in

Panji Gumilang: Saya seorang pendidik dan tidak pernah meragukan siapa penggantinya

Pengasuh Pondok Pesantren Al-Zaytun, Panji Gumilang. YouTube Al-Zaytun Official
Pengasuh Pondok Pesantren Al-Zaytun, Panji Gumilang. YouTube Al-Zaytun Official

Jakarta, KAHMINasional.com – Wisma Al-Islah terasa hotel bintang empat di tengah pelosok desa. Inilah kesan kuat kami ketika bermalam di lantai 4 kamar 523 Wisma Ma’had Al-Zaytun, sehari penuh, Selasa, 19 September 2006. Pondok pesantren modern yang menyandang sebutan “pusat pendidikan dan pengembangan budaya toleransi serta budaya perdamaian” ini berdiri di areal 1.200 hektare di Desa Haurgeulis, 20 kilometer dari Indramayu, Jawa Barat.

Sekitar pukul 10.30 WIB, pria berposter tubuh besar dan tinggi, ketua yang dituakan pondok pesantren ini, datang ke lantai satu menyapa Fathorrahman Fadli dan Alfi Rahmadi dari Majalah Visi Kita. Biasa disapa Syaikh AS Panji Gumilang, dari nama lengkapnya Abdussalam Rasyidi Panji Gumilang. Ia alumni HMI Cabang Ciputat, tetapi tidak mau disebut alumni, apalagi alumni senior.

Tamat dari Pondok Modern Gontor 1966, ia menuruskan studinya di IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta mengikuti jejak dua seniornya di Gontor: Nurcholis Madjid (Cak Nur), Ketua Umum HMI Cabang Ciputat 1964-1965, dan Abdullah Syukri Zarkasyi, Ketua Lembaga Dakwah Himpunan Islam (LDMI) Cabang ini pada periode yang sama. Dua seniornya ini kuliah di Fakultas Adab, sama dengan Panji Gumilang. Cak Nur menuntaskan studi sarjana penuh (Drs) 1961-1968 dan Syukri Zarkasyi merampungkan studi sarjana muda (BA) 1960-1965.

Sejarah HMI selanjutnya mencatat: Cak Nur terpilih Ketua Umum PB HMI dua periode, 1966-1969 dan 1969-1971, tetapi tidak membuat Cak Nur riang karena pertanda bakal telat menikahi kekasihnya: Omi Komaria. Cak Nur, satu-satunya Ketua Umum PB HMI pemegang mandat dua periode karena “kecelakaan sejarah” nasional. Ia terpilih lagi karena dianggap tokoh muda intelektual Islam paling fasih menjembatani islah antara Masyumi, yang telah dibubarkan pada 1960 dengan senior, dan pemimpin HMI pada zamannya yang sejak awal memiliki sejarah buruk, khususnya mengenai konsep dasar Indonesia serta militansi Masyumi sebagai partai politik Islam.

Menyaksikan secara dekat pergolakan pemikiran Cak Nur merumuskan evolusi landasan HMI dari semula berupa Nilai-nilai Islamisme saat seniornya ini mengemban tugas ketua umum HMI Cabang Ciputat yang kelak berubah menjadi Nilai-nilai Dasar Islam (NDI) dan dibakukan menjadi NDP (1971), Panji Gumilang sampai sekarang tidak pernah menyebut dirinya sebagai alumni HMI. Itu karena ia ingin sepanjang masa menjiwai nilai-nilai dasar perjuangan yang dirumuskan seniornya itu.

Dari NDP itulah Panji Gumilang, yang lahir pada 30 Juli 1946, mengaku kepada kami menjadi salah satu katalisator terwujudnya cita-citanya menjadi “petani” saat ini: petani yang membajak sawah dan ternak sapi dengan teknologi. Di HMI Cabang Ciputat dekade akhir 1960-an, ia ketua Lembaga Pertanian Mahasiswa Islam (LPMI). Berikut perbincangannya:

Hal apa yang membuat Kanda yakin mengelola Ma’had Al-Zaytun ini?
Dari sebuah mimpi. Ketika Anda punya cita-cita dan harapan, maka tuangkan dalam mimpi itu. Belajar membuat mimpi sebetulnya telah kita pelajari dalam HMI. Menjadi insan cita dengan membawa sebuah perubahan baru. Lalu dalam prosesnya, saya yakinkan kepada Anda, yakin usaha sampai! (hahaha).

Ada anggapan moto ini untuk ukuran zaman kini, kata “sampai” dikedepankan terlebih dulu, kemudian yakinnya belakangan. Jadi, wajar menjadi lebih pragmatis dan materialistik. Menurut Kanda?
Tidak bisa! Tanpa keyakinan orang, tidak akan sampai. Dan orang sampai tanpa keyakinan itu biasanya by accident. Itulah yang akan menggagalkan kesampaiaannya. Seperti bangsa dan negara kita saat ini dijalankan dengan sedikit keyakinan sehingga pimpinannya sampai dianulir berkali-kali. Ia belum yakin terhadap plularisme, demokrasi, dan perdamaian sehingga pasang-surut. Satu tampil, kemudian dianulir lagi; begitu seterusnya. Kalau yakin, sebetulnya sisa Belanda yang kita pakai itu bisa bagus. Begitu juga sisa Jepang. Yang diambil hanya sisa-sisa yang baiknya. Apalagi, kita pakai sunah yang diajarkan oleh Nabi Muhammad saw. Maka, “yakin usaha sampai” itu sebuah kata yang luar biasa. Tidak bisa diubah!

Mengapa gaung alumni HMI tidak terlalu terdengar mengabdi dirinya secara langsung untuk pesantren?
Dalam menilai, jangan conditioning (kondisional). Jangan secara personal dan parsial. Harus dinilai dari cita-citanya. Sebab, terkadang ada proses orang mencari jati dirinya itu berkelana ke mana-mana dulu. Dalam adagium Arab disebutkan “safir tajid ‘iwadhan ‘amman tufariquhu wan-shab fainna lazizu al-‘aisyi fi an-nashabi”. Bersafarlah kamu, maka akan temukan pengganti yang terbaik dari yang kamu tinggalkan sebelumnya. Mengapa demikian? Karena dalam perjalanan itulah sesungguhnya kamu akan temukan lezatnya sebuah perjalanan untuk meraih cita-cita.

Tetapi, kapan “sampainya”? Pasti ada hal yang taktis-strategis agar umur tidak habis dalam menempuh cita-cita itu?
Ada titik akhir atau titik didih dalam perjalanannya kelak. Maka, sering kita berdoa, “Ya, Allah, jadikan akhir kami dengan husnul al-khatimah atau penutup yang baik”. Sebab, dalam perjalanan hidup ada bagian yang integral dan tak terpisahkan dari masa lalu dan masa yang akan datang. Perjalanan bangsa ini tidak dilalui 10-60 tahun. Jadi, yang disebut bangsa itu adalah bukanlah hari ini. Yang tidak ada lagi (wafat, red), termasuk yang masih dalam kandungan dan yang dicita-citakan akan lahir: semuanya disebut sebagai bangsa. Jadi, jangan dinilai hari ini sebab manusia itu qad yazid wa yanqush (turun-naik, red). Karena itulah dalam Al-Qur’an disebutkan, bahwa yang terakhir adalah lebih baik dari yang pertama. Ini semua tertuju untuk membangun dunia baru yang bahagia yang diridai Allah Ta’ala.

Tetapi, mengapa dalam proses kehidupannya, secara empirik, alumni HMI antre dalam satu gerbong panjang politik, sementara banyak gerbong sesungguhnya perlu diisi, seperti ekonomi dan pendidikan. Mengapa terjadi seperti ini?
Kalau saya ditanya bagaimana dengan HMI? Maka, saya jawab HMI itu bagus. Siapa yang bilang tidak bagus? Kita ini menamakan diri sebagai sekumpulan pemuda Islam yang memiliki tujuan jelas. Hanya saja dalam perjalanannya, ini yang kadang-kadang saja, dia pikir bahwa hidup hari ini mulus-mulus saja. Padahal, dalam perjalanan hidup, selamanya tidak mulus terus. Namanya juga hidup. Karena itu, perlu sustainable (keberlanjutan) yang memang banyak kandungannya, baik itu nilai ekonomi, nilai cita-cita, kreasi, maupun masa depan. Karena punya kandungan ini, maka HMI itu disebut korps. Sebagai sebuah korps, di satu sisi yang antre tadi salah sendiri mengapa antre. Tetapi, pada sisi lain: tentu bagi yang sudah “duduk” bisa berbuat yang terbaik untuk gerbong yang lain; misalnya melakukan advokasi untuk kemajuan dunia pendidikan. HMI lahir dari kampus dan mestinya kembali lagi ke kampus, dalam arti lembaga pendidikan sebagai kawah candradimuka kaderisasi.

*

Namanya Al-Zaytun. Bukan jenis buah yang tumbuh di Bait al-Maqdis, Palestina, tetapi lembaga pendidikan pesantren di Haurgeulis. Al-Zaytun Indonesia tampaknya tengah meracik peradaban laiknya zaman Nabi Musa ketika menerima wahyu di bukit Tursina sana. “Dan demi negeri yang aman ini”, demikian terjemahan QS al-Tin ayat 3. Ada transfer cita-cita sebuah negeri; aman secara lahir dan batin yang dibangun oleh Syaikh Abdussalam Panji Gumilang di Al-Zaytun, Haurgeulis.

Baca Juga :  Tinggi, Antusiasme Mengikuti Turnamen Catur Pra-Munas KAHMI & Dies Natalis HMI

Ayat tersebut dikontekstualkan dengan membangun fasilitas hotel berbintang di Ma’had Al-Zaytun. Kebutuhan makan, minum, olahraga, tidur, dan ragam kebutuhan para santrinya dibuat dengan canggih, luks, dan higienis. Tidak ada yang tidak termanfaatkan di sini. Bahkan, air kencing sekalipun disuling menjadi pakan hewan ternak dan pupuk, terutama untuk jati emas dan mahoni. Inilah salah satu prinsipnya, “Tuhanku sesungguhnya tidak ada yang sia-sia dari semua ciptaan-Mu”.

Ketika orang menggunjing Al-Zaytun berpaham sesat, mereka jawab dengan berbuat. Ketika lembaga pendidikan ramai-ramai menuntut hak bantuan operasional sekolah (BOS), diam-diam Al-Zaytun mengubah kurs dolar dengan harga sapi. Dengan sapi, percaya atau tidak, menurut ketua yang dituakan Ma’had Al-Zaytun ini (mereka menyebut pimpinan pesantrennya dengan istilah ini, red), justru ingin membebaskan beban apa pun dalam pendidikan. Caranya?

Baca Juga :  Dies Natalis I, Rektor Beberkan Progres Pengembangan UICI

Menurut Panji Gumilang, pola pikir tentang sapi selama ini harus diubah terlebih dahulu. Yang dianggap nikmat dari sapi bukan dagingnya, tetapi justru kotorannya. Kotoran pada satu sapi bisa memproduksi pupuk untuk 10 pohon jati. Dari jumlah ini, jika disetarakan dengan kurs dolar Paman Sam, ia yakin bisa menyekolahkan anak sampai tingkat doktor dengan standar usia 25 sehingga usia di atas ini saatnya mengabdi terjun ke tengah masyarakat secara langsung dan permanen.

Apakah hal ini investasi pendidikan dari kotoran? Bukan! Justru dari daging sapi yang manusia makan kelak menjadi kotoran. Sebaliknya, kalau dari kotoran sapi, bisa jadi “daging pendidikan” untuk menggerakkan roda kehidupan. Demikian itu urai Ketua Lembaga Pertanian Mahasiswa Islam (LPMI) HMI Cabang Ciputat dekade akhir 1960-an ini ketika kami meninjau 1.200 hektare areal Ma’had Al-Zaytun, sehari penuh, 19 September 2006.

Saat kami berkunjung ke kantor Bagian Pendidikan dan Pengajaran, salah seorang ustaz muda menyapa kami, “Bang, saya juga alumni HMI”. Mengelilingi Ma’had ini ditemani Ustaz Nawawi, sekretaris pribadi Syaikh Panji Gumilang. Ternyata Nawawi juga alumni HMI Cabang Ciputat.

*

Bagaimana Kanda melihat proses kaderisasi antargenerasi HMI hari ini?
Sebagai kader yang pernah duduk di satu tempat dan kita bergabung dalam satu ikatan, satu generasi antargenerasi lainnya harus memberi pencerahan agar apa yang dikhitahkan itu menjadi nyata. Belum pernah ada peradaban maju di dunia ini tanpa melalui kemajuan lembaga pendidikan sebagai tulang punggung peradaban. Lembaga pendidikan membentuk manusia-manusia yang tercerahkan.

Tetapi, nyatanya pencerahannya redup, Kanda?
Karena banyak HMI sekarang ini yang sudah menganggap dirinya sebagai alumni (hahaha). Padahal, istilah alumni itu adalah sudah selesai atau sisa-sisa atau pensiun dan masing-masing anggota HMI mulai membawa cita-citanya. Jadi, dalam konteks organisasi alumninya, wajar saja kalau potensinya kurang tergali karena mindset istilah alumni tadi. Saya tidak pernah menganggap diri saya sebagai alumni ataupun senior HMI, tetapi sebagai HMI sampai sekarang.

Mengapa demikian?
Agar nilai-nilai perjuangannya tidak menjadi sisa-sisa atau bahkan pensiun (hahaha). Jangan pernah jadi alumni sebab itu akan pensiun. Saya tidak ngajak lo! Sebab, frame-nya sudah lain kalau menggunakan istilah alumni.

Jadi, apa frame terbaik untuk menyebut HMI yang sudah habis masanya pada suatu jenjang tertentu?
Yang tersisa adalah “korps” sebagaimana Korps Alumni Mahasiswa Islam (KAHMI). Tetapi, kalau menginginkan ada satu panglimanya atau ingin menyatu, maka bukan alumni lagi namanya karena berbentuk sebuah organisasi pokok yang bergerak seperti gerakan organisasi. Maka, jangan pakai istilah alumni, tetapi buatlah fase-fase HMI. Misalnya, HMI fase I, II, dan III. Pendidikan saja ada stratanya. Lantas, kalau sudah alumni tetapi tanpa strata, ya, seperti ini jadinya. Jadi, ada sebuah ikatan berkelanjutan yang mengikat untuk mewujudkan cita-cita bersama.

*

Panji Gumilang memang gemilang. Setelah melalang buana ke sejumlah negara sahabat, ia kumpulkan para tenaga ahli tiap bidang keilmuan sebelum dan apalagi sesudah Ma’had Al-Zaytun berdiri setelah diresmikan Presiden Bacharuddin Jusuf Habibie, 1999. Mereka mewakili dari semua cabang besar keilmuan: skolastik (keagamaan), sosial humaniora, dan eksakta atau ilmu alam dan ilmu pasti. Di sini, di tanah Haurgeulis ini, mereka membuka kota.

Dulu, sebelum Al-Zaytun berdiri, desa ini tidaklah cantik seperti penamaannya “geulis”, melainkan kumuh dan gersang. Al-Zaytun menyulapnya menjadi geulis. Semua kebutuhan ma’had dikelola secara mandiri dan berteknologi yang lazim dilakukan oleh kampus-kampus beken, seperti ITB, IPB, UGM, dan sebagainya. Pergedungannya berinterior khas Timur Tengah, Eropa, kerajaan-kerajaan Nusantara, dan Indonesia. Segala pembangunan difungsikan sebagai metodologi dan praktik nyata proses belajar mengajar. Ambil contoh, ketika para santri belajar Al-Qur’an dalam topik Al-Baqoroh (sapi) pada kisah bani Israil, misalnya, mereka diajak membuat secara nyata rekayasa genetika agar dapat menciptakan sapi unggulan lebih dari yang dicita-citakan oleh bani Israil berabad lampau.

Baca Juga :  Pesan Wapres dalam Munas KAHMI: Jangan sampai Ada Kursi Melayang

Sejauh ini untuk menciptakan sapi unggul berkelas dunia, Al-Zaytun mentransfer gen lima sapi unggulan dunia: sapi Prancis, Jerman, Australia, Madura, dan Bali. Melalui proses teknologi, antara lain, rekayasa genetika, sapi pedaging dan susu ini sekali lahir diharapkan mampu menghasilkan 50 “kepala” (mereka meralat istilah ekor pada hewan, red). Panji Gumilang menaksir harganya sekali lahir, Al-Zaytun bisa meraup Rp2 miliar per kepala. Tinggi sapinya mencapai 2,5 sampai 3 meter dengan besar badan rata-rata dua kaki sebagaimana yang kami saksikan di kandang sapi unggulan ini.

Uniknya lagi, Panji Gumilang bercita-cita agar warna keemasan sapi yang dulu diruetkan bani Israil kepada Nabi Musa, diubah jadi merah-putih! Dan saat kami saksikan pada 2-3 sapi sekitar usia satu tahun dan di bawahnya, memang sudah agak tampak warna bendera Indonesia ini meskipun corak merahnya masih samar-samar karena masih terus uji coba melalui rekayasa genetikanya.

Itu salah satu contoh metode pembelajaranya. Begitu juga ketika mereka belajar materi meteorologi. Mempelajari cuaca panas, tata cara salat Istiska (minta hujan), mereka bedah dengan menyiapkan wujud fisik bendungan sebagai ungkapan syukur atas nikmat dan anugerah Tuhan. Musim kering di negeri tropis seperti Indonesia yang melangkakan air, bagi Panji Gumilang, itu bentuk kufur nikmat. Sebab, saat Tuhan menganugerahkan musim hujan, kita selama ini tidak menampung debit air yang besar itu dalam teknologi bandungan.

*

Perbedaan yang paling kuat yang Kanda rasakan sebagai generasi HMI 1960-an dengan sekarang?
Zaman Anda lain. (Panji Gumilang sejenak diam, seolah-olah mengingat sesuatu).

Maksudnya?
Ini jawaban saya kalau di tanya seperti itu. Jawaban ini persis diberikan Kiai saya, KH. Imam Zarkaysi (salah satu Trimurti Pondok Modern Gontor, red). Saat itu, tahun 1965, beliau bicara tentang pendidikan putra-putri. Beliau bilang, “Mendidik satu putri lebih sulit [daripada] mendidik 1.000 putra”. Statement beliau seperti ini karena Gontor saat itu tidak membuka kampus putri, apalagi sekampus dengan putra. Tidak ada yang bertanya saat itu, hanya saya. “Ustaz, kalau begitu, kepada siapa nanti putri-putri ini kita didik?” tanya saya. Beliau jawab dengan luar biasa cerdasnya, “Zamanmu lain!”. Tidak ada penjelasan berikutnya: menyuruh maupun melarang. Artinya, ada inovasi dan nalar dalam interval waktu antargenerasi di sini. Nah, sekarang kita di Al-Zaytun membuka pendidikan putri dalam satu kampus dengan putra meskipun banyak yang menentang tidak setuju.

Dalam konteks HMI, di antara nalar “zamanmu lain” itu sentuhan inovasi terbaik generasi HMI terdahulu sebagai fondasi juga refleksi untuk kemajuan organisasi pengkaderan sekarang. Menurut Kanda?
Memang sentuhan itu adalah realita zamannya masing-masing agar terjadi kesinambungan historis dari tradisi baik yang telah ada pada zaman lalu. Tetapi, itu tergantung Anda yakin atau tidak dalam praktik kaderisasi yang semestinya senantiasa berkesinambungan. Dalam hal ini masih ada contoh yang diberikan KH Imam Zarkasyi. Seorang tokoh dari Padang bertanya kepada beliau, “Pak Kiai, nanti siapa yang akan mengantikan Pak Kiai?” Pertanyaan ini pernah ditanyakan KH Syukri Zarkasyi (putra Imam Zarkasyi, red) kepada saya. Jawaban yang saya berikan juga sama persis dengan jawaban KH Imam Zarkasyi kepada tokoh dari Padang itu. “Saya seorang pendidik dan tidak pernah meragukan siapa penggantinya karena semua anak didik saya akan tampil”. Saya meminjam jawaban dari ayahnya sendiri. Ini jawaban yang sang bervisi, apakah seperti Majalah Anda: Visi Kita? (Hahaha).

 

Naskah ini dikutip dari Rubrik Liputan Utama/Wawancara Majalah Visi Kita edisi 25 tahun 2006, ditulis Alfi Rahmadi dan diterbitkan Majelis Nasional KAHMI.

Sumber : Majalah Visi Kita

Fatah S

Berkarier di industri media sejak 2010 dan menjadi penulis buku.