HMI Arsip - KAHMI Nasional https://www.kahminasional.com Korps Alumni Himpunan Mahasiswa Islam Wed, 05 Jul 2023 12:42:50 +0000 id hourly 1 https://wordpress.org/?v=6.2.2 https://www.kahminasional.com/assets/img/2021/11/favicon-kahmi-nasional-48x48.png HMI Arsip - KAHMI Nasional https://www.kahminasional.com 32 32 202918519 KH Abdullah Syukri Zarkasyi, 4 pengalaman agar kader berkarakter https://www.kahminasional.com/kh-abdullah-syukri-zarkasyi-4-pengalaman-agar-kader-berkarakter/ Wed, 05 Jul 2023 12:42:50 +0000 https://www.kahminasional.com/?p=9291 Jakarta, KAHMINasional.com – Di usia ke-80, Pondok Modern Gontor 2006 terus menapak tahap-tahap pengembangannya. Sesenja ini Gontor memiliki 15.000 santri yang tersebar di sembilan pondok pesantren modern binaannya secara langsung. Antara lain di Jawa Timur, Jawa Tengah, Lampung, Sulawesi Tenggara, Aceh, dan sebagainya. Pondok pesantren yang dikelola oleh alumninya (pondok alumni, red) ada sekitar 600-an […]

Artikel KH Abdullah Syukri Zarkasyi, 4 pengalaman agar kader berkarakter pertama kali tampil pada KAHMI Nasional.

]]>
Jakarta, KAHMINasional.com – Di usia ke-80, Pondok Modern Gontor 2006 terus menapak tahap-tahap pengembangannya. Sesenja ini Gontor memiliki 15.000 santri yang tersebar di sembilan pondok pesantren modern binaannya secara langsung. Antara lain di Jawa Timur, Jawa Tengah, Lampung, Sulawesi Tenggara, Aceh, dan sebagainya. Pondok pesantren yang dikelola oleh alumninya (pondok alumni, red) ada sekitar 600-an pesantren yang tersebar di seluruh Indonesia dan negara-negara sahabat.

Bukan perkara mudah mengelola, mengembangkan, dan mempertahankan pesantren dengan jumlah santri dan area kerja seluas itu. “Saya sebutkan sebagai manajemen nilai-nilai dan itu bisa diorganisir, pengorganisasian nilai-nilai,” cetus KH Abdullah Syukri Zarkyasi, pimpinan Gontor dan Ketua Bidang Lembaga Dakwah Himpunan Islam (LDMI) HMI Cabang Ciputat 1964-1965 era Nurcholish Madjid (Cak Nur) Ketua Umum Cabang ini.

Pengorganisian nilai-nilai itu untuk mendidik manusia-manusia penggerak dan pejuang. “Mendidik generasi penggerak dan pejuang dengan mendidik manusia biasa itu sungguh sangat berbeda. Di samping butuh kecakapan yang bisa diindrakan, juga membutuhkan nilai-nilai kejiwaan yang sulit diindrakan. Puluhan tahun saya mengalaminya, hampir seluruh usia saya,” papar kiai kelahiran 19 September 1942 ini.

Pada berbagai kesempatan sebelum September 2006, antara lain, di Hotel Marcopolo Jakarta dan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, usai menyandang gelar doktor honoris causa dari kampus ini pada Agustus 2005, KH Abdullah Syukri Zarkasyi memaparkan kaderisasi di Gontor serta pandangan sekilasnya tentang kaderisasi di HMI dan kilas nostalgia HMI Cabang Ciputat kepada Alfi Rahmadi dari Majalah Visi Kita. Selengkapnya:

Apa saja modal Pak Kiai memimpin Gontor dengan area kerja yang luas ini?
Kalau dalam konteks HMI, ente panggil kanda juga tidak apa-apa. Ini mengingatkan saya pada Cabang Ciputat (hahaha). Sederhana saja sebetulnya, ada nilai-nilai kejiwaan yang sulit diindrakan tampak sederhana diucapkan, tetapi harus dijalankan, seperti nilai keikhlasan dan kesungguhan sebagai nilai utama. Dari sini akan terlihat wawasan pengalaman yang banyak dan matang, wawasan pemikiran, keilmuan, nyali besar dan keberanian yang tinggi dan tegas, punya idealisme tinggi dan visioner, kemudian banyak mengambil inisiatif, mampu membuat dan memanfaatkan jaringan kerja, bisa dipercaya karena telah berbuat, serta jujur dan transparan. Modal-modal ini kemudian punya kriteria sebagai pimpinan personal dan kolektif yang diproteksi oleh nilai-nilai luhur pesantren dan dikembangkan secara modern.

Baiklah Pak Kiai, eh, Kanda. Agar modal-modal itu bisa berkelanjutan, manajemen kaderisasi apa yang paling signifikan diterapkan?
Dengan suksesi kepemimpinan pesantren yang tidak secara geneologis atau hal-hal kenisbatan, tetapi langkah-langkah pendidikan dan pembelajaran yang sistematis dan berkelanjutan sepanjang masa, seperti uswah al-hasanah, pengarahan, pendekatan, motivasi, penugasan, pembekalan, evaluasi, dan pembinaan lahir-batin. Semuanya diberikan secara berjenjang.

Ambil contoh pada penugasan. Penugasan itu sebetulnya proses penguatan dan pengembangan diri. Mereka yang melibatkan diri untuk ambil peran atau banyak mendapatkan tugas, maka dialah yang akan kuat dan terampil menyelesaikan berbagai permasalahan dalam kehidupan sosial. Tetapi, di Gontor untuk melibatkan diri atau menerima tugas itu, yang berlaku adalah siapa yang banyak mengambil inisiatif sebagaimana salah satu motonya, “Sebesar keinsyafanmu, sebesar itu pula keuntunganmu”.

Berjenjang, Kanda? Bisa dijelaskan lebih lanjut?
Perjenjangan itu dimulai dari kiai, lalu guru-guru dengan kualifikasi senior, semisenior, dan junior, kemudian santri senior atau santri kelas akhir hingga santri kelas I-V. Medium kaderisasinya semua yang terlingkup dalam totalitas kegiatan kampus, dari intrakurikuler, ekstra, maupun kokurikulernya dalam sistem full 24 jam yang saya sebut sebagai “totalitas pendidikan” dan “pendidikan total”.

Semua ini diatur secara self governance antarmereka sendiri yang dikawal oleh pimpinan pondok. Sistem rekrutmen yang menempati setiap pos kelembagaan di Gontor adalah dari internal pondok sendiri secara perjenjangan pula, mulai guru-gurunya secara berjenjang tadi sampai jenjang santrinya. Guru-guru ini alumni Gontor yang terlibat secara langsung dalam totalitas kehidupan pondok. Mereka mengabdikan dirinya dan bahkan mewakafkan dirinya kepada pondok. Jumlahnya sedikit. Dari tiap angkatan setiap tahun, hanya sedikit yang dipilih mengabdi di Gontor dan jumlahnya semakin sedikit lagi setelah menempuh berbagai “ujian kehidupan” di pondok yang hasilnya para guru yang mewakafkan dirinya.

Apa saja kriteria alumni yang mewakafkan dirinya ini?
Mereka harus siap melakukan suksesi kaderisasi pondok seperti mengerti, meresapi, dan menghargai tatanan nilai dan sistem yang sudah ada; siap lahir-batin dalam membantu, membela, memperjuangkan, dan memikirkan pondok; bahkan kalau perlu mengorbankan nyawanya untuk tegak dan terlaksananya tatanan nilai dan sistem yang lebih konstruktif, bukan sebaliknya: destruktif. Ini merupakan bagian integral dari strategi proteksi dan proyeksi yang sejalan dengan kaidah zaman “al-muhafadhotu ‘ala qodimis sholih wal-akhdzu bil jadidil ashlah” (,emelihara yang lama yang baik dan mengambil yang baru yang lebih baik, red).

Seperti apa strategi proteksi dan proyeksi yang Kanda maksud?
Strategi proteksi itu usaha lembaga pendidikan untuk meningkatkan kualitas luhur santri: iman, ilmu, maupun amal. Kalau proyeksi, ini berbagai upaya membangun dan mengembangkan segenap potensi stakeholders pesantren secara individual maupun institusional. Secara individual, proyeksi ini mengacu pada berbagai kecendrungan dalam diri santri pada minat dan bakatnya. Kalau secara institusional, menjadi acuan pengembangan yang dilandasi oleh nilai-nilai luhur institusi seperti visi-misinya, programnya serta orientasi pendidikan dan pengajarannya. Seperti apa pengembangannya? Tiap-tiap pesantren punya jawaban sendiri sesuai kebutuhan, kemampuan, dan proyeksi perencanaannya.

Kepekaan atas strategi proteksi dan proyeksi tidak bisa timbul seketika atau responsif begitu saja. Pekanya harus utuh. Kepekaan terhadap perencanaan atas berbagai situasi dulu, sekarang, dan masa depan; efektivitas, transpransi, dan evalusi pelaksanaannya; kemudian sinergi. Tetapi, dari semua kepekaan ini, kepekaan terhadap nilai-nilai keikhlasan dan kesungguhan itulah yang terpenting.

Dalam konteks organisasi kaderisasi, itu berarti nilai-nilai seperti keikhlasan, kesungguhan, dan nilai-nilai luhur lainnya bisa dibikin sistemnya?
Betul! Bahkan, sistem itu mesti diorganisir. Pada pidato pengukuhan saya doktor honoris causa di UIN Jakarta belum lama ini (Agustus 2005, red), saya sebutkan sebagai “manajemen nilai-nilai” dan itu bisa diorganisir. Pengorganisasian nilai-nilai yang terdiri dari panca jiwa, moto, orientasi, dan filsafat hidup Gontor.

Mendidik generasi penggerak dan pejuang dengan mendidik manusia biasa itu sungguh sangat berbeda. Di samping butuh kecakapan yang bisa diindrakan, juga membutuhkan nilai-nilai kejiwaan yang sulit diindrakan. Puluhan tahun saya mengalaminya, hampir seluruh usia saya. Maka, saat peserta didik masuk ke dalam lingkungan kelembagaan kader, pikiran bawah sadar mereka itu harus dikuak bahwa dirinya itu seorang pemimpin yang terus-menerus dilakukan sepanjang masa dan tugas pokok pengkader adalah memastikan manajemen nilai-nilai berjalan atau tidak.

Nah, Gontor telah dirintis sejak abad ke-18 atau era Gontor Lama di Tegalsari, kemudian menemukan formulasi pengembangan pendidikannya tahun 1926 di Desa Gontor (Ponorogo, red) yang disebut era Gontor Baru di tengah pergolakan zaman pergerakan Indonesia modern, kemudian diwakafkan kepada umat Islam sejak 1958, telah menempuh sejarah panjang dalam merumuskan dan menegakan manajemen nilai-nilai berupa panca jiwa, moto, orientasi, dan filsafat Hiduh. Seorang pendidik pasti mampu menjadi pemimpin, tetapi belum tentu seorang pemimpin mampu menjadi pendidik.

Bagaimana kalau ada alumni Gontor di luar kelembagaan formal Gontor dan ada nonalumni Gontor yang ingin berkontribusi di Gontor?
Tetap diterima, tetapi kita selalu berhati-hati agar mereka tidak merusak sistem, nilai-nilai, dan falsafah yang sudah mengakar kuat ini. Salah satu moto Gontor “berbudi tinggi, berbadan sehat, berpengetahuan luas, dan berpikiran bebas” tidak bisa dibolak-balik. Berpikiran bebas malah akan jadi sebebas-bebasnya dan sesat tanpa fase berpengetahuan luas.

Berpikiran bebas itu maksudnya dia bukan saja bersikap terbuka, tetapi bertanggung jawab dalam persoalan apa pun. Kebebasan itu simbol kedewasaan dan kematangan yang didasarkan kepada Al-Qur’an dan sunah. Kemudian, bagaimana mungkin bisa berpengetahuan luas kalau dia tidak sehat? Di atas segalanya adalah adab dan akhlak yang dikandung dalam nilai berbudi tinggi. Itu salah satu contoh kecilnya saja dalam memahami, meresapi, dan melaksanakan moto ini.

Kalau kualitas HMI menurun, itu artinya apakah karena faktor pengkader dan dan sistem manajemen nilai-nilainya?
Pasti ada yang salah, tidak sungguh-sungguh melaksanakan dan menegakkan manajemen nilai-nilai ke-HMI-an. Atau memang sudah rapuh atau tidak punya lagi manajemen pengorganisasian visi, misi, dan tujuan HMI di berbagai jenjang kaderisasinya.

Jenjang kaderisasi HMI apakah mesti sebangun dengan manajemen nilai-nilainya?
Lo iya dan itu bukan terhenti pada Latihan Kader (LK), tetapi justru setelah latihan untuk dipraktikkan secara nyata dan berkesinambungan. Tanpa nilai-nilai, yang ada hanya gerombolan, bukan himpunan. Himpunan itu lambang kolektivitas yang terorganisir, terutama mengorganisir nilai-nilai yang menjadi fondasinya. Bagaimana mungkin menjadi insan pengabdi yang hebat tanpa fase menjadi insan akademik dan pencipta yang kuat? Untuk itulah, nilai-nilai yang menjiwai menuju insan akademik dan pencipta, tugas pokok para pemimpin di setiap jenjang pengkaderan formal dan informal mesti insyaf untuk memiliki keteladanan atau uswah al-hasanah dan adanya pengarahan, pendekatan, motivasi, penugasan, pembekalan, evaluasi, pembinaan lahir-batin sepanjang massa.

Maka, di kampus-kampus ataupun di pusat-pusat unggulan, pada fase pertama dan kedua itu (insan akademik dan pencipta, red) menjadi mutlak mempersiapkan kualitas kader secara utuh, menyeluruh, dan terus-menerus. Untuk apa? Agar saat terjun ke masyarakat dengan sebenar-benarnya menjadi insan pencipta dan apalagi pada fase pengabdi, ia punya dasar atau fondasi yang sangat kuat.

Namanya juga “insan cita”, mencetak insan kamil untuk kemajuan negeri atau baldatun thayyibatun wa rabbun ghofur yang berpegang teguh pada Al-Qur’an dan sunah. Contoh di Gontor, ukuran keberhasilan santri dapat diukur saat dia telah berada di tengah masyarakat: seberapa besar jasa dan pengabdiannya kepada masyarakat karena salah satu falsafah dan moto Gontor adalah “khairunnas anfauhum linnas” (sebaik-baik manusia ialah yang paling bermanfaat bagi sesamanya, red). Tetapi, Gontor mewanti-wanti melalui falsafah lainnya, “berjasalah, tetapi jangan minta jasa”.

Pokok-pokok pengalaman apa saja yang memantapkan Kanda yakin terhadap langkah dan sistem Gontor sekarang ini?
Ada empat hal penting yang saya alami. Pertama, tanpa mengaitkan antara gerakan mormon (sebuah sekte Kristen di Amerika) dengan insitusi Islam, tetapi semata-mata melihat sisi gerakan ekonomi dan sosialnya yang tangguh. Saya melihat mereka sangat disiplin dan punya etos kerja yang tinggi.

Kedua, saat saya menyaksikan kemajuan pendidikan di Eropa sangat kentara komunitas belajar mereka yang disebut sebagai learning society itu. Mereka juga punya budaya disiplin yang sangat kuat.

Ketiga, pengalaman menjadi aktivis mahasiswa HMI Ciputat dan IAIN Jakarta bersama-sama Nurcholish Madjid, AM Fatwa, dan sebagainya serta cabang-cabang lain, seperti Akbar Tandjung, Mar’ie Muhammad, dan lain-lain. Pengalaman aktivis mahasiswa bersama mereka-mereka ini mengasah kepekaan saya.

Keempat, menyaksikan bahwa perguruan tinggi besar di dunia ini berawal dari sesuatu yang kecil, tetapi ini dilakukan dengan semangat keagamaan yang kuat. Universitas Al-Azhar itu dari masjid kecil, Universitas Laiden juga dari gereja kecil, termasuk Universitas Harvard dan sejumlah universitas bergengsi lainnya.

Sedikit bernostalgia zaman Kanda di HMI Cabang Ciputat, seperti apa?
Kami pengurus Cabang Ciputat periode 1964-1965 dan saat itu baru saja menjadi cabang (1961, red) setelah sebelumnya komisariat Cabang Jakarta Raya. Salah satu pendirinya, AM Fatwa, juga aktif di PII (Pelajar Islam Indonesia). Ketua umum pertamanya kalau tidak salah Abu Bakar. Keduanya ini senior beberapa tahun.

AM Fatwa dari dulu vokal terhadap situasi sosial politik sebelum maupun sesudah meletus peristiwa Gestok (Gerakan 1 Oktober 1965/PKI, red). Dia pengkritik keras PKI dan underbow-nya, seperti CGMI (Consentrasi Gerakan Mahasiswa Indonesia). Saya lupa tahun berapa, aparat pernah memburu AM Fatwa karena mengkritik Menteri Pendidikan yang lebih memanjakan CGMI. Ini tidak adil. Apalagi, waktu itu di tahun-tahun awal Cabang Ciputat berdiri, PKI melalui CGMI lantang ingin membubarkan HMI.

Kalau Cak Nur dari dulu sejak di Gontor sudah “kutu buku” dan pintar. Begitu di HMI, tambah lagi. Periode sebelumnya (1962-1963, red), Cak Nur sudah jadi pengurus cabang, ketua umumnya Salim Umar. Cak Nur kalau tidak salah sekretaris umumnya. Setahun sebelum kami menjadi pengurus Cabang Ciputat, kondisi HMI secara keseluruhan sangat memprihatinkan. Ini terjadi zaman Mas Tom (Sulastomo, red), Ketua Umum PB HMI (1963-1966, red). Karena tarik-menarik antarkekuatan politik pemerintahan Bung Karno setelah Masyumi dan PSI (Partai Sosialis Indonesia) dibubarkan (1960, red), Cabang Ciputat dan Yogyakarta kena getahnya setelah sebelumnya berkali-kali demonstrasi merespons buruknya situasi nasional saat itu. Mas Tom terpaksa membekukan dua cabang ini dalam tekanan politik luar biasa.

Aktivis HMI Cabang Ciputat, seperti AM Fatwa, Salim Umar, dan kawan-kawan sampai ditangkap aparat. Mereka dituduh kontra revolusioner. Jadi, boleh dibilang pada periode kami (1964-1965) bersama Cak Nur, situasi kelam itu baru dipulihkan. Kegiatan cabang yang bertumpu pada pengkaderan yang sempat vakum dihidupkan lagi.

Bagaimana dengan kaderisasi Cabang Ciputat periode 1964-1965 ini?
Cak Nur jadi Ketua Umum Cabang Ciputat dan saat itulah untuk pertama kalinya LK menggunakan modul rumusan Cak Nur. Waktu itu disebut Nilai-Nilai Islamisme sebelum dirumuskan menjadi Nilai-Nilai Dasar Perjuangan (NDP) saat Cak Nur menjadi Ketua Umum PB HMI pada akhir periode keduanya dan digunakan PB HMI pengganti Cak Nur zaman Akbar Tandjung ketua umumnya. Tetapi, sebelumnya, karena landasan perjuangan HMI ini baru lahir di Cabang Ciputat dan Cak Nur sering memaparkannya pada berbagai forum diskusi di luar IAIN, maka banyak sekali komisariat dari lintas kampus di Jawa Barat dan Jakarta Raya sebagai wilayah terdekatnya mengikuti LK di HMI Cabang Ciputat. Kalau ada perkumpulan sebuah kegiatan, apalagi sampai malam, di mana-mana pasti selalu dicurigai kontra revolusioner. Beruntung pada 1965, saat Gestok meletus, saya sudah kelar kuliah di IAIN Jakarta, jadi tidak terlalu terganggu dengan proses perkuliahan.

Nah, kalau tradisi diskusi di Ciputat?
Intelektualisme Cabang Ciputat dan IAIN Jakarta dirintis dari peran Cak Nur. Anggota dan pengurus cabang bisa semalam-suntuk berdiskusi, dari pagi ke pagi lagi hampir setiap hari, tetapi lebih banyak sembunyi-sembunyi karena zaman itu konstalasi politik nasional sangat buruk. Selain itu, IAIN pada zaman saya tengah mencari landasan akademiknya karena baru saja masuk pada era formulasi kelembagaannya dari peleburan ADIA (Akademi Dinas Ilmu Agama) Jakarta dengan PTAIN (Perguruan Tinggi Agama Islam Negeri) Yogyakarta (dileburkan sejak 1960, red) menjadi IAIN, yang berpusat di Yogyakarta.

Apa yang disebut interdisipliner studi Islam yang kelak jadi ciri khas seluruh UIN dan IAIN sekarang, pada era 1960-an belum diterapkan di kelas-kelas perkuliahan, tetapi embrionya sudah dimulai melalui forum diskusi HMI Cabang Ciputat. Beberapa tahun setelahnya (1963, red), baru ada pemisahan secara otonom: IAIN Jakarta dan IAIN Jogja. Dua IAIN inilah ditugaskan oleh negara sebagai pembina untuk membidani lahirnya IAIN-IAIN lainnya di berbagai daerah diawali dari fakultas-fakultas.

Seingat saya, Cak Nur sebelum dan sesudah jadi Ketua Umum Cabang Ciputat masih bolak-balik Jakarta-Jogja karena dia aktif pada kelompok diskusi terbatas lintas kampus Jogja, seperti dengan Ahmad Wahib (UGM), Johan Effendi (IAIN Yogyakarta), Dawam Raharjo (UGM), terkadang ada Gus Dur dan lain-lain. Pulang dari Jogja, selalu ada oleh-oleh yang dia bawa. Oleh-oleh di sini adalah buku. Sebaliknya dari Jakarta, kawan-kawan di Jogja selalu menunggu buku-buku yang dibawa Cak Nur karena Jakarta dianggap lebih lengkap. Yang paling senior dari forum diskusi terbatas ini Pak Mukti Ali, alumni Pesantren Termas Pacitan dan Lasem yang kelak jadi Mentri Agama dari HMI. Beliau ini kalau istilah sekarang menjadi semacam sponsornya.

Kalau forum diskusi terbatas, Cak Nur dkk disponsori Prof. Mukti Ali dan memang kelak beliaulah katalisator berkembangnya akar intelektual Islam di Indonesia dengan mengirim alumni-alumni IAIN dan tokoh muda Islam ke negeri barat saat menjabat Menteri Agama 1971-1978.

Di HMI Ciputat (IAIN Jakarta) periode Kanda, siapa sponsornya?
Hampir tidak ada (hahaha). Kalau disebut-sebut dilakukan Pak Harun Nasution juga tidak tepat karena era 1960-an, beliau masih merampungkan studi master dan doktornya di MacGill, Kanada. Jadi, kalau Cak Nur pernah menyebut tidak pernah diajar Prof. Harun memang betul.

Sepulang dari McGill, Prof. Harun baru jadi rektor IAIN Jakarta (1969, red), saat kami sudah tamat IAIN atau masih ada beberapa kawan yang tengah merampungkan sarjana penuhnya (Drs) setelah sarjana muda (BA). Saya pun sudah melanjutkan studi sarjana dan master ke Al-Azhar, Kairo, sekitar setahun setelah selesai (demisoner, red) di Cabang Ciputat (dari 1966 sampai 1976, red). Cak Nur dari dulu sebetulnya ingin sekali melanjutkan studi ke Timur Tengah, tetapi takdir membawanya belajar Islam ke Amerika (hahaha). Malahan kalau tidak salah akhir era 1960-an, dia mendapat beasiswa keliling negara-negara Timur Tengah.

Kalau sponsor berupa logistik teknis kegiatan?
Logistik seperti makan-minum, peralatan kesekretariatan, dan lain-lain sebagai penunjang proses intelektualisme dan kaderisasi, kami iuran. Terkadang kalau kurang, ditambah dari saya karena dianggap anak kiai Gontor (hahaha). Hampir semua kegiatan mahasiswa digalang secara swadaya dengan cara iuran.

Zaman itu mana ada istilah sponsor seperti sekarang. Mereka yang menyokong atau iuran, kembali lagi seperti salah satu moto Gontor, sebesar keinsyafanmu, sebesar itu pula keberuntunganmu. Aktivis mahasiswa pertengahan 1960-an (eksponen 1966, red) insyaf atau sadar akan pentingnya kegiatan perjuangan dan insyaf atas manfaatnya sehingga gotong royong. Ini prinsip dasar kemandirian. Dengan kemandirian itu organisasi apa pun tidak gampang dibajak.

Seperti organisasi civil society sekarang jugakah?
Betul, harus mandiri. Organisasi-organisasi menengah-besar mesti ada usaha pendapatan untuk menghidupkan organisasinya, seperti Al-Azhar, Kairo, yang pendapatannya setara dan bahkan melebihi pendapatan negara (APBN, red) Republik Mesir atau seperti Hizbullah di Lebanon melalui manajemen wakafnya atau gotong royong dengan iuran karena sama-sama meyakini dan menyadari manfaat organisasinya. Kampus-kampus harusnya pun begitu, jangan dikit-dikit tergantung dari negara.

 

Naskah ini dikutip dari Rubrik Liputan Utama/Wawancara Majalah Visi Kita edisi 25 tahun 2006, ditulis Alfi Rahmadi dan diterbitkan Majelis Nasional KAHMI.

Artikel KH Abdullah Syukri Zarkasyi, 4 pengalaman agar kader berkarakter pertama kali tampil pada KAHMI Nasional.

]]>
9291
Panji Gumilang: Saya seorang pendidik dan tidak pernah meragukan siapa penggantinya https://www.kahminasional.com/panji-gumilang-saya-seorang-pendidik-dan-tidak-pernah-meragukan-siapa-penggantinya/ Wed, 05 Jul 2023 05:32:02 +0000 https://www.kahminasional.com/?p=9288 Jakarta, KAHMINasional.com – Wisma Al-Islah terasa hotel bintang empat di tengah pelosok desa. Inilah kesan kuat kami ketika bermalam di lantai 4 kamar 523 Wisma Ma’had Al-Zaytun, sehari penuh, Selasa, 19 September 2006. Pondok pesantren modern yang menyandang sebutan “pusat pendidikan dan pengembangan budaya toleransi serta budaya perdamaian” ini berdiri di areal 1.200 hektare di […]

Artikel Panji Gumilang: Saya seorang pendidik dan tidak pernah meragukan siapa penggantinya pertama kali tampil pada KAHMI Nasional.

]]>
Jakarta, KAHMINasional.com – Wisma Al-Islah terasa hotel bintang empat di tengah pelosok desa. Inilah kesan kuat kami ketika bermalam di lantai 4 kamar 523 Wisma Ma’had Al-Zaytun, sehari penuh, Selasa, 19 September 2006. Pondok pesantren modern yang menyandang sebutan “pusat pendidikan dan pengembangan budaya toleransi serta budaya perdamaian” ini berdiri di areal 1.200 hektare di Desa Haurgeulis, 20 kilometer dari Indramayu, Jawa Barat.

Sekitar pukul 10.30 WIB, pria berposter tubuh besar dan tinggi, ketua yang dituakan pondok pesantren ini, datang ke lantai satu menyapa Fathorrahman Fadli dan Alfi Rahmadi dari Majalah Visi Kita. Biasa disapa Syaikh AS Panji Gumilang, dari nama lengkapnya Abdussalam Rasyidi Panji Gumilang. Ia alumni HMI Cabang Ciputat, tetapi tidak mau disebut alumni, apalagi alumni senior.

Tamat dari Pondok Modern Gontor 1966, ia menuruskan studinya di IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta mengikuti jejak dua seniornya di Gontor: Nurcholis Madjid (Cak Nur), Ketua Umum HMI Cabang Ciputat 1964-1965, dan Abdullah Syukri Zarkasyi, Ketua Lembaga Dakwah Himpunan Islam (LDMI) Cabang ini pada periode yang sama. Dua seniornya ini kuliah di Fakultas Adab, sama dengan Panji Gumilang. Cak Nur menuntaskan studi sarjana penuh (Drs) 1961-1968 dan Syukri Zarkasyi merampungkan studi sarjana muda (BA) 1960-1965.

Sejarah HMI selanjutnya mencatat: Cak Nur terpilih Ketua Umum PB HMI dua periode, 1966-1969 dan 1969-1971, tetapi tidak membuat Cak Nur riang karena pertanda bakal telat menikahi kekasihnya: Omi Komaria. Cak Nur, satu-satunya Ketua Umum PB HMI pemegang mandat dua periode karena “kecelakaan sejarah” nasional. Ia terpilih lagi karena dianggap tokoh muda intelektual Islam paling fasih menjembatani islah antara Masyumi, yang telah dibubarkan pada 1960 dengan senior, dan pemimpin HMI pada zamannya yang sejak awal memiliki sejarah buruk, khususnya mengenai konsep dasar Indonesia serta militansi Masyumi sebagai partai politik Islam.

Menyaksikan secara dekat pergolakan pemikiran Cak Nur merumuskan evolusi landasan HMI dari semula berupa Nilai-nilai Islamisme saat seniornya ini mengemban tugas ketua umum HMI Cabang Ciputat yang kelak berubah menjadi Nilai-nilai Dasar Islam (NDI) dan dibakukan menjadi NDP (1971), Panji Gumilang sampai sekarang tidak pernah menyebut dirinya sebagai alumni HMI. Itu karena ia ingin sepanjang masa menjiwai nilai-nilai dasar perjuangan yang dirumuskan seniornya itu.

Dari NDP itulah Panji Gumilang, yang lahir pada 30 Juli 1946, mengaku kepada kami menjadi salah satu katalisator terwujudnya cita-citanya menjadi “petani” saat ini: petani yang membajak sawah dan ternak sapi dengan teknologi. Di HMI Cabang Ciputat dekade akhir 1960-an, ia ketua Lembaga Pertanian Mahasiswa Islam (LPMI). Berikut perbincangannya:

Hal apa yang membuat Kanda yakin mengelola Ma’had Al-Zaytun ini?
Dari sebuah mimpi. Ketika Anda punya cita-cita dan harapan, maka tuangkan dalam mimpi itu. Belajar membuat mimpi sebetulnya telah kita pelajari dalam HMI. Menjadi insan cita dengan membawa sebuah perubahan baru. Lalu dalam prosesnya, saya yakinkan kepada Anda, yakin usaha sampai! (hahaha).

Ada anggapan moto ini untuk ukuran zaman kini, kata “sampai” dikedepankan terlebih dulu, kemudian yakinnya belakangan. Jadi, wajar menjadi lebih pragmatis dan materialistik. Menurut Kanda?
Tidak bisa! Tanpa keyakinan orang, tidak akan sampai. Dan orang sampai tanpa keyakinan itu biasanya by accident. Itulah yang akan menggagalkan kesampaiaannya. Seperti bangsa dan negara kita saat ini dijalankan dengan sedikit keyakinan sehingga pimpinannya sampai dianulir berkali-kali. Ia belum yakin terhadap plularisme, demokrasi, dan perdamaian sehingga pasang-surut. Satu tampil, kemudian dianulir lagi; begitu seterusnya. Kalau yakin, sebetulnya sisa Belanda yang kita pakai itu bisa bagus. Begitu juga sisa Jepang. Yang diambil hanya sisa-sisa yang baiknya. Apalagi, kita pakai sunah yang diajarkan oleh Nabi Muhammad saw. Maka, “yakin usaha sampai” itu sebuah kata yang luar biasa. Tidak bisa diubah!

Mengapa gaung alumni HMI tidak terlalu terdengar mengabdi dirinya secara langsung untuk pesantren?
Dalam menilai, jangan conditioning (kondisional). Jangan secara personal dan parsial. Harus dinilai dari cita-citanya. Sebab, terkadang ada proses orang mencari jati dirinya itu berkelana ke mana-mana dulu. Dalam adagium Arab disebutkan “safir tajid ‘iwadhan ‘amman tufariquhu wan-shab fainna lazizu al-‘aisyi fi an-nashabi”. Bersafarlah kamu, maka akan temukan pengganti yang terbaik dari yang kamu tinggalkan sebelumnya. Mengapa demikian? Karena dalam perjalanan itulah sesungguhnya kamu akan temukan lezatnya sebuah perjalanan untuk meraih cita-cita.

Tetapi, kapan “sampainya”? Pasti ada hal yang taktis-strategis agar umur tidak habis dalam menempuh cita-cita itu?
Ada titik akhir atau titik didih dalam perjalanannya kelak. Maka, sering kita berdoa, “Ya, Allah, jadikan akhir kami dengan husnul al-khatimah atau penutup yang baik”. Sebab, dalam perjalanan hidup ada bagian yang integral dan tak terpisahkan dari masa lalu dan masa yang akan datang. Perjalanan bangsa ini tidak dilalui 10-60 tahun. Jadi, yang disebut bangsa itu adalah bukanlah hari ini. Yang tidak ada lagi (wafat, red), termasuk yang masih dalam kandungan dan yang dicita-citakan akan lahir: semuanya disebut sebagai bangsa. Jadi, jangan dinilai hari ini sebab manusia itu qad yazid wa yanqush (turun-naik, red). Karena itulah dalam Al-Qur’an disebutkan, bahwa yang terakhir adalah lebih baik dari yang pertama. Ini semua tertuju untuk membangun dunia baru yang bahagia yang diridai Allah Ta’ala.

Tetapi, mengapa dalam proses kehidupannya, secara empirik, alumni HMI antre dalam satu gerbong panjang politik, sementara banyak gerbong sesungguhnya perlu diisi, seperti ekonomi dan pendidikan. Mengapa terjadi seperti ini?
Kalau saya ditanya bagaimana dengan HMI? Maka, saya jawab HMI itu bagus. Siapa yang bilang tidak bagus? Kita ini menamakan diri sebagai sekumpulan pemuda Islam yang memiliki tujuan jelas. Hanya saja dalam perjalanannya, ini yang kadang-kadang saja, dia pikir bahwa hidup hari ini mulus-mulus saja. Padahal, dalam perjalanan hidup, selamanya tidak mulus terus. Namanya juga hidup. Karena itu, perlu sustainable (keberlanjutan) yang memang banyak kandungannya, baik itu nilai ekonomi, nilai cita-cita, kreasi, maupun masa depan. Karena punya kandungan ini, maka HMI itu disebut korps. Sebagai sebuah korps, di satu sisi yang antre tadi salah sendiri mengapa antre. Tetapi, pada sisi lain: tentu bagi yang sudah “duduk” bisa berbuat yang terbaik untuk gerbong yang lain; misalnya melakukan advokasi untuk kemajuan dunia pendidikan. HMI lahir dari kampus dan mestinya kembali lagi ke kampus, dalam arti lembaga pendidikan sebagai kawah candradimuka kaderisasi.

*

Namanya Al-Zaytun. Bukan jenis buah yang tumbuh di Bait al-Maqdis, Palestina, tetapi lembaga pendidikan pesantren di Haurgeulis. Al-Zaytun Indonesia tampaknya tengah meracik peradaban laiknya zaman Nabi Musa ketika menerima wahyu di bukit Tursina sana. “Dan demi negeri yang aman ini”, demikian terjemahan QS al-Tin ayat 3. Ada transfer cita-cita sebuah negeri; aman secara lahir dan batin yang dibangun oleh Syaikh Abdussalam Panji Gumilang di Al-Zaytun, Haurgeulis.

Ayat tersebut dikontekstualkan dengan membangun fasilitas hotel berbintang di Ma’had Al-Zaytun. Kebutuhan makan, minum, olahraga, tidur, dan ragam kebutuhan para santrinya dibuat dengan canggih, luks, dan higienis. Tidak ada yang tidak termanfaatkan di sini. Bahkan, air kencing sekalipun disuling menjadi pakan hewan ternak dan pupuk, terutama untuk jati emas dan mahoni. Inilah salah satu prinsipnya, “Tuhanku sesungguhnya tidak ada yang sia-sia dari semua ciptaan-Mu”.

Ketika orang menggunjing Al-Zaytun berpaham sesat, mereka jawab dengan berbuat. Ketika lembaga pendidikan ramai-ramai menuntut hak bantuan operasional sekolah (BOS), diam-diam Al-Zaytun mengubah kurs dolar dengan harga sapi. Dengan sapi, percaya atau tidak, menurut ketua yang dituakan Ma’had Al-Zaytun ini (mereka menyebut pimpinan pesantrennya dengan istilah ini, red), justru ingin membebaskan beban apa pun dalam pendidikan. Caranya?

Menurut Panji Gumilang, pola pikir tentang sapi selama ini harus diubah terlebih dahulu. Yang dianggap nikmat dari sapi bukan dagingnya, tetapi justru kotorannya. Kotoran pada satu sapi bisa memproduksi pupuk untuk 10 pohon jati. Dari jumlah ini, jika disetarakan dengan kurs dolar Paman Sam, ia yakin bisa menyekolahkan anak sampai tingkat doktor dengan standar usia 25 sehingga usia di atas ini saatnya mengabdi terjun ke tengah masyarakat secara langsung dan permanen.

Apakah hal ini investasi pendidikan dari kotoran? Bukan! Justru dari daging sapi yang manusia makan kelak menjadi kotoran. Sebaliknya, kalau dari kotoran sapi, bisa jadi “daging pendidikan” untuk menggerakkan roda kehidupan. Demikian itu urai Ketua Lembaga Pertanian Mahasiswa Islam (LPMI) HMI Cabang Ciputat dekade akhir 1960-an ini ketika kami meninjau 1.200 hektare areal Ma’had Al-Zaytun, sehari penuh, 19 September 2006.

Saat kami berkunjung ke kantor Bagian Pendidikan dan Pengajaran, salah seorang ustaz muda menyapa kami, “Bang, saya juga alumni HMI”. Mengelilingi Ma’had ini ditemani Ustaz Nawawi, sekretaris pribadi Syaikh Panji Gumilang. Ternyata Nawawi juga alumni HMI Cabang Ciputat.

*

Bagaimana Kanda melihat proses kaderisasi antargenerasi HMI hari ini?
Sebagai kader yang pernah duduk di satu tempat dan kita bergabung dalam satu ikatan, satu generasi antargenerasi lainnya harus memberi pencerahan agar apa yang dikhitahkan itu menjadi nyata. Belum pernah ada peradaban maju di dunia ini tanpa melalui kemajuan lembaga pendidikan sebagai tulang punggung peradaban. Lembaga pendidikan membentuk manusia-manusia yang tercerahkan.

Tetapi, nyatanya pencerahannya redup, Kanda?
Karena banyak HMI sekarang ini yang sudah menganggap dirinya sebagai alumni (hahaha). Padahal, istilah alumni itu adalah sudah selesai atau sisa-sisa atau pensiun dan masing-masing anggota HMI mulai membawa cita-citanya. Jadi, dalam konteks organisasi alumninya, wajar saja kalau potensinya kurang tergali karena mindset istilah alumni tadi. Saya tidak pernah menganggap diri saya sebagai alumni ataupun senior HMI, tetapi sebagai HMI sampai sekarang.

Mengapa demikian?
Agar nilai-nilai perjuangannya tidak menjadi sisa-sisa atau bahkan pensiun (hahaha). Jangan pernah jadi alumni sebab itu akan pensiun. Saya tidak ngajak lo! Sebab, frame-nya sudah lain kalau menggunakan istilah alumni.

Jadi, apa frame terbaik untuk menyebut HMI yang sudah habis masanya pada suatu jenjang tertentu?
Yang tersisa adalah “korps” sebagaimana Korps Alumni Mahasiswa Islam (KAHMI). Tetapi, kalau menginginkan ada satu panglimanya atau ingin menyatu, maka bukan alumni lagi namanya karena berbentuk sebuah organisasi pokok yang bergerak seperti gerakan organisasi. Maka, jangan pakai istilah alumni, tetapi buatlah fase-fase HMI. Misalnya, HMI fase I, II, dan III. Pendidikan saja ada stratanya. Lantas, kalau sudah alumni tetapi tanpa strata, ya, seperti ini jadinya. Jadi, ada sebuah ikatan berkelanjutan yang mengikat untuk mewujudkan cita-cita bersama.

*

Panji Gumilang memang gemilang. Setelah melalang buana ke sejumlah negara sahabat, ia kumpulkan para tenaga ahli tiap bidang keilmuan sebelum dan apalagi sesudah Ma’had Al-Zaytun berdiri setelah diresmikan Presiden Bacharuddin Jusuf Habibie, 1999. Mereka mewakili dari semua cabang besar keilmuan: skolastik (keagamaan), sosial humaniora, dan eksakta atau ilmu alam dan ilmu pasti. Di sini, di tanah Haurgeulis ini, mereka membuka kota.

Dulu, sebelum Al-Zaytun berdiri, desa ini tidaklah cantik seperti penamaannya “geulis”, melainkan kumuh dan gersang. Al-Zaytun menyulapnya menjadi geulis. Semua kebutuhan ma’had dikelola secara mandiri dan berteknologi yang lazim dilakukan oleh kampus-kampus beken, seperti ITB, IPB, UGM, dan sebagainya. Pergedungannya berinterior khas Timur Tengah, Eropa, kerajaan-kerajaan Nusantara, dan Indonesia. Segala pembangunan difungsikan sebagai metodologi dan praktik nyata proses belajar mengajar. Ambil contoh, ketika para santri belajar Al-Qur’an dalam topik Al-Baqoroh (sapi) pada kisah bani Israil, misalnya, mereka diajak membuat secara nyata rekayasa genetika agar dapat menciptakan sapi unggulan lebih dari yang dicita-citakan oleh bani Israil berabad lampau.

Sejauh ini untuk menciptakan sapi unggul berkelas dunia, Al-Zaytun mentransfer gen lima sapi unggulan dunia: sapi Prancis, Jerman, Australia, Madura, dan Bali. Melalui proses teknologi, antara lain, rekayasa genetika, sapi pedaging dan susu ini sekali lahir diharapkan mampu menghasilkan 50 “kepala” (mereka meralat istilah ekor pada hewan, red). Panji Gumilang menaksir harganya sekali lahir, Al-Zaytun bisa meraup Rp2 miliar per kepala. Tinggi sapinya mencapai 2,5 sampai 3 meter dengan besar badan rata-rata dua kaki sebagaimana yang kami saksikan di kandang sapi unggulan ini.

Uniknya lagi, Panji Gumilang bercita-cita agar warna keemasan sapi yang dulu diruetkan bani Israil kepada Nabi Musa, diubah jadi merah-putih! Dan saat kami saksikan pada 2-3 sapi sekitar usia satu tahun dan di bawahnya, memang sudah agak tampak warna bendera Indonesia ini meskipun corak merahnya masih samar-samar karena masih terus uji coba melalui rekayasa genetikanya.

Itu salah satu contoh metode pembelajaranya. Begitu juga ketika mereka belajar materi meteorologi. Mempelajari cuaca panas, tata cara salat Istiska (minta hujan), mereka bedah dengan menyiapkan wujud fisik bendungan sebagai ungkapan syukur atas nikmat dan anugerah Tuhan. Musim kering di negeri tropis seperti Indonesia yang melangkakan air, bagi Panji Gumilang, itu bentuk kufur nikmat. Sebab, saat Tuhan menganugerahkan musim hujan, kita selama ini tidak menampung debit air yang besar itu dalam teknologi bandungan.

*

Perbedaan yang paling kuat yang Kanda rasakan sebagai generasi HMI 1960-an dengan sekarang?
Zaman Anda lain. (Panji Gumilang sejenak diam, seolah-olah mengingat sesuatu).

Maksudnya?
Ini jawaban saya kalau di tanya seperti itu. Jawaban ini persis diberikan Kiai saya, KH. Imam Zarkaysi (salah satu Trimurti Pondok Modern Gontor, red). Saat itu, tahun 1965, beliau bicara tentang pendidikan putra-putri. Beliau bilang, “Mendidik satu putri lebih sulit [daripada] mendidik 1.000 putra”. Statement beliau seperti ini karena Gontor saat itu tidak membuka kampus putri, apalagi sekampus dengan putra. Tidak ada yang bertanya saat itu, hanya saya. “Ustaz, kalau begitu, kepada siapa nanti putri-putri ini kita didik?” tanya saya. Beliau jawab dengan luar biasa cerdasnya, “Zamanmu lain!”. Tidak ada penjelasan berikutnya: menyuruh maupun melarang. Artinya, ada inovasi dan nalar dalam interval waktu antargenerasi di sini. Nah, sekarang kita di Al-Zaytun membuka pendidikan putri dalam satu kampus dengan putra meskipun banyak yang menentang tidak setuju.

Dalam konteks HMI, di antara nalar “zamanmu lain” itu sentuhan inovasi terbaik generasi HMI terdahulu sebagai fondasi juga refleksi untuk kemajuan organisasi pengkaderan sekarang. Menurut Kanda?
Memang sentuhan itu adalah realita zamannya masing-masing agar terjadi kesinambungan historis dari tradisi baik yang telah ada pada zaman lalu. Tetapi, itu tergantung Anda yakin atau tidak dalam praktik kaderisasi yang semestinya senantiasa berkesinambungan. Dalam hal ini masih ada contoh yang diberikan KH Imam Zarkasyi. Seorang tokoh dari Padang bertanya kepada beliau, “Pak Kiai, nanti siapa yang akan mengantikan Pak Kiai?” Pertanyaan ini pernah ditanyakan KH Syukri Zarkasyi (putra Imam Zarkasyi, red) kepada saya. Jawaban yang saya berikan juga sama persis dengan jawaban KH Imam Zarkasyi kepada tokoh dari Padang itu. “Saya seorang pendidik dan tidak pernah meragukan siapa penggantinya karena semua anak didik saya akan tampil”. Saya meminjam jawaban dari ayahnya sendiri. Ini jawaban yang sang bervisi, apakah seperti Majalah Anda: Visi Kita? (Hahaha).

 

Naskah ini dikutip dari Rubrik Liputan Utama/Wawancara Majalah Visi Kita edisi 25 tahun 2006, ditulis Alfi Rahmadi dan diterbitkan Majelis Nasional KAHMI.

Artikel Panji Gumilang: Saya seorang pendidik dan tidak pernah meragukan siapa penggantinya pertama kali tampil pada KAHMI Nasional.

]]>
9288
Sekjen KAHMI: Kader diharapkan Miliki Intelektualitas yang Berbasis Integritas https://www.kahminasional.com/sekjen-kahmi-kader-diharapkan-miliki-intelektualitas-yang-berbasis-integritas/ Sat, 16 Jul 2022 07:43:25 +0000 https://www.kahminasional.com/?p=8894 Kahminasional.com, JAKARTA- Sekretaris Jenderal (Sekjen) Majelis Nasional (MN) Korps Alumni Himpunan Mahasiswa Islam (KAHMI), Manimbang Kahariadi beharap kader HMI memiliki intelektualitas yang berbasis integritas. Menurut Manimbang sapaannya, hal itu merupakan bagian dari usaha kader HMI untuk mengukir kualitas kepemimpinannya. Hal ini tidak saja akan menentukan kualitas kepemimpinannya ke depan saat terjun ke masyarakat. Namun juga […]

Artikel Sekjen KAHMI: Kader diharapkan Miliki Intelektualitas yang Berbasis Integritas pertama kali tampil pada KAHMI Nasional.

]]>
Kahminasional.com, JAKARTA- Sekretaris Jenderal (Sekjen) Majelis Nasional (MN) Korps Alumni Himpunan Mahasiswa Islam (KAHMI), Manimbang Kahariadi beharap kader HMI memiliki intelektualitas yang berbasis integritas.

Menurut Manimbang sapaannya, hal itu merupakan bagian dari usaha kader HMI untuk mengukir kualitas kepemimpinannya.

Hal ini tidak saja akan menentukan kualitas kepemimpinannya ke depan saat terjun ke masyarakat.

Namun juga menjadi penyemangat yang penting, agar kader menempa terus kualitas intelektual integritasnya itu.

Para kader HMI harus memadukan rutinitas akademik, dengan komitmen yang kuat untuk menjadi agen perubahan sosial.

Manimbang sampaikan hal itu saat orasi ilmiah di Acara Latihan Dasar Bantuan Hukum, Lembaga Bantuan Hukum HMI Cabang Ciputat.

Acara tersebut berlansung hari Kamis (14/07/2022) di Villa Pemuda Kawasan Depok, Jawa Barat (Jabar)

Hadir pada acara tersebut, Bakornas Lembaga Hukum Mahasiswa Islam dan Ketua HMI Cabang Ciputat.

Selain itu Ketua Panitia, dan beberapa kader HMI yang menjadi peserta kegiatan tersebut nampak ikut meramaikan acara itu.

Menurut Manimbang, kemampuan intelektual tanpa integritas yang kuat, menyebabkan ketidak seimbangan.

Hal itu membawa para pemimpin hanya mengandalkan kemampuan rasionalitas, profesionalitas, serta kualifikasi akademik.

Pemimpin tak akan berkemampuan kuat untuk membangun kesadaran diri yang konsisten dan berkelanjutan.

Pemimpin tak akan memiliki kesadaran sebagai agen perubahan sosial.

Kesadaran sebagai satu kekuatan moral dalam memperjuangkan kebenaran, keadilan, dan rasionalitas.

Selain itu, intelektualitas yang hanya bertumpu pada kesadaran rasio, pasti mendahulukan kegiatan praktis akademik.

“Seperti penelitian, pemanfaatan, rekayasa, eksploitasi, untuk kepentingan ilmu dan pribadi semata,” kata Manimbang.

Hal itu akan mengurangi perhatian terhadap penguatan kadar intelektual berbasis integritas.

“Yaitu tumbuhnya kesadaran kritis, komitmen tinggi dan empati kuat terhadap persoalan yang terjadi di masyarakat,” ujar Manimbang.

Para intelektual perlu juga berjuang menegakkan kebenaran, keadilan, dan perjuangan kemanusiaan.

Mahasiswa sebagai kaum intelektual perlu suarakan komitmen itu, sebagai kekuatan moral dalam rangka mengawal perjalanan bangsa ini.

Kualitas intelektual yang berbasis integritas akan menempatkan pemimpin itu menjaga kekuatan moral,

“Menjadi terpercaya. Kemudian menjaga sikap amanah, terpeliharanya sikap jujur dan tentu saja berperilaku yang meneladani,” kata Manimbang

Menurut Manimbang, kader HMI itu sesungguhnya telah mengukir kualifikasi kualitas kepemimpinannya secara menyeluruh dan berorientasi ke masa depan.

Hal itu tertera dalam tujuan HMI yang seharusnya menjadi pedoman dalam melakukan berbagai aktifitas.

Kader HMI mengenal tujuan itu dengan 5 insan cita.

“Isan akademis pencipta, pengabdi yang bernafaskan islam dan bertanggungjawab atas terwujudnya masyarakat adil makmur yang diridhai Allah,” ungkap Manimbang.

Manimbang, menjelaskan, bahwa 5 insan cita itu menempatkan kapasitas dan kemampuan intelektualitas yang harus menjadi orientasi dan atensi para kader HMI.

Para kader HMI, menujukan bobot kualitas kekuatan dan kemampuan intelektualitasnya bukan hanya mengejar prestasi akademik

Tapi juga berinovasi dalam rangka melaksanakan tugas tugas pengabdian.

Kapasitas intelektualitas kader HMI itu akan terbentuk secara paripurna apabila kader HMI itu tidak saja terjebak pada rutinitas akademik.

“Tapi juga dibarengi dengan perhatian terhadap persoalan yang terjadi di masyarakat,” kata Manimbang.

Manimbang pun berpesan kepada kader HMI

“Para kader HMI yang akan jadi pemimpin agar tidak menyia-nyiakan kesempatan selama beraktifitas di KAHMI,” tutur Manimbang

Artikel Sekjen KAHMI: Kader diharapkan Miliki Intelektualitas yang Berbasis Integritas pertama kali tampil pada KAHMI Nasional.

]]>
8894
Kepada Kader HMI, Koorpres FORHATI Tekankan Pentingnya Kemandirian https://www.kahminasional.com/kepada-kader-hmi-koorpres-forhati-tekankan-pentingnya-kemandirian/ Mon, 06 Jun 2022 05:38:40 +0000 https://www.kahminasional.com/?p=8849 Kahminasional.com, Manado – Koordinator Presidium Majelis Nasional Forum Alumni HMI-Wati (MN FORHATI), Hanifah Husein, menyatakan, perlu kemandirian dalam menghadapi orang-orang sombong dan tamak. “Sikap kemandirian itu kita tidak tergantung kepada manusia, namun hanya semata-mata kepada Allah,” katanya dalam pidato di sela-sela Kongres Himpunan Mahasiswa Islam Majelis Penyelamat Organisasi (HMI MPO) di Kota Manado, Sulawesi Utara. […]

Artikel Kepada Kader HMI, Koorpres FORHATI Tekankan Pentingnya Kemandirian pertama kali tampil pada KAHMI Nasional.

]]>
Kahminasional.com, Manado – Koordinator Presidium Majelis Nasional Forum Alumni HMI-Wati (MN FORHATI), Hanifah Husein, menyatakan, perlu kemandirian dalam menghadapi orang-orang sombong dan tamak.

“Sikap kemandirian itu kita tidak tergantung kepada manusia, namun hanya semata-mata kepada Allah,” katanya dalam pidato di sela-sela Kongres Himpunan Mahasiswa Islam Majelis Penyelamat Organisasi (HMI MPO) di Kota Manado, Sulawesi Utara.

Hanifah melanjutkan, dirinya mendapatkan pengalaman berharga tentang kemandirian dari dunia bisnis yang digelutinya selama puluhan tahun terakhir. Menurutnya, kemandirian membuat kita sejahtera dan memungkinkan berbagi dengan sesama.

“Untuk itu, saya meyakini dengan sepenuh jiwa bahwa sejatinya kemandirian itu adalah satu tarikan nafas dengan ketauhidan. Allah telah menganugerahi kita semua dengan akal sebagai alat pembeda kebenaran dan kebatilan. Di sinilah Allah menegaskan agar kita menggunakan akal untuk membedakan dengan makhluk ciptaan-Nya yang lain,” tuturnya.

“Kita mesti secara tegas mengelompokkan diri sebagai manusia beriman dan berakal. Dengan keimanan yang utuh kepada Allah, kita akan memiliki benteng pertahanan yang kokoh sebagai modal menjalani hidup yang semakin kompetitif,” imbuh dia.

Direktur Utama PT Insan Cita Mandiri Sejahtera (ICMS) ini menambahkan, kita akan mampu menginstal sikap kemandirian dengan berharap kekuatan Allah di dalam jiwa. “Untuk itulah, kita harus kembali kepada Allah dan menuju jalan-jalan Allah.”

Di sisi lain, Hanifah berpesan agar kader-kader HMI mengedepankan persatuan dan kesatuan serta menjauhi perkelahian. Alasannya, pertengkaran bakal meruntuhkan dan melemahkan kekuatan serta menghancurkan diri sendiri.

“Percayalah, bahwa dengan bersatu, kita akan disayang Allah, dicinta Allah, dan dibantu sepenuhnya oleh Allah,” pungkasnya.

Artikel Kepada Kader HMI, Koorpres FORHATI Tekankan Pentingnya Kemandirian pertama kali tampil pada KAHMI Nasional.

]]>
8849
Koorpres FORHATI: Kemiskinan dan Penderitaan Lunturkan Ketauhidan Umat https://www.kahminasional.com/koorpres-forhati-kemiskinan-dan-penderitaan-lunturkan-ketauhidan-umat/ Mon, 06 Jun 2022 02:21:54 +0000 https://www.kahminasional.com/?p=8828 Kahminasional.com, Manado – Koordinator Presidium Majelis Nasional Forum Alumni HMI-Wati (MN FORHATI), Hanifah Husein, menyatakan, dunia terus berubah dan bergerak dengan cepat. Perubahan berlangsung dengan dahsyat, total, elementer, masif, dan tiada henti. “Ini era di mana dunia sedang mencari pola-pola keseimbangan baru yang mungkin tidak pernah manusia pikirkan,” ucapnya dalam pidato di sela-sela Kongres Himpunan […]

Artikel Koorpres FORHATI: Kemiskinan dan Penderitaan Lunturkan Ketauhidan Umat pertama kali tampil pada KAHMI Nasional.

]]>
Kahminasional.com, Manado – Koordinator Presidium Majelis Nasional Forum Alumni HMI-Wati (MN FORHATI), Hanifah Husein, menyatakan, dunia terus berubah dan bergerak dengan cepat. Perubahan berlangsung dengan dahsyat, total, elementer, masif, dan tiada henti.

“Ini era di mana dunia sedang mencari pola-pola keseimbangan baru yang mungkin tidak pernah manusia pikirkan,” ucapnya dalam pidato di sela-sela Kongres Himpunan Mahasiswa Islam Majelis Penyelamat Organisasi (HMI MPO) di Kota Manado, Sulawesi Utara.

“Perubahan dunia ini bukan hanya dikendalikan oleh otak manusia, tetapi lebih jauh dari itu, dikendalikan nyaris sepenuhnya oleh mesin-mesin digital yang dibuatnya sendiri,” imbuh dia.

Hanifah melanjutkan, pergerakan oleh mesin-mesin tersebut berlangsung tanpa henti setiap detik hingga tahunnya. Namun, ada makna terdalam yang dapat digali dari perubahan tersebut.

“Sebagai kelompok kaum beriman, saya menyadari bahwa pergerakan dari perubahan itu pasti ada yang menggendalikan. Sebab, perubahan itu sangat dahsyat, menyentuh kehidupan kita yang esensial,” jelasnya.

“Saya pribadi meyakini pula bahwa perubahan itu hanya Allah yang mengendalikannya. Di situlah pentingnya kita kembali kepada Allah Rabbul Izzati. Allah adalah penyebab utama dalam hidup kita, Allah jualah yang mematikan kita, termasuk mematikan kerja mesin-mesin yang berputar sangat cepat itu,” tambahnya.

Karenanya, Hanifah mengajak para kader HMI sebagai aktivis pergerakan Islam menyadari tanda-tanda ketauhidan tersebut sebagai bukti kita tetap beriman kepada Allah Swt.

“Bukan seperti orang-orang yang larut dalam kecanggihan informasi dan semata-mata hanya menjadi hamba dari benda-benda dan kemewahan dunia,” ujar Direktur Utama PT Insan Cita Mandiri Sejahtera (ICMS) ini.

Sayangnya, ungkap Hanifah, situasi ketauhidan mulai luntur akibat kemiskinan dan penderitaan yang dialami umat muslim. Dampaknya, antarumat mudah terpecah belah.

“Kita semakin mudah terjebak oleh jebakan dan tarikan materialisme, hedonisme, dan pragmatisme yang melampaui batas-batas kewajaran,” tegasnya. “Melampuai batas itu, dalam pandangan Islam sebagai jalan hidup, kita adalah sesuatu yang dimurka Allah.”

Dirinya mengingatkan, Allah sangat benci orang-orang yang melampaui batas. “Untuk itu, terhadap orang-orang sombong, kita harus bersikap tegas sebagai wujud dari ekspresi ketauhidan kita kepada Allah Yang Maha Mengendalikan,” serunya.

Artikel Koorpres FORHATI: Kemiskinan dan Penderitaan Lunturkan Ketauhidan Umat pertama kali tampil pada KAHMI Nasional.

]]>
8828
Ahmad Doli Kurnia Lantik MW KAHMI Sulsel https://www.kahminasional.com/ahmad-doli-kurnia-lantik-mw-kahmi-sulsel/ Tue, 24 May 2022 07:27:40 +0000 https://www.kahminasional.com/?p=8780 Kahminasional.com, Makassar – Kepengurusan Majelis Wilayah (MW) Korps Alumni Himpunan Mahasiswa Islam (KAHMI) Sulawesi Selatan masa bakti 2022-2027 resmi dilantik, Sabtu (21/5), di Hotel Four Points, Makassar. Pelantikan itu dihadiri langsung oleh Koordinator Presidium Majelis Nasional (MN) KAHMI Ahmad Doli Kurnia Tandjung, serta Gubernur Sulawesi Selatan Andi Sudirman. Doli yang juga Ketua Komisi II DPR […]

Artikel Ahmad Doli Kurnia Lantik MW KAHMI Sulsel pertama kali tampil pada KAHMI Nasional.

]]>
Kahminasional.com, Makassar – Kepengurusan Majelis Wilayah (MW) Korps Alumni Himpunan Mahasiswa Islam (KAHMI) Sulawesi Selatan masa bakti 2022-2027 resmi dilantik, Sabtu (21/5), di Hotel Four Points, Makassar.

Pelantikan itu dihadiri langsung oleh Koordinator Presidium Majelis Nasional (MN) KAHMI Ahmad Doli Kurnia Tandjung, serta Gubernur Sulawesi Selatan Andi Sudirman.

Doli yang juga Ketua Komisi II DPR RI itu mengatakan, pengurus KAHMI merupakan aset berharga bagi Sulsel. Menurut dia, KAHMI merupakan mitra strategis untuk mempercepat pembangunan di daerah tersebut.

“Mereka ini adalah aset strategis yang bisa mempercepat pembangunan di Sulsel. Saya titip kepada Pak Gubernur Sulsel,” tambah Doli.

Dalam kesempatan itu, Doli mengucapkan selamat menjalankan tugas dan amanah baru kepada Koordinator Presidium Majelis Wilayah KAHMI Sulsel Muhammad Natsir dan jajaran pengurusnya.

Koordinator Presidium MN KAHMI Ahmad Doli Kurnia saat melantik Presidium MW KAHMI Sulawesi Selatan, Sabtu (21/5). FOTO: Ist

Doli juga menyampaikan harapannya agar pengurus bisa menjalankan fungsi dan tugas utamanya, yakni menjaga eksistensi HMI.

“Kita harus sadar betul bahwa KAHMI ini ada karena HMI. Tidak mungkin ada KAHMI kalau tidak ada HMI. Oleh karena itu, kewajiban kita adalah bagaimana menjaga eksistensi HMI,” ujar Bang Doli dalam sambutannya.

Politisi Partai Golkar ini mengilustrasikan HMI seperti sumber mata air yang harus dijaga agar tetap jernih. “Seperti yang saya katakan tadi, KAHMI itu ada karena ada air. Jadi kalau sumber mata airnya kering tentu tidak lagi berproduksi, maka tinggal tunggu waktu pasti KAHMI akan mati,” tegasnya.

Karena itu, Doli menitip pesan tugas utama KAHMI adalah merawat sumber mata airnya, yakni HMI. Pesan kedua Doli, KAHMI juga harus bisa menggaransi, menjamin, dan memastikan sumber mata air ini tetap jernih atau tidak kotor. Terlebih lagi tidak terkontaminasi.

“Biarkanlah proses pengkaderan adik-adik kita berjalan original yang memang ada sejak dulu. Jangan kita kotori, karena kalau dari awal ngajarin adik-adik kita ini mengolah-olah, maka nanti tinggal nunggu waktu saja akhirnya juga dari KAHMI akan malah mengolahnya lebih canggih lagi,” papar Doli.

Lebih jauh, Doli menyatakan, jika di hulunya sudah terkontaminasi racun, maka pasti ujungnya di hilirnya tidak berkulitas. “Jadi selain secara kuantitas kita harus juga menjaga kualitas pengkaderan adik-adik kita,” jelasnya.

Artikel Ahmad Doli Kurnia Lantik MW KAHMI Sulsel pertama kali tampil pada KAHMI Nasional.

]]>
8780
Narasi Kewiraan nan Menyemangati https://www.kahminasional.com/narasi-kewiraan-nan-menyemangati/ Wed, 11 May 2022 19:11:31 +0000 https://www.kahminasional.com/?p=8726 Oleh Iqbal Setyarso, Alumnus HMI Cabang Palu dan FISIP Universitas Tadulako Palu serta Penasihat Indonesia Care Yogyakarta memang sarat percikan kewiraan. Ada tiga narasi kewiraan negeri ini. Narasi pertama, peristiwa bertarikh 23 Juli 1947 atau bertepatan 17 Ramadan 1366, diceritakan ulama Yogyakarta tengah bermusyawarah sehabis salat Lail dan iktikaf, bermunajat kepada Allah Swt di Masjid […]

Artikel Narasi Kewiraan nan Menyemangati pertama kali tampil pada KAHMI Nasional.

]]>
Oleh Iqbal Setyarso, Alumnus HMI Cabang Palu dan FISIP Universitas Tadulako Palu serta Penasihat Indonesia Care

Yogyakarta memang sarat percikan kewiraan. Ada tiga narasi kewiraan negeri ini. Narasi pertama, peristiwa bertarikh 23 Juli 1947 atau bertepatan 17 Ramadan 1366, diceritakan ulama Yogyakarta tengah bermusyawarah sehabis salat Lail dan iktikaf, bermunajat kepada Allah Swt di Masjid Taqwa, Jalan Suronatan, Yogyakarta. Hasil pertemuan itu, ulama bertekad membentuk badan perjuangan dengan nama Markas Ulama Angkatan Perang Sabil (MUAPS), disebut ringkas Angkatan Perang Sabil.

Badan perjuangan ini bertujuan membantu pemerintah RI dalam menghadapi kesulitan menanggulangi musuh yang akan merobohkan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Para ulama itu mengutus Ki Bagus Hadi Kusuma, KH Mahfud Siraj, dan KH Ahmad Badawi untuk menyampaikan kebulatan tekad ulama Yogyakarta ke hadapan Sri Sultan Hamengku Buwana IX. Maksud kebulatan tekad itu disambut baik, yang kemudian Sri Sultan mengeluarkan keputusan persetujuan doa restunya sekaligus menghubungkannya dengan Panglima Besar Sudirman.

Narasi kedua, bertarikh 5 Februari 1947, bertepatan 14 Rabiualawal 1366. Atas prakarsa Lafran Pane bersama 14 kawannya mahasiswa Sekolah Tinggi Islam (yang kemudian menjadi Universitas Islam Indonesia/UII), berdiri organisasi mahasiswa. Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) adalah organisasi mahasiswa yang didirikan di Yogyakarta. Semangat pendiriannya dilandasi tujuan terbinanya insan akademis, pencipta, pengabdi yang bernapaskan Islam dan bertanggung jawab atas terwujudnya masyarakat adil makmur yang diridai Allah Swt.

HMI merupakan organisasi kemahasiswaan, perkaderan, dan perjuangan. Kekayaan HMI adalah gagasan dan intelektualitas kader-kadernya. “Kekayaan gagasannya menjadi intangible assets”, salah satunya ditunjukkan dengan kontribusi konkretnya dalam berpartisipasi di berbagai bidang kehidupan, termasuk partisipasi kader-kader terbaiknya di pemerintahan dan instansi. Sejumlah figur publik yang amat dikenal, termasuk beberapa tokoh yang telah tiada, menorehkan catatan emas dalam pengabdiannya bagi Indonesia dan dunia.

Narasi ketiga, Diponegoro–culture hero Tanah Jawa yang amat fenomenal. Namanya masyhur. Mujahid yang Sultan Ngabdul Hamid Sani Erucakra kabirul mukminin sayyidin panatagama Rasulillah sallallahu alaihi wasallam ing tanah Jawa. Orang alim nan salih ini memiliki orang kepercayaan, Sentot Ali Basya, juga seorang guru, Kiai Modjo. Dikitari orang-orang ikhlas, kewiraannya dilakoni hingga ajal menjemput. Pada kemudian hari, Diponegoro mengimami perang sabil (perang Jawa) yang menguras keuangan penjajah Belanda.

Di pihak Belanda, tentara pribumi maupun orang Belanda, tewas tidak kurang 15.000 jiwa, sementara di pihak orang Jawa syahid tidak kurang dari 200.000 jiwa. Jumlah dana yang dihabiskan mencapai 20.000.000 gulden, angka yang sangat besar pengabdian ketika itu. Kepada Diponegoro, konon rakyat Belgia–yang dulu dikuasai Belanda–berterima kasih karena secara tidak langsung Belgia merdeka dari Belanda gara-gara ekonomi Belanda morat-marit. Narasi kewiraan Diponegoro menjadi inspirasi berkelanjutan bahkan setelah Indonesia merdeka.

Urgensi Merawat Narasi
Merawat narasi sama sekali jauh dari tendensi unjuk kejemawaan diri. Satu sisi, dalam diri kita sebagai anak bangsa ada sepercik kewiraan, sebuah elan kejuangan dengan itu kita mewarnai kehidupan. Di sisi lainnya, ada semangat “menjadi” dan maujud kebaikan untuk sesama dengan itu kita memiliki makna. Kejuangan dan kebermaknaan menjadi alasan eksistensi kita dalam kehidupan. Pertanyaan substansial bermunculan, siapakah kita? Dari mana kita? Siapa pencipta kita? Ke mana kita akan kembali setelah kehidupan ini? Serangkaian pertanyaan itu diringkas Syaikh Yusuf Qaradhawi dengan tiga pertanyaan mendasar, dari mana saya? Mau ke mana saya? Kenapa saya diciptakan? Ketiga pertanyaan itu diuraikan demikian oleh fukaha.

Pertama, dari mana kita berasal? Pertanyaaan ini sangat bermasalah bagi kelompok materialisme yang tidak beriman kecuali pada hal-hal yang bisa dilihat dan diraba. Mereka tidak peduli panggilan fitrahnya. Mereka mengagung-agungkan akalnya yang pada akhirnya mereka dalam kebutaan yang mendalam sehingga mereka mengatakan, bahwa alam dan seisinya, yang penataannya penuh dengan keindahan, terjadi dengan sendirinya tanpa ada yang menciptakan.

Berbeda dengan mereka yang peduli dan memperhatikan panggilan suara fitrahnya. Mereka menegaskan, bahwa di balik keindahan alam dan seisinya ini ada Allah yang menciptakan, mengatur, dan menjaganya. Dan kepada Allah, hati nurani manusia berhubungan dengan penuh pengagungan, harapan, tawakal, dan pertolongan. Hal itulah yang mereka rasakan dalam hati nurani mereka dengan secara mendasar. Dan inilah agama Allah yang disinyalir dalam Al-Qur’an Surat Ar-Ruum sebagai berikut yang artinya, “Maka, hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama [Allah]; [tetaplah atas] fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah. [Itulah] agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.” (QS Ar-Ruum: 30)

Tak dapat dipungkiri bahwa panggilan fitrah itu berada dan berbisik dalam diri manusia baik dalam keadaan senang maupun susah. Buktinya, ketika ia mengalami suatu kejadian yang terus-menerus, takut kembali pada kejadian yang menakutkan dan harapannya dikecewakan oleh manusia sekitarnya, maka saat itulah panggilan suara fitrah itu menjerit-jerit, mengadu kepada Sang Pemilik Segala Alam.

Suatu ketika, ada seorang bertanya kepada Ja’far al-Shodiq RA tentang eksistensi Allah. Seorang itu mengakatakan, “Apakah kamu pernah mengendarai perahu?” Ja’far al-Shodiq RA menjawab, “Ya”. Kemudian, seorang itu bertanya lagi, “Apakah pernah terlintas dalam benak Anda, bagaimana andai kata perahu yang Anda tumpangi ini diserbu angin besar, kemudian terbalik, sementara pada saat itu tidak ada cara atau seseorang yang dapat menolongnya?” Dia menjawab, “Ya”. Terus, pertanyaan terakhir yang dilontarkan seorang itu adalah, “Apakah Anda merasa saat itu akan ada Zat yang dapat menolongmu jika ia berkehendak?” Dijawab oleh Ja’far al-shodiq RA, “Betul”. “Nah, itulah Allah,” cetus seorang itu.

Kenyataan di atas telah diperkuat oleh beberapa ayat Al-Qur’an, di antaranya adalah Surat Az-Zumar, yang artinya, “Dan apabila manusia itu ditimpa kemudaratan, dia memohon [pertolongan] kepada Tuhannya dengan kembali kepada-Nya.” (Az-Zumar: 8)

Kedua, mau ke mana manusia setelah mati? Pada pertanyaan yang kedua pun kelompok materialisme juga menyalahkan dan berusaha untuk menjawab dengan jawaban yang merendahkan dan membuat manusia hina. Dengan gampangnya mereka mengatakan, perjalanan manusia berakhir sesuai dengan akhir hidupnya. Dia akan kembali lagi ke asalnya menjadi debu yang berterbangan dibawa angin tanpa ada konsekuensi selanjutnya.

Bagi mereka yang beriman, mereka tahu akan kembali ke mana, mereka sadar bahwa mereka tidak diciptakan bukan untuk dunia, tetapi mereka mengerti betul jika dunia itu diciptakan untuknya. Dan lebih dari itu, sampai pada akhir pemahaman dan kesimpulan bahwa mereka diciptakan untuk kehidupan abadi (akhirat), sementara hidup di dunia ini cuma sebagai ladang persiapan untuk dijadikan bekal menuju ke sana, sampai akhirnya mereka menyandang kalung yang bertuliskan salamun alaikum, tibtum fadkhuluha kholidiina. (QS Az-Zumar: 73)

Sulit bagi akal yang kotor memercayai dan mengimani Sang Pencipta yang menciptakan alam ini dengan penuh penataan yang sangat indah sekali jika masih memercayai bahwa kehidupan ini akan berakhir dengan kefanaan. Jika masih mengimani bawa tak akan ada tangan Tuhan yang akan membalas orang-orang yang sukanya mencuri, merampok, mencopet, dan membuat kerusakan yang lainnya dan juga tak ditemukan pertolongan Allah bagi orang-orang yang lemah dan terzalimi. Hal ini adalah kesia-siaan dan mainan. Sementara, Allah jauh dan disucikan dari itu semua sesuai dengan firmannya yang artinya, “Apakah manusia mengira bahwa ia akan dibiarkan begitu saja [tanpa pertanggung jawaban]?” (QS. Qiyamah: 36). Dan banyak lagi ayat yang menyinggung tentang hal ini.

Ketiga, kenapa manusia itu diciptakan? Pertanyaan ketiga inilah yang wajib manusia tanyakan setelah ia tahu tentang dirinya sebagai karya cipta dari sang pencipta Allah Azza wa Jalla. Kenapa ia diciptakan ke dunia ini? Kenapa ia dibedakan dari jumlah karya cipta yang lainnya? Dan apakah misi dan fungsi saya didunia ini? Jawabannya adalah bahwa setiap Pencipta pasti tahu tentang rahasia ciptaan-Nya dengan bentuknya yang berbeda-beda. Sedangkan Allah adalah satu-satunya Zat yang menciptakan, mengatur, dan menjaga manusia.

Kemudian, coba kita tanyakan, Ya, Allah, kenapa engkau menciptakan manusia? Apakah engkau menciptakannya untuk makan dan minum saja? Apakah engkau menciptakan-Nya hanya menjadi hiasan saja? Dan beberapa pertanyaan yang lainnya. Dengan halusnya Allah membantah semua pertanyaan itu dengan ayat yang artinya, “Ingatlah, ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat, ‘Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi’, mereka berkata, ‘Mengapa Engkau hendak menjadikan khalifah di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan menyucikan Engkau?’ Tuhan berfirman, ‘Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang kamu tidak ketahui.'” (SQ. Al-Baqarah: 30)

Ayat di atas sudah sangat jelas mengatakan, bahwa peranan, misi, dan fungsi manusia di dunia ini adalah sebagai khalifah yang ditugas langsung oleh Allah Azza wa Jalla. Namun, hal pertama yang perlu diperhatikan dengan tajam oleh manusia sebagai khalifah adalah mengetahui Tuhannya dan beribadah kepada-Nya dengan sungguh-sungguh dan benar karena hal itu merupakan panggilan awal dari setiap risalah kenabian yang dikuatkan oleh firmannya yang artinya, “Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku. Aku tidak menghendaki rezeki sedikitpun dari mereka dan Aku tidak menghendaki supaya mereka memberi Aku makan.” (QS. Adz Dzariyat: 56).

Jiwai Sejarah, Hikmati Anugerah-Nya
Kita syukuri Allah menganugarahkan memori, baik yang tertulis, terdata rapi pada zaman serba digital ini, atau “memori yang kita rekam dalam ingatan”. Semua kita jiwai, kita hikmati sebagai pemberian-Nya, anugerah-Nya agar kita menjadikannya pembelajaran, bukan sekadar sebagai bahan belajar tanpa efek keinsafan dan kesungguhan menyerapnya. Kalau itu sudah mengefek pada diri kita, insyaallah kita menuju proses menjadi hamba-Nya yang beruntung.

Artikel ini ingin mengajak diri kita, termasuk pribadi saya, menjiwai dan menghikmati, setidaknya bertolak dari tiga narasi kewiraan yang saya sampaikan ini: tentang HMI dan sekelumit kelahirannya, tentang Angkatan Perang Sabil, dan tentang mujahid besar bernama Diponegoro. Lokus ketiganya di Yogyakarta.

Kita bersama menanti, apakah narasi keempat itu lokusnya Palu? Kitalah penentunya, akan bagaimana kiprah kita sehingga Munas XI KAHMI nanti akan menorehkan sejarah atau hanya menjadi sejarah (saja)!

Artikel Narasi Kewiraan nan Menyemangati pertama kali tampil pada KAHMI Nasional.

]]>
8726
Alhamdulillah, Polisi Bebaskan 3 Aktivis HMI yang Ditahan saat Aksi https://www.kahminasional.com/alhamdulillah-polisi-bebaskan-3-aktivis-hmi-yang-ditahan-saat-aksi/ Sat, 23 Apr 2022 11:56:19 +0000 https://www.kahminasional.com/?p=8566 Kahminasional.com, Jakarta – Polisi akhirnya membebaskan ketiga aktivis Pengurus Besar Himpunan Mahasiswa Islam (PB HMI) yang sempat ditahankan saat menggelar aksi di depan Istana, Jakarta, pada Jumat (22/4). Ketiganya dibebaskan pada hari ini (Sabtu, 23/4). Mereka adalah Ketua Bidang PTKP PB HMI, Akmal Fahmi; Andi Kurniawan; dan Imam. “Alhamdulillah sahabat kita, tiga aktivis HMI yang […]

Artikel Alhamdulillah, Polisi Bebaskan 3 Aktivis HMI yang Ditahan saat Aksi pertama kali tampil pada KAHMI Nasional.

]]>
Kahminasional.com, Jakarta – Polisi akhirnya membebaskan ketiga aktivis Pengurus Besar Himpunan Mahasiswa Islam (PB HMI) yang sempat ditahankan saat menggelar aksi di depan Istana, Jakarta, pada Jumat (22/4).

Ketiganya dibebaskan pada hari ini (Sabtu, 23/4). Mereka adalah Ketua Bidang PTKP PB HMI, Akmal Fahmi; Andi Kurniawan; dan Imam.

“Alhamdulillah sahabat kita, tiga aktivis HMI yang ditahan saat aksi di Istana, Jumat kemarin, sudah dibebaskan,” ujar Ketua Komite I DPD RI, Fachrul Razi, dalam keterangannya.

Senator asal Aceh ini pun menyampaikan terima kasih atas doa dan dukungan semua pihak, khususnya kader dan simpatisan HMI se-Indonesia.

“Yang telah ikut serta memberikan dukungannya untuk menyuarakan keadilan atas penangkapan aktivis yang ditahan saat aksi menyuarakan keadilan menuntut pembelaan hak asasi manusia bagi kadernya yang diduga mendapatkan kriminalisasi hukum atas tuduhan sebagai pelaku begal.

Sebelumnya, Fachrul menuntut Kapolri, Jenderal Listyo Sigit Prabowo, membebaskan ketiga aktivis HMI yang ditahan saat menggelar unjuk rasa.

Salah satu alasannya, penangkapan itu menimbulkan keresahan di kalangan HMI, baik di Jakarta maupun seluruh Indonesia.

“Jangan gara-gara oknum polisi yang melakukan penangkapan akan berimbas masif di seluruh Indonesia, aktivis HMI akan melakukan aksi lanjutan. Ini akan merusak nama baik Kapolri Sigit yang selama ini dekat dengan mahasiswa,” tuturnya. “Saya minta segera dibebaskan.”

 

Artikel Alhamdulillah, Polisi Bebaskan 3 Aktivis HMI yang Ditahan saat Aksi pertama kali tampil pada KAHMI Nasional.

]]>
8566
Arwani Thomafi Beberkan Berkah HMI Pimpin PBNU https://www.kahminasional.com/arwani-thomafi-beberkan-berkah-hmi-pimpin-pbnu/ Mon, 11 Apr 2022 16:06:45 +0000 https://www.kahminasional.com/?p=8428 Kahminasional.com, Jakarta – Keluarga besar alumni Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Yogyakarta bersama Yayasan Amal Insani mengadakan buka puasa bersama (bukber) dan temu kangen, Senin (11/4). Kegiatan berpusat di Gedung Serbaguna Rumah Jabatan Anggota DPR Kalibata, Jakarta Selatan (Jaksel). Selaku tuan rumah yang juga Sekretaris Jenderal DPP Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Arwani Thomafi, bersyukur dan bangga […]

Artikel Arwani Thomafi Beberkan Berkah HMI Pimpin PBNU pertama kali tampil pada KAHMI Nasional.

]]>
Kahminasional.com, Jakarta – Keluarga besar alumni Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Yogyakarta bersama Yayasan Amal Insani mengadakan buka puasa bersama (bukber) dan temu kangen, Senin (11/4).

Kegiatan berpusat di Gedung Serbaguna Rumah Jabatan Anggota DPR Kalibata, Jakarta Selatan (Jaksel).

Selaku tuan rumah yang juga Sekretaris Jenderal DPP Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Arwani Thomafi, bersyukur dan bangga menjadi alumni HMI.

Diakuinya, banyak ilmu dan pelajaran yang didapat semasa menjadi aktivis HMI di Yogyakarta hingga dirinya kini berkarier di Senayan dan menjadi elite PPP.

“Di HMI, saya belajar kemajemukan dalam Islam. Ketika masuk HMI, saya bertemu dengan latar belakang mazhab dan organisasi sehingga bisa mendapatkan wawasan dan pergaulan yang begitu luas,” tuturnya.

Pengalaman itu, sambungnya, memberikan manfaat dan membuka cakrawala berpikir. Pun dipraktikkan di PPP.

“Alhamdulillah, kenangan luar biasa. Itu yang senang dari HMI. Berkahnya banyak sekali,” ungkap alumnus Fakultas Syariah UIN Sunan Kalijaga ini.

Lebih jauh, Arwani menyinggung kiprah alumni HMI yang baru saja berhasil memimpin Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) 2021-2026, KH Cholil Yahya Staquf dan Saifullah Yusuf.

“Kemarin, kita bersinergi dengan PBNU, yang Ketuanya HMI dan Sekjennya HMI. Baru kali ini bisa manggung bareng di PBNU,” ungkapnya.

“Ini bukti berkahnya ber-HMI, betul-betul membawa keberkahan,” imbuh dia.

Sementara itu, Ketua Yayasan Amal Insani, Ibrahim Ambong, meminta acara bukber Ramadan dipertahankan. Tujuannya, hubungan erat senior dan junior terus terjalin.

“Alhamdulillah, Yayasan Amal Insani juga akan terus memberikan beasiswa kepada kader-kader HMI Yogyakarta yang sedang menyelesaikan tugas akhir, baik itu di S-1 maupun S-2,” ujarnya.

Acara ini sejumlah tokoh HMI Yogyakarta, seperti Anggota Fraksi PPP DPR, Achmad Baidowi; Anggota DPR Fraksi PAN, Ahmad Yohan; politikus PPP, Lukman Hakim; Anggota BPK 2004-2009, Baharuddin Aritonang; dan Sekjen MN KAHMI 2012-2017, Subandrio.

Artikel Arwani Thomafi Beberkan Berkah HMI Pimpin PBNU pertama kali tampil pada KAHMI Nasional.

]]>
8428
Presidium KAHMI Sulsel Gelar Bukber, Kanda Ulla Sampaikan Pesan Mendalam https://www.kahminasional.com/presidium-kahmi-sulsel-gelar-bukber-kanda-ulla-sampaikan-pesan-mendalam/ Sat, 09 Apr 2022 21:41:16 +0000 https://www.kahminasional.com/?p=8388 Kahminasional.com, Makassar – Presidium Majelis Wilayah Korps Alumni Himpunan Mahasiswa Islam Sulawesi Selatan (MW KAHMI Sulsel), Ni’matullah Erbe, mengadakan buka puasa bersama (bukber) pengurus. Acara berlangsung di kediamannya, Jalan Penjernihan, Kota Makassar, Sulsel, pada Sabtu (9/4). Kegiatan ini guna mempererat silaturahmi antarpengurus. “Ada beberapa teman-teman yang sudah lama tidak kelihatan, akhirnya kembali bertemu. Bahkan, ada […]

Artikel Presidium KAHMI Sulsel Gelar Bukber, Kanda Ulla Sampaikan Pesan Mendalam pertama kali tampil pada KAHMI Nasional.

]]>
Kahminasional.com, Makassar – Presidium Majelis Wilayah Korps Alumni Himpunan Mahasiswa Islam Sulawesi Selatan (MW KAHMI Sulsel), Ni’matullah Erbe, mengadakan buka puasa bersama (bukber) pengurus.

Acara berlangsung di kediamannya, Jalan Penjernihan, Kota Makassar, Sulsel, pada Sabtu (9/4). Kegiatan ini guna mempererat silaturahmi antarpengurus.

“Ada beberapa teman-teman yang sudah lama tidak kelihatan, akhirnya kembali bertemu. Bahkan, ada yang sekitar 20 tahun baru ketemu lagi,” ujar Ulla, sapaan Ni’matullah.

Ketua DPD Partai Demokrat Sulsel 2022-2026 ini menambahkan, pelantikan pengurus KAHMI Sulsel dijadwalkan berlangsung pada Mei 2022. Acara akan dirangkai dengan dialog kebangsaan.

“Itu sesuai hasil rapat di presidium,” jelasnya.

Di sisi lain, Ulla berharap, KAHMI menjadi etalase atau role model organisasi kemasyarakatan (ormas). Setidaknya wadah bagi alumni HMI ini memiliki martabat sekaligus mengedepankan ide dan gagasan.

“Saya kira adik-adik HMI harus diberikan contoh, perlu melihat kakak-kakaknya bahwa ternyata seperti ini HMI seharusnya,” kata Wakil Ketua DPRD Sulsel itu.

“Ada fenomena adik-adik HMI cenderung liar. Tapi, kami lihat masih sebatas normal. Biasa kalau mahasiswa seperti itu,” tuntasnya.

Artikel Presidium KAHMI Sulsel Gelar Bukber, Kanda Ulla Sampaikan Pesan Mendalam pertama kali tampil pada KAHMI Nasional.

]]>
8388