in ,

Food Estate dan Munas KAHMI

Alumnus HMI Cabang Palu, lulusan Universitet Lyon (Prancis) dan IPB, dosen Fakultas Pertanian Universitas Tadulako Palu dan pengkaji pertimbangan lingkungan Program Food Estate, Muhammad Nur Sangadji. Foto Independensi.com
Alumnus HMI Cabang Palu, lulusan Universitet Lyon (Prancis) dan IPB, dosen Fakultas Pertanian Universitas Tadulako Palu dan pengkaji pertimbangan lingkungan Program Food Estate, Muhammad Nur Sangadji. Foto Independensi.com

Oleh Muhammad Nur Sangadji, Alumnus HMI Cabang Palu, Lulusan Universitet Lyon (Prancis) dan IPB, Dosen Fakultas Pertanian Universitas Tadulako Palu, dan Pengkaji Pertimbangan Lingkungan Program Food Estate

Secara harfiah, food estate berarti perusahaan pekebunan/pertanian pangan (lumbung pangan). Kata perusahaan (estate) dapat dimaknai sebagai badan usaha (korporasi). Tujuan utamanya adalah untuk mendukung gerakan ketahanan pangan. Sedangkan ketahanan pangan sendiri dimaknai sebagai ketersediaan pangan yang sumbernya berasal dari berbagai tempat, termasuk dari luar negeri (import). Itu artinya kita masih tergantung meskipun pangan tersedia. Isu “musuh” krisis pangan cukup seksi bagi Indonesia, termasuk saat hadir dalam perbincangan pada forum Munas XI KAHMI di Palu.

Maka, hal terpenting adalah mengusahakan ketersediaan pangan yang sumbernya berasal dari dalam negeri atau yang kita produksi sendiri. Itulah yang disebut kedaulatan pangan. Dan karena ini harus terus-menerus, maka unsur keberlanjutan mesti diperhatikan. Keberlanjutan itu menyeimbangkan aspek ekonomi (pertumbuhan), ekologi (lingkungan hidup), dan sosial (adil dan sejahtera).

Bappenas memberikan makna food estate sebagai konsep pengembangan produksi secara terintegrasi mencakup pertanian, perkebunan, peternakan di suatu kawasan lahan yang sangat luas untuk memperkuat cadangan pangan. Dikelola dalam bentuk korporasi yang bisa dimiliki oleh berbagai kalangan, baik dunia usaha maupun masyarakat umum, termasuk petani. Dengan demikian, food estate berbasis korporasi petani setidaknya memiliki ciri-ciri (1) usaha pertanian skala besar berbasis klaster; (2) multikomoditas (pangan, hortikultura, ternak, perkebunan); (3) mekanisasi, modernisasi pertanian, dan sistem digitalisasi; (4) mengorporasikan petani; dan (5) hilirisasi produksi pertanian.

Pahami Kebutuhan
Ada pertanyaan serius berkaitan dengan implementasi program ini di berbagai daerah di Indonesia. Siapkah daerah-daerah ini mengadopsinya? Khusus untuk Sulawesi Tengah, kita boleh mulai dengan memeriksa potensi ketersediaan dan kondisi lahannya. Surat Keputusan KLHK (Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan) 8113 Tahun 2018 yang di-overlay dengan tutupan hutan tahun 2018 menunjukkan luas daratan Sulawesi Tengah 6.106.800,69 hektare dan luas hutan dalam kawasan hutan 4.410.293,84 hektare atau 72,22%.

Baca Juga :  Pesan Sekjen Manimbang kepada KAHMI Kabupaten Bekasi

Berdasarkan tingkat kemiringan lahannya, ada 36,87% lahan memiliki kemiringan >40%, terdapat 25,03% lahan memiliki kemiringan 2-15%, ada 23,78% lahan memiliki kemiringan 15-40%, dan sisanya, 14.33% lahan, memiliki kemiringan 0-2%. Suhu udara rata-rata berkisar antara 26-28°C. Curah hujan rata-rata tertinggi, yaitu 169,58 mm. Apriori, kondisi agroklimat ini memenuhi syarat untuk pengembangan pertanian.

Namun, hal lain yang juga penting diperhatikan adalah perhitungan DD-DT (daya dukung dan daya tampung). Sulteng punya sejarah mampu melaksanakan swasembada pangan dengan jumlah penduduk masih di bawah jumlah optimal (σ > 1). Akan tetapi, masih ada 5 kabupaten/kota yang belum mampu swasembada pangan, yaitu Banggai Kepulauan, Buol, Banggai Laut, Tojo Una-una, dan Kota Palu. Terjadi defisit beras jika tidak ada penambahan areal atau peningkatan produktivitas lahan.

Faktor daya dukung berikutnya yang penting untuk dicermati adalah air dan fungsi lindung. Berdasarkan potensi air meteorologis dengan kebutuhan air, maka secara umum masih defisit. Defisit ini dapat diperkecil dengan menghitung sumber daya air sungai, air tanah, mata air, dan danau. Sedangkan daya dukung fungsi lindung di wilayah Provinsi Sulawesi Tengah adalah 0,68. Artinya, masih memadai. Daya dukung fungsi lindung ini memiliki kisaran 0 (nol) hingga 1 (satu). Semakin mendekati nilai 1 semakin baik fungsi lindungnya dan sebaliknya. Berdasarkan nilai tersebut, daya dukung fungsi lindung di Sulteng terkategori baik, di mana proporsi kawasan lindungnya sekitar 31,19%.

Parameter lain yang digunakan untuk menilai fungsi lindung adalah indeks hutan lindung (IHL), di mana untuk wilayah Provinsi Sulawesi Tengah sebesar 61,12%. Semakin tinggi nilai IHL semakin tinggi kemampuan daya dukung lingkungannya. Untuk daerah perkotaan, identifikasi kelestarian dan daya dukung lingkungannya diestimasi dengan keberaaan ruang terbuka hijau (RTH). Secara umum, rataan IRTH kota di wilayah Provinsi Sulawesi Tengah adalah 0,98, berarti hampir optimal.

Baca Juga :  Mahfud MD Luncurkan Logo Munas XI KAHMI

Sadar Lahan
Berdasarkan potensi dan kondisi agroklimat (lahan dan Iklim) Sulteng, maka perlu pewilayahan komoditas unggulan. Berbagai jenis komoditas pertanian yang dapat dikembangkan antara lain tanaman pangan (beras, jagung, kedelai, ubi kayau, ubi jalar, ubi banggai, sukun, dan lain-lain), hortikultura (sayur mayur, cabai, bawang merah, bawang putih, dan lain-lain), buah-buahan (manggis, durian, salak, dan lain-lain), serta tanaman perkebunan (kelapa, cokelat, kelapa sawit, dan lain-lain). Berbasis pada potensi komoditas ini berdasarkan agroekosistemnya, maka perlu adanya pewilayahan komoditas.

Hal lain yang juga penting adalah hilirisasi produk di sektor pemasaran. Satu soal yang menguntungkan adalah posisi strategis Provinsi Sulawesi Tengah yang berdekatan dengan Selat Makassar dan Pulau Kalimantan di sebelah barat; Provinsi Maluku di sebelah timur, Laut Sulawesi, dan Provinsi Gorontalo di sebelah utara; serta Sulawesi Barat, Sulawesi Selatan, dan Sulawesi Tenggara di sebelah selatan. Hal ini memberikan peluang kerja sama dan perdagangan dalam dimensi interkoneksitas dengan prinsip saling menguntungkan. Peluang untuk ibu kota baru NKRI di Kalimantan membuat peluang ini lebih terbuka.

Hubungan dengan negara-negara di gerbang utara (northern gate) juga menantang sekaligus peluang. Namun, di balik peluang, selalu ada masalah atau hambatan yang perlu diselesaikan. Persoalan itu antara lain perubahan iklim, alih fungsi lahan pertanian, alih profesi dari pertanian menjadi buruh tani atau profesi lain–tersisa petani tua (aging farmer), sedangkan anak muda tidak tertarik–juga masalah stabilitas harga komoditas pertanian, dan lainnya.

Zaman yang kian maju bukan tanpa cacat. Modernitas memicu ekses. Kita tidak cukup hanya berpikir analitik linier semata. Harus juga analitik kritis. Misalnya, apabila berbasis pada luasan lahan dan hutan semata, boleh jadi peluang food estate itu masih terbuka luas. Bayangan deforestasi atau land clearing untuk ini pasti jadi pilihan. Tetapi, jangan lupa pada luas lahan dan hutan yang masih terbuka itu ada instabilitas melingkupinya. Yaitu, geografi bergunung dengan curuh hujan tinggi dan jebakan tektoniknya. Oleh Karena itu, pembukaan lahan besar-besaran secara ekstraktif harus dalam perhitungan yang matang.

Baca Juga :  Alhamdulillah, Pembebasan Lahan KA Sulsel Selesai

Beberapa strategi dapat diterapkan, antara lain (1) perlindungan kawasan pertanian (agroekosistem), baik dari alih fungsi lahan maupun kawasan hutan untuk kelestarian fungsi siklus daur hidrologi; (2) perluasan areal tanam (ekstensifikasi) dengan memperhatikan daya dukung lingkungan argoekosistemnya; (3) pemanfaatan lahan kritis yang tersebar luas; (4) optimalisasi lahan pertanian yang ada (irigasi, pompa, embung, pola tanam, dan lain-lain); (5) peningkatan produktivitas (benih, pupuk, irigasi, alat pertanian, dan lain-lain); (6) pengamanan produksi (dampak perubahan iklim, pengandalian OPT, dan penanganan pascapanen); (7) pengembangan teknologi dan inovasi bidang pertanian melalui kerja sama di bidang penelitian (universitas dan lembaga penelitian) yang berguna dalam pengambilan kebijakan; (8) penguatan kelembangaan dan pembiayaan (penyuluhan, kelompok tani, koperasi, dan kredit usaha tani); dan (9) membuka peluang pasar lokal, regional, nasional, internasional, dan lainnya.

Apabila program food estate dilaksanakan dengan kaidah yang benar, diharapkan menjadi solusi dari kerumitan membangun pertanian yang cerdas (smart agriculture). Berdasarkan pengalaman emperis sebagai asisten manajer perkebunan besar (estate) pola inti rakyat tahun 1989, saya punya testimoni. Apabila penerapan PIR ini serius dan benar, mestinya menguntungkan semua pihak. Masalah petani yang selama ini melilit dapat terpecahkan. Sarana prasarana produksi mulai dari lahan, bibit, pupuk, pestisida, hingga pemasaran bisa teratasi. Tetapi, itu baru terwujud apabila dan hanya apabila semua pihak, pemerintah, dunia usaha, masyarakat, dan kaum ilmuan ikut serta. Ini baru pertanian cerdas (smart agriculture). Tanpa itu, food estate ini hanyalah konsep semata. Janganlah!

Sumber :

Fatah S

Berkarier di industri media sejak 2010 dan menjadi penulis buku.