Opini Arsip - KAHMI Nasional https://www.kahminasional.com/read/category/opini/ Korps Alumni Himpunan Mahasiswa Islam Sun, 22 Sep 2024 07:20:04 +0000 id hourly 1 https://wordpress.org/?v=6.6.2 https://www.kahminasional.com/assets/img/2021/11/favicon-kahmi-nasional-48x48.png Opini Arsip - KAHMI Nasional https://www.kahminasional.com/read/category/opini/ 32 32 202918519 Pendidikan Bagi Perempuan Menjadi Pilar Kekuatan dalam Pembangunan Nasional https://www.kahminasional.com/read/2024/09/22/9938/pendidikan-bagi-perempuan-menjadi-pilar-kekuatan-dalam-pembangunan-nasional/ Sun, 22 Sep 2024 07:20:04 +0000 https://www.kahminasional.com/?p=9938 Oleh: Siti Thoifatun Najiah* Semarang, KAHMINasional.com – Kesetaraan gender dalam pendidikan merupakan isu penting yang terus diperjuangkan di berbagai negara termasuk Indonesia. Pendidikan adalah hak dasar yang seharusnya dapat diakses oleh semua individu baik laki-laki maupun perempuan (Gultom .M., 2021). Namun, masih terdapat kesenjangan signifikan dalam akses pendidikan antara kedua gender, terutama di wilayah terpencil. […]

Artikel Pendidikan Bagi Perempuan Menjadi Pilar Kekuatan dalam Pembangunan Nasional pertama kali tampil pada KAHMI Nasional.

]]>
Oleh: Siti Thoifatun Najiah*

Semarang, KAHMINasional.com – Kesetaraan gender dalam pendidikan merupakan isu penting yang terus diperjuangkan di berbagai negara termasuk Indonesia. Pendidikan adalah hak dasar yang seharusnya dapat diakses oleh semua individu baik laki-laki maupun perempuan (Gultom .M., 2021). Namun, masih terdapat kesenjangan signifikan dalam akses pendidikan antara kedua gender, terutama di wilayah terpencil. Kesenjangan ini disebabkan oleh berbagai factor termasuk norma sosial dan budaya yang lebih memprioritaskan pendidikan untuk laki-laki serta keterbatasan infrastruktur dan akses ekonomi yang mempengaruhi kemampuan perempuan untuk mendapatkan pendidikan yang layak.

Pendidikan bagi perempuan berperan penting dalam pembangunan bangsa. Penelitian menunjukkan bahwa pendidikan perempuan menjadi kunci bagi kemajuan sosial, ekonomi, dan politik (Maulid .P., 2022). Ketika perempuan mendapatkan akses yang setara terhadap pendidikan mereka mampu berkontribusi lebih besar di berbagai sektor, mulai dari keluarga hingga masyarakat. Perempuan yang terdidik cenderung memiliki kesehatan yang lebih baik sehingga dapat meningkatkan kontribusi mereka dalam perekonomian dan aktif terlibat dalam pengambilan keputusan. Dengan demikian, pendidikan perempuan bukan sekadar memenuhi hak, tetapi juga merupakan elemen kunci dalam pembangunan berkelanjutan.

Perempuan terdidik mampu meningkatkan kualitas hidup keluarga terutama dalam aspek kesehatan dan kesejahteraan (Prasety .E. J.,et al., 2022). Misalnya, perempuan yang paham mengenai gizi dan kesehatan cenderung lebih baik dalam mengelola pola makan dan perawatan kesehatan untuk anak-anak mereka, yang pada gilirannya dapat mengurangi tingkat kemiskinan dan meningkatkan kesehatan keluarga. Pendidikan perempuan juga membawa kontribusi signifikan bagi masyarakat. Mereka yang terdidik lebih aktif dalam kegiatan sosial, berperan sebagai pemimpin komunitas dan terlibat dalam pengambilan keputusan penting. Di tingkat lokal dan nasional, perempuan yang terdidik berpartisipasi dalam upaya pembangunan berkelanjutan dan dapat membawa perubahan positif dalam ekonomi, politik, dan sosial (Atsani et al., 2021).

Alquran dan hadis juga menekankan pentingnya pendidikan bagi perempuan. Dalam Surah Al-Mujadilah ayat 11, disebutkan bahwa Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman dan berilmu. Ini menegaskan bahwa baik laki-laki maupun perempuan yang berilmu akan memperoleh kedudukan mulia. Sayangnya, anak perempuan cenderung lebih cepat putus sekolah dibandingkan anak laki-laki. Keterbatasan infrastruktur pendidikan, termasuk sekolah yang sedikit dan letak yang jauh, menghambat akses pendidikan formal bagi perempuan. Kurangnya tenaga pengajar berkualitas di daerah terpencil juga menjadi kendala besar, ditambah lagi fasilitas dasar seperti buku dan alat tulis yang minim.

Faktor ekonomi menjadi penyebab utama kesenjangan pendidikan, terutama di daerah terpencil. Banyak keluarga di pedesaan menghadapi keterbatasan finansial dan lebih memilih untuk tidak menyekolahkan anak perempuan (Hayati .F., 2022). Normative budaya yang memprioritaskan peran tradisional perempuan sebagai ibu rumah tangga juga mempengaruhi pandangan masyarakat. Di daerah tertentu, pernikahan dini menjadi hal umum, sehingga perempuan yang menikah muda cenderung berhenti sekolah untuk mengurus rumah tangga. Ini berdampak langsung pada rendahnya partisipasi perempuan dalam pendidikan menengah dan tinggi.

Bias gender juga memperburuk kesenjangan akses pendidikan. Dalam beberapa budaya lokal, perempuan dianggap kurang membutuhkan pendidikan dibandingkan laki-laki (Sari .C., et al., 2021). Hal ini menciptakan pola pikir yang membatasi perempuan untuk mengejar pendidikan yang lebih tinggi. Di wilayah seperti Papua, norma adat tertentu masih mengisolasi perempuan dari kesempatan pendidikan. Di banyak daerah, angka partisipasi pendidikan perempuan tetap rendah, dan pernikahan dini menjadi hambatan serius.

Stereotip gender yang mengakar dalam masyarakat juga menghalangi perempuan untuk melanjutkan pendidikan. Di beberapa budaya, perempuan berpendidikan tinggi sering dihadapkan pada stigma sosial dan dianggap tidak sesuai dengan peran tradisional. Tekanan sosial ini membuat banyak perempuan ragu untuk mengejar pendidikan lebih lanjut, mengingat mereka takut dianggap melawan norma sosial. Walaupun Indonesia telah mencapai kemajuan dalam meningkatkan akses pendidikan, kesenjangan masih terjadi, terutama di wilayah terpencil seperti Papua dan Nusa Tenggara Timur. Angka partisipasi perempuan dalam pendidikan formal masih tertinggal dibandingkan laki-laki akibat hambatan sosial, ekonomi, dan geografis. Oleh karena itu, diperlukan upaya lebih lanjut untuk memastikan kesetaraan akses pendidikan bagi perempuan.

Pendidikan perempuan berkontribusi signifikan dalam mengurangi angka kemiskinan. Setiap tambahan satu tahun pendidikan bagi perempuan dapat mengurangi kemiskinan masyarakat sebesar 0,3 persen. Anak-anak yang lahir dari ibu terdidik juga lebih cenderung sehat, bersekolah, dan tidak mengalami malnutrisi. Di tingkat global, pendidikan perempuan berkontribusi pada penurunan angka kelahiran berlebih, yang berdampak positif pada pengendalian populasi.

Pendidikan berbasis komunitas dapat menjadi solusi dalam mengatasi kesenjangan akses pendidikan bagi perempuan, terutama di wilayah terpencil. Pendekatan ini melibatkan masyarakat setempat dan tokoh lokal untuk berperan aktif dalam proses pendidikan. Dengan melibatkan komunitas, pendidikan dapat disesuaikan dengan konteks budaya dan kebutuhan lokal, sehingga hambatan-hambatan yang muncul akibat norma sosial bisa diatasi (Trisnawati.O., et al., 2022).

Keterlibatan tokoh lokal dalam program pendidikan berbasis komunitas memberikan legitimasi pada inisiatif tersebut, sehingga masyarakat lebih mudah menerima perubahan. Ketika tokoh yang dihormati mendukung pendidikan perempuan, mereka menjadi agen perubahan yang dapat mempengaruhi pandangan masyarakat secara luas. Namun, program ini memerlukan dukungan kampanye sosial yang aktif untuk memperkuat pesan pentingnya pendidikan perempuan. Dengan mengedukasi masyarakat tentang dampak positif pendidikan bagi perempuan, kita dapat menciptakan lingkungan yang lebih mendukung. Peningkatan infrastruktur pendidikan, baik fisik maupun digital, juga penting. Di wilayah terpencil, pembangunan fasilitas pendidikan dan penyediaan teknologi harus menjadi prioritas. Dukungan ekonomi seperti beasiswa bagi perempuan dari keluarga kurang mampu sangat penting agar kendala finansial tidak lagi menjadi penghalang.

Teknologi pendidikan yang berkembang telah membawa inovasi baru dalam mengatasi kesenjangan pendidikan. Aplikasi pembelajaran daring dan platform e-learning membantu menjangkau siswa di seluruh Indonesia, termasuk perempuan di daerah terpencil. Dengan akses internet, siswa dapat belajar kapan saja dan di mana saja, memberikan fleksibilitas yang sebelumnya tidak tersedia. Pendidikan sensitif gender juga perlu diperhatikan, dengan kurikulum yang mempertimbangkan kebutuhan perempuan, terutama di wilayah terpencil.

Pendidikan memiliki kekuatan untuk mengubah peran perempuan dalam masyarakat. Melalui pendidikan, perempuan dapat membangun keterampilan, pengetahuan, dan kepercayaan diri untuk berpartisipasi dalam pengambilan keputusan. Perempuan yang terdidik berperan penting dalam pembangunan berkelanjutan, lebih mungkin terlibat dalam pengambilan keputusan yang berkaitan dengan kesehatan, lingkungan, dan kesejahteraan masyarakat. Contoh tokoh perempuan seperti Tri Mumpuni dan Sri Mulyani menunjukkan bagaimana pendidikan dapat membuka pintu bagi perempuan untuk mengambil peran kepemimpinan. Program-program internasional juga mendukung peningkatan akses pendidikan bagi perempuan di negara berkembang. Dengan inisiatif pendidikan jarak jauh dan kolaborasi antara pemerintah, sektor swasta, dan masyarakat, kita dapat mendorong perubahan positif dalam kesetaraan pendidikan.

Kesetaraan gender dalam pendidikan dan akses pengetahuan adalah elemen penting dalam mendorong transformasi sosial. Pendidikan bukan hanya hak dasar tetapi juga memberikan peluang untuk berpartisipasi aktif dalam kehidupan sosial, ekonomi, dan politik. Mengatasi kesenjangan gender dalam pendidikan akan memberdayakan perempuan untuk memimpin perubahan, mendukung pertumbuhan ekonomi, dan menciptakan komunitas yang lebih inklusif.

Hambatan-hambatan yang ada jika dapat terselesaikan masa depan perempuan Indonesia akan lebih cerah. Perempuan yang mendapatkan pendidikan akan menjadi agen perubahan, pemimpin, dan inovator. Penting bagi semua pihak untuk berperan aktif dalam mendukung pendidikan perempuan sebagai tanggung jawab bersama. Dengan keterlibatan seluruh lapisan masyarakat kita dapat membangun bangsa yang lebih inklusif, di mana perempuan memiliki hak dan kesempatan yang setara untuk meraih masa depan yang lebih baik melalui pendidikan.

* Penulis adalah Kader Kohati HMI Komisariat Saintek UNNES

Artikel Pendidikan Bagi Perempuan Menjadi Pilar Kekuatan dalam Pembangunan Nasional pertama kali tampil pada KAHMI Nasional.

]]>
9938
Milad Ke-58 Kohati HMI: Mengabdi dengan Cinta, Melangkah dengan Harapan https://www.kahminasional.com/read/2024/09/17/9915/milad-ke-58-kohati-hmi-mengabdi-dengan-cinta-melangkah-dengan-harapan/ Tue, 17 Sep 2024 14:41:36 +0000 https://www.kahminasional.com/?p=9915 Perjalanan panjang Kohati HMI, kini mencapai usia 58 tahun, membawa kita pada refleksi mendalam tentang sejarah, perjuangan, dan pengabdian yang tak pernah surut. Kohati bukan sekadar lembaga perempuan dalam HMI, tetapi juga rumah bagi ribuan perempuan Muslimah yang telah ditempa dengan semangat keilmuan, kebijaksanaan, dan dedikasi tanpa pamrih. 58 tahun bukanlah waktu yang singkat. Dalam […]

Artikel Milad Ke-58 Kohati HMI: Mengabdi dengan Cinta, Melangkah dengan Harapan pertama kali tampil pada KAHMI Nasional.

]]>
Perjalanan panjang Kohati HMI, kini mencapai usia 58 tahun, membawa kita pada refleksi mendalam tentang sejarah, perjuangan, dan pengabdian yang tak pernah surut. Kohati bukan sekadar lembaga perempuan dalam HMI, tetapi juga rumah bagi ribuan perempuan Muslimah yang telah ditempa dengan semangat keilmuan, kebijaksanaan, dan dedikasi tanpa pamrih.

58 tahun bukanlah waktu yang singkat. Dalam rentang itu, kita melihat bagaimana Kohati membina generasi demi generasi perempuan yang tangguh, cerdas, dan berdaya saing. Mereka yang berjuang di setiap musyawarah, yang lantang bersuara demi keadilan, dan yang dengan sabar berikhtiar membangun umat dari berbagai lapisan. Kohati tidak pernah berhenti menjadi katalis perubahan, dengan setiap anggotanya yang berkomitmen pada pengembangan diri dan pengabdian sosial.

Namun, Milad kali ini terasa berbeda, penuh haru. Usia yang semakin matang menandai semakin besarnya tanggung jawab yang diemban Kohati. Tantangan zaman yang kian kompleks dan peran perempuan yang semakin luas di ruang publik mengingatkan kita bahwa perjuangan Kohati belum selesai. Setiap langkah yang diambil adalah refleksi dari perjalanan panjang ini: perjalanan yang diwarnai peluh, air mata, serta doa yang tak putus dari para pendiri hingga penerusnya.

Hari ini, di usia 58 tahun, Kohati bukan hanya tempat bertumbuh, tapi juga menjadi saksi bisu dari perjuangan para perempuan Muslimah yang memimpikan keadilan, kesetaraan, dan kemajuan bangsa. Setiap perjalanan yang dilalui Kohati adalah cermin dari semangat persaudaraan, saling dukung, dan perjuangan bersama yang melekat di hati setiap anggotanya.

Perasaan haru tentu tak bisa dihindari ketika melihat begitu banyak pencapaian yang telah diraih. Haru akan mereka yang telah tiada namun meninggalkan jejak perjuangan yang tak terlupakan. Haru akan mereka yang masih berdiri tegak, berikrar untuk terus melanjutkan amanah. Haru atas peran-peran kecil yang sering kali luput dari perhatian, namun sangat berarti dalam menyusun mozaik besar perjuangan Kohati.

Di usia ke-58 ini, mari kita sambut masa depan dengan optimisme, semangat juang yang tak pernah padam, dan cinta yang tulus untuk terus berkontribusi bagi masyarakat dan bangsa. Sebab, Kohati bukan hanya sejarah, tetapi juga masa depan. Kohati adalah kita, dan kita adalah harapan.

*Penulis adalah Wasekum Kohati PB HMI 2024-2026 & Ketua Umum Kohati Badko Sulselbar 2021-2023

Artikel Milad Ke-58 Kohati HMI: Mengabdi dengan Cinta, Melangkah dengan Harapan pertama kali tampil pada KAHMI Nasional.

]]>
9915
Ketika Mustasyar Memanggil https://www.kahminasional.com/read/2024/09/16/9905/ketika-mustasyar-memanggil/ Mon, 16 Sep 2024 03:00:05 +0000 https://www.kahminasional.com/?p=9905 Oleh. Fathorrahman Fadli* Pagi ini Senin (16/9) pukul 01.49 WIB, saya baru saja selesai mendengar penjelasan Gus Mus soal keributan kecil antara Muhaimin Iskandar selaku Ketua Umum PKB dengan Ketua Umum PBNU, K.H.Yahya Staquf atau akrab dipanggil Gus Yahya. Keributan ini, jelas Gus Mus,– KH.Mustofa Bisri-‘– beliau sederhanakan sebagai persoalan Muhaimin dan Yahya belaka, bukan […]

Artikel Ketika Mustasyar Memanggil pertama kali tampil pada KAHMI Nasional.

]]>
Oleh. Fathorrahman Fadli*

Pagi ini Senin (16/9) pukul 01.49 WIB, saya baru saja selesai mendengar penjelasan Gus Mus soal keributan kecil antara Muhaimin Iskandar selaku Ketua Umum PKB dengan Ketua Umum PBNU, K.H.Yahya Staquf atau akrab dipanggil Gus Yahya.

Keributan ini, jelas Gus Mus,– KH.Mustofa Bisri-‘– beliau sederhanakan sebagai persoalan Muhaimin dan Yahya belaka, bukan persoalan PKB dan NU. Dahulu, dua tokoh ini berteman biasa. Sama-sama mahasiswa Universitas Gajah Mada. Artinya, keduanya anak-anak NU yang pintar. Buktinya mereka lulus tes UMPTN dan lalu diterima kuliah di universitas bergengsi–UGM. Waktu Gus Dur berkuasa, mereka sama-sama berada di sekitar istana. Gus Yahya waktu itu sempat menjadi Juru bicara kepresidenan, sementara Muhaimin sudah menjadi anggota DPR RI di Senayan sana.

Keduanya, sama-sama menyicipi nikmatnya kekuasaan. Walaupun nasib Gus Yahya dalam menikmati kekuasaan itu lebih pendek, seturut dengan pendeknya masa kepemimpinan Gus Dur. Kala itu, Muhaimin, Gus Yahya, dan Adi Massardi yang juga jubir Gus Dur sempat sama-sama umroh berpakaian ihrom. Jadi semua rukun-rukun saja dibawah asuhan Gus Dur.

Waktu Gus Dur menjabat Ketua Umum PBNU, Gus Yahya memang dekat sekali, bahkan setiap hari bersama Gus Dur. Pola-pola pemikiran politik Gus Dur yang atraktif dan sulit dipahami orang, pastilah Gus Yahya dapat serap dengan baik. Namun apakah Gus Yahya sama dan sebangun dengan Gus Dur, rasanya masih jauh sekali. Apalagi dalam perkara kekayaan ilmunya Gus Dur, —begitu pun dalam atraksi atau akrobat politiknya Gus Dur. Namun sedikit-sedikit lagak terobosan dan langkah-langkah politik Gus Yahya punya getaran yang mengagetkan ala Gus Dur.

Bagaimana dengan Muhaimin? Muhaimin ini adalah produk politik dari Gus Dur juga. Dalam politik, Muhaimin atau Cak Imin ini sangat atletis. Dia betul-betul seorang politisi ulung. Mungkin saja bisa dibilang akrobat politiknya lebih lihai dari Gus Dur sekalipun. Dia cepat sekali beradaptasi dengan lingkungan politik yang biasanya berubah sangat dramatis.

Mengapa saya bilang, lebih lihai dari Gus Dur? Orang sehebat Gus Dur saja, bisa dia lipat dalam sekejab. Nalar politik kekuasaan Muhaimin itu bergerak lebih cepat dari dinamika politik yang bakal terjadi.

Lihat bagaimana cara dia memanfaatkan kekuasaan SBY untuk menaklukkan Gus Dur. Meskipun Muhaimin ini adalah produk politik dari Gus Dur sebagaimana juga melahirkan Ali Masykur Musa, Khofifah Indar Parawansa, Gus Yahya, Saifullah Yusuf, AS Hikam, Fajrul Falakh, Slamet Efendi Yusuf, Ulil Abshar Abdallah, dkk.

Namun jangan lupa, Muhaimin selama menjadi Ketua Umum PMII, dia juga belajar politik pada Akbar Tandjung, sang maestro politik santun nan lihai. Kepada saya Bang Akbar berucap, “Kalau ke PKB saya masih bicara dengan Muhaimin, sebab dia sempat saya bina melalui kelompok Cipayung.”

Jadi kalau Muhaimin sangat pandai berpolitik, itu jelas karena dia belajar kemana-mana, termasuk pada Akbar Tandjung.

Langkah Muhaimin mendongkel Gus Dur dari PKB–istilah Yenny Wahid, anak Gus Dur sebagai dosa politik terberat Muhaimin– namun jika dipotret dari kepentingan karir politik Muhaimin, langkah mendongkel Gus Dur dari PKB itu adalah langkah strategis belaka secara politik. Jika tidak, maka PKB akan identik dengan Gus Dur atau Dinasti Hasyim. Di sini NU memiliki dua keuntungan, Gus Dur tetap besar, sedangkan Muhaimin muncul sebagai tokoh politik yang tidak tertandingi hingga kini.

Muhaimin vs Gus Yahya

Kedua tokoh NU yang sudah tidak muda lagi ini, dan secara struktur sudah berada dipucuk pimpinan nasional itu jelas bukan orang biasa. Keduanya sangat memberi andil yang besar dalam pertumbuhan NU—, baik sebagai Jam’iyah maupun sebagai Jamaah.

Perjalanan politik Muhaimin di PKB tentu saja, bukan tanpa hambatan. Namun keterampilan Muhaimin menyelesaikan konflik internalnya bisa dibilang ciamik, meskipun tetap menyisakan sakit hati yang dalam dihati para pembangkangnya. Namun secara umum, kekuasaan Muhaimin di PKB masih sulit tergoyahkan.

Nah, mengapa Muhaimin dan Gus Yahya lantas berselisih? Kalau dilihat dari perjalanan karir politik keduanya, Muhaimin lebih banyak mendapat pematangan politik di lapangan ketimbang Gus Yahya. Oleh sebab itu langkah-langkah politik Cak Imin terlihat lebih sat-set ketimbang Gus Yahya. Langkah Imin yang Sat-Set itu jelas pada titik tertentu kerapkali bertubrukan dengan anasir kekuatan politik tertentu di PKB dan pada saat yang sama juga memiliki jaringan dalam tubuh PBNU.

Orang-oramg yang sakit hati di PKB ini kemudian mencari jalan untuk memanfaatkan kekuasaan demi kepentingan kelompok mereka. Hal sperti ini adalah wajar sekali dalam politik kekuasaan, dimanapun dan sampai kapan pun. Kelompok ini, yang sekarang di wakili oleh Gus Yahya dan Gus Ipul mencoba mencari jalan berbeda dengan apa yang dilakukan Muhaimin pada Pemilu 2024 lalu. Jadi, konflik Muhaimin dan Gus Yahya ini rasanya akan lebih bijaksana jika dirunut sebagai persaingan politik antar aktor (politic amoung actor) diantara santri politik didikan Kiai Abdurrahman Wahid alias Gus Dur.

Lalu bagaimana cara agar konflik keduanya itu didamaikan. Pakai mekanisme apa? Rasa-rasanya saran Gus Mus tadi menjadi sangat relevan. Sebagai sama-sama anak didikan Gus Dur mereka hendaknya sadar bahwa mereka bukan lagi mahasiswa UGM yang lagi bertarung memperebutkan Ketua Umum Senat Mahasiswa sebagai.media latihan memimpin, namun mereka sudah menjadi tokoh-tokoh nasional yang akan sangat menentukan Nahdlatul Ulama sebagai jam’iyah dan jamaah NU serta wajah Indonesia di masa depan.

Jalan dan solusinya, kata Gus Mus, secara Jam’iyah (organisasi), seharusnya Dewan Kiai Sepuh yang ada dalam Mustasyar PBNU, segera memanggil Muhaimin dan Yahya Staquf untuk duduk bersama mendengar nasihat-nasihat bening dari para Kiai. Jika mereka tidak mau, kata Gus Mus, Yo wis….!

*Penulis adalah Direktur Eksekutif Indonesia Development Research-IDR

Artikel Ketika Mustasyar Memanggil pertama kali tampil pada KAHMI Nasional.

]]>
9905
Tambang korporatisme negara https://www.kahminasional.com/read/2024/08/10/9869/tambang-korporatisme-negara/ Sat, 10 Aug 2024 09:55:02 +0000 https://www.kahminasional.com/?p=9869 Oleh Ilham B. Saenong, Manajer Pengembangan Program di Yayasan Humanis dan Inovasi Sosial “Hampir semua orang akan kuat menghadapi penderitaan, namun karakter seseorang hanya bisa diuji dengan memberinya kekuasaan.” Ungkapan populer dari Abraham Lincoln, Presiden Amerika Serikat dua abad lalu, tersebut kini lebih bisa diapresiasi dalam konteks konsesi pengelolaan tambang. Pemberian izin pengelolaan tambang kepada […]

Artikel Tambang korporatisme negara pertama kali tampil pada KAHMI Nasional.

]]>
Oleh Ilham B. Saenong, Manajer Pengembangan Program di Yayasan Humanis dan Inovasi Sosial

“Hampir semua orang akan kuat menghadapi penderitaan, namun karakter seseorang hanya bisa diuji dengan memberinya kekuasaan.”

Ungkapan populer dari Abraham Lincoln, Presiden Amerika Serikat dua abad lalu, tersebut kini lebih bisa diapresiasi dalam konteks konsesi pengelolaan tambang.

Pemberian izin pengelolaan tambang kepada ormas keagamaan telah menimbukan polemik berkepanjangan. Terjadi saling serang antarpihak yang pro dan kontra terhadap kebijakan tersebut berdasarkan perspektif, pertimbangan, dan kepentingan masing-masing.

Namun demikian, harus disadari bahwa polemik yang timbul bukan semata-mata efek dari kebijakan dimaksud. Kebijakan itu sendiri mengandung detonator untuk memecah integrasi dan integritas kelompok-kelompok kritis di luar negara dan bisnis (critical non-state not for profit actors). Pemecahbelahan kekuatan sipil ini bermuara pada arus konsolidasi politik dalam bentuk korporatisme negara yang jadi penanda mutakhir dari era yang telah melupakan amanat reformasi.

Proyek korporatis

Pemberian izin pengelolaan tambang kepada ormas keagamaan akan melanjutkan sisa proyek-proyek pertambangan sebagaimana telah banyak dianalisis para pengamat. Saat ormas keagamaan yang baru belajar menambang ini harus mencuci pengelolaan tambang energi kotor dan kerusakan yang ditimbulkannya, proyek baru yang sebenarnya adalah negara sedang berupaya menggiring aktor-aktor kunci di luar negara ke dalam kontrolnya.

Korporatisme negara terhadap kekuatan-kekuatan kemasyarakatan bukan hal baru. Strategi tersebut dijalankan penguasa secara efektif dan masif hingga tumbangnya Presiden Soeharto. Pada masa Orde Baru, korporatisme negara berbentuk upaya penjinakan aktor kritis atau yang dianggap berpotensi untuk menggugat prioritas dan kebijakan pemerintah. Cara lain dengan melakukan akomodasi terhadap kekuatan masyarakat yang menguntungkan rezim yang berkuasa. Negara saat itu melakukan perpanjangan tangan ke dalam berbagai wadah kemasyarakatan yang telah dikotak-kotakkan dalam fungsi-fungsi, seperti Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) untuk urusan jurnalistik, Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (SPSI) untuk urusan perburuhan, Majelis Ulama Indonesia (MUI) untuk urusan keagamaan Islam, atau Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) untuk urusan kesarjanaan. Bahkan, kekuatan mahasiswa coba diredam pula dengan menerapkan kebijakan Normalisasi Kehidupan Kampus dan Badan Koordinasi Kemahasiswaan (NKK/BKK) dan memaksakan Senat Mahasiswa Perguruan Tinggi (SMPT) untuk menggantikan Dewan Mahasiswa yang dikenal anti-Orde Baru.

Dalam era pascareformasi, pemerintahan Joko Widodo (Jokowi) telah melakukan berbagai cara untuk memastikan berjalannya pembangunan ekonomi yang diwarisi dari masterplan pembangunan era Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan menjaga arus investasi dengan beragam regulasi dan kebijakan pendukung. Undang-Undang (UU) Cipta Kerja dan UU Minerba memperkuat kendali pemerintahan pusat (resentralisasi) terhadap sektor-sektor strategis pembangunan, yang mana bertentangan dengan otonomi daerah dan pelayanan publik yang mendekat kepada warga.

Yang lebih disayangkan, Jokowi pada akhir pemerintahannya tidak merasa cukup dengan mengatur isi sektor-sektor strategis, tetapi juga memastikan aktor-aktor pengontrol dan penyeimbang berada di bawah naungannya. Revisi UU KPK yang sudah kita rasakan akibatnya, begitu pula sejumlah revisi UU dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) di DPR, telah dan potensial menjadi ajang perpanjangan tangan pemerintah ke dalam lembaga quasi-negara.

Pemberian izin pengelolaan pertambangan kepada ormas keagamaan menjadi skenario berikutnya dari upaya kontrol negara atas agenda-agenda politik yang nondemokratis, eksklusif, dan tidak sadar lingkungan. Inilah proyek percobaan (pilot project) yang diterapkan berdasarkan pragmatisme pasca-Pemilihan Umum (Pemilu) dan kalkulasi elektoral pra-Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Serentak 2024.

Patut dikiritisi lebih jauh jika ini bukanlah episode terakhir dari korporatisme negara atas kekuatan sipil. Aktor yang memiliki otonomi dan kekuatan, seperti perguruan tinggi dan organisasi-organisasi mahasiswa intra dan ekstrakampus, jangan-jangan juga sudah masuk dalam skema korporatis untuk mengelola tambang atau sumber daya ekonomi lainnya. Sinyalemennya sudah terlihat pada munculnya figur-figur akademik, ormas, dan organisasi mahasiswa yang mendeskreditkan para penentang kebijakan perizinan tambang ini. Juga bisa dibaca kembali di dalam UU Cipta Kerja yang menyederhanakan partisipasi publik ke dalam keterlibatan akademisi dan konsultan profesional.

Wacana hegemonik

Negara yang berusaha memikat ormas ke dalam gengamannya itu sudah jelas, meskipun tidak mengagetkan. Setiap rezim selalu punya hasrat dan cara untuk menyederhanakan masalah dan mengontrol yang dianggap bisa bermasalah. Apalagi, dengan kecenderungan Jokowi di periode kedua pemerintahannya yang tidak urung melepas pedal gas pertumbuhan ekonomi.

Yang tragis justru pada hilangnya sikap kritis ormas keagamaan yang telah sekian lama menjadi kontrol sosial dan suara nurani publik. Para tokoh dan proponen intelektual dari ormas keagamaan tidak saja melakukan pembelaan diri, mereka malah menyerang para kritikus lingkungan yang secara by default pasti sangat vokal terhadap kebijakan korporatis negara. Tidak kurang tulisan dan komentar dari unsur pengurus Penguru Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) dan Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah yang berupaya melakukan delegitimasi dan pemburukan citra aktivis dan intelektual pro lingkungan dan perubahan iklim. Upaya lebih jauh untuk melunakkan sikap kritis dalam jamaah masing-masing ormas keagamaan tentunya berjalan pula di balik yang tersaji di media dan ruang publik digital.

Pimpinan dan duta-duta intelektual ormas keagamaan sengaja atau tidak telah menjalankan upaya hegemoni budaya dan intelektual dengan harapan bahwa publik akan menerima sikap mereka sebagai suatu keabsahan dan pemerintah telah mendatangkan keadilan bagi ormas keagamaan. Narasi yang dihembuskan tentang kesempatan yang sudah semestinya direngkuh menutup mata atas minimnya kemampuan atas pengelolaan tambang dan dampaknya serta lemahnya tekad untuk menegosiasikan pilihan-pilihan kesempatan yang lebih baik di hadapan negara dan korporasi.

Dalam grand scheme of things, kita bisa melihat dengan pasti satu persatu ormas dipancing masuk ke dalam ruang-ruang politik berwajah keuntungan tambang yang tidak berkelanjutan. Hilang sudah kearifan yang dahulu ada untuk berpikir dua-tiga kali ketika ormas keagamaan diajak keluar zona pendidikan dan pengabdian kepada jamaah dan masyarakat di sekitarnya.

Melampaui polemik

Ormas keagamaan masih punya kesempatan untuk memperbaiki keadaan. Metode yang dipakai bisa bersifat jangka pendek dan menengah. Dalam jangka pendek, masukan-masukan dari jamaah dan jejaring ormas dapat dijadikan basis moral untuk mengambil sikap menunda upaya pengelolaan tambang hingga ada keputusan yang lebih kuat. Selanjutnya, dalam jangka menengah, perlu dilakukan pembahasan ulang persoalan ini dengan mempertimbangkan pengambilan dasar hukum (istidlal) baru dan inquiry langsung dari lapangan untuk penetapan kepentingan publik (maslahah).

Tawaran konkret antara lain telah disampaikan oleh Mohamad Shohibuddin dalam diskusi di Pesantren An-Nuqayah sebagai formulasi fikih keselamatan yang mencakup kehidupan manusia dan alam. Tawaran lain muncul pula dari Budhy Munawar-Rachman tentang teologi ekologis yang menggabungkan prinsip-prinsip teologis dengan kesadaran ekologis dalam serial tulisannya untuk menanggapi pandangan Ulil Abshar Abdalla.

Selain upaya internal ormas di atas, kalangan aktivis dan intelektual antitambang kotor perlu melakukan dialog berjenjang dengan pemuka ormas keagamaan yang difokuskan untuk mengembalikan integritas dan kohesi dalam masyarakat sipil. Pertemuan-pertemuan mana perlu dirancang untuk menjembatani kubu yang berseberangan dan dengan semangat untuk menghentikan maupun membalikkan upaya kooptasi terhadap masyarakat sipil.

Tidak pernah di masa pascareformasi kekuatan masyarakat sipil diuji sekeras ini. Tidak ada pilihan lain kecuali berbenah jika tidak ingin didikte oleh kepentingan oligarkis sehingga tetap menjadi suara bagi mereka yang terdampak pencemaran dan kerusakan lingkungan.

Artikel Tambang korporatisme negara pertama kali tampil pada KAHMI Nasional.

]]>
9869
Kak Aida, perempuan mentor tangguh https://www.kahminasional.com/read/2024/07/13/9830/kak-aida-perempuan-mentor-tangguh/ Fri, 12 Jul 2024 18:11:18 +0000 https://www.kahminasional.com/?p=9830 Oleh Lena Maryana Mukti, Duta Besar LBBP RI untuk Kuwait dan Koordinator MPI “Len, apa kabar?” Begitu suara Kak Aida menyapa setiap kali kami berkesempatan saling mengubungi. Biasanya kami menanyakan kesehatan masing-masing. Saya sangat menyesal tidak bisa bertemu fisik dengan beliau saat berkunjung ke tanah air pada bulan Mei 2024. Kami hanya sempat bertukar kabar melalui […]

Artikel Kak Aida, perempuan mentor tangguh pertama kali tampil pada KAHMI Nasional.

]]>
Oleh Lena Maryana Mukti, Duta Besar LBBP RI untuk Kuwait dan Koordinator MPI

“Len, apa kabar?” Begitu suara Kak Aida menyapa setiap kali kami berkesempatan saling mengubungi. Biasanya kami menanyakan kesehatan masing-masing.

Saya sangat menyesal tidak bisa bertemu fisik dengan beliau saat berkunjung ke tanah air pada bulan Mei 2024. Kami hanya sempat bertukar kabar melalui telepon. Saat itu, beliau minta didoakan karena akhir-akhir ini merasa tidak sehat. Yang dikeluhkan beliau adalah rasa sakit di tangan dan bagian belakang punggungnya.

Saya mengenal Kak Aida ketika saya aktif di Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Cabang Ciputat 1983-1989. Saat itu, saya mengikuti training HMI, yang salah satu narasumbernya adalah Kak Aida. Saya tidak ingat kapan tahunnya. Yang masih melekat di ingatan saya, meskipun sudah lewat kurang lebih 40 tahun, adalah sosok perempuan yang bertubuh tidak terlalu besar, tetapi suaranya sangat tegas dan jelas. Gaya bicara beliau runtut dan kadang diselingi pernyataan yang membuat kami tersenyum. Gaya bicara Kak Aida masih tetap sama meskipun sudah menginjak usia 70 tahunan.

Beliau selalu semangat apabila bertutur tentang pengawalan partisipasi dan representasi perempuan, baik di lingkungan kampus Institut Pertanian Bogor (IPB), di mana beliau mengabdikan diri sepanjang hidupnya, maupun di Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI), organisasi intelektual muslim Indonesia yang ikut beliau dirikan dan di berbagai organisasi lainnya, termasuk di Maju Perempuan Indonesia (MPI), yang terbentuk pada 09 November 2011.

Dalam semua kegiatan MPI, Kak Aida tidak pernah absen memberi sumbang saran. Beliau akan tekun mengikuti meskipun sebagai seorang Guru Besar, kadang kegiatan diskusi virtual yang MPI lakukan sudah sangat beliau pahami. Beliau akan hadir dari awal hingga akhir diskusi. Beliau sangat paham bahwa kehadiran beliau akan memberi semangat kepada juniornya.

Beberapa tahun yang lalu, saat ultah beliau ke-70 tahun, saya dan Mbak Yuda berniat mengunjungi kediaman Kak Aida di Bogor. Bahkan, kami sudah membelikan bunga ucapan selamat ultah untuk beliau. Keinginan kami dengan alasan akan cari lain waktu karena saat itu hari sudah menjelang sore. Hingga wafatnya beliau, niat mengunjungi beliau di Bogor tidak terwujud.

Kabar sakitnya Kak Aida saya dengar dari anaknya tanggal 30 Juni 2024. Bunyi pesan WhatsApp (WA) yang saya terima sebagai berikut:

“Assalamualaikum, Bu Lena, saya Desina putrinya Bu Aida, mohon maaf baru mengabarkan bahwa Ibu Aida sedang dirawat sudah selama 17 hari. Saat ini, komunikasinya sangat terbatas, tetapi barusan minta saya info ke Ibu. Mohon doanya, ya, Bu, untuk kesembuhan Bu Aida. Terima kasih.”

Saya langsung telepon dan menanyakan kondisi beliau. Dari anak keduanya, saya mendapat tambahan informasi bahwa sesungguhnya Kak Aida bersiap keluar dari rumah sakit, tetapi tiba-tiba kondisinya menurun dan harus diobservasi kembali. Belakangan, saya mendapat informasi bahwa beliau menderita CA dan sudah menyebar.

Dada saya langsung sesak dan tidak kuasa menahan tangis.

Kembali saya hubungi anak beliau, Jumat, 12 Juli 2024, pukul 04.00 waktu Kuwait (pukul 08.00 WIB), saat bersiap akan salat Subuh untuk menanyakan perkembangan terakhir kesehatannya. Karena anaknya sedang dalam perjalanan ke RS, saya dijanjikan akan diberi kabar tentang kondisi Kak Aida.

Saat menunggu kabar, saya buka Al-Qur’an dan membacakan Surat Yasin untuk memohon kepada Sang Khalik, Allah Swt agar memberikan yang terbaik untuk Kak Aida.

Setelah memanjatkan doa selesai Yasinan, saya membatin, “Jika Allah berkehendak, mudahkanlah jalan Kak Aida menghadap-Nya di hari Jumat yang penuh keberkahan.”

Ternyata, berita wafatnya Kak Aida datang beberapa jam setelah itu. Air mata saya tidak terbendung karena kesedihan yang luar biasa ditinggal seorang kakak, mentor, guru, sekaligus panutan saya. Duka saya bertambah karena belum sempat menghadirkan Kak Aida di Kuwait, seperti yang selalu saya sampaikan ke beliau ketika kami berkomunikasi.

Saya ingin memperkenalkan beliau ke perempuan Kuwait bahwa kami punya perempuan intelektual tangguh yang sempurna sebagai sosok pendidik, sosok istri yang luar biasa ketika almarhum suami Kak Aida masih ada, juga sosok seorang ibu sekaligus nenek yang tidak pernah berhenti membagi ilmu dan membagi kebaikan.

Ya Allah Yang Maha Pengasih dan Penyayang, terimalah kembalinya Kak Aida ke haribaan-Mu. Terangilah alam kuburnya, ampuni segala dosa dan kesalahannya, dan tempatkanlah almarhumah di jannah-Mu. Lahal Fatihah. Amin.

Artikel Kak Aida, perempuan mentor tangguh pertama kali tampil pada KAHMI Nasional.

]]>
9830
Maqdir Ismail, aktivis tanpa rasa takut https://www.kahminasional.com/read/2024/07/11/9827/maqdir-ismail-aktivis-tanpa-rasa-takut/ Thu, 11 Jul 2024 12:07:42 +0000 https://www.kahminasional.com/?p=9827 Oleh Lukman Hakiem, Plt. Ketua Dewan Mahasiswa IKIP Yogyakarta 1979-1981 Walaupun hanya Wakil Ketua Dewan Mahasiswa sebuah perguruan tinggi swasta di Yogyakarta, akan tetapi kualitas aktivisme Maqdir Ismail boleh disejajarkan dengan tokoh-tokoh mahasiswa dari perguruan tinggi lain, seperti Lukman Hakim (Dewan Mahasiswa Universitas Indonesia), Iskadir Chotob (Dewan Mahasiswa Unpad), Chudori Hamid (Dewan Masiswa IKIP Jakarta), […]

Artikel Maqdir Ismail, aktivis tanpa rasa takut pertama kali tampil pada KAHMI Nasional.

]]>
Oleh Lukman Hakiem, Plt. Ketua Dewan Mahasiswa IKIP Yogyakarta 1979-1981

Walaupun hanya Wakil Ketua Dewan Mahasiswa sebuah perguruan tinggi swasta di Yogyakarta, akan tetapi kualitas aktivisme Maqdir Ismail boleh disejajarkan dengan tokoh-tokoh mahasiswa dari perguruan tinggi lain, seperti Lukman Hakim (Dewan Mahasiswa Universitas Indonesia), Iskadir Chotob (Dewan Mahasiswa Unpad), Chudori Hamid (Dewan Masiswa IKIP Jakarta), Heri Ahmadi (Dewan Mahasiswa ITB), AR Nur (Dewan Mahasiswa IKIP Bandung), Baharuddin Aritonang dan Zulyaden (Dewan Mahasiswa UGM), serta Said Tuhuleley dan MT Arifin (Dewan Mahasiswa IKIP Yogyakarta).

Berbadan kecil, tidak berarti Maqdir berpikir kecil. Sikap kritisnya terhadap rezim Orde Baru menyebabkan penguasa murka. Apalagi, Maqdir turut menandatangani ikrar mahasiswa Indonesia yang meminta MPR menyelenggarakan Sidang Istimewa untuk meminta pertanggungjawaban Presiden Soeharto atas berbagai penyelewengan yang dilakukan. Bersama sejumlah penandatangan ikrar mahasiswa Indonesia lainnya, Maqdir kemudian ditangkap dan dipenjara di Markas Tentara di Semarang selama hampir 1 tahun.

Selepas dari tahanan rezim Orde Baru, Maqdir tidak terus tiarap. Dia menyediakan kantor Dewan Mahasiswa UII untuk tempat konsolidasi para mahasiswa penolak NKK/BKK ala Daoed Yoesoef. Padahal, Maqdir sendiri saat itu sedang menghadapi persidangan di Pengadilan Negeri Yogyakarta.

Maqdir memang piawai mengonsolidasikan kekuatan para mahasiswa pengeritik pemerintah. Para Mahasiswa yang kritis itu diminta oleh Maqdir untuk turut menyiapkan naskah pembelaan (pledoi) yang akan dibacakan Maqdir di Pengadilan.

Ditemani kopi dan pisang goreng yang besarnya luar biasa, para aktivis mahasiswa junior Maqdir itu dengan bersemangat menumpahkan seluruh pikirannya untuk menyusun pledoi Maqdir.

Pada masa mencekam itu, ada saja orang yang bersedia membantu perjuangan mahasiswa. Karena asyik menghantam pemerintah melalui naskah pledoi, seringkali para aktivis mahasiswa itu lupa waktu sehingga sudah lewat tengah malam naskah pledoi yang akan dibacakan Maqdir keesokan harinya belum siap. Dalam keadaan seperti itu, para penulis pledoi amatir itu segera melapor kepada Maqdir dan Maqdir menyampaikan hal itu kepada kawannya seorang dokter, yang kemudian dokter tersebut dengan senang hati mengeluarkan surat keterangan ditujukan kepada Ketua Pengadilan Negeri Yogyakarta berisi pemberitahuan bahwa Maqdir Ismail terganggu kesehatannya sehingga tidak bisa menghadiri sidang di Pengadilan Negeri Yogyakarta seperti biasanya.

Sikap Maqdir yang teguh pendirian dan tidak mengenal rasa takut itu tentu saja karena didukung oleh lingkungan sekitar. Maqdir dan para aktivis para mahasiswa UII beruntung karena memiliki rektor, GBPH Prabuningrat, seorang ningrat, yang sudah selesai dengan dirinya. Dan karena itu, tanpa ragu selalu tampil di depan mendukung dan membela perjuangan para mahasiswa UII. Populer di kalangan mahasiswa cerita tentang tentara yang akan memasuki kampus UII di Jalan Cikditiro menarik mundur pasukannya hanya karena melihat Prabuningrat berdiri tegak di gerbang kampus UII. Para tentara dengan senjata lengkap itu ternyata segan kepada adik Sri Sultan Hamengkubuwono IX tersebut.

Maqdir juga beruntung ditemani oleh para aktivis yang lurus seperti Artidjo Alkostar (Ketua Majelis Permusyawaratan Mahasiswa UII), SF Marbun (Ketua Dewan Mahasiswa UII), dan aktivis lain seperti Daris Purba. Maqdir beruntung bukan saja karena mendapat dukungan moral dan wibawa dari rektor dan kolega-koleganya, bahkan Dekan FH UII, Imam Suhadi, memimpin langsung Tim Pembela Maqdir Ismail di Pengadilan Negeri Yogyakarta.

Maqdir dan Petisi 50
Sesudah peristiwa 15 Januari 1974, yang berakhir dengan ditangkapnya sejumlah tokoh dan diberangusnya sejumlah koran, aksi-aksi protes dari kampus juga tidak surut. Puncaknya adalah gerakan mahasiwa 1977/1978. Dan sekali lagi, sejumlah orang ditangkap, sejumlah koran dihentikan terbit sementara, lembaga-lembaga mahasiswa dibekukan, dan pers kampus dilarang terbit.

Keprihatinan yang sama rupanya menyentuh pula para purnawirawan ABRI tertentu, terutama dari Divisi Brawijaya, Siliwangi, dan Diponegoro, yang sejak pertengahan 1970-an kerap bertemu dalam wadah keluarga besar Brawijaya-Siliwangi-Diponegoro (Brasildi) guna mendiskusikan situasi nasional pada umumnya dan peranan sosial politik ABRI pada khususnya.

Kelompok diskusi inilah yang kemudian diwadahi secara formal oleh Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD), Jenderal Widodo. Dalam kedudukannya sebagai Ketua Yayasan Kartika Eka Paksi, Widodo mengeluarkan SK No. 060/YKEP/1978 tertanggal 12 April 1978 tentang Pembentukan Forum Studi Komunikasi Para Purnawirawan Perwira Tinggi TNI AD (Fosko AD) sebagai suborganisasi YKEP. Widodo pula yang membiayai kegiatan Fosko AD ini.

Susunan pengurus Fosko AD ini ialah presidium, terdiri dari Letjen GPH Djatikusumo, Letjen Soedirman, dan Mayjen A. Sukendro. Sekretaris Jenderal Letjen HR Dharsono, Departemen Politik Letjen AY Mokoginta dan Brigjen Daan Jahja, Departemen Ekonomi Letjen M. Jasin dan Brigjen Agus Prasmono, Departemen Sosial Mayjen Munadi dan Mayjen Drs. Iskandar Ranuwihardjo, Departemen Budaya Mayjen Brotosewoyo dan Brigjen Broto Hamidjojo, Departemen Hukum Letjen Sugih Arto dan Mayjen Muamil Effendy, dan anggota-anggota Kolonel Alex Kawilarang, Kolonel Candra Hasan, Mayjen Harun Sohar, dan Brigjen Sukanda Bratamenggala.

Sejak dibentuk, Fosko AD telah mengeluarkan beberapa memorandum. Pertama, tentang Sidang Umum MPR 1978. Dikatakan oleh Fosko AD, kendati Soeharto terpilih kembali sebagai presiden untuk ketiga kalinya, tetapi langkah ke arah itu dilakukannya dengan menciptakan semacam “suasana perang” dalam sidang-sidang MPR guna memperoleh dukungan mutlak. Hal ini harus diubah. Juga disebutkan, perlu mendengarkan suara generasi muda, terutama mahasiswa dan mengakui apa yang benar dari perkataan mereka.

Kedua, tentang TNI dan dwifungsinya. Ada tiga hal yang disoroti Fosko AD. Prinsip-prinsip dwifungsi yang dicetuskan pada masa revolusi perlu ditinjau kembali, disesuaikan dengan perkembangan zaman. Dwifungsi adalah misi bukan demi pekerjaan. Kehidupan politik Indonesia harus diperbaiki sesuai prinsip-prinsip demokratis, memberi kesempatan yang sama bagi kelompok masyarakat untuk berpolitik agar TNI tidak mendukung atau menjadi bagian Golkar sesuai nilai-nilai moralnya (Sapta Marga): TNI atau ABRI harus tetap berada diatas semua golongan.

Ketiga, tentang Golkar dan permasalahannya. Memorandum yang dikeluarkan menjelang Musyawarah Nasional (Munas) II Golkar, Oktober 1978, yang intinya menyerukan seluruh jajaran ABRI meninggalkan dukungan aktif kepada Golkar dan berdiri di atas semua golongan sesuai pesan almarhum Panglima Besar Jenderal Soedirman. Golkar harus dikembalikan pada proposinya sebagai partai politik yang mandiri, dewasa, dan tidak dianakemaskan. Golkar dikritik tidak mampu membentuk kader-kader tangguh karena tergantung pada birokrasi dan ABRI.

Keempat, pada pokoknya memberi catatan sekitar konsolidasi dan penertiban TNI/ABRI, TNI/ABRI sebagai kekuatan sosial, kemanunggalan ABRI dengan rakyat, dan stabilitas nasional yang dinamis. Semua hal itu perlu ditata dengan baik agar tidak menimbulkan ekses bagi semua pihak.

Kelima, tentang pemerataan pembangunan, yang intinya menyatakan bahwa pemerataan pembangunan belum sepenuhnya tercapai, terutama di lapisan masyarakat miskin.

Keprihatinan terhadap situasi nasional tidak hanya dimiliki mereka yang berada di luar sistem kekuasaan, seperti para bekas politisi, bekas pejabat negara, atau bekas tentara. Perasaan prihatin pun meliputi pula Ketua Umum Kosgoro, Mayjen Mas Isman. Selama Kongres IV organisasi pendukung Golkar itu, Isman menyeru kaum intelektual Indonesia agar berorientasi kepada rakyat, undang-undang, dan peraturan negara harus ditegakkan, perasaan keadilan harus diciptakan, konsep massa mengambang dikritik sebagai bakal melahirkan pemimpin yang mengambang dan oportunis-oportunis politik yang akan menghambat pembangunan bangsa, dan hubungan antara Golkar dan militer harus diperbaiki.

Isman menganggap Golkar tidak perlu terus-menerus bergantung pada pemerintah dan militer. Jika ini terjadi, Golkar tidak akan melahirkan gagasan-gagasannya sendiri, tetapi hanya menjadi alat birokrasi. Isman pun berharap pemilihan umum di masa depan harus dimenangkan tidak melalui cara-cara abnormal dan tidak perlu dengan mayoritas suara yang begitu besar. Isman menyatakan, lebih baik menang sebagai kekuatan politik yang benar-benar memperoleh mandat dari rakyat.

Suara kritis juga muncul dari kalangan resmi. Wakil Ketua Dewan Pertimbangan Agung 1973-1978, Letjen Alamsjah Ratoe Perwiranegara, dalam pidato berjudul “Keadilan Sosial sebagai Tantangan Pembangunan Dewasa Ini” pada Seminar Nasional Himpunan Indonesia untuk Pengembangan Ilmu-ilmu Sosial (HIPIS) di Manado, 14-20 November 1977, menyoroti berbagai ketimpangan yang terjadi di masyarakat sejak dimulainya pembangunan oleh Orde Baru.

Mengenai sistem politik, Alamsjah menegaskan, bahwa esensi suatu sistem politik ialah pembagian kekuasaan di antara kekuatan-kekuatan sosial. Namun, kata Alamsjah, sekarang ini kekuatan politik dipegang oleh golongan yang memenangkan pemilihan umum dan ditunjang oleh ABRI. Menurut Alamsjah, menyitir pandangan sementara kalangan, praktik demokrasi Pancasila dalam perkembangannya sekarang ini menunjukkan bahwa peranan utama pada hakikatnya dijalankan oleh ABRI yang telah berhasil menumbuhkan dukungan dalam masyarakat berupa organisasi Golongan Karya. Partai-partai yang sebenarnya sudah mulai terpojok dalam periode demokrasi terpimpin, dalam Orde Baru tidak mendapatkan iklim yang menguntungkan bagi perkembangannnya sehingga lebih mengalami kemunduran. Apalagi, setelah diadakan fusi dalam rangka penyederhanaan kepartaian, kedudukan partai menjadi semakin lemah dan tidak cukup bobot untuk memegang peranan yang berarti dalam kehidupan bernegara. Hal ini tecermin dalam komposisi badan-badan perwakilan rakyat, di mana perimbangannya sangat timpang.

Alamsjah mencatat, akibat ketimpangan dalam badan perwakilan rakyat, lembaga-lembaga tersebut tidak bisa menjalankan fungsi pengawasannya seperti dikehendaki oleh UUD 1945. Padahal, kata Alamsjah, mestinya kedudukan sama kuat antara presiden dan parlemen merupakan cornerstone sistem pemerintahan menurut demokrasi Pancasila. Akibat lemahnya kontrol, pemerintah beserta birokrasinya ditambah karyawan yang ikut dalam Golkar dan duduk dalam DPR dapat bergerak leluasa.

“Kurang adanya kegiatan partai politik, seperti lazimnya dalam negara demokrasi yang dikenal selama ini, menyebabkan tidak dapat terbentuknya organized opinion sebagai salah satu pencerminan kontrol sosial masyarakat. Akibat berikutnya, di hampir semua segi kehidupan, wajar aparatur negara menampakkan diri. Inilah yang oleh banyak orang dimaksudkan dengan ambtenarenstaat, yang jelas tidak menguntungkan bagi tumbuhnya demokrasi yang sehat menurut ukuran yang dikenal sebelumnya dan memberikan kesan negatif bagi pandangan dunia luar,” ujar Alamsjah.

Tidak kurang dari Wakil Presiden 1973-1983, Adam Malik, memperdengarkan suara kritisnya. Pada puncak peringatan Hari Kebangkitan Nasional yang diselenggarakan bersama Fosko AD, DHD Angkatan 45 Jakarta, LBH, dan lain-lain, 1 Juni 1979, Adam Malik berkata, “Kita semua telah berikrar akan setia, menghayati, dan mengamalkan Pancasila dan UUD 1945. Namun, sering ucapan itu hanya di bibir saja tanpa diikuti dengan perbuatan yang nyata. Ini dosa kita. Inilah pokok masalah sekarang. Inilah penyebab utama yang membuat kemacetan-kemacetan sehingga mekanisme pemerintahan tidak jalan dengan selayaknya.”

Pada pidato di Auditorium Graha Purna Yudha itu, Adam Malik juga berkata, ” … banjir, serangan wereng, gempa bumi, dab berbagai penyakit melanda Indonesia saat ini merupakan peringatan Tuhan kepada kita. Kita semua telah berdosa, kita telah menyanggupi untuk setia kepada Pancasila dan UUD 1945, tapi tidak dipenuhi. Ini merupakan masalah mendasar dan penyebab utama keruwetan praktik pemerintahan sekarang. Sebagian pejabat hanya melihat, tapi tidak berusaha untuk mengerti. Orang-orang semacam ini tidak peduli terhadap Pancasila, UUD 1945, dan nasib rakyat ….”

Pidato Adam Malik itu tentu saja terasa bagai halilintar di siang bolong. Yang segera merasakan akibatnya adalah Fosko AD. Forum tersebut dibekukan oleh KSAD Jenderal Widodo. Sebagai gantinya, pada tanggal 21 Juni 1979, melalui SK No. 059/YKEP/1979, Widodo menyetujui pembentukan Forum Komunikasi dan Studi Purna Yudha, dengan catatan seluruh kegiatannya tidak boleh dibawa keluar. Namun, menurut Sukendro, kecuali nama, tidak ada yang berubah. Semuanya tetap, intensitas kegiatannya tetap, dan tujuannya tetap sama dengan Fosko AD: mengubah sistem agar infrastruktur politik dapat berjalan lebih baik.

Sementara itu, penting juga dicatat pada Sidang Umum MPR 1978, terjadi walk out Fraksi Persatuan Pembangunan (FPP) dari Komisi B yang membahas Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila. FPP tidak berkeberatan adanya suatu pedoman untuk mengamalkan Pancasila asal tidak berbentuk Ketetapan MPR dan tidak berbeda dengan jiwa dan makna Pancasila yang terdapat dalam UUD 1945. FPP juga meninggalkan ruangan ketika Komisi A hendak melakukan pemungutan suara tentang masuknya aliran kepercayaan ke dalam Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN).

Pada saat yang bersamaan, melalui pengadilan yang tidak bebas dan penuh rekayasa, Maqdir dijatuhi hukuman penjara yang sesungguhnya sekadar untuk melegitimasi pemenjaraan sebelumnya. Meskipun menyandang status sebagai “terhukum”, Maqdir memperlihatkan kualitasnya sebagai aktivis yang tidak mengenal rasa takut. Maqdir, yang sejak lulus kuliah menetap di Jakarta, tidak menghentikan sikap kritisnya kepada Orde Baru.

Bersama teman-temannya sesama aktivis Mahasiswa dan para negarawan senior, seperti Jenderal AH Nasution, Jenderal Polisi Hoegeng, Letnan Jenderal Marinir (Purn.) Ali Sadikin, Mohammad Natsir, Mr. Kasman Singodimedjo, Mr. Sjafruddin Prawiranegara, Dr. Anwar Harjono, Maqdir turut menandatangani Petisi 50. Akibatnya, Maqdir harus mengalami pembunuhan hak-hak sipilnya sehingga kariernya sebagai pengacara terhambat. Pengacara Maqdir baru muncul kembali kepermukaan setelah Presiden Soeharto berhenti dan datang era reformasi.

Dalam persahabatan lebih dari 4 dasawarsa, saya menimba ilmu dan belajar dari Maqdir. Saya belajar mengenai keteguhan pendirian dan sikap pantang menyerah dari Maqdir.

Pada ulang tahun ke-70, saya berdoa semoga Maqdir Ismail diberi umur panjang dalam sehat dan taat kepada Allah Subhanahu wa ta’ala. Jangan lupa bahagia.

Artikel Maqdir Ismail, aktivis tanpa rasa takut pertama kali tampil pada KAHMI Nasional.

]]>
9827
Wajah ganda agama: Antara anugerah dan bencana https://www.kahminasional.com/read/2024/06/09/9815/wajah-ganda-agama-antara-anugerah-dan-bencana/ Sun, 09 Jun 2024 10:35:46 +0000 https://www.kahminasional.com/?p=9815 Oleh Eko Cahyono, kandidat Doktor IPB dan mantan Pengurus HMI Cabang Yogyakarta Pemberian izin konsesi pertambangan pemerintah kepada ormas keagamaan menuai ragam kritik. Kebijakan tersebut dikhawatirkan akan melanjutkan dan memperburuk potret krisis sosial ekologis dan agraria akibat rezim keruk tambang. Hingga kini, masih sulit menemukan praktik industri ekstraktif pertambangan di tanah air yang hormat kemanusiaan, […]

Artikel Wajah ganda agama: Antara anugerah dan bencana pertama kali tampil pada KAHMI Nasional.

]]>
Oleh Eko Cahyono, kandidat Doktor IPB dan mantan Pengurus HMI Cabang Yogyakarta

Pemberian izin konsesi pertambangan pemerintah kepada ormas keagamaan menuai ragam kritik. Kebijakan tersebut dikhawatirkan akan melanjutkan dan memperburuk potret krisis sosial ekologis dan agraria akibat rezim keruk tambang. Hingga kini, masih sulit menemukan praktik industri ekstraktif pertambangan di tanah air yang hormat kemanusiaan, keadilan, dan keberlanjutan ekologis. Sebaliknya, marginalisasi, eksklusi, praktik korupsi, pencemaran (air dan udara), perampasan tanah, konflik agraria, perusakan ruang hidup rakyat justru yang sering tampil dominan (TII 2024, JATAM 2024).

Melalui Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2024 tentang Perubahan atas PP No. 96/2021 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral Batubara, dalam Pasal 83A, ormas keagamaan sah menjadi prioritas pemegang izin usaha. Pasal itu menegaskan bahwa wilayah izin usaha pertambangan khusus (WIUPK) dapat dilakukan penawaran secara prioritas kepada badan usaha yang dimiliki ormas keagamaan. Berdasarkan Pasal 83A ayat (2), WIUPK yang dapat dikelola oleh badan usaha ormas keagamaan merupakan wilayah tambang batu bara yang sudah pernah beroperasi atau sudah pernah berproduksi. Sejak 2022, pemerintah mengevaluasi izin usaha pertambangan yang diberikan kepada swasta dan menemukan sebanyak 2.078 izin usaha pertambangan (IUP) yang dianggap tidak melaksanakan rencana kerja dengan baik. Izin usaha inilah yang bisa digarap ormas keagamaan.

Melampaui debat tentang mampu tidaknya suatu ormas keagamaan mengelola industri tambang dengan baik dan benar, mungkin penting satu refleksi serius soal mengapa praktik agama bisa berwajah ganda? Di satu sisi, semua agama—dengan ormas keagamaan—pasti memiliki dalil sebagai penyeru utama pelestarian alam, penegakan keadilan, dan kemanusiaan. Namun di sisi lain, kenapa atas nama agama juga kerap menjadi pendukung bahkan legitimator praktik buruk kebijakan pembangunan perusak alam dan mengabaikan keadilan dan kemanusiaan sekaligus?

Hasil studi awal ICRS-UGM dan Sajogyo Institute (2020) berjudul “Agama dan Pembangunan Wajah Ganda Agama dalam 10 Potret Kasus di Indonesia” memperlihatkan dengan jelas praktik baik dan buruk atas nama agama. Sebut saja, misalnya, penolakan pertambangan oleh gereja Katolik di Manggarai (2009). Para pimpinan Gereja Katolik mengorganisasi masyarakat untuk menuntut penghentian aktivitas pertambangan oleh perusahaan. Diikuti oleh pernyataan Uskup Lenteng bahwa Keuskupan Ruteng merupakan gereja antitambang (2014). Tahun 2018, terbentuk Ikatan Masyarakat Adat Manggarai Anti Tambang (Imamat), yang mendeklarasikan diri sebagai kelompok peduli masalah pertambangan.

Kasus lainnya adalah penolakan para pendanda Hindu Bali bersama ForBali terhadap reklamasi Teluk Benoa (2016). Berdasarkan Keputusan Pesamuan Sabha Pandhita, para pedanda menyebutkan, di wilayah kawasan reklamasi terdapat wilayah-wilayah suci yang masih digunakan umat Hindu di sekitar Teluk Beno untuk ritual keagamaan.

Kasus lainnya adalah penolakan warga Nahdatul Ulama (NU) di Kabupaten Rembang, Jawa Tengah, yang didukung Front Nahdiyin untuk Kedaulatan Sumberdaya Alam (FNKSDA), atas PT Semen Indonesia dengan melakukan istigasah akbar di Pondok Pesantren Roudlotut Tholibin, KH Mustofa Bisri (2015). Selain menyebabkan konflik agraria, kehadiran pabrik semen di Rembang juga mengancam ekosistem kars Pegunungan Kendeng dan penghidupan rakyat di sekitarnya sehingga mudarat (dampak buruk, bahaya, kerusakan, atau bencana) dianggap jauh lebih besar dibandingkan maslahat (manfaat atau kebaikannya).

Yang menarik adalah dalam ketiga kasus ini, terdapat kelompok gereja/pendeta, pendanda, dan ulama/kiai di wilayah yang sama menggunakan argumen dan dalil agama justru untuk memberi dukungan, baik langsung maupun tidak, kepada proyek-proyek pertambangan dan reklamasi tersebut.

Cerita tiga kasus di atas hanyalah “puncak gunung es” dari kasus lain sejenis, yang mungkin belum/tak terekspose dan sangat mungkin lebih luas dan beragam di Indonesia. Tentu saja sikap keagamaan mereka juga dinamis, berubah-ubah, dahulu dan sekarang: dari yang sebelumnya menolak, kadang berubah menjadi mendukung. Namun, terlihat bahwa praktik wajah ganda agama bukanlah ekspresi keagamaan yang bersifat eksklusif dari satu agama. Hampir semua agama memiliki potensi yang sama: satu wajahnya bisa menjadi anugerah, tetapi wajah lainnya dapat menjadi bencana bagi hidup manusia dan alamnya. Setidaknya ada dua hal yang menjadikan agama berubah menjadi bencana, yakni pembusukan nilai-nilai dan pemutlakan atas tafsir kebenaran agama dan praktik politisasi dan instrumentalisasi agama.

Jika merefleksikan dan mengaktualisasikan ulang gagasan Charles Kimball (2013), diperlihatkan kapan agama dapat menjadi bencana. Dalam kasus terorisme dan aksi radikalisme, dengan berkedok agama, mereka menafsiran sepihak teks kitab suci secara skriputalistik menurut “ideologi” yang mereka yakini secara fundamental sehingga melahirkan “kebenaran suci” yang tak bisa dibantah. Di titik ini, agama telah menjadi korup/busuk. Busuknya agama setidaknya dapat dikenali melalui beberapa tanda. Pertama, ketika suatu agama mengklaim kebenaran agamanya sebagai kebenaran tunggal dan mutlak/absolut. Kedua, adanya ketaatan yang buta kepada pemimpin keagamaan. Ketiga, agama mulai gandrung merindukan zaman ideal, lalu bertekad merealisasikan zaman tersebut ke dalam zaman sekarang. Keempat, agama membenarkan dan membiarkan terjadinya tujuan yang membenarkan segala cara. Kelima, adanya seruan perang suci demi mencapai tujuan.

Dengan demikian, hal pertama yang menjadikan agama dapat menjadi bencana tatkala ada pembusukan nilai-nilai agama dengan memutlakkan kebenaran dari hasil tafsir atas kitab suci untuk tujuan-tujuan yang justru berkebalikan dengan mandat kemuliaan agama bagi manusia dan alam ciptaan-Nya. Dalam cerita tiga kasus di atas, baik Kristen, Hindu, dan Islam, dasar semangat perjuangan atas nama agama, baik untuk menolak maupun mendukung, sama-sama dimulai dengan menyusun argumen tafsir atas ajaran dan nilai agama dari kitab suci masing-masing. Maka, dapat disimpulkan bahwa sumber masalah agama dapat menjadi bencana atau anugerah ditentukan dari titik hulunya, model dan cara menafsirkan teks ajaran agama dalam kitab suci yang ujungnya menjadi landasan keyakinan atas “kebenaran mutlak/absolut”.

Sebaliknya, agama akan berubah menjadi anugerah ketika mampu dihindari upaya pembusukan agama akibat dari salah tafsir dan monopoli kebenaran tafsir itu secara mutlak dan membabi buta. Untuk itu, diperlukan satu bentuk tafsir agama yang lebih inklusif, manusiawi, dan ekologis selaras dengan mandat nilai dasar universal semua agama sebagai rahmat bagi semesta alam. Pemutlakan dan absolutisme dan kebenaran tunggal “tafsir agama” wajib dihindari. Sebab, sebagai manusia beragama, terikat batas imanensinya untuk menggapai secara penuh kebenaran ilahi yang bersifat transenden (tak terbatas). Dengan kata lain, sesama “penafsir” agama semestinya tidak bisa mengklaim diri memiliki “kebenaran mutlak tentang/dari Tuhan” daripada lainnya.

Secara historis, agama hidup dan dihidupi oleh para penganutnya yang juga terus-menerus mengkonstruksi kebudayaan dalam seluruh aspek kehidupannya, baik sosial, ekonomi, ekologi, dan politik, selaras ruang waktu tantangan zamannya. Dengan demikian, terjadi dialog, akulturasi, dan saling memengaruhi antara nilai-nilai sakral dan universal (kemanusiaan, persaudaraan, kasih sayang, pelestarian alam, dan seterusnya) dengan nilai-nilai profan dari manusia (kekuasaan, kebutuhan, kesenangan tanpa batas [materialisme-hedonisme], keuntungan sebesar-besarnya [kapilalisme], dan seterusnya). Yang mengkhawatirkan sering terjadi adalah ketika terjadi “perselingkuhan” antara manusia beragama yang memiliki keinginan akumulasi keuntungan–kekuasaan politik dengan menggunakan legitimasi agama. Maka, hal kedua yang dapat menjadikan agama berubah menjadi bencana adalah praktik politisasi dan instrumentalisasi agama. Sebab, praktik semacam ini membawa dampak-dampak sangat destruktif bagai nilai-nilai universal agama.

Pertama, agama akan hilang identitas nilai sakral dan universalnya sebagai sumber kedamaian, kasih sayang, kemanusiaan, pelestari alam, dan seterusnya. Sebab, dalam praktik kontestasi politik umumnya segala cara dipakai untuk mencapai tujuan meraih kekuasaan. Tak ada kawan dan lawan yang abadi, yang abadi hanya kepentingan untuk kekuasaan. Melalui intrumentalisasi agama sebagai alat politik, solidaritas dukungan konstituen politik dibangun dan ditumbuhkan. Seringkali dengan sentimen fanatisme dengan membajak kedalaman makna dan tafsir agama menjadi lebih eksklusif dan radikal.

Kedua, agama akan berubah lebih berwatak ekstrem dan meluruhkan jiwa moderasinya. Sebab, agama semata didudukkan sebagai instrumen dan komoditas politik demi kekuasan pribadi dan kelompok. Maka, ekspresi keagamaan yang akan dilahirkan adalah politik segregasi siapa kawan dan lawan secara ekstrem. Istilah keagaman kerap serampangan dirujuk sebagai justifikasi, seperti, kafir, murtad, munafik, bid’ah, dan seterusnya. Istilah yang sebenarnya multitafsir, dimonopoli secara eksklusif untuk menarik demarkasi kebenaran seturut pengucapnya. Ketiga, agama akan kehilangan identitasnya sebagai entitas yang mampu membangun persaudaraan antaragama. Sebab, saat agama menjadi instrumen politik kekuasaan, maka akan menjadi alat pembelah efektif “kita” dan “mereka”, kawan dan lawan berlandaskan tujuan politik pragmatis penganut masing-masing.

Dengan argumen di atas, maka agama dapat berubah menjadi anugerah ketika mampu menghindari dari upaya politisasi dan intsrumentalisasi agama semata demi kekuasaan dan kepentingan pragmatis sekelompok orang/lembaga. Sebab, jika satu kelembagaan agama punya tujuan pragmatis kekuasaan, maka ia akan mudah dan berani memproduksi statement politik atas nama “kebenaran” agamanya untuk mendukung kebijakan kekuasaan tersebut. Tepat pada titik ini, terjadi legitimasi kebijakan kekuasaan atas nama agama. Jika kebijakan itu berupa pemberian konsesi tambang, yang dalam praktiknya lebih banyak melahirkan kerusakan ekologis, pengabaian prinsip kemanusiaan dan keadilan sosial, maka pada saat itulah terjadi praktik holy grabbing; perampasan dan penyingkiran hak rakyat dari ruang hidupnya sendiri atas nama kesucian (agama).

Tampaknya semakin tak cukup lagi tujuan kegiatan keagamaan dan kelembagaannya semata berorientasi penebalan keimanan umat pada Tuhannya atau peningkatan kesejahteraan sosial ekonomi umatnya semata. Namun, mesti memiliki keberanian politik menolak praktik politisasi, instrumentaslisasi agama demi tujuan pragmatis kekuasaan, terlebih jika hal itu justru menjadi topeng kapitalisasi sumber daya alam yang terbukti memperburuk dan melahirkan bencana bagi nasib umat dan ruang hidupnya. Sebab, hal itu akan mengingkari hakikat agama yang sejak lahirnya adalah sumber energi pembebasan kaum marginal, berwatak sosialistik yang antieksploitasi dan akumulasi, menjunjung tinggi prinsip keadilan dan kemanusiaan (Syed H. Alatas, Islam dan Sosialisme, 2022). Maka, praktik wajah ganda agama mesti menjadi refleksi penting. Agama akan menjadi anugerah atau bencana sangat ditentukan bagaimana agama diperlakukan oleh para penganutnya, dipahami bagaimana, digunakan untuk apa, dan yang terpenting untuk membela siapa.

Artikel Wajah ganda agama: Antara anugerah dan bencana pertama kali tampil pada KAHMI Nasional.

]]>
9815
Salim Haji Said: A grand success https://www.kahminasional.com/read/2024/05/19/9788/salim-haji-said-a-grand-success/ Sun, 19 May 2024 06:50:00 +0000 https://www.kahminasional.com/?p=9788 Oleh Hamid Basyaib, alumnus HMI Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (UII), aktivis, mantan wartawan, dan penulis sejumlah buku Bang Salim suatu sore melakukan apa yang hampir tak pernah dilakukannya: menelepon saya. Ia berharap agar saya menerjemahkan buku masyhur karya Zbigniew Brzezinski, The Grand Failure: The Birth and Death of Communism of the Twentieth Century. Itu […]

Artikel Salim Haji Said: A grand success pertama kali tampil pada KAHMI Nasional.

]]>
Oleh Hamid Basyaib, alumnus HMI Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (UII), aktivis, mantan wartawan, dan penulis sejumlah buku

Bang Salim suatu sore melakukan apa yang hampir tak pernah dilakukannya: menelepon saya. Ia berharap agar saya menerjemahkan buku masyhur karya Zbigniew Brzezinski, The Grand Failure: The Birth and Death of Communism of the Twentieth Century. Itu buku terbitan lebih dari 30 tahun lalu. Mengapa ia tiba-tiba ingin buku itu diindonesiakan?an

“Buku penting itu jarang dibaca orang di sini karena belum pernah diterjemahkan,” katanya. “Bagi yang sudah membacanya pun perlu diingatkan lagi.”

Ia lalu menyebut nama sebuah lembaga yang ia yakini mau mensponsori penerjemahan dan penerbitan karya Brzezinski, seorang mantan Kepala Dewan Keamanan Nasional Amerika (NSC).

Itu buku yang cukup mudah diterjemahkan, tetapi saya harus mencuri waktu khusus untuk mengerjakannnya. Karena itu, saya tidak langsung menyanggupi, tak juga menolaknya, hanya berjanji akan menjajaki segala kemungkinannya. Besoknya, ia mengirim buku tebal itu disertai sebuah buku tipis karya Soe Hok Gie.

Tampaknya usul penerjemahan “The Grand Failure” adalah bagian dari minat besarnya terhadap jatuh-bangun Komunisme. Dalam beberapa tahun terakhir, ia memang semakin intens meminati isu ini, seperti terlihat dari beberapa buku yang ditulisnya.

Sebagian isi buku-buku itu didasarkan pada pengalaman pribadinya sebagai wartawan harian Angkatan Bersenjata, di masa puncak ketegangan politik dengan naiknya pamor Partai Komunis Indonesia (PKI) dan kian gencarnya Angkatan Darat mengawasi dengan cemas popularitas PKI itu.

Sebagai wartawan koran milik ABRI dalam usia awal 20-an, Salim terlibat jauh dalam dinamika politik yang menjadi kesibukan harian para seniornya dan sangat yakin ia harus berdiri di pihak mana dalam “perang dingin” antara Angkatan Darat dan PKI.

Dalam salah satu buku, misalnya, ia sebagai wartawan—yang dibekali pistol oleh patronnya di koran AB, Brigjen Sugandhi—mendatangi rumah Dipa Nusantara Aidit di Jakarta, yang dihancurkan massa setelah peristiwa G30S. Ia ingin tahu bagaimana kondisi kediaman Ketua PKI yang masyhur itu, yang saat itu sudah ditembak mati di persembunyiannya di Boyolali, Jawa Tengah.

“Kondisi rumahnya benar-benar berantakan,” tulis Salim. “Di ruang tamu, meja kursi terbalik malang melintang, kaca-kaca pecah di sana-sini. Di bagian belakang, saya lihat ada seorang lelaki tua yang berwajah Arab.”

Orang tua itu, katanya, sangat mungkin adalah ayah DN Aidit—ia tak menceritakan apakah ia sempat bertegur sapa dengannya. Namun, dengan cara itu, ia seakan ingin memberi konfirmasi bahwa tokoh besar PKI itu memang benar seorang keturunan Arab.

***

Sejak masih bersekolah hingga SMP di kampung halamannya di Parepare, kini bagian dari Provinsi Sulawesi Selatan, ia meminati kesenian dan cukup mengikuti perkembangan dunia seni di ibu kota. Pindah dan menyelesaikan SMA di Solo, ia kemudian belajar di Akademi Teater Nasional Indonesia, lalu masuk Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, dan lulus sebagai sarjana sosiologi di universitas yang sama.

Ia terlalu lama kuliah karena sangat banyak diselingi oleh kerja jurnalistik. Ia lulus dengan skripsi tentang perfilman Indonesia, suatu tema yang sangat jarang disentuh oleh dunia akademis hingga sekarang. Dan karena itu, ia kemudian dikenal sebagai otoritas yang tepercaya untuk mengulas film-film Indonesia selain pernah menjadi asisten sutradara.

Ia memperluas minatnya pada seni pertunjukan—dan banyak meresensi pentas-pentas drama—dan kemudian menerbitkan kumpulan tulisannya sebagai buku. Ditinjau dari standar tertentu, tulisan-tulisannya tak mudah untuk dinyatakan bermutu tinggi. Namun, minat besarnya tak pernah ditinggalkannya: mencermati politik kiri.

Ketika melanjutkan studi doktoral di Ohio State University, Amerika, ia lebih memusatkan perhatiannya pada sisi lawan si kiri, Angkatan Darat. Ia lulus dengan disertasi yang kuat, Genesis of Power: General Sudirman and the Indonesian Military in Politics, 1945-49, yang menyajikan sejarah dan analisis tentang asal muasal naiknya tentara dalam kancah politik Indonesia.

Dalam hal ini, ia beruntung karena memiliki jalinan relasi luas di kalangan para pelaku sejarah beserta para junior mereka di Angkatan Darat. Ia tak mengalami kesulitan dalam mengakses para narasumber penting, tidak seperti kebanyakan mahasiswa doktoral yang sedang menulis disertasi.

Pulang ke Indonesia dengan gelar Ph.D ilmu politik, ia tak berminat pada pekerjaan lain. Ia ingin kembali ke dunia jurnalistik. “Bagi saya, yang penting tulisan-tulisan saya dibaca oleh kalangan luas,” katanya. Itu, baginya, hanya bisa dicapai melalui karya jurnalistik, bukan aktivitas akademis di balik tembok kampus.

Namun, ia dibentur kekecewaan yang tak pernah ia duga. Di kantor yang lama ditinggalkannya, majalah Tempo, rupanya terjadi restrukturisasi manajemen dan personalia. Ia hampir tak percaya pada apa yang diberikan perusahaan sebagai “hadiah” kepada dirinya, seorang wartawan bergelar doktor ilmu politik yang menjadi bagian dari generasi pendiri majalah mingguan terkemuka itu: ditempatkan sebagai reporter, posisi terendah dalam kewartawanan.

Sesudah macam-macam argumen dan permintaan pertimbangan yang diajukannya kepada manajemen sia-sia, ia berhenti dari Tempo dan menjual semua saham kecilnya untuk bekal menapaki jalan baru di luar jalur jurnalistik.

Ia memendam kepahitan itu bertahun-tahun dan tak jarang menceritakannya kepada sejumlah kawan. Baginya, alasan penempatan sebagai “sekadar reporter” terhadap dirinya yang sangat senior merupakan bagian dari pelecehan terhadap segala yang berbau akademis di perusahaan media itu.

“Pendiri majalah itu memang kebanyakan tidak lulus sekolah dan cenderung antidunia akademis,” katanya kepada beberapa kawan. “Maka, bukannya senang dan bangga bahwa ada wartawannya yang sampai mencapai gelar doktor dari universitas besar di Amerika, mereka justru sengaja merendahkannya. Saya sebagai generasi perintis majalah itu diperlakukan seperti ini….”

***

Ia menghabiskan waktunya sebagai duta besar RI untuk Republik Ceko dengan lebih banyak membaca dan menulis. Indonesia tak punya banyak hubungan politik dan perdagangan dengan hampir semua negara Eropa Timur. Maka, ia punya banyak waktu luang untuk membaca dan menulis selain sesekali mengadakan acara budaya Indonesia, bidang yang sesuai minat lamanya.

Seiring dengan itu, tampak muncul semacam kesadaran baru religius di dalam dirinya. Di buku-bukunya pada periode ini, ia yang sejak lama dikenal sebagai intelektual sekuler, menuliskan nama barunya: Salim Haji Said—seakan diilhami cara orang Malaysia dalam menuliskan nama, dengan “Haji” di tengah.

Dalam suatu obrolan kecil di Institut Peradaban, lembaga yang dibentuknya di Tebet, Jakarta Pusat, “kesadaran religius” itu tersirat. Para peserta obrolan terbagi dalam dua kubu: pro teori evolusi Darwinian dan kubu kreasionisme.

Setelah lama terdiam dan menyimak diskusi yang menghangat, ia mengajukan “jalan tengah”: “Saya percaya pada teori evolusi, tapi saya yakin bahwa yang menggerakkan evolusi itu adalah Tuhan”. Ia tampak tak peduli jika orang heran mendengar “solusi” yang sangat menggampangkan ini.

***

Selain meminati kajian tentang gerakan-gerakan revolusioner, ia juga selalu mencermati tentara sebagai aktor politik—bukan sebagai kekuatan militer.

Ia seolah mendapatkan kedua fokusnya itu sekaligus dalam kudeta mutakhir di Mesir, ketika Jenderal Abdul Fatah Al Sisi merebut kekuasaan dari Muhammad Morsi, tokoh Ikhwanul Muslimin, cikal bakal semua gerakan Islam politik abad 20, yang setelah berikhtiar puluhan tahun akhirnya mampu menempatkan kadernya sebagai presiden.

Salim Haji Said ingin melihat dari dekat bagaimana tentara Mesir akhirnya merasa tak bisa tinggal diam dan bangkit mematahkan kekuatan Ikhwanul Muslimin yang menggelorakan euforia berkat keberhasilan tokohnya menduduki kursi presiden.

Ia ingin mewawancarai Jenderal Al Sisi dan sibuk menyiapkan keberangkatan ke Kairo. Ia tak kesulitan mendapatkan akses untuk itu. Agaknya ia ingin menulis studi perbandingan antara keberhasilan tentara Indonesia dalam menumpas gerakan pemberontakan Islam NII (juga belakangan PKI) dan sukses tentara Mesir dalam mematahkan ambisi politik Ikhwan.

Setelah tak kunjung mendapatkan sponsor finansial, ia mengubur keinginan itu dan mungkin kemudian merasa cukup dengan menuliskan perbandingan garis-besar antara sukses Angkatan Darat kedua negara.

***

Ia menyumbangkan 10.000 koleksi perpustakaan pribadinya (buku, video, kaset, majalah, dan sebagainya) kepada Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta. Apakah ini bagian dari “kesadaran religiusnya”?

Para pengunjung sekarang bisa menikmati “Salim Said Corner” di kampus itu. Ia sedang menyiapkan sumbangan gelombang kedua untuk universitas yang sama.

Ia sering menggerutu terhadap kecilnya uang pensiun sebagai bekas duta besar. Namun, tampaknya ia cukup puas dengan honor dan mobil dinas yang diterimanya sebagai penasihat Kapolri.

Ia, yang belakangan mengganti topi golf favoritnya dengan peci hitam piramidal yang menjulang, dengan rambut menjulur ke delapan arah karena sering tak sempat dicukurnya, kemudian banyak mengkritik pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi).

Pada Pilpres 2019, sikapnya mencapai tingkat yang ganjil dan mengherankan: sebagai pelajar politik seumur hidup ia hadir di pertemuan besar di Surabaya pada 14 Februari 2019 atau tiga hari sebelum hari pencoblosan, padahal acara itu semacam “pelantikan tak resmi” untuk kabinet baru yang saat itu dipimpin capres Prabowo Subianto.

Ia tampak merasa tak ada fatsun yang ia langgar dengan terlibat dalam rapat akbar yang mengasumsikan Prabowo-lah yang pasti akan menjadi presiden, suatu tendensi tindakan fait accompli yang tidak pernah terjadi dalam sejarah pilpres di Indonesia dan dunia.

***

Seperti kebanyakan orang, tak semua keinginannya terpenuhi. Ia, misalnya, setelah kegetiran yang dialaminya di majalah Tempo, akhirnya gagal pula memimpin sebuah koran harian, meski pembicaraan dan persiapan yang dilakukannya telah cukup matang sampai di level Wapres BJ Habibie.

Ia, yang pernah menjabat Ketua Dewan Kesenian Jakarta (DKJ), termasuk tamu favorit acara bincang di televisi dan podcast karena kefasihan dan kepiawaiannya menyederhanakan duduk perkara. Baginya, tak ada pertanyaan host yang perlu dijawab dengan hati-hati dan sikap politically correct.

Semua pertanyaan dijawabnya dengan gamblang disertai pemaparan latar belakang luas yang tak selalu diketahui oleh si penanya. Ia selalu penuh percaya diri karena yakin mengerti apa yang sedang dibahasnya.

Ia, yang setia menjaga tradisi lama kesarjanaan, dengan terus tekun membaca literatur dan produktif menulis buku-buku sampai hari-hari terakhirnya—menyelesaikan masa hidup dalam usia 80, pada Sabtu malam, 18 Mei.

Dengan dipadati begitu banyak kegiatan intelektual dalam bidang yang begitu beragam selama enam dekade, hidup Salim Haji Said tak mungkin disebut a failure, apalagi the grand failure.

Artikel Salim Haji Said: A grand success pertama kali tampil pada KAHMI Nasional.

]]>
9788
Warung Madura dan pembangunan entrepreneurship di Indonesia https://www.kahminasional.com/read/2024/04/28/9671/warung-madura-dan-pembangunan-entrepreneurship-di-indonesia/ Sun, 28 Apr 2024 16:58:13 +0000 https://www.kahminasional.com/?p=9671 Oleh Syahganda Nainggolan, pendiri Sabang Merauke Circle Warung Madura di Bali diminta untuk tutup pada malam hari. Berita ini menjadi topik hangat belakangan ini. Merujuk pemberitaan media, di Klungkung alasannya adalah keluhan pemilik minimarket yang merasa terganggu pendapatannya, sedangkan di Denpasar lebih pada alasan penertiban penduduk dan keamanan kota. Aturan kota memang tidak menyentuh warung […]

Artikel Warung Madura dan pembangunan entrepreneurship di Indonesia pertama kali tampil pada KAHMI Nasional.

]]>
Oleh Syahganda Nainggolan, pendiri Sabang Merauke Circle

Warung Madura di Bali diminta untuk tutup pada malam hari. Berita ini menjadi topik hangat belakangan ini. Merujuk pemberitaan media, di Klungkung alasannya adalah keluhan pemilik minimarket yang merasa terganggu pendapatannya, sedangkan di Denpasar lebih pada alasan penertiban penduduk dan keamanan kota. Aturan kota memang tidak menyentuh warung informal sehingga pemerintah kota di Bali sedikit bingung mengimplementasikan kebijakan itu.

Pemerintah pusat sendiri, Kementerian Koperasi, yang semula menyetujui pembatasan operasional warung Madura, menarik kembali ucapannya setelah banyak kritik. Pemilik warung bersikeras bahwa mereka justru bisa bertahan kalau buka di waktu dini hari. Lalu, bagaimana kita melihat ini ke depan?

Pertama, dari kacamata sosiologi dan kebudayaan, pertumbuhan jumlah kelompok enterpreneurship (wirausahawan) di Bali tentu dapat menjadi potensi ketegangan social karena keberhasilan mereka, khususnya dalam jangka panjang, akan menimbulkan kecemburuan di tingkat masyarakat bawah.

Kecemburuan ini dapat bersifat ekonomi karena adanya ketimpangan. Namun, dapat juga berupa identitas karena warga Madura merupakan pemeluk agama Islam yang taat. Orang-orang Bali sendiri mayoritas merupakan masyarakat Hindu.

Kedua, dari kacamata industri pariwisata, warung-warung Madura ini mengesankan “kekumuhan” kota, yang mungkin akan memengaruhi kesuksesan industri pariwisata berskala internasional. Kita ketahui bahwa di tangan Sandiaga Uno, industri pariwisata bergeliat menjadi tulang punggung pendapatan negara. Bali sebagai target destinasi wisatawan asing dan penghasil devisa terus digenjot. Model warung kelontong 24 jam tentu dikhawatirkan sebagai sumber kerawanan pula.

Kedua alasan di atas adalah sebuah cara pandang negatif, yang pastinya menjadi alasan pemerintah berusaha untuk membatasi pertumbuhan dan kesuksesan warung Madura. Apakah kita bisa mempunyai cara pandang lainnya?

Untuk itu, kita harus mengenengahkan 3 argumen penting untuk mendorong keberadaan dan kemajuan warung Madura. Pertama, warung-warung Madura adalah fenomena urban, di mana di setiap kota-kota yang mengalami kemajuan kota dan ekonominya, warga Madura datang untuk berusaha. Hal itu kita lihat di Monas dan Kota Tua, Jakarta; di Malioboro, Yogyakarta; toko-toko kayu dan besi bekas di berbagai kota besar; dan lain-lain bahkan menjadi enterpreneur sukses di Kalimantan Barat beberapa dasawarsa belakang.

Hak warga negara mencari nafkah harus dilihat sebagai hak yang dijamin undang-undang atau bahkan seharusnya negara berterima kasih. Sebab, sesungguhnya UUD malah mewajibkan negara memberikan pekerjaan layak pada semua warga.

Kedua, enterpreneurship. Sifat kewirausahaan orang-orang Madura, selayaknya juga orang Padang/Minang, merupakan anugerah yang harus disyukuri bangsa kita. Kenapa? Karena mayoritas bangsa kita mentalnya bukan mental pedagang, melainkan mental pegawai, yang menyebabkan gagalnya kita membangun masyarakat entrepreneur.

Kaum enterpreneur di negara maju umumnya mencapai rerata 12% atau lebih, sedangkan di Indonesia berkisar 4% dari jumlah masyarakatnya. Padahal, salah satu syarat untuk menjadi negara maju tersebut, jumlah kaum wirausaha harus cukup besar.

Menciptakan proporsi kaum usahawan tidak bisa diharapkan dari perkumpulan-perkumpulan pengusaha atau UMKM yang muncul karena KKN pada kekuasaan. Banyak anak-anak muda yang mendapatkan stempel pengusaha muda muncul karena koneksi pada kekuasaan. Orang-orang seperti ini biasanya tidak dapat diandalkan dalam memajukan usaha dan industri secara positif karena mental calo.

Dengan demikian, enterpreneur model Madura ini perlu diperluas agar Indonesia mampu mencapai jumlah wirausaha yang dibutuhkan. Upaya Jusuf Kalla menghidupkan kelompok-kelompok saudagar daerah-daerah beberapa waktu lalu perlu dilihat sebagai kekuatan natural yang perlu dilakukan terus-menerus.

Pengalaman saya ketika berpartner dengan orang Madura, misalnya di Pelabuhan Indonesia 2, ketika saya Komisaris dan Dirutnya, Abdullah Syaifuddin, sang Dirut mampu menaikkan keuntungan Pelindo saat itu dari Rp800 miliar menjadi Rp1,2 triliun alias penambahan Rp400 miliar dalam tempo setahun. Begitu pula ketika saya sering menemani Cak Fai, pedagang Sate di Yogyakarta, Ketua Pedagang Kaki Lima se-Indonesia (APKLI) era 90-an hingga 2000-an, terjadi kemajuan usaha kaum kaki lima secara drastis, baik dari sisi administrasi usaha, permodalan, maupun omzet. Jadi, memang orang-orang Madura itu memiliki kelebihan sebagai pebisnis atau menjalankan bisnis.

Oleh karena itu, melihat warung-warung Madura yang berkembang di Bali haruslah melihat mereka sebagai sumber daya pebisnis yang perlu didukung agar tumbuh berkembang bersama kemajuan parawisata Bali. Keberanian mereka bekerja siang malam harus disambut pemerintah Bali dan Ok Ocenya Sandiaga Uno dengan melakukan pembinaan pada sisi manajemen, kebersihan, dan pembiayaan warung agar kompatibel dengan kemajuan Bali.

Ketiga, kerja sama bukan permusuhan dengan minimart. Kaum kapitalis yang menguasai supply chain dan distribusi kebutuhan pokok dan berbagai keperluan rumah tangga sudah selayaknya melihat warung-warung rakyat sebagai bagian kemajuan bersama bangsa. Kita sadar bahwa supermarket dan minimarket yang dikontrol kalangan taipan selama ini telah mematikan warung-warung lokal. Mereka mampu mengontrol ketersediaan barang, mengontrol harga, dan bahkan mengontrol ketersediaan tempat usaha.

Jika pikiran kaum taipan ini adalah “berbagi” bukan monopoli kemajuan bisnis, maka sebuah kerja sama harus dibicarakan dengan warung-warung tersebut, di mana mereka bisa berbagai keuntungan. Pemerintah lokal dapat menjembatani kerja sama tersebut, baik dalam kepentingan pelayanan maupun ke depannya sebagai sumber income bagi pemerintah. Sebaliknya, jika minimarket ini tetap ingin menang sendiri dan mematikan warung-warung rakyat, maka sudah selayaknya kita berdiri di belakang kesuksesan warung-warung Madura.

Dengan 3 alasan di atas, sudah cukup bagi pemerintah di Bali maupun oleh pemerintah pusat bekerja mendukung warung-warung Madura. Tentu saja pemerintah harus mendukung semua warung-warung Madura yang ada di Jakarta serta kota besar lainnya. Tantangan yang ada harus dianggap sebagai sebuah kesempatan. Pemerintah harus terus membangun totalitas dan proporsi kaum wirausaha di Indonesia, menciptakan kerja sama “bapak angkat-anak angkat” antara minimarket (ritel) modern dengan warung Madura dan mencari tambahan income negara (pendapatan daerah) melalui retribusi daerah.

Ancaman ketegangan sosial dan etnis maupun ancaman keamanan dan ketertiban harus diletakkan pada kepentingan yang lebih besar. Bali adalah milik semua. Maju Balinya, maju warung Maduranya.

***

Rencana pemerintah di Bali membatasi warung Madura harus dihentikan, baik karena alasan kecemburuan minimarket maupun ketertiban kota. Sebaliknya, warung Madura harus dibina dan dikembangkan sebagai bagian dari kewirausahaan nasional. Pemerintah pusat, Sandiaga Uno, dapat membuat desain pembinaan ala Ok Oce pada warung-warung tersebut sehingga warung-warung itu kompatibel pada industri pariwisata Bali.

Saatnya membela kaum lemah.

Artikel Warung Madura dan pembangunan entrepreneurship di Indonesia pertama kali tampil pada KAHMI Nasional.

]]>
9671
Demokrasi Indonesia di persimpangan jalan https://www.kahminasional.com/read/2024/03/27/9553/demokrasi-indonesia-di-persimpangan-jalan/ Wed, 27 Mar 2024 10:36:23 +0000 https://www.kahminasional.com/?p=9553 Oleh Anies Baswedan, calon presiden nomor urut 1 pada Pilpres 2024 Yang Mulia Hakim Mahkamah Konstitusi, hari ini adalah sebuah momen yang sangat penting dalam sejarah kita. Kami berdiri dengan penuh rasa hormat di depan Mahkamah Konstitusi untuk menyampaikan sebuah suatu situasi yang mendesak dan kritis serta memerlukan pertimbangan mendalam dan keputusan yang bijaksana. Bangsa […]

Artikel Demokrasi Indonesia di persimpangan jalan pertama kali tampil pada KAHMI Nasional.

]]>
Oleh Anies Baswedan, calon presiden nomor urut 1 pada Pilpres 2024

Yang Mulia Hakim Mahkamah Konstitusi, hari ini adalah sebuah momen yang sangat penting dalam sejarah kita. Kami berdiri dengan penuh rasa hormat di depan Mahkamah Konstitusi untuk menyampaikan sebuah suatu situasi yang mendesak dan kritis serta memerlukan pertimbangan mendalam dan keputusan yang bijaksana.

Bangsa dan negara kita kini berada di dalam titik krusial, sebuah persimpangan yang akan menentukan arah masa depan kita. Apakah kita akan melanjutkan perjalanan kita menuju kedewasaan sebagai sebuah negara demokrasi yang matang ataukah kita akan membiarkan diri tergelincir kembali ke bayang-bayang era sebelum reformasi, yang justru hendak kita jauhi?

Kita dihadapkan pada pertanyaan-pertanyaan fundamental yang menentukan: apakah Republik Indonesia yang kita cintai ini akan menjadi negara yang menghargai dan memperjuangkan konstitusi sebagai pilar tertinggi demokrasi kita (rule of law) atau apakah kita akan mereduksi konstitusi menjadi sekadar alat untuk pelanggengan kekuasaan tanpa pengawasan (rule by law)?

Kita harus memutuskan apakah kita akan menjadi negara yang mengakui dan menghormati hak setiap individu untuk menentukan pikiran dan menyuarakan pilihannya secara bebas dan independen, yang merupakan esensi dari demokrasi, atau kita justru berpaling dari prinsip tersebut dan memilih di mana suara oligarki diberi prevalensi, mengesampingkan kesejahteraan umum, dan mengabaikan kepentingan nasional yang lebih luas.

Ini adalah saat di mana kita harus menentukan komitmen kita terhadap nilai-nilai demokrasi, kedaulatan hukum, dan hak asasi manusia. Ini adalah waktu untuk menunjukkan bahwa Indonesia adalah bangsa yang besar. Bangsa yang besar bukan hanya dalam aspek wilayah, bukan hanya aspek populasi, bukan hanya aspek angka-angka ekonomi, tetapi juga bangsa yang besar karena kebijaksanaannya, karena keberaniannya, karena integritasnya di dalam menegakkan demokrasi dan konstitusi.

Yang Mulia Hakim Mahkamah Konstitusi, sejak zaman pra-kemerdekaan, bangsa dan negara kita telah menapaki berbagai persimpangan krusial yang menentukan arah dan nasib bangsa indonesia. Tidak semua keputusan yang dibuat adalah keputusan yang tepat, sebagian adalah keputusan yang tidak tepat. Dan itu dicatat di dalam sejarah kita. Semua yang terlibat dicatat sebagai bagian dari perjalanan sejarah indonesia.

Karena itu, di saat yang berharga ini kita juga dihadapkan pada kenyataan yang sama, bahwa peristiwa yang berlangsung hari-hari ini akan menjadi bagian dari catatan sejarah perjalanan republik kita sebagaimana perjuangan kita sejak pra-kemerdekaan. Ini adalah saatnya bagi kita di persimpangan yang kritis ini untuk mengambil pelajaran dari sejarah, berdiri dengan keberanian moral dan intelektual untuk menentukan masa depan kita dengan
keputusan yang akan memperkuat fondasi demokrasi, memperkuat fondasi keadilan di dalam negara kita.

Yang Mulia Hakim Mahkamah Konstitusi, kita telah menyaksikan berjalannya satu babak penting dalam demokrasi kita, bulan lalu, yaitu proses pemilihan umum, yang angka suaranya telah diumumkan secara resmi oleh Komisi Pemilihan Umum.

Tapi, perlu kami garis bawahi dan kita semua sadari bahwa angka suara tak mutlak menentukan kualitas dari demokrasi, tak seotomatis mencerminkan kualitas secara keseluruhan. Setiap tahapan proses pemilihan, mulai dari persiapan awal hingga pengumuman, haruslah konsisten dengan prinsip-prinsip kebebasan, kejujuran, keadilan. Dan prinsip-prinsip ini bukanlah formalitas, bukan hanya sekadar ada di teks, tapi ini fondasi esensial yang harus dijaga untuk membangun dan memelihara sistem demokrasi yang sehat, yang stabil, dan yang berkelanjutan.

Pemilihan umum yang bebas, jujur, adil adalah pilar yang memberi legitimasi kuat pada pemerintahan yang terpilih, yang bisa membawa kepercayaan publik serta memperkuat fondasi institusi pemerintahan. Tanpa itu, legitimasi kredibilitas dari pemerintahan yang terpilih akan diragukan.

Lebih jauh lagi, pemilihan yang dijalankan secara bebas, secara jujur, dan adil adalah sesungguhnya pengakuan atas hak dasar setiap warga negara dalam menentukan arah dan masa depan negara mereka sendiri. Ini adalah wujud tertinggi dari kedaulatan rakyat, di mana setiap suara dapat disampaikan dan dihitung tanpa tekanan, tanpa ancaman, tanpa iming-iming imbalan.

Pertanyaannya, apakah Pilpres 2024 kemarin telah dijalankan secara bebas, jujur, dan adil? Izinkan kami menyampaikan jawabnya: tidak. Yang terjadi adalah sebaliknya dan itu telah terpampang secara nyata di hadapan kita semua.

Kita menyaksikan dengan keprihatinan mendalam serangkaian penyimpangan yang telah mencoreng integritas proses demokrasi kita. Mulai dari awalnya independensi yang seharusnya menjadi pilar utama dalam penyelenggaraan pemilu telah tergerus akibat intervensi kekuasaan yang tidak seharusnya terjadi. i antara penyimpangan yang kita saksikan adalah penggunaan institusi negara untuk memenangkan salah satu calon yang secara eksplisit tidak memenuhi kriteria yang ditetapkan.

Terdapat pula praktik yang meresahkan, di mana aparat daerah mengalami tekanan bahkan diberikan imbalan untuk memengaruhi arah pilihan politik serta penyalahgunaan bantuan-bantuan dari negara, bantuan sosial—yang sejatinya diperuntukkan untuk kesejahteraan rakyat—malah dijadikan sebagai alat transaksional untuk memenangkan salah satu calon.

Bahkan, intervensi sempat merambah hingga pemimpin Mahkamah Konstitusi. Ketika pemimpin Mahkamah Konstitusi, yang seharusnya berperan sebagai jenderal benteng pertahanan terakhir menegakan prinsip-prinsip demokrasi terancam oleh intervensi, maka fondasi negara kita, fondasi demokrasi kita berada dalam bahaya yang nyata.

Lebih jauh lagi, skala penyimpangan ini tidak pernah kita lihat sebelumnya, Yang Mulia. Kita pernah menyaksikan penyimpangan seperti ini di skala yang kecil seperti pilkada, populasi kecil. Tapi, di skala yang besar dan lintas sektor, baru kali ini kami semua menyaksikan. Karena itulah, izinkan kami nanti melalui Tim Hukum Nasional dari Timnas Amin akan menyampaikan bukti-bukti atas penyimpangan dan pelanggaran ini kepada Yang Mulia Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi ini.

Yang Mulia Hakim Mahkamah Konstitusi yang kami hormati-kami muliakan, apa yang kita saksikan ini bukanlah peristiwa biasa. Ini adalah titik klimaks dari sebuah proses yang panjang penggerogotan atas demokrasi, di mana praktik-praktik intervensi dan ketaatan pada tata kelola pemerintah secara pelan-pelan tergerus. Oleh karena itu, Yang Mulia Hakim Mahkamah Konstitusi, dihadapan Yang Mulia kini terbentang jalan demokrasi kita di pundak Yang Mulia. Terpikul tanggung jawab yang amat besar untuk menentukan arah masa depan demokrasi kita.

Apakah kita akan melangkah dalam persimpangan jalan ini menjadi sebuah republik dengan rule of law atau rule by law, demokrasi yang makin matang atau kemunduran yang sulit untuk diluruskan di tahun-tahun ke depan? Bila kita tidak melakukan koreksi saat ini, maka akan menjadi preseden ke depan, di setiap pemilihan di berbagai tingkat. Bila kita tidak melakukan koreksi, maka praktik yang terjadi kemarin akan dianggap sebagai kenormalan dan menjadi kebiasaan, lalu menjadi budaya, dan akhirnya menjadi karakter bangsa.

Yang Mulia Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi, dengan rasa hormat dan penuh harap, mohon peristiwa ini jangan dibiarkan lewat tanpa dikoreksi. Rakyat Indonesia menunggu dengan penuh perhatian dan kami titipkan semua ini kepada Mahkamah Konstitusi yang berani dan independen untuk menegakkan keadilan dengan penuh pertimbangan.

Kami mendukung Yang Mulia untuk tidak membiarkan demokrasi ini terkikis oleh kepentingan kekuasaan yang sempit, tidak membiarkan cita-cita reformasi yang telah lama berjuang/diperjuangkan menjadi sia-sia.

Tindakan dan keputusan Mahkamah Konstitusi terkait dengan jadwal pemilihan kepala daerah serentak serta keputusan penghapusan pasal pencemaran nama baik telah memberikan kepada kami harapan bahwa independensi, keberanian, ketegasan dalam menegakkan keadilan hadir kembali di Mahkamah Konstitusi ini.

Kami mohon kepada Hakim Konstitusi yang kami muliakan untuk menerapkan kebijaksanaan dan keadilan dalam setiap keputusan perkara yang kami ajukan, menjadi penjaga yang teguh atas nilai-nilai demokrasi, dan memastikan bahwa konstitusi tetap menjadi panduan utama dalam membangun masa depan bangsa yang lebih adil dan sejahtera.

Semoga sejarah mencatat dan menjadi saksi atas dedikasi dan komitmen Yang Mulia untuk mempertahankan integritas, dan martabat demokrasi, serta konstitusi kita.

Kepada Hakim Mahkamah Konstitusi yang kami muliakan, harapan besar dan tinggi itu kami titipkan.

 

Naskah ini dibacakan dalam sidang perdana sengketa pilpres di Gedung MK, Jakarta, pada Rabu (27/3).

 

Artikel Demokrasi Indonesia di persimpangan jalan pertama kali tampil pada KAHMI Nasional.

]]>
9553