in

Pak Lafran dan HMI di persimpangan sejarah

Oleh MHR Shikka Songge, Wasekjen Bidang Kaderisasi MN KAHMI 2022-2027; Instruktur Nasional NDP; Wakil Ketua DNTN

Tadi malam, usai rapat bersama teman-teman PIC di Tebet, kawan-kawan bergerak ke Epicentrum untuk menonton film dokumenter Lafran. Tokoh Lafran Pane, yang diteguhkan menjadi insiator dan pendiri HMI, kini karyanya difilmkan dan diputar saat HMI memasuki usia 77 tahun.

Malam itu, saya memutuskan untuk tidak menonton film Pak Lafran yang edaran perdananya di bioskop Epicentrum, yang terletak di kawasan elite Kuningan, Jakarta Selatan. Sebelumnya, saya sudah dikirim undangan oleh adinda M. Laca, juniorku dari Bulaksumur, Yogyakarta, saat saya masih berada di lokasi training LK2 Tingkat Nasional HMI Cabang Sangatta, Kalimantan Timur.

Bukan karena saya tidak suka menonton film Pak Lafran. Sebagai kader HMI, saya sangat kagum kepada Pak Lafran karena sosok beliau yang ilmuan, militan, pejuang, rendah hati, sederhana, amanah, tangguh, dan karismatik. Sosok yang sulit dicari ganti saat ini. Sosok Pak Lafran tetap menjadi profil hidup saya. Namun, kenapa film yang mengisahkan gerak perjuangan Pak Lafran diputar di bioskop, bukan di kampus, bukan di tempat pergerakan aktivis?

Dituturkan bahwa ketika berjuang menghidupkan HMI, Pak Lafran Pane tidak pernah kendur, lelah mengajak para mahasiswa masuk menjadi anggota HMI dan ber-HMI. Proses itu Pak Lafran lakukan saban hari dari sudut masjid setelah menunaikan salat dan dari arena kampus, di sela-sela kegiatan kuliah.

Mereka, para aktivis kampus yang rajin menunaikan salat di Masjid Kauman Yogyakarta, diajak diskusi dan diberikan pemahaman tentang HMI. Kepada mereka, Pak Lafran menawarkan jabatan untuk mengurus HMI dan menerbitkan surat keputusan untuk mereka dengan tulus tanpa pamrih, meskipun Pak Lafran hanya menjadi staf biasa.

Pada saat Pak Lafran juga dekat dengan tokoh tertentu di pemerintahan Sukarno, tetapi Pak Lafran tidak menggadaikan HMI, apalagi menjadikan HMI sebagai instrumen taktis untuk negosiasi kekuasaan dan mencari kehidupan kepada penguasa negara saat itu. Bahkan, sampai Allah memanggilnya, Pak Lafran hanya meninggalkan buku-buku di rumah jabatan dan organisasi HMI, yang merupakan rumah perjuangan bagi anak-anak muda umat dan bangsa. Pak Lafran tak punya rumah saat perjalanan terakhir ke rumah kekalnya di alam baka.

Baca Juga :  Kompetensi Pansel Presidium KAHMI

Saat ini, banyak di antara kita alumni HMI bahkan kader HMI larut di dalam krisis identitas tanpa cita ideal HMI. Berorganisasi HMI, tetapi gagal menginstitusikan nilai-nilai HMI menjadi attitude atau sikap hidup. Kader HMI tidak lagi menjadi pejuang, tokoh pergerakan yang berpengaruh, intelektual yang berintegritas. Mereka hanya menjadi HMI sekadar jargon sosial, tetapi tidak menjadi profil dan identitas gerakan kader. Bahkan, cenderung menjadikan HMI batu loncatan menggapai tujuan sesaat, kemewahan duniawi dengan cara-cara lipat sana-lipat sini, sikut sana-sikut sini, tetapi mengabaikan prinsip etik dan moral.

Mereka ke mana-mana dikawal patwal bahkan sampai ruang training, ruang kongres. Saya menyaksikan Ketum PB HMI datang melantik Cabang dikawal patwal. Saya juga menyaksikan mantum PB HMI datang ke lokasi training dikawal rombongan patwal, baik motor dan mobil. Mereka merasa bangga dan besar dengan jabatan HMI. Meski tidak ada kata dan pikiran mulia dan terdidik lahir dari ucapannya, mereka lupa sebagian pimpinan HMI Cabang berlumuran darah saat aksi menyuarakan keadilan.

Tadi malam, saya memilih pergi bersama anak saya, Michael Hart Aristockrat Songge, dan seorang sahabat saya alumnus HMI dari Cabang Makassar, kader HMI yang cemerlang dan idealis. Kami bertiga meluncur dari Tebet balik ke arah Ciputat. Banyak hal yang tertuang dalam diskusi. Karena jalan sepi, kami pun cepat tiba di Ciputat. Sambil menanti jemputan anak saya, apalagi kondisi gerimis, kami berhenti di sebuah warung satai tidak jauh dari kampus UIN Syahida Ciputat.

Baca Juga :  Gus Yahya "Kubur" HMI Connection

Kami berdiskusi di sekitar soal runtuhnya kekuasaan daerah dan menguatnya sentralisme kekuasaan. Seiring dengan melemahnya kekuasaan kepala daerah (gubernur, bupati, dan wali kota), kemiskinan tumbuh subur di daerah yang kaya dengan sumber daya alam. Pertarungan rakyat jelata yang hanya bertahan hidup, hak mereka direnggut, sumber daya dan kekayaan alam mereka dirampok oleh para investor atas nama undang-undang dan kekuasaan. Negara hanya meningkatkan tagihan upeti dari pajak rumah, bangunan, hiburan, kuliner. Lalu pertanyaannya, di mana hasil pengelolaan tambang dari hulu ke hilir?

Tema lain yang tidak kalah hangat dalam diskusi tersebut adalah putusan MK yang meloloskan Gibran, putra Jokowi, menjadi cawapres. Ini adalah potret buruk dari demokrasi. Mengutip pendapat Wilem Billidel, Guru Besar Islamolog dari Ohayo University, bahwa setelah 10 tahun Indonesia mengalami stagnasi demokrasi pada masa SBY, Indonesia mengalami titik balik atau keruntuhan demokrasi di masa Presiden Jokowi, yang ditandai oleh rusaknya instrumen demokrasi: demokrasi yang tidak mendidik dan mencerdaskan politik anak bangsa; Demokrasi yang hanya memberikan peluang kepada anak presiden, anak pejabat dan mantan pejabat, dan anak konglomerat, dan anak hipokrit yang berlenggang ke gelanggang politik, tetapi anak rakyat umumnya jauh lebih pintar, berbakat, berintegritas hanya menjadi penonton demokrasi dengan lesu dan kecewa. Di sini mesin oligarki yang menderu menguasai partai politik, parlemen, dan lembaga instrumen demokrasi. Inikah yang disebut persimpangan gelap sejarah bangsa?

Lalu pertanyaannya, di mana engkau tiarap, wahai alumni yang berjubel-jubel di ruang parlemen? Di mana engkau kibarkan bendera Hijau Hitammu, wahai anggota HMI? Di mana engkau sembunyikan syahadat tauhid dan rasulmu, wahai jutaan alumni dan anggota HMI? Saat negaramu sedang tidak baik-baik saja, di mana niat suci dan idealisme gerakan Pak Lafran dan para aktor pendiri HMI kamu tenggelamkan?

Baca Juga :  Presidium KAHMI Sulsel Gelar Bukber, Kanda Ulla Sampaikan Pesan Mendalam

Semoga di 77 tahun usia HMI, saya berharap, para senior keluarga besar Insan Cita tetap menjadi teladan terbaik dalam pengkhidmatan pada HMI bagi junior se-Tanah Air dengan tidak merusak kewarasan dan kejernihan para kader junior ber-HMI.

Saat ini dan ke depan, HMI membutuhkan ketulusan yang tak terhingga dari semua senior keluarga besar Insan Cita untuk tetap tegap menggerakkan jalan perkaderan HMI di tengah deru gelombang kapitalisme, liberalisme, dan komunisme. Terus menggelorakan suara kebenaran, mengibarkan bendera dan panji-panji keadilan.

Jangan sampai perahu perkaderan HMI oleng, apalagi terkandas. Untuk itu, kita berharap jiwa besar dan keteladanan para senior untuk tetap konsisten mengawal dan merawat idealisme HMI. Dari rahim perkaderan, HMI tetap jernih dan kritis menyuarakan suara kebenaran, suara keadilan, suara kemanusiaan, yang kian hari kian sirna bahkan redup. Jangan sampai suara HMI tenggalam seiring dengan kegalauan para senior lebih yang memilih selamat, lebih memilih kepentingan untuk dirinya, dan berkompromi pada kebatilan kekuasaan daripada menggelorakan idealisme HMI dan memperjuangkan misi HMI. Haruskah para alumni menimbun idealisme HMI demi kekuasaan? Inikah yang disebut fase HMI di persimpangan sejarah?

Moga di 77 tahun, HMI tetap sanggup berdiri tegak dan kokoh menembus tantangan zaman yang mengadang dan sanggup mempertahankan arah perjalanan bangsa dan negara sebagaimana cita-cita politik para pendiri bangsa. Ingat, HMI tidak lahir di ruang kosong, tetapi HMI terlahir sarat idealisme, gumpalan masalah keumatan dan kebangsaan. Olehnya, HMI memikul mendat, titah para pendiri bangsa, HMI berkomitmen mewujudkan tata kehidupan kebangsaan kita yang berkeadilan sosial dan berkeadilan ekonomi.

Misi HMI tidak mungkin kita panggulkan pada pundak orang lain. Misi HMI hanya bisa dipanggulkan pada punggung dan pundak kader terbaik HMI. Moga cerah-cerah perubahan datang bersama kader Insan Cita yang berintegritas.

Sumber :

Fatah S

Berkarier di industri media sejak 2010 dan menjadi penulis buku.