Opini Arsip - KAHMI Nasional https://www.kahminasional.com Korps Alumni Himpunan Mahasiswa Islam Sun, 28 Apr 2024 16:58:13 +0000 id hourly 1 https://wordpress.org/?v=6.5.2 https://www.kahminasional.com/assets/img/2021/11/favicon-kahmi-nasional-48x48.png Opini Arsip - KAHMI Nasional https://www.kahminasional.com 32 32 202918519 Warung Madura dan pembangunan entrepreneurship di Indonesia https://www.kahminasional.com/read/2024/04/28/9671/warung-madura-dan-pembangunan-entrepreneurship-di-indonesia/ Sun, 28 Apr 2024 16:58:13 +0000 https://www.kahminasional.com/?p=9671 Oleh Syahganda Nainggolan, pendiri Sabang Merauke Circle Warung Madura di Bali diminta untuk tutup pada malam hari. Berita ini menjadi topik hangat belakangan ini. Merujuk pemberitaan media, di Klungkung alasannya adalah keluhan pemilik minimarket yang merasa terganggu pendapatannya, sedangkan di Denpasar lebih pada alasan penertiban penduduk dan keamanan kota. Aturan kota memang tidak menyentuh warung […]

Artikel Warung Madura dan pembangunan entrepreneurship di Indonesia pertama kali tampil pada KAHMI Nasional.

]]>
Oleh Syahganda Nainggolan, pendiri Sabang Merauke Circle

Warung Madura di Bali diminta untuk tutup pada malam hari. Berita ini menjadi topik hangat belakangan ini. Merujuk pemberitaan media, di Klungkung alasannya adalah keluhan pemilik minimarket yang merasa terganggu pendapatannya, sedangkan di Denpasar lebih pada alasan penertiban penduduk dan keamanan kota. Aturan kota memang tidak menyentuh warung informal sehingga pemerintah kota di Bali sedikit bingung mengimplementasikan kebijakan itu.

Pemerintah pusat sendiri, Kementerian Koperasi, yang semula menyetujui pembatasan operasional warung Madura, menarik kembali ucapannya setelah banyak kritik. Pemilik warung bersikeras bahwa mereka justru bisa bertahan kalau buka di waktu dini hari. Lalu, bagaimana kita melihat ini ke depan?

Pertama, dari kacamata sosiologi dan kebudayaan, pertumbuhan jumlah kelompok enterpreneurship (wirausahawan) di Bali tentu dapat menjadi potensi ketegangan social karena keberhasilan mereka, khususnya dalam jangka panjang, akan menimbulkan kecemburuan di tingkat masyarakat bawah.

Kecemburuan ini dapat bersifat ekonomi karena adanya ketimpangan. Namun, dapat juga berupa identitas karena warga Madura merupakan pemeluk agama Islam yang taat. Orang-orang Bali sendiri mayoritas merupakan masyarakat Hindu.

Kedua, dari kacamata industri pariwisata, warung-warung Madura ini mengesankan “kekumuhan” kota, yang mungkin akan memengaruhi kesuksesan industri pariwisata berskala internasional. Kita ketahui bahwa di tangan Sandiaga Uno, industri pariwisata bergeliat menjadi tulang punggung pendapatan negara. Bali sebagai target destinasi wisatawan asing dan penghasil devisa terus digenjot. Model warung kelontong 24 jam tentu dikhawatirkan sebagai sumber kerawanan pula.

Kedua alasan di atas adalah sebuah cara pandang negatif, yang pastinya menjadi alasan pemerintah berusaha untuk membatasi pertumbuhan dan kesuksesan warung Madura. Apakah kita bisa mempunyai cara pandang lainnya?

Untuk itu, kita harus mengenengahkan 3 argumen penting untuk mendorong keberadaan dan kemajuan warung Madura. Pertama, warung-warung Madura adalah fenomena urban, di mana di setiap kota-kota yang mengalami kemajuan kota dan ekonominya, warga Madura datang untuk berusaha. Hal itu kita lihat di Monas dan Kota Tua, Jakarta; di Malioboro, Yogyakarta; toko-toko kayu dan besi bekas di berbagai kota besar; dan lain-lain bahkan menjadi enterpreneur sukses di Kalimantan Barat beberapa dasawarsa belakang.

Hak warga negara mencari nafkah harus dilihat sebagai hak yang dijamin undang-undang atau bahkan seharusnya negara berterima kasih. Sebab, sesungguhnya UUD malah mewajibkan negara memberikan pekerjaan layak pada semua warga.

Kedua, enterpreneurship. Sifat kewirausahaan orang-orang Madura, selayaknya juga orang Padang/Minang, merupakan anugerah yang harus disyukuri bangsa kita. Kenapa? Karena mayoritas bangsa kita mentalnya bukan mental pedagang, melainkan mental pegawai, yang menyebabkan gagalnya kita membangun masyarakat entrepreneur.

Kaum enterpreneur di negara maju umumnya mencapai rerata 12% atau lebih, sedangkan di Indonesia berkisar 4% dari jumlah masyarakatnya. Padahal, salah satu syarat untuk menjadi negara maju tersebut, jumlah kaum wirausaha harus cukup besar.

Menciptakan proporsi kaum usahawan tidak bisa diharapkan dari perkumpulan-perkumpulan pengusaha atau UMKM yang muncul karena KKN pada kekuasaan. Banyak anak-anak muda yang mendapatkan stempel pengusaha muda muncul karena koneksi pada kekuasaan. Orang-orang seperti ini biasanya tidak dapat diandalkan dalam memajukan usaha dan industri secara positif karena mental calo.

Dengan demikian, enterpreneur model Madura ini perlu diperluas agar Indonesia mampu mencapai jumlah wirausaha yang dibutuhkan. Upaya Jusuf Kalla menghidupkan kelompok-kelompok saudagar daerah-daerah beberapa waktu lalu perlu dilihat sebagai kekuatan natural yang perlu dilakukan terus-menerus.

Pengalaman saya ketika berpartner dengan orang Madura, misalnya di Pelabuhan Indonesia 2, ketika saya Komisaris dan Dirutnya, Abdullah Syaifuddin, sang Dirut mampu menaikkan keuntungan Pelindo saat itu dari Rp800 miliar menjadi Rp1,2 triliun alias penambahan Rp400 miliar dalam tempo setahun. Begitu pula ketika saya sering menemani Cak Fai, pedagang Sate di Yogyakarta, Ketua Pedagang Kaki Lima se-Indonesia (APKLI) era 90-an hingga 2000-an, terjadi kemajuan usaha kaum kaki lima secara drastis, baik dari sisi administrasi usaha, permodalan, maupun omzet. Jadi, memang orang-orang Madura itu memiliki kelebihan sebagai pebisnis atau menjalankan bisnis.

Oleh karena itu, melihat warung-warung Madura yang berkembang di Bali haruslah melihat mereka sebagai sumber daya pebisnis yang perlu didukung agar tumbuh berkembang bersama kemajuan parawisata Bali. Keberanian mereka bekerja siang malam harus disambut pemerintah Bali dan Ok Ocenya Sandiaga Uno dengan melakukan pembinaan pada sisi manajemen, kebersihan, dan pembiayaan warung agar kompatibel dengan kemajuan Bali.

Ketiga, kerja sama bukan permusuhan dengan minimart. Kaum kapitalis yang menguasai supply chain dan distribusi kebutuhan pokok dan berbagai keperluan rumah tangga sudah selayaknya melihat warung-warung rakyat sebagai bagian kemajuan bersama bangsa. Kita sadar bahwa supermarket dan minimarket yang dikontrol kalangan taipan selama ini telah mematikan warung-warung lokal. Mereka mampu mengontrol ketersediaan barang, mengontrol harga, dan bahkan mengontrol ketersediaan tempat usaha.

Jika pikiran kaum taipan ini adalah “berbagi” bukan monopoli kemajuan bisnis, maka sebuah kerja sama harus dibicarakan dengan warung-warung tersebut, di mana mereka bisa berbagai keuntungan. Pemerintah lokal dapat menjembatani kerja sama tersebut, baik dalam kepentingan pelayanan maupun ke depannya sebagai sumber income bagi pemerintah. Sebaliknya, jika minimarket ini tetap ingin menang sendiri dan mematikan warung-warung rakyat, maka sudah selayaknya kita berdiri di belakang kesuksesan warung-warung Madura.

Dengan 3 alasan di atas, sudah cukup bagi pemerintah di Bali maupun oleh pemerintah pusat bekerja mendukung warung-warung Madura. Tentu saja pemerintah harus mendukung semua warung-warung Madura yang ada di Jakarta serta kota besar lainnya. Tantangan yang ada harus dianggap sebagai sebuah kesempatan. Pemerintah harus terus membangun totalitas dan proporsi kaum wirausaha di Indonesia, menciptakan kerja sama “bapak angkat-anak angkat” antara minimarket (ritel) modern dengan warung Madura dan mencari tambahan income negara (pendapatan daerah) melalui retribusi daerah.

Ancaman ketegangan sosial dan etnis maupun ancaman keamanan dan ketertiban harus diletakkan pada kepentingan yang lebih besar. Bali adalah milik semua. Maju Balinya, maju warung Maduranya.

***

Rencana pemerintah di Bali membatasi warung Madura harus dihentikan, baik karena alasan kecemburuan minimarket maupun ketertiban kota. Sebaliknya, warung Madura harus dibina dan dikembangkan sebagai bagian dari kewirausahaan nasional. Pemerintah pusat, Sandiaga Uno, dapat membuat desain pembinaan ala Ok Oce pada warung-warung tersebut sehingga warung-warung itu kompatibel pada industri pariwisata Bali.

Saatnya membela kaum lemah.

Artikel Warung Madura dan pembangunan entrepreneurship di Indonesia pertama kali tampil pada KAHMI Nasional.

]]>
9671
Demokrasi Indonesia di persimpangan jalan https://www.kahminasional.com/read/2024/03/27/9553/demokrasi-indonesia-di-persimpangan-jalan/ Wed, 27 Mar 2024 10:36:23 +0000 https://www.kahminasional.com/?p=9553 Oleh Anies Baswedan, calon presiden nomor urut 1 pada Pilpres 2024 Yang Mulia Hakim Mahkamah Konstitusi, hari ini adalah sebuah momen yang sangat penting dalam sejarah kita. Kami berdiri dengan penuh rasa hormat di depan Mahkamah Konstitusi untuk menyampaikan sebuah suatu situasi yang mendesak dan kritis serta memerlukan pertimbangan mendalam dan keputusan yang bijaksana. Bangsa […]

Artikel Demokrasi Indonesia di persimpangan jalan pertama kali tampil pada KAHMI Nasional.

]]>
Oleh Anies Baswedan, calon presiden nomor urut 1 pada Pilpres 2024

Yang Mulia Hakim Mahkamah Konstitusi, hari ini adalah sebuah momen yang sangat penting dalam sejarah kita. Kami berdiri dengan penuh rasa hormat di depan Mahkamah Konstitusi untuk menyampaikan sebuah suatu situasi yang mendesak dan kritis serta memerlukan pertimbangan mendalam dan keputusan yang bijaksana.

Bangsa dan negara kita kini berada di dalam titik krusial, sebuah persimpangan yang akan menentukan arah masa depan kita. Apakah kita akan melanjutkan perjalanan kita menuju kedewasaan sebagai sebuah negara demokrasi yang matang ataukah kita akan membiarkan diri tergelincir kembali ke bayang-bayang era sebelum reformasi, yang justru hendak kita jauhi?

Kita dihadapkan pada pertanyaan-pertanyaan fundamental yang menentukan: apakah Republik Indonesia yang kita cintai ini akan menjadi negara yang menghargai dan memperjuangkan konstitusi sebagai pilar tertinggi demokrasi kita (rule of law) atau apakah kita akan mereduksi konstitusi menjadi sekadar alat untuk pelanggengan kekuasaan tanpa pengawasan (rule by law)?

Kita harus memutuskan apakah kita akan menjadi negara yang mengakui dan menghormati hak setiap individu untuk menentukan pikiran dan menyuarakan pilihannya secara bebas dan independen, yang merupakan esensi dari demokrasi, atau kita justru berpaling dari prinsip tersebut dan memilih di mana suara oligarki diberi prevalensi, mengesampingkan kesejahteraan umum, dan mengabaikan kepentingan nasional yang lebih luas.

Ini adalah saat di mana kita harus menentukan komitmen kita terhadap nilai-nilai demokrasi, kedaulatan hukum, dan hak asasi manusia. Ini adalah waktu untuk menunjukkan bahwa Indonesia adalah bangsa yang besar. Bangsa yang besar bukan hanya dalam aspek wilayah, bukan hanya aspek populasi, bukan hanya aspek angka-angka ekonomi, tetapi juga bangsa yang besar karena kebijaksanaannya, karena keberaniannya, karena integritasnya di dalam menegakkan demokrasi dan konstitusi.

Yang Mulia Hakim Mahkamah Konstitusi, sejak zaman pra-kemerdekaan, bangsa dan negara kita telah menapaki berbagai persimpangan krusial yang menentukan arah dan nasib bangsa indonesia. Tidak semua keputusan yang dibuat adalah keputusan yang tepat, sebagian adalah keputusan yang tidak tepat. Dan itu dicatat di dalam sejarah kita. Semua yang terlibat dicatat sebagai bagian dari perjalanan sejarah indonesia.

Karena itu, di saat yang berharga ini kita juga dihadapkan pada kenyataan yang sama, bahwa peristiwa yang berlangsung hari-hari ini akan menjadi bagian dari catatan sejarah perjalanan republik kita sebagaimana perjuangan kita sejak pra-kemerdekaan. Ini adalah saatnya bagi kita di persimpangan yang kritis ini untuk mengambil pelajaran dari sejarah, berdiri dengan keberanian moral dan intelektual untuk menentukan masa depan kita dengan
keputusan yang akan memperkuat fondasi demokrasi, memperkuat fondasi keadilan di dalam negara kita.

Yang Mulia Hakim Mahkamah Konstitusi, kita telah menyaksikan berjalannya satu babak penting dalam demokrasi kita, bulan lalu, yaitu proses pemilihan umum, yang angka suaranya telah diumumkan secara resmi oleh Komisi Pemilihan Umum.

Tapi, perlu kami garis bawahi dan kita semua sadari bahwa angka suara tak mutlak menentukan kualitas dari demokrasi, tak seotomatis mencerminkan kualitas secara keseluruhan. Setiap tahapan proses pemilihan, mulai dari persiapan awal hingga pengumuman, haruslah konsisten dengan prinsip-prinsip kebebasan, kejujuran, keadilan. Dan prinsip-prinsip ini bukanlah formalitas, bukan hanya sekadar ada di teks, tapi ini fondasi esensial yang harus dijaga untuk membangun dan memelihara sistem demokrasi yang sehat, yang stabil, dan yang berkelanjutan.

Pemilihan umum yang bebas, jujur, adil adalah pilar yang memberi legitimasi kuat pada pemerintahan yang terpilih, yang bisa membawa kepercayaan publik serta memperkuat fondasi institusi pemerintahan. Tanpa itu, legitimasi kredibilitas dari pemerintahan yang terpilih akan diragukan.

Lebih jauh lagi, pemilihan yang dijalankan secara bebas, secara jujur, dan adil adalah sesungguhnya pengakuan atas hak dasar setiap warga negara dalam menentukan arah dan masa depan negara mereka sendiri. Ini adalah wujud tertinggi dari kedaulatan rakyat, di mana setiap suara dapat disampaikan dan dihitung tanpa tekanan, tanpa ancaman, tanpa iming-iming imbalan.

Pertanyaannya, apakah Pilpres 2024 kemarin telah dijalankan secara bebas, jujur, dan adil? Izinkan kami menyampaikan jawabnya: tidak. Yang terjadi adalah sebaliknya dan itu telah terpampang secara nyata di hadapan kita semua.

Kita menyaksikan dengan keprihatinan mendalam serangkaian penyimpangan yang telah mencoreng integritas proses demokrasi kita. Mulai dari awalnya independensi yang seharusnya menjadi pilar utama dalam penyelenggaraan pemilu telah tergerus akibat intervensi kekuasaan yang tidak seharusnya terjadi. i antara penyimpangan yang kita saksikan adalah penggunaan institusi negara untuk memenangkan salah satu calon yang secara eksplisit tidak memenuhi kriteria yang ditetapkan.

Terdapat pula praktik yang meresahkan, di mana aparat daerah mengalami tekanan bahkan diberikan imbalan untuk memengaruhi arah pilihan politik serta penyalahgunaan bantuan-bantuan dari negara, bantuan sosial—yang sejatinya diperuntukkan untuk kesejahteraan rakyat—malah dijadikan sebagai alat transaksional untuk memenangkan salah satu calon.

Bahkan, intervensi sempat merambah hingga pemimpin Mahkamah Konstitusi. Ketika pemimpin Mahkamah Konstitusi, yang seharusnya berperan sebagai jenderal benteng pertahanan terakhir menegakan prinsip-prinsip demokrasi terancam oleh intervensi, maka fondasi negara kita, fondasi demokrasi kita berada dalam bahaya yang nyata.

Lebih jauh lagi, skala penyimpangan ini tidak pernah kita lihat sebelumnya, Yang Mulia. Kita pernah menyaksikan penyimpangan seperti ini di skala yang kecil seperti pilkada, populasi kecil. Tapi, di skala yang besar dan lintas sektor, baru kali ini kami semua menyaksikan. Karena itulah, izinkan kami nanti melalui Tim Hukum Nasional dari Timnas Amin akan menyampaikan bukti-bukti atas penyimpangan dan pelanggaran ini kepada Yang Mulia Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi ini.

Yang Mulia Hakim Mahkamah Konstitusi yang kami hormati-kami muliakan, apa yang kita saksikan ini bukanlah peristiwa biasa. Ini adalah titik klimaks dari sebuah proses yang panjang penggerogotan atas demokrasi, di mana praktik-praktik intervensi dan ketaatan pada tata kelola pemerintah secara pelan-pelan tergerus. Oleh karena itu, Yang Mulia Hakim Mahkamah Konstitusi, dihadapan Yang Mulia kini terbentang jalan demokrasi kita di pundak Yang Mulia. Terpikul tanggung jawab yang amat besar untuk menentukan arah masa depan demokrasi kita.

Apakah kita akan melangkah dalam persimpangan jalan ini menjadi sebuah republik dengan rule of law atau rule by law, demokrasi yang makin matang atau kemunduran yang sulit untuk diluruskan di tahun-tahun ke depan? Bila kita tidak melakukan koreksi saat ini, maka akan menjadi preseden ke depan, di setiap pemilihan di berbagai tingkat. Bila kita tidak melakukan koreksi, maka praktik yang terjadi kemarin akan dianggap sebagai kenormalan dan menjadi kebiasaan, lalu menjadi budaya, dan akhirnya menjadi karakter bangsa.

Yang Mulia Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi, dengan rasa hormat dan penuh harap, mohon peristiwa ini jangan dibiarkan lewat tanpa dikoreksi. Rakyat Indonesia menunggu dengan penuh perhatian dan kami titipkan semua ini kepada Mahkamah Konstitusi yang berani dan independen untuk menegakkan keadilan dengan penuh pertimbangan.

Kami mendukung Yang Mulia untuk tidak membiarkan demokrasi ini terkikis oleh kepentingan kekuasaan yang sempit, tidak membiarkan cita-cita reformasi yang telah lama berjuang/diperjuangkan menjadi sia-sia.

Tindakan dan keputusan Mahkamah Konstitusi terkait dengan jadwal pemilihan kepala daerah serentak serta keputusan penghapusan pasal pencemaran nama baik telah memberikan kepada kami harapan bahwa independensi, keberanian, ketegasan dalam menegakkan keadilan hadir kembali di Mahkamah Konstitusi ini.

Kami mohon kepada Hakim Konstitusi yang kami muliakan untuk menerapkan kebijaksanaan dan keadilan dalam setiap keputusan perkara yang kami ajukan, menjadi penjaga yang teguh atas nilai-nilai demokrasi, dan memastikan bahwa konstitusi tetap menjadi panduan utama dalam membangun masa depan bangsa yang lebih adil dan sejahtera.

Semoga sejarah mencatat dan menjadi saksi atas dedikasi dan komitmen Yang Mulia untuk mempertahankan integritas, dan martabat demokrasi, serta konstitusi kita.

Kepada Hakim Mahkamah Konstitusi yang kami muliakan, harapan besar dan tinggi itu kami titipkan.

 

Naskah ini dibacakan dalam sidang perdana sengketa pilpres di Gedung MK, Jakarta, pada Rabu (27/3).

 

Artikel Demokrasi Indonesia di persimpangan jalan pertama kali tampil pada KAHMI Nasional.

]]>
9553
Evaluasi ulang pemilu https://www.kahminasional.com/read/2024/03/17/9506/evaluasi-ulang-pemilu/ Sun, 17 Mar 2024 15:28:52 +0000 https://www.kahminasional.com/?p=9506 Oleh Anas Urbaningrum, Ketua Umum Partai Kebangkitan Nasional (PKN), Presidium MN KAHMI 2012-2017 Sambil terus mengikuti proses rekapitulasi nasional oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU), mari kita lihat kembali realitas di lapangan yang cenderung tidak mendukung hadirnya pemilu yang sehat dan demokratis. Pemilu telah bergeser dari kontestasi politik menjadi pertandingan logistik alias amplop. Gejala “amplopisme” sudah […]

Artikel Evaluasi ulang pemilu pertama kali tampil pada KAHMI Nasional.

]]>
Oleh Anas Urbaningrum, Ketua Umum Partai Kebangkitan Nasional (PKN), Presidium MN KAHMI 2012-2017

Sambil terus mengikuti proses rekapitulasi nasional oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU), mari kita lihat kembali realitas di lapangan yang cenderung tidak mendukung hadirnya pemilu yang sehat dan demokratis. Pemilu telah bergeser dari kontestasi politik menjadi pertandingan logistik alias amplop. Gejala “amplopisme” sudah hampir merata di seluruh daerah pemilihan (dapil) dan tingkatan pemilihan.

Mendengar cerita dari calon legislatif (caleg) yang berhasil maupun tidak berhasil, termasuk memantau sendiri dengan detail di lapangan, rasanya sulit menemukan caleg yang tidak menggunakan teknik amplop. Jikapun ada, persentasenya sangat kecil. Jikapun ada, ya.

Tentu hal ini terkait dengan pilihan sistem pemilu kita yang bertemu dengan realitas politik partai–dan caleg–dan keadaan para pemilih.

Sistem proporsional terbuka, yang selama ini saya yakini lebih baik, turut berkontribusi terjadinya “brutalisme kompetisi” logistik. Sistem ini sudah seperti mengundang dan bahkan (hampir) memaksa para caleg untuk menempuh ideologi “amplopisme” dalam mendapatkan dan mengumpulkan suara. Ironis banget!

Sudah lazim kalau terdengar ada caleg DPR yang habis puluhan miliar untuk berhasil. Bahkan, tidak sedikit yang masih gagal juga. Di beberapa daerah, saya bertemu dengan fakta bahwa untuk DPRD kabupaten/kota perlu miliaran juga. Ada yang habis Rp1,5 miliar bahkan lebih yang juga tetap belum berhasil. Sungguh realitas yang mengerikan dan menyedihkan.

Ini sudah jauh dari tujuan dasar sistem proporsional terbuka untuk membangun akuntabilitas politik wakil rakyat dan mendorong partai untuk memperbaiki rekrutmen politik. Keadaan di lapangan sudah cenderung destruktif.

Budaya politik demokrasi tidak saja tidak terbentuk, tetapi bibit-bibit yang telah tersemaikan sudah tergejala layu. Pemilih termobilisasi oleh kuasa logistik atau “daya sihir” amplop. Realitas ini mengubah cara pandang saya tentang sistem proporsional terbuka yang ternyata diselenggarakan dengan penuh distorsi.

Saatnya kita evaluasi lagi sistem pemilu. Jika keadaan lapangan begini, sistem proporsional semiterbuka perlu dilihat lagi: kembali ke nomor urut kecuali caleg yang mendapatkan 1 kuota kursi. Bahkan, mungkin sekalian sistem proporsional tertutup: coblos partai saja.

Jika sistem proporsional semiterbuka yang dipilih (kembali) atau bahkan sistem proporsional tertutup, yang perlu “ditertibkan” adalah partai, khususnya dalam proses rekrutmen dan penyusunan daftar caleg. Partai harus disiplin dan menghindari transaksi politik gelap dalam proses penyusunan nomor urut dalam daftar caleg.

Artikel Evaluasi ulang pemilu pertama kali tampil pada KAHMI Nasional.

]]>
9506
Ramadan sebagai bulan transformasi (2) https://www.kahminasional.com/read/2024/03/14/9490/ramadan-sebagai-bulan-transformasi-2/ Wed, 13 Mar 2024 19:41:49 +0000 https://www.kahminasional.com/?p=9490 Oleh Shamsi Ali, Direktur Jamaica Muslim Center New York Transformasi hati dan jiwa atau tazkiyah an-nafs (pembersihan jiwa) menjadi fondasi bagi terjadinya transformasi dalam kehidupan manusia, baik tataran personal (fardi), keluarga, maupun komunitas (umat). Tanpa hati dan jiwa yang bersih, semua sisi kehidupan menjadi buruk dan amburadul. Sekali lagi, itulah makna dari titah baginda Nabi. […]

Artikel Ramadan sebagai bulan transformasi (2) pertama kali tampil pada KAHMI Nasional.

]]>
Oleh Shamsi Ali, Direktur Jamaica Muslim Center New York

Transformasi hati dan jiwa atau tazkiyah an-nafs (pembersihan jiwa) menjadi fondasi bagi terjadinya transformasi dalam kehidupan manusia, baik tataran personal (fardi), keluarga, maupun komunitas (umat). Tanpa hati dan jiwa yang bersih, semua sisi kehidupan menjadi buruk dan amburadul.

Sekali lagi, itulah makna dari titah baginda Nabi. “Pada tubuh manusia ada segumpal darah yang jika baik, akan baik semua anggota tubuhnya. Namun, jika buruk, maka akan buruk semua anggota tubuhnya.”

Ketiga, urgensi menjadikan Ramadan sebagai bulan transformasi akhlak: setiap orang yang melakukan puasa tidak saja untuk tujuan ritual dengan perhitungan pahala, tetapi sekaligus melakukan “pelatihan” akhlak yang mulia.

Secara legal (fiqh), puasa seolah sekadar menahan makan, minum, dan hubungan suami istri. Namun, hakikatnya puasa adalah latihan, terutama menahan diri dari segala perilaku yang tidak sesuai etika. Etika itu esensinya ada pada hakikat. Karenanya, fikih tanpa akhlak adalah hambar, sebagaimana hukum tanpa etika hilang nilai (value).

Dengan menahan diri dari kesenangan dunia di siang hari, seseorang harusnya mampu mengingatkan diri bahwa di atas dari eksistensi fisik (material) ini ada nilai yang lebih tinggi. Hal ini akan mengingatkan pentingnya menjaga nilai itu. Kejujuran, ketawaduan, dan semua perilaku kebaikan (kindness) bagian dari nilai yang terangkum dalam tatanan akhlak manusia. Sebaliknya, keculasan, kecurangan, arogansi, ketamakan, dan kekikiran adalah nilai buruk yang melanggar tatanan perilaku mulia (akhlak karimah).

Sesungguhnya akhlak dalam tatanan ajaran agama (Islam) menjadi intisarinya (essence). Beragama tanpa akhlak bagaikan pohon yang tak berbuah (kasyajar bilaa tsamar). Akhlaklah yang menjadi cerminan dari nilai-nilai keimanan dan ubudiah. Dan karenanya, iman tanpa akhlak dipertanyakan, sebagaimana ibadah-ibadah ritual tanpa akhlak menjadi hampa.

Hadis-hadis Rasulullah saw banyak mengingatkan pentingnya nilai ibadah-ibadah teraplikasikan dalam bentuk perilaku yang baik. Puasa, misalnya, terancam hampa ketika seseorang menahan makan dan minum, tetapi tidak menjaga perkataan dan perbuatannya. Puasa yang seperti ini hanya akan menghasilkan lapar dan dahaga semata.

Sedemikian pentingnya akhlak karimah itu sehingga Rasulullah seolah menyimpulkan misi kerasulannya (dakwah) dengan “akhlak karimah“. Sebagaimana beliau tegaskan, “Sesungguhnya saya diutus untuk menyempurnakan kemuliaan akhlak“. Beliau bahkan menggariskan bahwa faktor terbesar seseorang masuk surga karena akhlak yang baik (husnul khuluq). Sebaliknya, seseorang yang buruk akhlak, walau ibadah ritualnya banyak, akan bangkrut dan akhirnya masuk neraka.” (hadis al-muflis).

Rasulullah saw sendiri, dengan segala ketinggian iman dan ibadah-ibadahnya, justru secara khusus terpuji dalam Al-Qur’an bukan dengan semua itu. Justru Allah memujinya karena kemuliaan akhlak beliau. “Sesungguhnya engkau memiliki akhlak yang tinggi (khuluqin ‘adzim).”

Akhlak karimah atau karakter mulia ini menjadi titik sentra (pusat) ketauladan baginda Rasulullah yang wajib diteladani. “Sungguh bagi kalian pada Rasulullah ada uswah hasanah (keteladanan yang baik).”

Sayangnya, umat Islam sering kali membatasi diri dalam meneladani Rasulullah pada aspek-aspek ubudiah semata. Salat, puasa, haji, dan ragam ritual menjadi perhatian besar. Namun, keteladanan karakter dan perilaku sosial Rasulullah terabaikan. Di masjid-masjid, salat berjemaah menjadi ramai, tetapi di samping-samping masjid banyak saudara-saudara yang kelaparan tanpa ada uluran tangan, hal yang sejatinya terancam sebagai “kedustaan dalam beragam” (al-ma’un).

Di bulan Ramadan, umat mampu menahan diri dari makan dan minum. Namun, lidah, mata, telinga, dan pikiran melanggar semua norma dan etika yang digariskan Islam. Umat Islam mampu menahan diri untuk tidak makan dan minum, tetapi jiwa dan pikiran masih dikuasai oleh kerakusan duniawi. Termasuk kerakusan pada kekuasaan melalui berbagai pengangkangan peraturan dan etika.

Semoga di bulan Ramadan ini kita mampu melakukan pembenahan akhlak dan karakter ke arah yang lebih baik. Amin. (Bersambung)

Artikel Ramadan sebagai bulan transformasi (2) pertama kali tampil pada KAHMI Nasional.

]]>
9490
Ramadan sebagai bulan transformasi (1) https://www.kahminasional.com/read/2024/03/13/9487/ramadan-sebagai-bulan-transformasi-1/ Wed, 13 Mar 2024 14:57:03 +0000 https://www.kahminasional.com/?p=9487 Oleh Shamsi Ali, Direktur Jamaica Muslim Center New York Umumnya ketika kita bersentuhan dengan Ramadan, maka yang terbetik pertama kali dan jelas di kepala adalah puasa dan ragam amalan lainnya. Yang teringat adalah puasa di siang hari dengan meninggalkan makan minum, hubungan suami istri, dan banyak kesenangan dunia lainnya. Juga teringat tarawih di malam hari […]

Artikel Ramadan sebagai bulan transformasi (1) pertama kali tampil pada KAHMI Nasional.

]]>
Oleh Shamsi Ali, Direktur Jamaica Muslim Center New York

Umumnya ketika kita bersentuhan dengan Ramadan, maka yang terbetik pertama kali dan jelas di kepala adalah puasa dan ragam amalan lainnya. Yang teringat adalah puasa di siang hari dengan meninggalkan makan minum, hubungan suami istri, dan banyak kesenangan dunia lainnya. Juga teringat tarawih di malam hari serta ragam ibadah lainnya, termasuk tilawah Al-Qur’an, dzikrullah, dan seterusnya.

Sangat sedikit di antara kita yang menyadari bahwa di samping signifikansi Ramadan dengan berbagai amalan ritual itu, Ramadan juga menjadi bulan yang sangat penting bagi terjadinya transformasi kehidupan manusia. Mungkin tidak berlebihan jika saya labeli bulan Ramadan sebagai bulan transformasi (month of transformation). Bulan yang sangat esensial bagi umat manusia untuk melakukan perubahan mendasar (foundational change) dari suatu keadaan kurang baik ke kedaan yang lebih baik bahkan terbaik.

Berbicara tentang transformasi atau perubahan mendasar juga berbicara tentang sesuatu yang memang menjadi tuntutan dasar kehidupan. Alam semesta, termasuk manusia di dalamnya, secara alami dan secara konstan mengalami perubahan. Tidak ada yang statis kecuali pencipta (Khalik). Sebaliknya, semua ciptaan (makhluk) secara alami pasti mengalami perubahan.

Dari sinilah jika saya menerjemahkan Ramadan sebagai bulan ketakwaan (syahru at-taqwa), maka saya terjemahkan sebagai bulan transformasi karena ketakwaan yang sesungguhnya adalah kemampuan melakukan perubahan dari suatu keadaan yang kurang/tidak baik menuju kepada keadaan yang baik dan lebih baik.

Dimulai dengan iqra’

Perubahan mendasar atau transformasi dalam segala lininya bermuara dari satu titik poin, yaitu cara pandang (mindset) yang tersimpulkan dalam kata iqra’, seperti yang disampaikan pertama kali kepada baginda Rasulullah saw. Dengan iqra’ inilah seseorang akan memperluas wawasan atau cara pandang untuk memudahkan terjadinya transformasi dalam segala lini kehidupannya.

Pada Ramadan kali ini ada lima transformasi penting yang kita harapkan terjadi dalam kehidupan kita sebagai manusia, baik tataran personal maupun kehidupan atau kolektif (jama’i).

Pertama, urgensi menjadikan Ramadan sebagai bulan transformasi iman. Transformasi iman yang kita maksudkan di sini adalah bahwa melalui bulan Ramadan, kita melakukan tajdid imani (pembaruan iman): dari iman yang mungkin berkarakter pasif ke berkarakter aktif.

Keimanan yang berkarakter pasif itu seringkali karena memang keimanan yang taken for granted. Keimanan seperti ini pada umumnya adalah keimanan dihasilkan melalui kelahiran (birth) dan/atau lingkungan. Kita merasa beriman karena terlahir dari orang tua beragama Islam atau karena kebetulan hidup di komunitas muslim.

Keimanan pasif ini tidak membawa ke mana-mana. Mungkin itulah yang selama ini terlabelkan dengan “Islam KTP”. Iya, mukmin, tetapi hati/jiwa dan karakter/amalnya jauh dari nilai dan ajaran Islam dan keimanan.

Di sinilah pentingnya melakukan transformasi imani. Salah satu bentuk keimanan digambarkan dalam QS. Ibrahim: 24. “Tidakkah kamu perhatikan bagaimana Allah memberikan contoh kalimat yang baik bagaikan pohon yang baik. Akarnya kuat dan rantingnya tinggi ke atas langit, memberikan buah-buahnya setiap saat dengan izin Tuhannya“.

Kedua, urgensi menjadikan Ramadan sebagai bulan transformasi hati dan kejiwaan. Transformasi yang maksudkan di sini adalah pentingnya kembali melakukan pembersihan hati (qalb) dan jiwa (nafs).

Jika kita telusuri berbagai ayat maupun hadis tentang kehidupan manusia, maka hati dan jiwa menjadi pusat kehidupan. Warna dan bentuk kehidupan manusia ditentukan oleh warna dan bentuk hati dan kejiwaan manusia. Ini yang tersimpulkan dalam hadis Rasulullah saw, “Sesungguhnya pada diri manusia ada segumpal darah: yang jika baik akan baik seluruh amalannya, tetapi jika rusak, maka rusaklah pula seluruh amalannya. Itulah hati.”

Kita mengenal bahwa hati itu adalah pusat nurani (cahaya batin) yang menjadi rujukan utama kehidupan. Hanya saja hati yang tidak terjaga akan terkontaminasi dengan berbagai kotoran kehidupan yang pada akhirnya terjangkiti penyakit bahkan tertutup. Ketika mengalami situasi sakit dan tertutup, maka hati yang awalnya mampu mengendalikan perilaku manusia ke arah ketakwaan, terambil alih oleh hawa nafsu yang buas. Hawa nafsu yang buas karena gagal terkendali oleh hati ini menghasilkan fujuur (kejahatan-kejahatan).

Di sinilah Ramadan memainkan peranan signifikan untuk membenahi dan membersihkan kembali hati dan jiwa manusia. Pembersihan hati atau jiwa yang lebih populer dalam bahasa Al-Qur’an dengan tazkiyah. Itulah sesungguhnya yang kita maksud dengan transformasi hati dan jiwa di bulan Ramadan karena sejatinya Ramadan memang adalah bulan tazkiyah melalui pengampunan. Dengan pengampunan itu hati semakin bersih, sehat, dan membawa dampak positif dalam kehidupan. (Bersambung)

Artikel Ramadan sebagai bulan transformasi (1) pertama kali tampil pada KAHMI Nasional.

]]>
9487
Pertarungan Joe Biden vs Donald Trump https://www.kahminasional.com/read/2024/03/13/9484/pertarungan-joe-biden-vs-donald-trump/ Wed, 13 Mar 2024 14:24:54 +0000 https://www.kahminasional.com/?p=9484 Oleh Shamsi Ali, Direktur Jamaica Muslim Center New York Beberapa bulan terakhir ini sedang dilangsungkan primary election atau babak penyisihan calon presiden (capres) pada Pemilihan Presiden (Pilpres) Amerika Serikat (United State of America/USA), November mendatang. Sebagaimana kita ketahui, bahwa di Amerika hanya ada dua partai politik besar, Demokrat dan Republik. Babak penyelisihan capres ini berlangsung […]

Artikel Pertarungan Joe Biden vs Donald Trump pertama kali tampil pada KAHMI Nasional.

]]>
Oleh Shamsi Ali, Direktur Jamaica Muslim Center New York

Beberapa bulan terakhir ini sedang dilangsungkan primary election atau babak penyisihan calon presiden (capres) pada Pemilihan Presiden (Pilpres) Amerika Serikat (United State of America/USA), November mendatang. Sebagaimana kita ketahui, bahwa di Amerika hanya ada dua partai politik besar, Demokrat dan Republik.

Babak penyelisihan capres ini berlangsung untuk dan oleh kedua partai. Calon dari Demokrat adalah petahana, Presiden Biden. Yang sedang mencari kandidat secara serius adalah Partai Republik. Hingga kemarin, tinggal dua kandidat yang bertahan: mantan Presiden Donald Trump dan Nikki Haley, mantan Dubes Presiden Trump untuk PBB.

Dengan selesainya “Super Tuesday” (pemilihan serentak di semua negara bagian hari Selasa), Republik telah menentukan capresnya. Donald Trump, mantan rival Joe Biden pada pilpres lalu. Dengan demikian, Biden dan dia rival beratnya ini akan kembali bertarung memperebutkan kursi kepresiden negara super power USA.

Dengan kembali bertemunya Biden dan Trump pada pilpres mendatang, Amerika dipastikan lagi-lagi akan memilih dua kandidat tua dan uzur. Biden berumur 81 tahun, sedangkan Trump saat ini berumur 78 tahun. Sehingga, dapat dipastikan sekiranya bukan karena isu panas di Amerika, khususnya pertarungan kebijakan antara lebijakan-kebijakan yang bersifat konservatif versus liberal dalam bidang imigrasi, aborsi, dan lain-lain, tetapi anak-anak muda tidak lagi tertarik untuk ikut memilih capres/cawapres itu.

Beberapa isu domestik dan global akan mendominasi perdebatan capres kali ini. Isu domestik, antara lain, banjirnya imigran yang datang ke Amerika secara ilegal. Di beberapa negara bagian atau kota, saat ini bahkan menjadi keadaan darurat. Begitu banyak pendatang ilegal yang baru, khususnya dari negara-negara Latin. Sementara itu, kemampuan finansial dan infrastruktural juga terkendala. Belum lagi masalah-masalah sosial yang timbul karena pendatang baru itu. Kejahatan, misalnya, terjadi dilakukan pendatang baru di tempat-tempat penampungan.

Selain itu, berbagai isu sosial yang memang membedakan antara Republik yang bercirikan konservatisme dan Demokrat yang bercirikan liberalisme. Isu kesehatan reproduksi kaum hawa menjadi isu utama. Republik cenderung mengkriminalkan aborsi tanpa batas. Sementara itu, Demokrat cenderung melegalkan tanpa batas. Ini menjadi perdebatan politik yang bahkan berdampak pada pengangkatan para hakim agung (supreme judge).

Secara umum, permasalahan ekonomi menjadi isu utama. Selama pemerintahan Biden, masyarakat Amerika merasakan tekanan ekonomi yang cukup tinggi. Terjadi inflasi tinggi. Harga-harga meninggi dengan kemampuan belanja yang tidak mengalami penguatan. Kelompok masyarakat ekonomi menengah juga semakin mengecil. Kemiskinan dan homeless meningkat di berbagai kota.

Semua itu dan banyak lagi faktor lainnya, termasuk kejahatan yang kian merajalela seperti penembakan, menjadikan Biden berada di ujung tanduk. Dapat dipastikan jika Biden gagal mengambil hati kaum minoritas, termasuk komunitas muslim, dia akan gagal menduduki kursi kepresiden Amerika pada periode keduanya. Dengan demikian, Trump akan kembali menjadi presiden.

Perkiraan bahwa Donald Trump akan gagal bahkan dikriminalkan karena peristiwa “January 6th insurrection” ternyata tidak terlalu berdampak terhadap popularitasnya. Tampaknya karena dendam politik kaum putih yang meningkat. Mereka gelisah dengan menguatnya kaum berwarna, khususnya komunitas Hispanik, Asia, dan komunitas muslim. Popularitas Trump ini juga tidak bisa dilepaskan dari dendam politik kaum putih atas terpilihnya Barack Obama.

Kebijakan Luar Negeri 

Menguatnya Donald Trump sebenarnya memiliki dua wajah yang paradoks. Di satu sisi, ada wajah seram yang mengkhawatirkan masa depan demokrasi dan hak-hak sipil (civil rights) di Amerika. Di sisi lain, Trump dipandang wajah tersenyum masyarakat Amerika yang mulai muak dengan peperangan dan ambisi global dominance Amerika.

Donald Trump di satu sisi dianggap ancaman bagi masa depan demokrasi karena peristiwa 6 Januari 2021. Ia juga dianggap ancaman terhadap hak-hak sipil karena tendensi dan karakternya yang rasis. Dua kelompok minoritas Amerika yang paling merasakan ini adalah komunitas Hispanik dan muslim.

Namun, di sisi lain, Trump dianggap harapan dan angin segar untuk menyetop peperangan yang Amerika menjadi biang keroknya. Dari Afghanistan, Timur Tengah, hingga ke beberapa negara Latin bahkan di Ukraina, kesemuanya tidak bisa dipisahkan dari lebijakan luar negeri Amerika yang berambisi mendominasi dunia global. Di sinilah Donald Trump dianggap membawa harapan baru karena dianggap tak terlalu memiliki ambisi dominasi global itu.

Memang ada perbedaan tajam antara Republik dan Demokrat dalam menyikapi beberapa kebijakan luar negeri, khususnya yang berkaitan dengan perang Rusia-Ukraina saat ini. Namun, ketika sudah bersentuhan dengan kebijakan Timur Tengah, khususnya isu Palestina-Israel, kedua partai ini hampir tidak memiliki perbedaan. Lebih spesifik lagi, Biden dan Trump memiliki kejiwaan dan karakter serta pemikiran yang sama tentang konflik Palestina-Israel.

Pembantaian bangsa Palestina dalam beberapa bulan terakhir disikapi dengan cara yang sama. Pemerintahan Biden telah berkali-kali memveto rancangan resolusi Dewan Keamanan PBB soal gencatan senjata. Artinya, Biden memang ingin pembantaian terus berlanjut entah hingga kapan. Namun, Trump sesungguhnya lebih sadis lagi. Kita masih ingat bahwa ia yang memberkan pengakuan atas Jerusalem sebagai ibu kota Israel. Trump pula yang memutuskan memindahkan Kedutaan Amerika dari Tel Aviv ke Jerusalem. Dan kini, Trump secara terbuka mengatakan, “Israel has the right to finish the business in Gaza”. Artinya, Israel punya hak menghabisi orang-orang Palestina di Gaza.

Pada akhirnya, komunitas muslim di Amerika harus mengambil sikap. Ikut memilih atau diam. Dengan situasi seperti ini memang sangat dilema. Seolah maju kena, mundur kena. Karenanya, komunitas muslim sedang memikirkan matang-matang apa yang akan dilakukan pada pilpres mendatang.

Dan sebagaimana biasanya komunitas terpecah dalam menyikapi keadaan itu. Ada yang akan tetap memilih dan mendukung salah satu kandidat dengan pertimbangan-pertimbangan tertentu. Mereka yang memilih Trump karena pertimbangan konservatisme sosial (anti-perkawinan sejenis, antiaborsi, dan lain-lain). Namun, mereka yang memilih Biden karena pertimbangan kebebasan sipil. Umat Islam merasa lebih luas dalam pergerakan dakwah untuk melakukan perubahan dan perbaikan di bawah pemerintahan Biden.

Sebagian lain melihat bahwa demi solidaritas kepada saudara-saudara bangsa Palestina dan demi pertanggungjawaban ukhrawi, mereka memutuskan untuk tidak memberikan dukungan dan pilihan. Pada tataran tertentu, ini cukup dikhawaturkan oleh Biden. Di Michigan, misalnya, lebih dari 20% suara memilih uncommitted alias tidak mendukung. Tanpa dukungan komunitas dan masyarakat minoritas lainnya, hampir dipastikan kekalahan Biden di pilpres mendatang.

Wajar saja dalam dua hari ini Biden dan Kamala menyerukan gencatan sejata—walaupun setengah hati—karena hanya untuk 6 minggu. Tampaknya, tujuan seruan itu selain untuk mendapat dukungan komunitas muslim dan Timur Tengah, tetapi juga agar masa 6 minggu itu dimaksimalkan untuk membebaskan orang-orang Israel yang masih ditahan Hamas.

Namun, sebodoh itukah komunitas Islam untuk ditipu lagi? Cukuplah Indonesia jadi pelajaran!

Artikel Pertarungan Joe Biden vs Donald Trump pertama kali tampil pada KAHMI Nasional.

]]>
9484
Strategi merebut kekuasaan ala komunis https://www.kahminasional.com/read/2024/02/26/9413/strategi-merebut-kekuasaan-ala-komunis/ Mon, 26 Feb 2024 05:06:38 +0000 https://www.kahminasional.com/?p=9413 Oleh Shamsi Ali, Direktur Jamaica Muslim Center Ada satu hal yang menarik dari sepak terjang penguasa komunis China yang perlu dicermati. Bagaimana kelicikan penguasa komunis itu untuk melanggengkan kekuasaannya. Cara-cara licik ini juga tampaknya banyak ditiru di berbagai belahan dunia bahkan terkadang atas nama demokrasi. Kita mengenal bahwa China adalah negara yang sangat maju dan […]

Artikel Strategi merebut kekuasaan ala komunis pertama kali tampil pada KAHMI Nasional.

]]>
Oleh Shamsi Ali, Direktur Jamaica Muslim Center

Ada satu hal yang menarik dari sepak terjang penguasa komunis China yang perlu dicermati. Bagaimana kelicikan penguasa komunis itu untuk melanggengkan kekuasaannya. Cara-cara licik ini juga tampaknya banyak ditiru di berbagai belahan dunia bahkan terkadang atas nama demokrasi.

Kita mengenal bahwa China adalah negara yang sangat maju dan kuat. Bahkan, hampir-hampir saja menyalip negara-negara besar dan maju lainnya, termasuk Amerika Serikat. Akan tetapi, harus pula diakui bahwa kemajuan perekonomian yang telah dicapai oleh China yang sedemikian dahsyat ternyata belum mampu memberikan kemakmuran yang luas dan merata bagi rakyatnya. Mayoritas rakyat, yang jumlahnya lebih 2 miliar itu, masih bodoh dan miskin.

Di atas realita pahit dan perih rakyat luas inilah pemimpin komunitas China berjoget ria. Mereka menikmati apa yang dikampanyekan mereka selama ini sebagai kemajuan, era emas, dan slogan lainnya. Lalu, para penguasa dan segelintir pemilik kekayaan negara itu melakukan kolaborasi di setiap lima tahun untuk meyakinkan rakyat seolah mereka berhasil dan memuaskan. Tidak jarang, walau penuh manipulasi, survei pujian kepada penguasa sangat tinggi di luar nalar sehat manusia.

Di setiap pesta lima tahunan itu, mereka menampilkan mirage (fatamorgana) pembangunan, kemajuan, dengan berbagai fasilitas negara yang selama ini mereka akumulasi dan nikmati. Saat-saat itu, mereka menampilkan diri sebagai heroes untuk rakyat miskin. Mereka hadir menampilkan diri sebagai “juru selamat” dadakan bagi kaum papa yang termarjinalkan.

Padahal, jika kita selami lebih dekat dan dalam, kita akan mendapatkan bahwa sesungguhnya selama lima tahun itu minimal yang terjadi adalah pemiskinan dan pembodohan yang terstruktur. Kemiskinan dan kobodohan rakyat luas sengaja dipelihara dan dipoles dengan polesan yang menghibur. Situasi yang menyakitkan nan perih inilah yang kemudian diberi “obat penenang” di saat diperlukan (musim kampanye/politik). Bantuan sosial, misalnya, digelontorkan bahkan dinaikkan secara masif di saat musim kampanye itu.

Pola-pola jahat nan licik inilah yang kita lihat di berbagai belahan dunia yang disebut dunia ketiga (third world). Pembangunan tampak masif. Infrastruktur dibangun di mana-mana. Duit memang banyak bahkan dengan utang yang membengkak. Namun, rakyat tetap ditinggalkan begitu saja. Justru kerap harus tergusur atas nama pembangunan dan kemajuan.

Untuk meredam suara-suara kritis masyarakat, tidak jarang mereka dihibur selain dengan janji-janji yang menggiurkan juga bantuan sosial yang digelontorkan tadi. Jika cara ini tidak efektif, maka yang terjadi adalah represi atau tekanan bahkan kekerasan atas nama pengamanan dan ketertiban.

Realita di atas ini mengingatkan kita akan cara-cara licik dalam memenangkan hawa nafsu kekuasaan di banyak negara. Betapa rakyat yang mayoritasnya tidak terdidik biasanya terpelihara dan seolah menjadi “tabungan” pemenangan bagi kerakusan kekuasaan di musim pemilu. Mereka yang lemah, bodoh, dan miskin menjadi mainan politik. Kampanye-kampanye pun bukan untuk mendidik masyarakat tentang siapa calon yang lebih baik, baik dalam karakter dan kepribadian punya ide dan gagasan, tetapi siapa yang bisa memberi hiburan sesaat: joget ria dan sembako murahan.

Kampanye yang mendidik, mencerahkan, dan mencerdaskan dianggap seolah tidak berlaku. Rakyat jelata pun semakin dikorbankan dengan ragam pembodohan. Yang cerdas, mencerahkan, dan berwawasan di balik secara sistemik menjadi seolah tidak memberi harapan. Kampanye-kampanye usang dipoles sesuai kadar pemikiran yang dipelihara selama ini. Figur-figur politik, usaha, dan dunia hiburan pun berkolaborasi untuk semakin meninabobokan rakyat dalam kebodohan dan kemiskinannya.

Sementara itu, pihak yang hadir untuk mengubah nasib tragis rakyat kecil, ingin menghadirkan perubahan yang mendasar di kehidupan masyarakat di balik seolah ancaman yang membahayakan. Suatu realita yang sesungguhnya tidak asing. Begitu pulalah nasib Musa ketika menghadapi Firaun atau ketika Ibrahim menghadapi Namrud: ketika kebenaran menghadapi kebatilan.

Semoga kebenaran akan menampakkan diri dan menang pada waktunya. Saya sangat yakin kemenangan itu akan selalu berada di pihak kebenaran. Kemenangan bagi kebenaran itu bukan lagi dengan kata if (jikalau), tetapi dengan kata when (kapan). Ini masalah waktu, Bung!

Pertanyaannya adalah, apakah Anda menjadi bagian dari sejarah memenangkan kebenaran atau justru Anda menjadi kolaborator kejahatan dan berbagai manipulasi dalam kehidupan manusia? “Ask your heart!”

Artikel Strategi merebut kekuasaan ala komunis pertama kali tampil pada KAHMI Nasional.

]]>
9413
Meneguhkan komitmen, loyalitas, dan militansi ber-HMI untuk Islam dan Indonesia https://www.kahminasional.com/read/2023/11/25/9406/meneguhkan-komitmen-loyalitas-dan-militansi-ber-hmi-untuk-islam-dan-indonesia/ Sat, 25 Nov 2023 12:36:40 +0000 https://www.kahminasional.com/?p=9406 Oleh MHR Shikka Songge, Wasekjen Bidang Kaderisasi MN KAHMI 2022-2027; Instruktur Nasional NDP; Wakil Ketua DNTN Selamat datang di arena Kongres HMI di Pontianak, para intelektual muda muslim, kader umat, dan kader bangsa. Adinda semua memikul mission HMI untuk diantarkan ke setiap tempat tujuan di mana adinda berada. Tugas mengantarkan mission organisasi itu merupakan tugas […]

Artikel Meneguhkan komitmen, loyalitas, dan militansi ber-HMI untuk Islam dan Indonesia pertama kali tampil pada KAHMI Nasional.

]]>
Oleh MHR Shikka Songge, Wasekjen Bidang Kaderisasi MN KAHMI 2022-2027; Instruktur Nasional NDP; Wakil Ketua DNTN

Selamat datang di arena Kongres HMI di Pontianak, para intelektual muda muslim, kader umat, dan kader bangsa. Adinda semua memikul mission HMI untuk diantarkan ke setiap tempat tujuan di mana adinda berada.

Tugas mengantarkan mission organisasi itu merupakan tugas peradaban yang sungguh mulia. Di sini peran dan posisi adinda selaku kader, saya ibaratkan bagai anak panah peradaban yang melesat ke sasaran terjauh untuk bisa mengubah medan yang buruk, medan penindasan, ketidakadilan, antinilai-nilai kemanusiaan universal menjadi medan peradaban yang sarat dimensi kemanusiaan.

Lebih dari itu, seorang kader HMI laksana pemimpin penggerak perubahan masyarakat bangsa plural, yang saya istilahkan bagai lokomtif yang menarik gerbong panjang peradaban umat manusia yang plural menuju kampung peradaban darussalam.

Saya ucapkan selamat untuk semua juniorku, ketua umum HMI cabang se-Indonesia, ketua delegasi kongres, serta semua peserta kongres, yang saat ini berada di medan kongres. Bahwa kepengurusan adinda semua berada di periode kongres.

Adinda beruntung dari periode sebelumnya karena memiliki momentum menjadi pimpinan HMI dan mendapat mandat menjadi delegasi kongres mewakili anggota HMI di cabang masing-masing.

Pada event kongres, adinda mempunyai kesempatan yang terhormat untuk berartikulasi, merefleksikan pemikiran besar, pandangan masa depan, juga konsep peradaban berorganisasi maupun peradaban bernegara. Apalagi, adinda semua merupakan pemimpin terpilih pada salah satu organisasi kemahasiswaan terbesar di negeri ini.

Event kongres merupakan forum yang tepat bagi adinda para peserta kongres untuk menguji sosok dan profilmu sebagai kader yang berkarakter dan berintegritas. Di sini, komitmen, loyalitas, dan militansimu memperjuangkan tegaknya muruah organisasi teruji.

Sebagai pimpinan HMI dan delegasi kongres, adinda perlu menyadari bahwa adinda semua sedang berproses menapaki jalan berliku dan medan terjal untuk mengukir sosok kader. Adinda semua menjadi pemimpin yang terdidik dan terpelajar, sosok kader yang memiliki kometmen yang kuat pada visi dam misi HMI, serta sosok kader yang mempunyai loyalitas yang utuh dan militansi tanpa pamrih mengawal organisasi mencapai tujuan.

Profil dan karakter yang demikian itu harus menjadi sosok yang hidup dan aktif menguasai gelanggang kongres, yang memainkan peran penting mengarahkan arah kongres. Dengan harapan kongres tidak jatuh di tangan penguasa dinasti, kongres tidak dikendalikan oleh para agen oligarki. Kongres harus selamat mendarat di dermaga lima kualitas insan cita.

***

Kongres kali ini merupakan momentum yang tepat untuk mengukur seberapa besar relevansi dan urgensi HMI sebagai organisasi kader di tengah luasnya dinamika berbangsa dan bernegara: sudah seberapa jauh atau seberapa besar PB HMI periode Rayhan melakukan pembenahan pada aspek kualitas dan kuantitas perkaderan dan kekaderan? Seberapa optimal PB HMI melakukan konsolidasi organisasi, meluruskan arah juang garis organisasi dari level PB HMI-pengurus Komisariat dan anggota dalam satu garis komando, yaitu tunduk dan patuh pada konstitusi dan independensi HMI?

Selain itu, secara internal pula bisa diukur intensitas PB HMI melakukan upaya pelembagaan nilai dasar sehingga nilai itu tertanam kuat menjadi jiwa kehidupan, lalu tumbuh menjadi attitude atau karakter dan pola aktivitas kader, pola berorganisasi HMI. Dengan begitu, semua kader HMI memiliki kesanggupan yang terorganisir mengusung agenda besar mission organisasi secara terstruktur, terinstitusi, dari level atas, Pengurus Besar, hingga pengurus Komisariat, level yang terbawah.

Tampaknya agak sulit mengukur profil kader ideal, sebagaimana diharapkan, karena kegagalan dalam konsolidasi pada level nilai dan struktur. Nilai pun tidak melembaga membentuk idealisme dan watak organisasi. Bahkan, konsolidasi struktur pun saya tidak mengatakan gagal, tetapi tidak terarah bahkan tercabik-cabik.

Bayangkan, satu cabang bisa berbulan-bulan bahkan tahunan tidak mendapatkan SK Pengesahan Kepengurusan. Bahkan, ada pengurus Badko sampai membubarkan diri tanpa arah karena begitu lama menunggu SK.

Bisa dibayangkan ada cabang sampai memiliki dua bahkan tiga kepengurusan dan itu berdampak ikutan sampai kepengurusan tingkat komisariat pun terpecah-pecah. Ada SK yang ditandatangani oleh ketua umum, sekjen, juga kabid PA.

Kesamrawutan dan wajah bopeng HMI ini menunjukkan lemahnya dan ketidakberdayaan kepemimpinan adinda Rayhan serta seluruh staf yang mendampingi. Realitas perwajahan struktur HMI yang bopeng ini semestinya menjadi fokus telaah peserta kongres.

Secara etik maupun konstitusional, kongres juga harus bisa mengukur pemaknaan dan konsistensi sikap independensi PB HMI dalam merespons berbagai dinamika eksternal pada konteks negara, umat, dan bangsa.

Secara eksternal, nyaris tidak terdengar suara HMI pada kasus kekerasan yang menimpa pimpinan-tokoh umat dan aktivis ormas keagamaan. Kasus KM 50 merupakan tragedi buruk yang menimpa wajah bangsa. Di sini, sejumlah aktivis Islam mati secara biadab. Mereka mati di tangan para serdadu yang menghujani dengan peluru negara. Beberapa ormas Islam pun dibubarkan tanpa proses pengadilan dan tanpa rasa keadilan. Padahal, ini negara hukum bukan negara kekuasaan. Hukum semestinya menjadi panglima dalam penegakan hukum yang berkeadilan tanpa diskriminasi oleh negara.

Kebijakan investasi modal asing yang berdampak invasi sehingga menimbulkan penggusuran warga, pengosongan lahan, penggeseran tempat huni warga. Semua itu menimbulkan keresahan dan kecemasan serta hilangnya rasa kenyamanan warga. Kasus serupa terjadi di banyak tempat, di mana pemerintah melakukan kekerasan dengan memobilisasi polisi dan TNI bahkan preman untuk mengintimidasi rakyat sehingga terjadi kekerasan. Pada ujungnya, tidak sedikit rakyat yang menjadi korban kekerasan oleh alat negara. Rakyat pemilik lahan pada akhirnya dituduh pengacau dan perusuh sehingga digiring ke markas polisi, lalu dijadikan tersangka.

Peristiwa kekerasan yang melibatkan oknum aparat, alat negara, seperti polisi dan TNI, ini terjadi di banyak tempat, antara lain, Morowali, Bengkayan, Seruyan, Konawe, Pohwatu, Wadas, Weda, dan paling terakhir di Rempang, Kepulauan Riau. Dan di Rempang ini, investasi berbau invasi dengan relokasi tanpa lokasi dipimpin langsung Menteri Investasi, Bahlil Lahadalia, yang juga alumni HMI. Padahal, penduduk suku Melayu telah berabad-abad menempati Pulau Rempang sebelum penjajah datang menjajah bahkan pra-kemerdekaan.

Aspek investasi, yang belakangan menjadi riuh terdengar dan nyaris masif, hadir ke berbagai daerah penghasil tambang batu bara, nikel, emas, pasir, pangan diawali dengan penyederhanaan regulasi melalui omnibus law (Undang-Undang Cipta Kerja).

Pengesahan omnibus law membuat negara bertransformasi menjadi agen imperialis karena menindas rakyatnya sendiri atas nema investasi. Sebetulnya dalam konteks globalisasi dan modernisasi, kerja sama antarnegara sesuatu yang mesti terjadi dan tidak bisa dihindari. Akan tetapi, negara perlu memilih dan memilah watak investasi itu. Investasi itu harus menghormati kedaulatan rakyat sebagai pemilik lahan.

Investasi memberikam atmosfir kesetaraan dan kesederajatan sosial ekonomi warga negara. Investasi merupakan proses instrumental bagi peningkatan martabat ekonomi, hukum, dan politik warga negara. Oleh sebab itu, negara perlu memilih mana yang layak secara rasional berinvestasi di Tanah Air sejalan dengan prisip kedaulatan negara dan hak kemerdekaan warga negara.

Investasi tidak boleh berwatak invasi yang menjajah dan menindas rakyat di negeri sendiri. Apabila negara gagal mencegah hadirnya investasi yang berdampak invasi, boleh jadi negara turut serta merusak kedaulatan rakyatnya sendiri karena negara melakukan pembiaran investasi berlanjut menjadi invasi.

Yang menjadi masalah serius yang tengah dihadapi adalah investasi yang diikuti tenaga buruh murah hingga diskriminatif upah antara buruh asing dan lokal. Buruh asing diperlakukan sebagai tenaga ahli sehingga dibayar lebih mahal daripada buruh lokal.

Investasi berwatak investasi menafikan hak warga sebagai pemilik lahan. Menko Polhukam, Mahfud MD, tentu harus bertanggung jawab dalam berbagai kesemrawutan yang diakibatkan omnibus law. Pak Mahfud tidak boleh cuci tangan dari lari dari berbagai persoalan kemanusiaan yang diakibatkan investasi.

Selain itu, ada masalah yang lebih serius di era kepemimpinan Joko Widodo (Jokowi): pemindahan ibu kota negara (IKN), dari Jakarta ke Nusantara (Penajam Paser Utara-Kutai Kartanegara), Kalimantan Timur (Kaltim), tanpa referendum untuk bertanya kepada rakyat, setuju atau tidak.

Pemindahan IKN itu hak rakyat. Olehnya, perlu bertanya kepada rakyat. Kapan Presiden Joko Widodo bertanya kepada rakyat, meminta pendapat rakyat tentang setuju atau tidak, perlu atau tidak pindah ibu kota negara? Begitu pula urgensi dan relevansi ibu kota baru, sangat perlu dikaji secara rasional sehingga kelak hari tidak menimbulkan dampak buruk bagi kehidupan publik.

Begitu pula apakah sudah ada uji analisis dampak lingkungan (amdal)? Sudah adakah pernyataan rakyat pemilik hak ulayat membolehkan Penajam Paser Utara-Kutai Kartanegara menjadi lokasi IKN? Sehingga, tidak terkesan pemindahan IKN semata-mata merupakan ambisi yang sarat dengan manipulasi tanpa rasionalitas dan konstitusional.

Tindakan pemindahan IKN itu terkesan ambisi ego seorang Presiden Joko Widodo semata yang sangat dipaksakan. Apabila hal demikian ini tidak melalui kajian yang mendalam, akan sangat buruk, bahaya di waktu-waktu akan datang.

Pemindahan IKN dari Jakarta ke Kaltim juga menghilangkan nilai-nilai sejarah peradaban yang telah dicapai generasi pejuang pendiri bangsa sebelumnya. Nama kota Jakarta, Jayakarta, Batavia yang amat bersejarah, menyimpan peristiwa besar, tentu akan hilang dengan sendirinya, tidak akan lagi disebut generasi pasca-IKN. Sebutan Jakarta sebagai tempat bersejarah bagi bangsa Indonesia, misalnya tempat pembacaan teks sumpah pemuda, perumusan teks proklamasi, tempat perdebatan Piagam Jakarta atau Pancasila. Semua itu seiring proses waktu akan pudar dengan sendirinya. Berarti menghilangkan nama besar tokoh-tokoh yang memengaruhi peristiwa sejarah tersebut dengan sendirinya. Tentu bisa kita duga masih banyak hal lain yang masih menjadi teka-teki atau misteri di balik keinginan Jokowi memindahkan IKN.

Belum lagi pembangunan IKN itu butuh investasi besar. Untuk bisa mengundang investor, bisa membangun IKN, Joko Widodo menyiapkan kompensasi investasi dengan menyiapkan lahan hak guna usaha (HGU) selama 195 tahun. Bisa dibayangkan investor bisa menguasai tanah dalam usia yang panjang di atas tanah dengan kekayaan potensi sumber daya alam (SDA) berlimpah. Kompensasi tanah yang luas-waktu yang panjang, di tilik secara material, merugikan rakyat dan negara.

Persoalan Gibran Rakabuming yang menjadi calon wakil presiden (cawapres) Prabowo pada Pilpres 2024 tidak kalah menarik dan menyita perhatian publik. Gibran, yang belum genap 40 tahun dan baru 2 tahun menjadi Wali Kota Solo, diusung menjadi cawapres dari Partai Golkar, sedangkan Gibran bukan kader Partai Golkar.

Hadirnya Gibran di Partai Golkar bagai putra mahkota, yang dengan singkat meruntuhkan ribuan reputasi kader Golkar terbaik yang bertahun-tahun bergelut dan bergumul mengaderi diri. Bahkan, Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan perubahan Undang-Undang (UU) Pemilu terkait usai calon presiden (capres)-cawapres yang belum mencapai 40 tahun dengan menambahkan norma pernah menjadi kepala daerah.

Andaikan revisi UU oleh MK ini kelahirannya dilatari kebutuhan kaum muda dan dimaksudkan mempersiapkan generasi muda/aktivis pemuda, seperti ketua KNPI, ketua umum HMI, PMII, PMKRI, GMKI, Pemuda Muhammadiyah, IMM, ketua dewan mahasiswa untuk menjadi pemimpin negara di masa depan, saya kira, suatu gebrakan yang harus mendapat apresiai di ruang konstitusi. Maka, harus disetujui dengan persetujuan yang tulus oleh kita semua. Namun, jelas latar belakang putusan MK itu lebih pada memenuhi ambisi Jokowi untuk memperpanjang kepemimpinannya melalui putra sulungnya, Gibran Rakabuming Raka.

Apalagi, sebelumnya berhembus wacana Presiden Joko Widodo untuk maju kembali mencalonkan diri menjadi presiden yang ketiga kalinya. Upaya ini berulang kali didengungkan Bahlil atas kehendak para investor. Selain itu, terhembus juga wacana memperpanjang periode kepimimpinan Presiden Jokowi. Namun, keduanya mendapat penolakan publik. Kalau saja hal ini benar, maka sesungguhnya Presiden Joko Widodo sedang berupaya membangun politik dinasti atau dinasti Jokowi.

Hemat saya, politik dinasti jauh lebih berbahaya daripada nepotisme. Sejarah reformasi mencatat, salah satu poin penting dari gerakan reformasi 1998 adalah menolak dan mengutuk tindakan kekuasaan yang bercorak nepotisme pada akhir rezim Soeharto.

Nepotisme dianggap sebagai salah satu bentuk kejahatan politik kekuasaan yang bertentangan dengan moral atau etika bernegara oleh Pak Harto. Maukah kita semua suatu saat nanti diadili oleh pengadilan sejarah bahwa kita melegalkan politik dinasti di negeri Pancasila?

***

Dari sekian daftar persoalan yang dihadapi bangsa dan negara, apa yang telah dilakukan HMI sebagai organisasi kemahasiswaan Islam, ekstrakampus terbesar dan tertua di Tanah Air? Tampaknya, PB HMI periode Rayhan alpa, tidak hadir, gagal membawa mission di tengah hiruk pikuk konstelasi politik nasional. HMI kehilangan jejak peradaban, tertimbun oleh beban kekuasaan Joko Widodo ketimbang menegakkan independensi untuk membangun daya kritis anak umat dan anak bangsa yang tengah berkiprah di HMI.

HMI menghadapi episode kelam dan terburuk dalam sejarah. Kenapa HMI mandul, HMI memilih jalan aman dan nyaman ketimbang menyuarakan suara kritis pada kekuasaan yang bergelimang dengan berbagai ketimpangan dan pengkhianatan? Apakah HMI punya utang budi pada kabinet Presiden Joko Widodo sehingga enggan menampilkan pamflet kritik tentang kebatilan kekuasaan Joko Widodo? Padahal, kritik atas penyimpangan perilaku bernegara merupakan bentuk kepekaan dan ciri kaum intelektual progresif.

Melayangkan suara kiris tentang buruknya sistem pengelolaan negara adalah hak HMI. Sebagai organisasi mahasiswa, organisasi kaum intelektual muda muslim, senantiasa peduli dan kritis pada kerusakan kekuasaan adalah karakter HMI. Pandangan dan sikap kritis, sebagai ciri kaum intelektual, tentu menambah bobot poin bagi HMI. Bahkan, lebih dari itu, HMI mencetaķ nama besar yang berpengaruh, dihormati, disegani oleh organisasi kemahasiswaan se-Tanah Air. Dan sudah pasti, tidak akan ada risiko pembubaran organisasi mengingat rezim sudah berganti, era otoritarianisme sudah berakhir.

Mengkritik kekuasaan, bagi kader HMI, adalah jalan mencetak kekayaan pengalaman juga investasi untuk meraih kekuasaan di masa depan. Jadi anak manis tanpa kritis kelak menjadi beban yang terhina bagi negara pada masa depan. Ketika HMI mendiamkan perilaku rezim anomali yang melakukan berbagai pelanggaran etika bernegara, membawa titik balik yang merendahkan HMI sendiri. Negara tentu akan terus terpuruk ke jurang kehancuran ketika HMI diam seakan tak peduli. HMI pun semakin pudar, tidak diperhitungkan kawan dan lawan, bahkan tertimbun di balik berbagai kebijakan ambigunya terhadap kekuasaan Presiden Joko Widodo.

***

Saran saya kepada semua peserta kongres: harus bisa memulihkan legacy dan dignity nama besar HMI, yaitu menegakkan kembali fondasi independensi HMI. Di otak setiap peserta kongres tersimpan daya intelegensia-moralitas, yang merupakan modal, untuk menegakkan martabat dan kehormatan HMI. Untuk itu, tegakkan independensi etis dan independensi organisasi yang dirohi oleh nilai-nilai dasar perjuangan. Maka, HMI akan tegak bermartabat dan terhormat.

Untuk itu, peserta kongres harus bisa tampil dengan kecerdasan dan integritas: mengkritisi secara objektif, membedah secara jernih laporan pertanggungjawaban PB HMI periode kepemimpinan Rayhan. Sebagai alumnus yang intens melakukan kaderisasi di seluruh sudut negeri dan mengawasi HMI secara dekat, saya tidak melihat karya kebijakan Ketum Rayhan untuk membesarkan dan membanggakan bagi kader HMI. Tidak ada konsolidasi terstruktur dan terorganisasi untuk memperkuat mission dan kekohesian organisasi di semua level.

Struktur kepemimpinan Rayhan adalah representasi dan rekonsiliasi antartim sukses dari para kandidat yang bertarung dalam kongres. Kepengurusan Rayhan bukan representasi dari para kader terbaik pilihan yang direkomendasikan cabang se-Indonesia. Olehnya, pengurus periode ini bekerja bukan semata-mata untuk menyolidkan kewibawaan gerakan HMI dan memperkuat basis perkaderan, melainkan menghidupkan faksi-faksi yang diwarisi kongres. Inilah wajah bopeng dari kepengurusan adindaku Rayhan.

Untuk itu, sebagai bentuk pembelajaran bagi pengurus HMI di semua level juga kontinutas kaderisasi HMI yang akan datang, dapat memetik pelajaran dari kegagalan periode ini dengan merawat organisasi tetap progresif dan independen. Sebab, peserta kongres harus dengan tegas menolak laporan pertanggungjawaban Ketua Umum Rayhan dan memecat semua kepengurusan Rayhan Aryatama mengingat periode kepengurusannya sangat kontraproduktif dengan hakikat HMI sebagai organisasi kader, mahasiswa, dan independen. HMI lemah, seakan menjadi bagian dari kekuasaan rezim yang berkuasa sekarang.

Dan putusan dalam poin rekomendasi eksternal:
1. Meminta Presiden Joko Widodo untuk mengakhiri kekuasaannya sebagai Presiden RI pada tahun 2024 dengan husnulkhatimah;
2. Presiden Joko Widodo berhenti melakukan cawe-cawe sebab tindakan berkonspirasi dengan para elite parpol untuk menyiapkan calon presiden dan calon wakil presiden adalah potret buruk berdemokrasi. Tindakan cawe-cawe itu melukai warga negara yang memiliki pilihan yang berbeda dan perbedaan pilihan itu merupakan hak asasi setiap warga negara yang dibolehkan oleh demokrasi; dan
3. Batalkan semua kebijakan negara yang kiranya telah dan seterusnya merugikan kedaulatan dan kehormatan negara, seperti:
a. Putusan MK Nomor 90 tentang cawapres sudah pernah menjabat kepala daerah. Putusan ini berbau diskriminatif dan hanya mementingkan Gibran yang kebetulan anak Presiden. Namun, di sisi lain, membunuh potensi anak muda terbaik yang bukan anak Presiden. Gibran dianggap darah biru kekuasaan. Hanya dia yang dianggap pantas mewarisi kepemimpinan politik Indonesia, sementara kita tahu isi dan pandangan Gibran tidak melewati pergumulan intelektual dan kepemudaan,
B. Omnibus law. UU yang lahir di gelap malam ini wujud dari persekongkolan segelitir elite politik. UU ini membuka ruang secara legal untuk merampok harta kekayaan sumber daya alam yang masih tersimpan dalam kandungan bumi Indonesia. Perampokan legal dilakukan saudagar pribumi bersekutu dengan kekuatan modal asing, dan
C. Pemindahan IKN di Penajam Paser Utara-Kutai Kartanegara, Kaltim, di atas lahan 200.000 hektare lebih milik para pengusaha. Proyek ini ke depan hanya menguntungkan pengusaha/pemodal yang berbagi keuntungan. Konsesi lahan IKN hanya untuk pengusaha raksasa, bukan untuk rakyat. Kongres, melalui rekomendasi, perlu meminta supaya proyek itu dibatalkan. Sebab, semua proyek itu dipandang tidak memberikan manfaat ekonomis dan martabat kemanusiaan bagi warga negara Indonesia. Apabila diteruskan, justru bisa membelah bangsa dan negara di kemudian hari.

Mengutip ungkapaan Jendral Soedirman, “HMI bermakna ‘Harapan Masyarakat Indonesia'”, apabila kader HMI peserta kongres terpanggil menyelamatkan bangsa dan negara dari kezaliman kekuasaan. Sejumlah rekomendasi eksternal tersebut merupakan jalan bagi HMI untuk membawa negeri tercinta bebas dari kemungkinan buruk yang akan terjadi.

Artikel Meneguhkan komitmen, loyalitas, dan militansi ber-HMI untuk Islam dan Indonesia pertama kali tampil pada KAHMI Nasional.

]]>
9406
Media KAHMI Jangan Mati Lagi! https://www.kahminasional.com/read/2022/11/24/9053/media-kahmi-jangan-mati-lagi/ Thu, 24 Nov 2022 16:56:59 +0000 https://www.kahminasional.com/?p=9053 Oleh Muhammad Yusuf El-Badri, Sekretaris Umum HMI Komisariat Adab IAIN (UIN) Imam Bonjol Padang 2009-2011 Baru-baru ini menjelang Munas KAHMI di Palu, saya membaca berita sekitar munas. Dalam salah satu berita ditulis begini dalam situs KAHMI, “Munas digelar 24 hingga 27 November 2022”. Membaca kalimat itu, saya tiba-tiba kaget. Ha, Ada situs KAHMI? Sejak menyelesaikan […]

Artikel Media KAHMI Jangan Mati Lagi! pertama kali tampil pada KAHMI Nasional.

]]>
Oleh Muhammad Yusuf El-Badri, Sekretaris Umum HMI Komisariat Adab IAIN (UIN) Imam Bonjol Padang 2009-2011

Baru-baru ini menjelang Munas KAHMI di Palu, saya membaca berita sekitar munas. Dalam salah satu berita ditulis begini dalam situs KAHMI, “Munas digelar 24 hingga 27 November 2022”.

Membaca kalimat itu, saya tiba-tiba kaget. Ha, Ada situs KAHMI? Sejak menyelesaikan studi sarjana 2013 lalu, saya pernah mencari-cari informasi tentang KAHMI di internet. Setiap kali menulis frasa “pengurus KAHMI” atau “KAHMI” saja, yang muncul hanya berita dan situs pengurus daerah KAHMI.

Setelah agak lama mencari perkembangan organisasi KAHMI, informasi terbaru, gerakan, dan segala sesuatu tentang KAHMI, saya lama-lama capai juga. Pada akhirnya, tak peduli lagi pada KAHMI sebab berita KAHMI yang bisa diikuti hanya berita musyawarah nasional atau musyarawah daerah. Itupun berita siapa yang terpilih jadi presidium.

Rasa-rasanya belum pernah saya membaca program KAHMI yang diliput oleh media secara besar-besaran selain pengangkatan Lafran Pane sebagai pahlawan dan munas sekali dalam lima tahun. Sebabnya hanya satu, KAHMI tak punya media informasi yang memadai.

Jadi, ketika saat ini saya tahu ada situs KAHMI Nasional, ada banyak informasi tentang KAHMI yang bisa diketahui, baik berita KAHMI nasional sendiri, KAHMI daerah, dan lebih penting lagi adalah pikiran-pikiran yang muncul dari KAHMI.

Kiranya tak semua pikiran yang lahir dari KAHMI bisa dimuat oleh media cetak atau koran. Selain keterbatasan media, juga karena kekhasan tertentu. Dengan adanya situs KAHMI ini, pikiran-pikiran yang lahir dari anggota KAHMI dapat difasilitasi dengan baik.

Lewat situs ini, kita ataupun publik dapat melihat apa yang sedang dipikirkan oleh alumni Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) tentang keislaman dan keindonesiaan saat ini dan masa yang akan datang. Kita juga dapat melihat bagaimana pandangan-pandangan para anggota KAHMI tentang Indonesia hari ini, baik ekonomi, politik, kebudayaan, sastra, dan segala yang terkait dengan umat Islam dan bangsa Indonesia.

Jadi, keberadaan situs KAHMI Nasional yang ada saat ini mesti dirawat, dipelihara, dijaga keberlangsungannya. Apabila perlu, dikelola secara profesional sebagai media pemberitaan khusus KAHMI dan HMI secara lebih luas.

Keberadaan situs ini perlu sosialisasi lebih masif di kalangan KAHMI sebagai media penampung pikiran, gagasan, dan ide dari para anggota KAHMI, yang umumnya adalah insan akademik, untuk umat Islam, dan bangsa Indonesia.

Keislaman dan keindonesiaan atau keumatan dan kebangsaan perlu diperkuat dan dipupuk terus menerus dengan perantara media KAHMI ini.

Di situs atau media KAHMI ini juga tersedia jurnal akademik. Agaknya pengembangan jurnal akademik KAHMI, sebagaimana yang tertera di dalam kanal situs, perlu dikelola secara serius untuk menampung karya, artikel akademik, hasil studi, dan penelitian para anggota KAHMI.

Ketika pemerintah mewajibkan setiap dosen untuk menulis jurnal di setiap satu semester, jurnal akademik KAHMI semoga bisa menjadi salah satu solusi tentang kajian keislaman dan keindonesiaan.

Selamat Munas XI KAHMI di Palu, 24-27 November 2022.

Artikel Media KAHMI Jangan Mati Lagi! pertama kali tampil pada KAHMI Nasional.

]]>
9053
Di Pojokan Karangmalang https://www.kahminasional.com/read/2022/05/31/8816/di-pojokan-karangmalang/ Tue, 31 May 2022 09:16:48 +0000 https://www.kahminasional.com/?p=8816 Oleh Ahmad Sabiq, Dosen Ilmu Politik FISIP Unsoed Purwokerto Sekira 25 tahun lampau, saya sering bertandang ke tempat indekos seorang teman yang lokasinya di Karangmalang. Meskipun perkampungan ini berada di sekitar IKIP Yogyakarta, banyak anak-anak UGM yang indekos di sini. Sebab, tempatnya tidak terlalu jauh dari fakultas-fakultas sosio-humaniora yang bisa dijangkau dengan berjalan kaki melewati […]

Artikel Di Pojokan Karangmalang pertama kali tampil pada KAHMI Nasional.

]]>
Oleh Ahmad Sabiq, Dosen Ilmu Politik FISIP Unsoed Purwokerto

Sekira 25 tahun lampau, saya sering bertandang ke tempat indekos seorang teman yang lokasinya di Karangmalang. Meskipun perkampungan ini berada di sekitar IKIP Yogyakarta, banyak anak-anak UGM yang indekos di sini. Sebab, tempatnya tidak terlalu jauh dari fakultas-fakultas sosio-humaniora yang bisa dijangkau dengan berjalan kaki melewati sebuah kawasan yang dikenal dengan Lembah UGM. Indekos teman saya itu tepat di pojokan Karangmalang, sebelum jalan turun menuju lembah.

Suatu malam, saat kami duduk santai di teras indekos, terdengar dengan jelas suara dari megafon masjid kampung yang tak jauh jaraknya, hanya di seberang jalan indekos teman tersebut. Saya yang semula tak terlalu hirau dengan suara itu, lama-kelamaan menjadi serius dan terpukau. Sebab, suara itu adalah suara ceramah yang disampaikan secara runtut dan menarik dengan isi yang sangat segar dan bernas.

Penceramah tersebut pada intinya menyampaikan, agar dalam berislam kita jangan hanya berhenti pada sekadar mencontoh bagaimana cara makan dan minum serta berpakaian ala Rasulullah. Kita juga harus mampu menangkap pesan-pesan substantif Rasulullah dan berusaha membumikannya untuk menjawab permasalahan-permasalahan kemanusiaan yang nyata.

Dalam hati saya bertanya, “Siapa gerangan penceramah di masjid kampung ini?” Karena penasaran, saya mengikuti ceramah itu sampai selesai. Ingin tahu betul nama penceramah itu. Syukurlah di akhir acara, sebelum pembawa acara menutup kegiatan, ia sempat menyampaikan ucapan terima kasih dengan menyebut nama sang penceramah. Ternyata, namanya adalah Syafii Maarif, sebuah nama yang cukup akrab di telinga saya karena pemikirannya sering dikutip oleh senior-senior di HMI. Selain itu, ia termasuk dalam kalangan alumnus HMI yang dibanggakan, apalagi kiprahnya sebagai aktivis sampai menjadi pengurus besar.

Secara langsung, saya belum pernah berkomunikasi dengan Pak Syafii. Saat itu, ia belum dipanggil dengan sebutan buya. Namun, saya mengikuti ceramah-ceramah dan gagasan-gagasan yang ditulisnya. Salah satu keresahannya adalah situasi kejumudan berpikir yang menghinggapi umat yang diistilahkannya sebagai “kemacetan religius intelektual”. Kemacetan itu, dalam pandangannya, sudah parah di mana umat secara pemikiran belum terbebas dari mentalitas religius abad tengah. Untuk meretas kemacetan itu diperlukan upaya sungguh-sungguh dan tidak parsial dalam memahami Al-Qur’an. Prinsip-prinsip moral dan etik Al-Qur’an mestilah dipelajari sebagai satu kesatuan yang padu dan sistematis untuk menjawab tantangan-tantangan kemanusiaan pada abad kekinian dan dalam konteks memenuhi kebutuhan keindonesiaan kontemporer, dituntut adanya bingkai kerja intelektual yang kokoh.

Saya juga mengikuti aktivitas-aktivitasnya. Ia diakui secara luas sebagai tokoh yang berani dan penuh integritas. Satu kejadian yang sangat berkesan dalam hati saya adalah sikap tegasnya pada tahun 2003. Tampaknya dari kalangan tokoh agama saat itu hanya Buya Syafii yang berani menolak penggelaran operasi militer di Aceh. Ini saya dengar secara langsung pada suatu diskusi publik di Taman Ismail Marzuki, yang selain menghadirkan Buya Syafii, juga Menko Kesra, Jusuf Kalla. Menurut Buya, jalan damai harus menjadi langkah prioritas.

Kecintaannya kepada kerja-kerja intelektual antara lain terlihat dari keinginannya untuk memajukan salah satu organisasi penting Muhammadiyah. Majalah Suara Muhammadiyah, salah satu majalah tertua di republik ini. Ada kisah lucu terkait ini yang saya dapatkan dari Pak Amien Rais ketika mengisi sebuah kajian yang diselenggarakan JMF (Jamaah Musolla Fisipol). Konon, majalah tertua tersebut sempat mengalami stagnasi dalam hal oplah. Buya Syafii kemudian mengajukan diri untuk membenahinya sambil berkelakar, “Jangan panggil saya Syafii kalau tidak berhasil menaikkan oplah Suara Muhammadiyah“. Sayangnya, oplah pada masa itu memang sulit dinaikkan sehingga apa yang ia inginkan belum berhasil diwujudkan. Karenanya, untuk menyemangati Buya, Pak Amien dan teman-teman seperjuangannya mengguyoninya dengan tidak lagi memanggilnya Syafii, tetapi dipanggil dengan nama Maarif.

Buya adalah sosok cendekiawan yang sepenuh hidupnya diabdikan bagi umat dan bangsa. Kemarin, saat ia berpulang, seorang wartawan meminta pendapat saya tentang almarhum. Saya sampaikan, bahwa Buya telah mengajarkan kepada kita bagaimana keislaman dan keindonesiaan diwujudkan dalam satu tarikan nafas. Komitmennya pada nilai-nilai substantif Islam, sebagaimana yang pernah saya dengarkan di pojokan Karangmalang, diwujudkannya dalam kepedulian dan keberpihakan pada mereka yang terzalimi, terdiskriminasi, dan terabaikan. Buya adalah sosok bersahaja, hidup sederhana, dan tidak menumpuk harta. Sebagai tokoh, ia bukan milik Muhammadiyah saja, tetapi milik segenap anak bangsa.

Selamat jalan, Buya. Allahu yarhamuka wayaghfiru laka wayarzuqukal jannata tajri min tahtihal anhar. Amin.

 

*dikutip dari https://www.ngabuburead.id/849/di-pojokan-karangmalang/

Artikel Di Pojokan Karangmalang pertama kali tampil pada KAHMI Nasional.

]]>
8816