingga masyarakat dapat memahami secara jernih.

Akibatnya, spekulasi tak bisa dihindarkan seiring beredarnya data-data terkait IKN di tengah masyarakat. Terhadap 256 ribu hektare lahan IKN, misalnya, ternyata dominan dimiliki segelintir elite Jakarta. Meski bentuknya HGU (hak guna usaha) dan merupakan lahan milik negara, tetapi tetap saja perlu kompensasi tertentu apabila negara ingin mengambilnya kembali.

Suplai listrik IKN Nusantara juga demikian. Spekulasi rakyat mengarah kepada kepentingan China di balik keterlibatan China Power pada PLTA Sungai Kayan. Padahal, PLTA ini belum beroperasi. Namun, publik tetap saja mengaitkannya karena Kepala Staf Presiden (KSP), Moeldoko, pernah menyebut, PLTA Sungai Kayan adalah salah satu penyuplai listrik IKN.

Minimnya partisipasi publik dalam pembahasan RUU IKN melecut kecurigaan masyarakat bertambah besar. Pembahasan yang tergesa-gesa pada akhirnya berpotensi melalaikan masyarakat yang terkena dampak. Alasan ini pula yang menjadi salah satu dasar bagi sejumlah aktivis yang tergabung dalam Koalisi Masyarakat Kalimantan Timur menolak pemindahan ibu kota.

Sejumlah akademisi menilai, pembahasan dan pengesahan UU IKN tidak lazim, terkesan tertututup, tergesa-gesa, sehingga berpotensi cacat secara prosedural formil maupun materil. Salah satu yang dipersoalkan adalah status ambigu Ibukota Negara yang berbentuk otorita, yakni lembaga pemerintah setingkat kementerian. Padahal, nomenklatur otorita tidak dikenal dalam aturan perundang-undangan. Tentang hal ini, DPD RI telah mengingatkan.

Kini, pemerintah harus siap menghadapi gugatan rakyat di Mahmakah Konstitusi (MK). Din Syamsuddin, Faisal Basri, dan sejumlah tokoh agaknya mulai bersiap-siap. Saya pribadi mendukung langkah itu. Selain karena merupakan hak konstitusional warga negara, gugatan ke MK sekaligus menjadi penyeimbang agar produk legislasi kita berkualitas dan tepat sasaran. Semoga hasilnya tidak seperti UU (Undang-Undang) Cipta Kerja Omnibus Law yang diputus MK bertentangan dengan UUD 1945 agar kita yang diamanahi duduk di kursi legislatif tetap punya muka.

Artikel Ugal-ugalan Ibu Kota Baru pertama kali tampil pada KAHMI Nasional.

]]>
6359
Pemindahan IKN Indonesia Diyakini Sukses https://www.kahminasional.com/read/2022/01/28/6342/pemindahan-ikn-indonesia-diyakini-sukses/ Fri, 28 Jan 2022 02:05:42 +0000 https://www.kahminasional.com/?p=6342 Kahminasional.com, Jakarta – Indonesia diyakini sukses melakukan pemindahan ibu kota negara (IKN) ke Kalimantan Timur (Kaltim). Pangkalnya, kata akademisi Unisma Bekasi, Rasminto, sejumlah negara juga sukses melakukannya. Brasil dan Australia, misalnya. Dalam webinar “IKN Nusantara dalam Perspektif Geografi Politik”, menurutnya, Brasil dan Australia memindahkan IKN untuk meningkat pertumbuhan ekonomi wilayah tujuan. “Brasil dan Australia berhasil […]

Artikel Pemindahan IKN Indonesia Diyakini Sukses pertama kali tampil pada KAHMI Nasional.

]]>
Kahminasional.com, Jakarta – Indonesia diyakini sukses melakukan pemindahan ibu kota negara (IKN) ke Kalimantan Timur (Kaltim).

Pangkalnya, kata akademisi Unisma Bekasi, Rasminto, sejumlah negara juga sukses melakukannya. Brasil dan Australia, misalnya.

Dalam webinar “IKN Nusantara dalam Perspektif Geografi Politik”, menurutnya, Brasil dan Australia memindahkan IKN untuk meningkat pertumbuhan ekonomi wilayah tujuan.

“Brasil dan Australia berhasil melakukan pemindahan IKN dengan terbukti dapat meningkat pertumbuhan ekonomi wilayah tujuan,” ucapnya, Kamis (27/1).

Anggota Dewan Pakar Korps Alumni Himpunan Mahasiswa Islam Universitas Negeri Jakarta (KAHMI UNJ) ini pun berharap, pemindahan IKN dari Jakarta ke Kaltim dapat melakukan hal sama.

“Diharapkan pemindahan IKN dapat berperan sebagai pemerataan pembangunan wilayah nasional,” katanya.

Eks Kabid PTKP Badko HMI Jabodetabeka Banten itu menambahkan, ada lima hal yang diperhatikan secara lebih khusus dan mendalam terkait pemindahan IKN.

“Pemerintah sangat perlu memperhatikan kesiapan daerah tujuan dalam aspek infrastruktur, aspek pembiayaan pembangunan IKN, aspek hankam, aspek lingkungan hidup, serta kesiapan SDM aparatur pemerintah,” tuturnya.

Pemerintah memutuskan sebagian wilayah Penajam Paser Utara dan Kutai Kartanegara, Kaltim, sebagai lokasi IKN baru.

Presiden Joko Widodo (Jokowi) juga sudah menetapkan nama IKN anyar adalah Nusantara.

Di sisi lain, DPR telah mengesahkan Rancangan Undang-Undang (RUU) IKN. Tinggal diteken Presiden untuk kemudian resmi diundang-undangkan.

IKN baru akan menjadi wilayah setingkat provinsi. Selain itu, dipimpin oleh seorang Kepala Otorita.

Artikel Pemindahan IKN Indonesia Diyakini Sukses pertama kali tampil pada KAHMI Nasional.

]]>
6342
Pemindahan IKN, Biaya Pembangunan Harus Jadi Atensi Pemerintah https://www.kahminasional.com/read/2022/01/27/6335/pemindahan-ikn-biaya-pembangunan-harus-jadi-atensi-pemerintah/ Thu, 27 Jan 2022 16:12:55 +0000 https://www.kahminasional.com/?p=6335 Kahminasional.com, Jakarta – Akademisi Unisma Bekasi, Rasminto, meminta pemerintah memberikan atensi khusus dalam pembiayaan pembangunan infrastruktur ibu kota negara (IKN) baru. Dalam webinar “IKN Nusantara dalam Perspektif Geografi Politik” yang digelar Prodi Pendidikan Geografi Unisma Bekasi, Kamis (27/1), dirinya mendorong demikian karena pemindahan IKN memiliki risiko dalam pembiayaan. “Pemerintah selayaknya memperhatikan aspek perencanaan dan tata […]

Artikel Pemindahan IKN, Biaya Pembangunan Harus Jadi Atensi Pemerintah pertama kali tampil pada KAHMI Nasional.

]]>
Kahminasional.com, Jakarta – Akademisi Unisma Bekasi, Rasminto, meminta pemerintah memberikan atensi khusus dalam pembiayaan pembangunan infrastruktur ibu kota negara (IKN) baru.

Dalam webinar “IKN Nusantara dalam Perspektif Geografi Politik” yang digelar Prodi Pendidikan Geografi Unisma Bekasi, Kamis (27/1), dirinya mendorong demikian karena pemindahan IKN memiliki risiko dalam pembiayaan.

“Pemerintah selayaknya memperhatikan aspek perencanaan dan tata ruang wilayah sehingga penggunaan lahan dapat efektif dan meminimalisasi kemungkinan inflasi dari kenaikan harga lahan yang tidak terkendali,” kata eks Kabid PTKP Badko HMI Jabodetabeka Banten itu.

Rasminto menambahkan, dampak lingkungan dan mobilisasi sumber daya manusia (SDM) yang menggerakkan percepatan pembangunan juga akan memengaruhi kondisi ekonomi negara selain kenaikan harga tanah.

Oleh karena itu, Anggota Dewan Pakar Korps Alumni Himpunan Mahasiswa Islam Universitas Negeri Jakarta (KAHMI UNJ) ini juga meminta pemerintah memberikan perhatian khusus dan mendalam soal hal-hal terkait pemindahan IKN.

“Pemerintah sangat perlu memperhatikan kesiapan daerah tujuan dalam aspek infrastruktur, aspek pembiayaan pembangunan IKN, aspek hankam, aspek lingkungan hidup, serta kesiapan SDM aparatur pemerintah,” tuturnya.

Diskusi ini turut dihadiri Wakil Gubernur DKI Jakarta, Ahmad Riza Patria, sebagai keynote speaker; Anggota Komisi II DPR, Zulfikar Arse Sadikin; dosen UNJ, Iqbal Syafrudin;
Ketua Umum FKPPAI, Alam Slamet Barkahl dan Direktur Eksekutif JMN, Ahmad Sulhy.

Artikel Pemindahan IKN, Biaya Pembangunan Harus Jadi Atensi Pemerintah pertama kali tampil pada KAHMI Nasional.

]]>
6335