Iqbal Setyarso Arsip - KAHMI Nasional https://www.kahminasional.com Korps Alumni Himpunan Mahasiswa Islam Fri, 13 May 2022 16:44:09 +0000 id-ID hourly 1 https://wordpress.org/?v=5.9.3 https://www.kahminasional.com/assets/img/2021/11/favicon-kahmi-nasional-48x48.png Iqbal Setyarso Arsip - KAHMI Nasional https://www.kahminasional.com 32 32 202918519 “Dakwah Khusus” yang Membuat Kita Iri https://www.kahminasional.com/dakwah-khusus-yang-membuat-kita-iri/ Fri, 13 May 2022 16:44:09 +0000 https://www.kahminasional.com/?p=8754 Oleh Iqbal Setyarso, Alumnus HMI Cabang Palu dan FISIP Universitas Tadulako Palu serta Penasihat Indonesia Care Iri? Mengapa? Karena kiprahnya hebat! Hebat karena pilihan area dakwahnya “tidak biasa” sehingga disebut dengan akronim LDK, Lembaga Dakwah Khusus. Ya, khusus untuk menyebut kata “terasing” yang sudah jarang disebut orang–seingat saya, istilah itu tahun 1980-an. Malah yang lebih […]

Artikel “Dakwah Khusus” yang Membuat Kita Iri pertama kali tampil pada KAHMI Nasional.

]]>
Oleh Iqbal Setyarso, Alumnus HMI Cabang Palu dan FISIP Universitas Tadulako Palu serta Penasihat Indonesia Care

Iri? Mengapa? Karena kiprahnya hebat! Hebat karena pilihan area dakwahnya “tidak biasa” sehingga disebut dengan akronim LDK, Lembaga Dakwah Khusus. Ya, khusus untuk menyebut kata “terasing” yang sudah jarang disebut orang–seingat saya, istilah itu tahun 1980-an. Malah yang lebih netral istilah yang dibuat orang Barat, indigenous people.

“Dakwah Khusus” bukanlah hal yang baru bagi Persyarikatan Muhammadiyah (secara historis di Sulawesi Tengah–lokasi Munas XI KAHMI ini–sudah ada lembaga pendidikan dan dakwah Islam yang cukup tua, Al-Khairaat). Kendatipun demikian, Peryarikatan Muhammadiyah–selanjutkan disebut Muhammadiyah–”berdakwah khusus”. Seiring berjalannya waktu, tepat pada Muktamar ke-39 Muhammadiyah di Padang pada 1974, secara tegas dan jelas Muhammadiyah mendeklarasikan konsep Dakwah Masa Kini. Pada masa itu, konsep dakwah ini bertujuan untuk mengantisipasi arus modernisasi yang begitu cepat berkembang di Indonesia yang membawa pengaruh negatif terhadap perkembangan kemajuan Islam dan umatnya.

Mengingat program dakwah masa kini dianggap cukup berat untuk dilaksanakan, program tersebut dipecah menjadi beberapa bagian, satu di antaranya dakwah terhadap masyarakat terasing. Pada Muktamar ke-41 Muhammadiyah di Solo pada 1985, dibentuklah Lembaga Dakwah Khusus (LDK). Kata “khusus” menggambarkan bahwa program dakwah yang diselenggarakan oleh LDK tertuju kepada segmen sosial tertentu, yaitu dakwah untuk daerah pedalaman dan suku-suku terasing. Namun, pada perjalanannya, dengan beberapa pertimbangan, LDK digabung ke dalam Majelis Tabligh sehingga nama majelis tersebut berubah menjadi Majelis Tabligh dan Dakwah Khusus (MTDK).

Perkembangan Sasaran Dakwah
Dalam paparan lebih perinci disebutkan, Muhammadiyah membagi sasaran dakwah ke dalam tiga bentuk, sasaran utama, sasaran umum, dan sasaran khusus. Sasaran utama adalah seluruh anggota persyarikatan Muhammadiyah dan sasaran umum adalah seluruh kaum muslimin dan muslimat. Sementara itu, sasaran khusus adalah kelompok masyarakat yang memiliki karakteristik khusus.

Dengan demikian, tugas LDK, yang tadinya hanya menangani dakwah di pedalaman, menjadi bertambah empat fokus garapan sehingga totalnya menjadi lima sasaran objek dakwah, yaitu (1) berdakwah pada komunitas kalangan atas, (2) komunitas kalangan bawah, (3) komunitas kalangan menengah, (4) komunitas dunia virtual, dan (5) dakwah untuk masyarakat pedalaman. Sehubungan dengan hal ini, maka penting kiranya adanya satu buku panduan agar tugas dakwah sebagaimana diamanahkan muktamar dapat berjalan dengan baik.

Kembali pada perbincangan tentang “dakwah khusus” ini. Kekhususan dakwah ini “berkat” keterpencilannya. Satu sisi, kekhususan ini mengundang instansi pemerintah secara khusus untuk mengalokasikan anggaran untuk bermacam-macam hajat, ada yang menjudulinya pemberdayaan, tunjangan kurang. Dahulu bahkan ada sebutan “tunjangan kemahalan”. Meski dikucuri banyak dana sampai kurun waktu yang lama, keterasingan, keterpencilan, dan keterisolasian seolah-olah masih lestari.

Barrier dakwah seolah terlalu kuat untuk disibak. Di antara wacana yang mengemuka di komunitas alumni HMI, isu “keterasingan”, termasuk di dalamnya keterpencilan dan keterisolasian, hadir di tengah-tengah perbincangan. Di antara koleksi buku di perpustakaan saya, ada buku tipis berjudul Masyarakat Terasing, diapit sebagai penjelas judul, Dakwah dan Pemberdayaan…Tanggung Jawab Siapa? Buku itu seolah hendak bertanya kepada pembacanya (buku ini terbit tahun 1997, cetakan pertama).

Dalam buku tipis itu, dilampirkan alamat dai dan mubalig Muhammadiyah. Menilik tahun terbitnya, saya yakin sebagian sudah berubah atau berganti. Dalam buku itu ada ilustrasi sejumlah foto menunjukkan sejumlah tempat di mana para dai dan mubalig itu berdakwah. Beberapa foto menyebutkan, Muhammadiyah pernah berdakwah di Desa Mambi (Sulawesi Selatan); Kampung Waesuhan, Pulau Buru (Maluku); Petta-Sangir, Talaud (Sulawesi Utara); Kupang (Nusa Tenggara Timur); Dolo, Sigi (Sulawesi Tengah), bahkan Baduy, Lebak (Jawa Barat), dan banyak tempat lainnya. Itu sudah lama terjadi, seperti disebut dalam buku ini, bermula tahun 1974. Kalau sekarang, tahun 2022, dengan tahun terbit buku itu, 1997, setidaknya 25 tahun lalu telah berlalu. Dakwah khusus dalam makna kekinian tampaknya masih diperlukan.

Muhammadiyah dikenal masyarakat dengan dakwah bilhal, aksi konkret mendakwahi umat. Terasa kehebatannya–tanpa pretensi dipuji–sampai ke kawasan dakwah yang “khusus”: terasing, terisolasi, bahkan terpinggirkan dari akses ekonomi dan zona nyaman manusia kebanyakan. Di satu sisi, sasaran dakwahnya bermukim di “zona tak nyaman” karena keterasingannya, keterisolasiannya, dan keterpinggirkannya dari kenyamanan. Di sisi lain, para dai dan mubalig itu insyaallah juga diganjar pahala luar biasa karena dakwah.

Maka, menarik pula dipikirkan dalam kondisi kekinian pun takkan luput dari amatan umum dan amatan langit melakukan dakwah khusus menjadi wasilah ke surga. Komunitas alumni HMI bisa mewujudkan apa yang telah dirintis sebagian aktivis dakwah–salah satunya yang diunggah kanda Nur Sangadji dan istri pada beberapa angle aktivitas dakwahnya. Apa yang disampaikan dalam istilah Prancis, noblesse oblige, yang makna harfiahnya “bangsawan mewajibkan” atau dalam pemaknaan bebasnya, siapa pun yang mengaku mulia harus berperilaku mulia. Seseorang bertindak dengan cara yang sesuai dengan posisi dan hak istimewa yang dengannya seseorang dilahirkan, dianugerahkan, dan/atau diperolehnya.

Para kader alumni HMI, yang menurut estimasi statistik jumlahnya tak kurang dari 13 juta se-Indonesia, ini lapisan intelektual bangsa, niscaya memanggul noblesse oblige sebagai hamba Allah yang mulia karena risalah yang dibawa Nabi Muhammad. Pelajaran dakwah, sebagaimana diperankan kader-kader dakwah, dai, dan mubalig Muhammadiyah, demikian terang benderang, bahwa Sulteng secara umum sudah menjadi ladang amaliah dengan kekayaan suku terasing di banyak tempat. Nawaitu mulia ini menjadi azzam yang didengar langit. Semoga ini juga dimaknai cara hebat berkontribusi untuk bangsa. Aku Indonesia, Aku berdakwah!

Rujukan: Tim Lembaga Dakwah Khusus PP Muhammadiyah. 2018. Panduan dan Strategi Dakwah Khusus. Jakarta: UHAMKA Press

Artikel “Dakwah Khusus” yang Membuat Kita Iri pertama kali tampil pada KAHMI Nasional.

]]>
8754
Hirau pada Kaum Pinggiran https://www.kahminasional.com/hirau-pada-kaum-pinggiran/ Fri, 13 May 2022 07:14:50 +0000 https://www.kahminasional.com/?p=8752 Oleh Iqbal Setyarso, Alumnus HMI Cabang Palu dan FISIP Universitas Tadulako Palu serta Penasihat Indonesia Care Ramadan baru usai, tinggallah kenangan manisnya: berinteraksi dengan Al-Qur’an. Saya menyimak buku lama yang pernah ditulis KH Ali Mustafa Ya’qub, Imam Besar Masjid Istiqlal Jakarta, Islam Masa Kini. Yang saya nukil di sini, bagian mengenai kritik Allah kepada Nabi […]

Artikel Hirau pada Kaum Pinggiran pertama kali tampil pada KAHMI Nasional.

]]>
Oleh Iqbal Setyarso, Alumnus HMI Cabang Palu dan FISIP Universitas Tadulako Palu serta Penasihat Indonesia Care

Ramadan baru usai, tinggallah kenangan manisnya: berinteraksi dengan Al-Qur’an. Saya menyimak buku lama yang pernah ditulis KH Ali Mustafa Ya’qub, Imam Besar Masjid Istiqlal Jakarta, Islam Masa Kini. Yang saya nukil di sini, bagian mengenai kritik Allah kepada Nabi Muhammad, sang Penyampai Risalah.

Pada suatu ketika diceritakan, Nabi Muhammad saw semasih berada di Makkah, mengajarkan agama Islam kepada sekelompok orang dari kalangan rakyat jelata. Mereka ini antara lain Khubab bin al-Arrit, Abdullah bin Ma’ud, Shuhaib al-Rumi, Ammar bin Yasir, Salman al-Farisi, dan Bilal al-Habsyi. Tiba-tiba datang tokoh-tokoh bangsawan Quraisy menghadap Nabi saw. Mereka adalah Al-Arqa bin Habis al-Tamimi dan Uyainah bin Hishn al-Fazari.

Kepada Nabi saw, mereka berkata, “Kami adalah orang-orang terhormat di kalangan suku kami. Apabila kami duduk dalam satu majelis dengan Anda, kami tidak ingin suku kami melihat kami duduk bersama orang-orang seperti Bilal, Shuhaib, dan kawan-kawannya. Oleh karena itu, suruhlah mereka itu pergi meninggalkan tempat ini”. Demikian pinta para pembesar Quraisy itu kepada Nabi saw.

Berharap tokoh-tokoh kaum musyrikin Quraisy itu mau mendengarkan ajaran Islam sehingga nantinya mereka mau masuk Islam, Nabi saw akhirnya menyetujui permintaan itu. Namun, orang-orang Quraisy itu memandang tinggi kaumnya sehingga mereka tidak menerima penyampaian lisan dari Nabi saw, mereka ingin ada pernyataan “hitam di atas putih” bahwa apabila orang-orang Quraisy itu duduk dalam majelis bersama Nabi, kelompok Bilal dan kawan-kawan harus pergi meninggalkan majelis itu.

Permintaan ini lagi-lagi disetujui Nabi saw. Beliau memanggil Ali bin Abi Thalib untuk menulis perjanjian diskriminatif itu. Maka, dengan hati-hati Ali bin Abi Thalib menulis butir-butir perjanjian yang didiktekan Nabi saw atas permintaan tokoh-tokoh Quraisy itu. Setelah rampung, lalu dibacakan kepada Nabi saw. Naskah perjanjian itu disimpan oleh Ali bin Abi Thalib.

Sementara, Bilal dan kawan-kawan yang sejak dari tadi mendengar pembicaraan orang-orang Quraisy dengan Nabi saw tanpa disuruh mereka meninggalkan Nabi saw dan pergi menjauh dari beliau, kemudian duduk di suatu sudut. Barangkali Bilal dan kawan-kawannya menyadari bahwa mereka adalah kelompok marginal (pinggiran), di mana mereka “tidak pantas” duduk berdampingan dengan kelompok Quraisy tadi.

Akan halnya dengan Ali bin Abi Thalib. Setelah beliau selesai menulis perjanjian itu, tiba-tiba Allah menurunkan Surat Al-An’am ayat 52, di mana Nabi saw dikritik atas perbuatan mengusir kelompok Bilal dan kawan-kawan.

Perjanjian diskriminatif ini yang dikritik Allah melalui ayat-ayat-Nya. Yang eksplisit, antara lain Surat Al-An’am ayat 52 yang kontennya memuat kritik atas perbuatan mengusir kelompok Bilal itu. “Dan Janganlah kamu usir orang-orang yang selalu menyembah Tuhannya pada pagi hari dan petang, sedangkan mereka menghendaki keridaan-Nya. Kamu tidak memikul sedikit pun tanggung jawab atas perbuatan mereka dan mereka tidak memikul sedikit pun tanggung jawab atas perbuatan kamu, di mana hal itu menyebabkan kamu [berhak] mengusir mereka. Apabila demikian, maka kamu termasuk orang-orang yang zalim.”

Setelah ayat ini turun, Nabi saw memanggil Ali bin Abi Thalib dan minta naskah perjanjian itu diberikan kepada beliau. Naskah itu kemudian beliau robek-robek dan dibuangnya. Kemudian, beliau menemui Bilal dan kawan-kawanya yang sedang memojok jauh dari beliau. Dengan perasaan menyesal atas perbuatan tadi, Nabi saw merangkul Bilal dan kawan-kawannya satu persatu.

Kritik Allah yang Eksplisit
Sikap diskriminatif ala pemuka Quraisy ini masyhur dalam pembahasan penyikapan Nabi saw terhadap orang lain yang dipandang “kelas pinggiran” bahkan eksplisit dalam Al-Qur’an. Dalil lainnya, Nabi pernah “pilih hormat” dengan pembesar Quraisy lainnya, antara lain Utbah bin Rabi’ah, Abu Jahl, Abbas bin Abd al-Muttalib, Ubay bin Khalaf, dan Umayyah bin Khalaf. Ini disebut eksplisit dalam Surat ‘Abasa ayat 1-2. “Dia (Muhammad) bermuka masam dan berpaling karena telah datang seorang buta kepadanya.”

Sikap Nabi sawlah yang menjadi sebab sehingga ayat ini turun, yaitu pilih hormat kepada pembesar Quraisy dan tidak memperhatikan bahkan bermuka masam ketika ditanya Abdullah bin Ummi Maktum dalam kesempatan yang berbeda. Hal yang tak kunjung direspons Nabi itu pertanyaan singkat, “Ajarilah aku tentang agama yang diturunkan Allah kepada Anda”. Sebegitunya Allah kritik Nabi saw dan masuk dalam Al-Qur’an bahkan disebut sebagai salah satu surat dalam Al-Qur’an (‘Abasa).

Sejak surat itu turun, Nabi saw selalu bersikap hormat kepada Abdullah bin Ummi Maktum. Nabi selalu menyambut dan menghormatinya. Beliau selalu berkata, “Selamat datang, wahai orang yang menyebabkan diriku dikritik Allah.”

Nabi saw secara nasab (silsilah) sejatinya bukan orang biasa. Beliau keturunan orang-orang terkemuka dalam kabilahnya. Toh, itu tidak menjadikan beliau diposisikan lebih tinggi daripada orang lain. Allah tetap mengkritisi Nabi saw atas kekhilafan sikapnya. Nash (dalil dari Al-Qur’an) lainnya disebut dalam Surat Al-Kahf ayat 28. “Dan bersabarlah kamu bersama-sama dengan orang-orang yang menyembah Allah pagi dan sore dengan mengharap rida-Nya. Janganlah kedua matamu berpaling dari mereka karena mengharapkan perhiasan dunia ini. Dan janganlah kamu mengikuti orang yang hatinya Kami lalaikan dari mengingat Kami serta menuruti hawa nafsunya, sementara keadaannya itu melewati batas.”

Orang-orang yang menyembah Allah pagi dan sore dengan mengharapkan rida-Nya itu orang-orang yang kebetulan kelompok kelas bawah, kelas pinggiran. Kelompok inilah yang mendominasi para pengikut para Nabi saw sejak nabi-nabi dahulu sampai Nabi Muhammad saw. Mereka orang-orang polos dalam menyembah dan mengabdi kepada Allah. Tidak ada motivasi apa pun bagi mereka kecuali hanyalah mengharap rida Allah. Dalam beberapa hadis yang diriwayatkan Imam Tirmidzi, kelompok orang-orang mukmin seperti itu akan memasuki surga 500 ratus tahun lebih dahulu daripada kelompok mukmin “kelas gedongan”.

Etik Dakwah
Sejumlah ayat, khususnya tentang kritik Allah yang eksplisit dimuat dalam Al-Qur’an berikut sebab-sebab yang melatarbelakangainya (asbab al-nuzul), menjadi dasar kode etik dakwah Islam, yaitu tidak melakukan diskriminasi sosial. Karena itu, seorang dai atau mubalig tidak boleh sama sekali memilih masyarakat yang hendak didakwahinya. Tidak boleh mendahulukan kelas gedongan dan elite, sementara kelas kampung yang becek ditinggalkan. Apalagi, jika kelas becek–terkadang telah disanggupi lebih dahulu–itu tiba-tiba dibatalkan karena ada permintaan dari kelompok elite.

Apabila ini dilakukan oleh dai atau mubalig, maka ia berhadapan dengan ayat-ayat tadi, di mana konsekuensinya adalah mendatangkan murka Allah meski boleh jadi di mata manusia hal itu kelihatan “hebat”.

Artikel Hirau pada Kaum Pinggiran pertama kali tampil pada KAHMI Nasional.

]]>
8752
Narasi Kewiraan nan Menyemangati https://www.kahminasional.com/narasi-kewiraan-nan-menyemangati/ Wed, 11 May 2022 19:11:31 +0000 https://www.kahminasional.com/?p=8726 Oleh Iqbal Setyarso, Alumnus HMI Cabang Palu dan FISIP Universitas Tadulako Palu serta Penasihat Indonesia Care Yogyakarta memang sarat percikan kewiraan. Ada tiga narasi kewiraan negeri ini. Narasi pertama, peristiwa bertarikh 23 Juli 1947 atau bertepatan 17 Ramadan 1366, diceritakan ulama Yogyakarta tengah bermusyawarah sehabis salat Lail dan iktikaf, bermunajat kepada Allah Swt di Masjid […]

Artikel Narasi Kewiraan nan Menyemangati pertama kali tampil pada KAHMI Nasional.

]]>
Oleh Iqbal Setyarso, Alumnus HMI Cabang Palu dan FISIP Universitas Tadulako Palu serta Penasihat Indonesia Care

Yogyakarta memang sarat percikan kewiraan. Ada tiga narasi kewiraan negeri ini. Narasi pertama, peristiwa bertarikh 23 Juli 1947 atau bertepatan 17 Ramadan 1366, diceritakan ulama Yogyakarta tengah bermusyawarah sehabis salat Lail dan iktikaf, bermunajat kepada Allah Swt di Masjid Taqwa, Jalan Suronatan, Yogyakarta. Hasil pertemuan itu, ulama bertekad membentuk badan perjuangan dengan nama Markas Ulama Angkatan Perang Sabil (MUAPS), disebut ringkas Angkatan Perang Sabil.

Badan perjuangan ini bertujuan membantu pemerintah RI dalam menghadapi kesulitan menanggulangi musuh yang akan merobohkan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Para ulama itu mengutus Ki Bagus Hadi Kusuma, KH Mahfud Siraj, dan KH Ahmad Badawi untuk menyampaikan kebulatan tekad ulama Yogyakarta ke hadapan Sri Sultan Hamengku Buwana IX. Maksud kebulatan tekad itu disambut baik, yang kemudian Sri Sultan mengeluarkan keputusan persetujuan doa restunya sekaligus menghubungkannya dengan Panglima Besar Sudirman.

Narasi kedua, bertarikh 5 Februari 1947, bertepatan 14 Rabiualawal 1366. Atas prakarsa Lafran Pane bersama 14 kawannya mahasiswa Sekolah Tinggi Islam (yang kemudian menjadi Universitas Islam Indonesia/UII), berdiri organisasi mahasiswa. Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) adalah organisasi mahasiswa yang didirikan di Yogyakarta. Semangat pendiriannya dilandasi tujuan terbinanya insan akademis, pencipta, pengabdi yang bernapaskan Islam dan bertanggung jawab atas terwujudnya masyarakat adil makmur yang diridai Allah Swt.

HMI merupakan organisasi kemahasiswaan, perkaderan, dan perjuangan. Kekayaan HMI adalah gagasan dan intelektualitas kader-kadernya. “Kekayaan gagasannya menjadi intangible assets”, salah satunya ditunjukkan dengan kontribusi konkretnya dalam berpartisipasi di berbagai bidang kehidupan, termasuk partisipasi kader-kader terbaiknya di pemerintahan dan instansi. Sejumlah figur publik yang amat dikenal, termasuk beberapa tokoh yang telah tiada, menorehkan catatan emas dalam pengabdiannya bagi Indonesia dan dunia.

Narasi ketiga, Diponegoro–culture hero Tanah Jawa yang amat fenomenal. Namanya masyhur. Mujahid yang Sultan Ngabdul Hamid Sani Erucakra kabirul mukminin sayyidin panatagama Rasulillah sallallahu alaihi wasallam ing tanah Jawa. Orang alim nan salih ini memiliki orang kepercayaan, Sentot Ali Basya, juga seorang guru, Kiai Modjo. Dikitari orang-orang ikhlas, kewiraannya dilakoni hingga ajal menjemput. Pada kemudian hari, Diponegoro mengimami perang sabil (perang Jawa) yang menguras keuangan penjajah Belanda.

Di pihak Belanda, tentara pribumi maupun orang Belanda, tewas tidak kurang 15.000 jiwa, sementara di pihak orang Jawa syahid tidak kurang dari 200.000 jiwa. Jumlah dana yang dihabiskan mencapai 20.000.000 gulden, angka yang sangat besar pengabdian ketika itu. Kepada Diponegoro, konon rakyat Belgia–yang dulu dikuasai Belanda–berterima kasih karena secara tidak langsung Belgia merdeka dari Belanda gara-gara ekonomi Belanda morat-marit. Narasi kewiraan Diponegoro menjadi inspirasi berkelanjutan bahkan setelah Indonesia merdeka.

Urgensi Merawat Narasi
Merawat narasi sama sekali jauh dari tendensi unjuk kejemawaan diri. Satu sisi, dalam diri kita sebagai anak bangsa ada sepercik kewiraan, sebuah elan kejuangan dengan itu kita mewarnai kehidupan. Di sisi lainnya, ada semangat “menjadi” dan maujud kebaikan untuk sesama dengan itu kita memiliki makna. Kejuangan dan kebermaknaan menjadi alasan eksistensi kita dalam kehidupan. Pertanyaan substansial bermunculan, siapakah kita? Dari mana kita? Siapa pencipta kita? Ke mana kita akan kembali setelah kehidupan ini? Serangkaian pertanyaan itu diringkas Syaikh Yusuf Qaradhawi dengan tiga pertanyaan mendasar, dari mana saya? Mau ke mana saya? Kenapa saya diciptakan? Ketiga pertanyaan itu diuraikan demikian oleh fukaha.

Pertama, dari mana kita berasal? Pertanyaaan ini sangat bermasalah bagi kelompok materialisme yang tidak beriman kecuali pada hal-hal yang bisa dilihat dan diraba. Mereka tidak peduli panggilan fitrahnya. Mereka mengagung-agungkan akalnya yang pada akhirnya mereka dalam kebutaan yang mendalam sehingga mereka mengatakan, bahwa alam dan seisinya, yang penataannya penuh dengan keindahan, terjadi dengan sendirinya tanpa ada yang menciptakan.

Berbeda dengan mereka yang peduli dan memperhatikan panggilan suara fitrahnya. Mereka menegaskan, bahwa di balik keindahan alam dan seisinya ini ada Allah yang menciptakan, mengatur, dan menjaganya. Dan kepada Allah, hati nurani manusia berhubungan dengan penuh pengagungan, harapan, tawakal, dan pertolongan. Hal itulah yang mereka rasakan dalam hati nurani mereka dengan secara mendasar. Dan inilah agama Allah yang disinyalir dalam Al-Qur’an Surat Ar-Ruum sebagai berikut yang artinya, “Maka, hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama [Allah]; [tetaplah atas] fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah. [Itulah] agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.” (QS Ar-Ruum: 30)

Tak dapat dipungkiri bahwa panggilan fitrah itu berada dan berbisik dalam diri manusia baik dalam keadaan senang maupun susah. Buktinya, ketika ia mengalami suatu kejadian yang terus-menerus, takut kembali pada kejadian yang menakutkan dan harapannya dikecewakan oleh manusia sekitarnya, maka saat itulah panggilan suara fitrah itu menjerit-jerit, mengadu kepada Sang Pemilik Segala Alam.

Suatu ketika, ada seorang bertanya kepada Ja’far al-Shodiq RA tentang eksistensi Allah. Seorang itu mengakatakan, “Apakah kamu pernah mengendarai perahu?” Ja’far al-Shodiq RA menjawab, “Ya”. Kemudian, seorang itu bertanya lagi, “Apakah pernah terlintas dalam benak Anda, bagaimana andai kata perahu yang Anda tumpangi ini diserbu angin besar, kemudian terbalik, sementara pada saat itu tidak ada cara atau seseorang yang dapat menolongnya?” Dia menjawab, “Ya”. Terus, pertanyaan terakhir yang dilontarkan seorang itu adalah, “Apakah Anda merasa saat itu akan ada Zat yang dapat menolongmu jika ia berkehendak?” Dijawab oleh Ja’far al-shodiq RA, “Betul”. “Nah, itulah Allah,” cetus seorang itu.

Kenyataan di atas telah diperkuat oleh beberapa ayat Al-Qur’an, di antaranya adalah Surat Az-Zumar, yang artinya, “Dan apabila manusia itu ditimpa kemudaratan, dia memohon [pertolongan] kepada Tuhannya dengan kembali kepada-Nya.” (Az-Zumar: 8)

Kedua, mau ke mana manusia setelah mati? Pada pertanyaan yang kedua pun kelompok materialisme juga menyalahkan dan berusaha untuk menjawab dengan jawaban yang merendahkan dan membuat manusia hina. Dengan gampangnya mereka mengatakan, perjalanan manusia berakhir sesuai dengan akhir hidupnya. Dia akan kembali lagi ke asalnya menjadi debu yang berterbangan dibawa angin tanpa ada konsekuensi selanjutnya.

Bagi mereka yang beriman, mereka tahu akan kembali ke mana, mereka sadar bahwa mereka tidak diciptakan bukan untuk dunia, tetapi mereka mengerti betul jika dunia itu diciptakan untuknya. Dan lebih dari itu, sampai pada akhir pemahaman dan kesimpulan bahwa mereka diciptakan untuk kehidupan abadi (akhirat), sementara hidup di dunia ini cuma sebagai ladang persiapan untuk dijadikan bekal menuju ke sana, sampai akhirnya mereka menyandang kalung yang bertuliskan salamun alaikum, tibtum fadkhuluha kholidiina. (QS Az-Zumar: 73)

Sulit bagi akal yang kotor memercayai dan mengimani Sang Pencipta yang menciptakan alam ini dengan penuh penataan yang sangat indah sekali jika masih memercayai bahwa kehidupan ini akan berakhir dengan kefanaan. Jika masih mengimani bawa tak akan ada tangan Tuhan yang akan membalas orang-orang yang sukanya mencuri, merampok, mencopet, dan membuat kerusakan yang lainnya dan juga tak ditemukan pertolongan Allah bagi orang-orang yang lemah dan terzalimi. Hal ini adalah kesia-siaan dan mainan. Sementara, Allah jauh dan disucikan dari itu semua sesuai dengan firmannya yang artinya, “Apakah manusia mengira bahwa ia akan dibiarkan begitu saja [tanpa pertanggung jawaban]?” (QS. Qiyamah: 36). Dan banyak lagi ayat yang menyinggung tentang hal ini.

Ketiga, kenapa manusia itu diciptakan? Pertanyaan ketiga inilah yang wajib manusia tanyakan setelah ia tahu tentang dirinya sebagai karya cipta dari sang pencipta Allah Azza wa Jalla. Kenapa ia diciptakan ke dunia ini? Kenapa ia dibedakan dari jumlah karya cipta yang lainnya? Dan apakah misi dan fungsi saya didunia ini? Jawabannya adalah bahwa setiap Pencipta pasti tahu tentang rahasia ciptaan-Nya dengan bentuknya yang berbeda-beda. Sedangkan Allah adalah satu-satunya Zat yang menciptakan, mengatur, dan menjaga manusia.

Kemudian, coba kita tanyakan, Ya, Allah, kenapa engkau menciptakan manusia? Apakah engkau menciptakannya untuk makan dan minum saja? Apakah engkau menciptakan-Nya hanya menjadi hiasan saja? Dan beberapa pertanyaan yang lainnya. Dengan halusnya Allah membantah semua pertanyaan itu dengan ayat yang artinya, “Ingatlah, ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat, ‘Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi’, mereka berkata, ‘Mengapa Engkau hendak menjadikan khalifah di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan menyucikan Engkau?’ Tuhan berfirman, ‘Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang kamu tidak ketahui.'” (SQ. Al-Baqarah: 30)

Ayat di atas sudah sangat jelas mengatakan, bahwa peranan, misi, dan fungsi manusia di dunia ini adalah sebagai khalifah yang ditugas langsung oleh Allah Azza wa Jalla. Namun, hal pertama yang perlu diperhatikan dengan tajam oleh manusia sebagai khalifah adalah mengetahui Tuhannya dan beribadah kepada-Nya dengan sungguh-sungguh dan benar karena hal itu merupakan panggilan awal dari setiap risalah kenabian yang dikuatkan oleh firmannya yang artinya, “Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku. Aku tidak menghendaki rezeki sedikitpun dari mereka dan Aku tidak menghendaki supaya mereka memberi Aku makan.” (QS. Adz Dzariyat: 56).

Jiwai Sejarah, Hikmati Anugerah-Nya
Kita syukuri Allah menganugarahkan memori, baik yang tertulis, terdata rapi pada zaman serba digital ini, atau “memori yang kita rekam dalam ingatan”. Semua kita jiwai, kita hikmati sebagai pemberian-Nya, anugerah-Nya agar kita menjadikannya pembelajaran, bukan sekadar sebagai bahan belajar tanpa efek keinsafan dan kesungguhan menyerapnya. Kalau itu sudah mengefek pada diri kita, insyaallah kita menuju proses menjadi hamba-Nya yang beruntung.

Artikel ini ingin mengajak diri kita, termasuk pribadi saya, menjiwai dan menghikmati, setidaknya bertolak dari tiga narasi kewiraan yang saya sampaikan ini: tentang HMI dan sekelumit kelahirannya, tentang Angkatan Perang Sabil, dan tentang mujahid besar bernama Diponegoro. Lokus ketiganya di Yogyakarta.

Kita bersama menanti, apakah narasi keempat itu lokusnya Palu? Kitalah penentunya, akan bagaimana kiprah kita sehingga Munas XI KAHMI nanti akan menorehkan sejarah atau hanya menjadi sejarah (saja)!

Artikel Narasi Kewiraan nan Menyemangati pertama kali tampil pada KAHMI Nasional.

]]>
8726
“Jual Beli” Tak Lazim, Kencang Aroma Pelanggaran Hukumnya https://www.kahminasional.com/jual-beli-tak-lazim-kencang-aroma-pelanggaran-hukumnya/ Wed, 11 May 2022 10:24:51 +0000 https://www.kahminasional.com/?p=8716 Oleh Iqbal Setyarso, Alumnus HMI Cabang Palu dan FISIP Universitas Tadulako Palu serta Pembina Indonesia Care Pedagang atau pebisnis, bukan. Apalagi pengusaha. Namun, begitu kaya. Menurut media yang mempersoalkannya, mereka ini–bukan satu dua orang–berani “membeli jabatan”. Yang dibeli “status” dan status yang dibeli–anehnya–juga tersedia. Pertanyaan saya berikutnya, apakah pembeli juga sekaligus–include di dalamnya–dengan kesediaan menanggung […]

Artikel “Jual Beli” Tak Lazim, Kencang Aroma Pelanggaran Hukumnya pertama kali tampil pada KAHMI Nasional.

]]>
Oleh Iqbal Setyarso, Alumnus HMI Cabang Palu dan FISIP Universitas Tadulako Palu serta Pembina Indonesia Care

Pedagang atau pebisnis, bukan. Apalagi pengusaha. Namun, begitu kaya. Menurut media yang mempersoalkannya, mereka ini–bukan satu dua orang–berani “membeli jabatan”. Yang dibeli “status” dan status yang dibeli–anehnya–juga tersedia. Pertanyaan saya berikutnya, apakah pembeli juga sekaligus–include di dalamnya–dengan kesediaan menanggung “dosa dari jabatan publik” yang ia beli?

Dari sisi legalitas, sudah pasti bukan “transaksi terbuka”. Bahkan, yang menjual sama-sama tidak ingin diketahui umum saat hal itu mereka lakukan. Dalam timbangan hukum dunia, hal itu selain tidak lazim, bahkan melanggar hukum formal di Indonesia. Bahasa orang awam, aktivitas jual beli itu pantas dicokok sebagai praktik yang patut dijerat hukum. Rasanya, tidak ada orang (pembeli jabatan) dengan sukarela mau dihukum, dibui karena pelanggaran. Dan penjual jabatan idem ditto, juga tidak ingin transaksinya diketahui umum.

Kepada jurnalis yang konon bersedia tidak menyebutkan sumber pun, potensial di satu sisi bisa menyatakan “sebagai saksi” dalam naungan justice collaboration karena sikapnya membantu penegak hukum; di sisi lain, jurnalis yang “tutup mulut”, tidak mau mengungkap sumbernya, alih-alih melindungi pelaku/penjual jabatan, dia pun bisa dijerat hukum atas nama justice collaboration karena keengganannya membantu penegak hukum. Alih-alih atas nama kebebasan pers, dalam perkara korupsi–termasuk jual beli jabatan–disamakan dengan melindungi kriminal. Saya teringat kata-kata bergambar pada sebuah t-shirt campaign antikorupsi, bunyinya, “Buanglah koruptor pada tempatnya!” T-shirt bergambar seekor tikus yang dibawa dengan jari, siap untuk dibuang.

Perang Tanpa Akhir Versus Korupsi
Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), khususnya Pasal 197 angka (1) huruf F, mengatur dan menyebutkan tentang surat putusan pemidanaan yang salah satu bagiannya membahas tentang “keadaan memberatkan dan meringankan terdakwa”. Dalam hal ini, keadaan meringankan meliputi memberikan keterangan yang tidak berbelit-belit, kooperatif, belum pernah dihukum sebelumnya, berusia muda, baik/sopan selama persidangan, dan memiliki tanggungan anggota keluarga.

Selain itu, keberadaan justice collaborator (JC) juga didukung dengan Peraturan Bersama yang ditandatangani oleh Menkumham, Jaksa Agung, Kapolri, KPK, dan Ketua LPSK (Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban) tentang Perlindungan bagi Pelapor, Whistle Blower, dan Justice Collaborator. Hampir sama dengan ketetapan dalam Pasal 37 UNCAC 2003, yaitu Pasal 26 United Nations Convention Against Transnasional Organized Crime Tahun 2000 yang diratifikasi dengan Undang-Undang (UU) Nomor 5 Tahun 2009. Kriteria untuk menjadi JC tercantum dalam SEMA Nomor 4 Tahun 2011 pada angka (9a) dan (b) dan keterangan dari Kementerian Hukum dan HAM, yaitu digunakan dalam mengungkap tindak pidana yang luar biasa/terorganisasi; JC bukanlah pelaku utama; keterangan yang diberikan pelaku harus signifikan, relevan, dan andal; pelaku mengakui tindakan yang dilakukannya disertai kesediaan mengembalikan aset yang diperoleh dengan pernyataan tertulis; mau bekerja sama dan kooperatif dengan penegak hukum.

Masih mengenai JC, pada Pasal 37 ayat (2) UNCAC 2003 berbunyi, ” … mempertimbangkan memberikan kemungkinan dalam kasus-kasus tertentu, mengurangi hukuman dari seorang pelaku yang memberikan kerjasama yang substansial dalam penyelidikan/penuntutan … .”

Pada bagian lain, Pasal 37 ayat (3) UNCAC 2003, disebutkan, ” … sesuai dengan prinsip-prinsip dasar hukum nasionalnya untuk memberikan ‘kekebalan penuntutan’ bagi pelaku yang memberikan kerja sama yang substansial dalam penyelidikan/penuntutan … .”

Pasal 10 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban berbunyi, “(1) Saksi korban dan pelapor tidak dapat dituntut atas laporan dan kesaksiannya; dan (2) saksi yang juga tersangka dalam kasus yang sama tidak dapat dibebaskan dari tuntutan pidana apabila ia ternyata terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah, tetapi kesaksiannya dapat dijadikan pertimbangan hakim dalam meringankan pidana yang akan dijatuhkan.”

Ide Justice Collaborator
Gagasan justice collaborator bermula dari spirit untuk membongkar kasus yang lebih besar mengingat korupsi merupakan kejahatan terorganisasi yang melibatkan beberapa orang dalam satu lingkaran koordinasi untuk mencapai tujuan yang sama. Terkadang, para pelaku juga membentuk kerja sama yang kolutif dengan aparat penegak hukum serta membentuk jejaring komplotan koruptor yang solid. Berada dalam kelompok ini menimbulkan apa yang disebut dalam dunia psikologi sebagai paranoid solidarity, yaitu perasaan takut akan dikucilkan, dibenci, dan dijerumuskan dalam kelompok sehingga mau tak mau para pelaku akan saling melindungi satu sama lain.

Terlebih lagi, tindak pidana korupsi merupakan kelompok kejahatan kerah putih, yaitu kejahatan yang biasa dilakukan oleh orang-orang yang memiliki jabatan dan kedudukan penting dalam institusi negara. Hal ini menunjukkan bahwa korupsi biasa dilakukan oleh orang-orang yang cerdas, orang-orang yang mengerti seluk-beluk keuangan dan birokrasi dalam institusinya. Untuk menutupi perilakunya, para pelaku cenderung akan membuat sebuah skenario yang rapi dan sulit diidentifikasi oleh penyidik dan kejaksaan sehingga mempersulit proses pemeriksaan di dalam persidangan.

Sebagai contoh, kasus dugaan korupsi yang dilakukan oleh Angelina Sondakh dan Nazaruddin yang juga menyeret nama Anas Urbaningrum. Dalam aksinya, mereka menggunakan istilah dan kode yang sulit dimengerti oleh orang awam, seperti “apel washington” dan “apel malang”. Oleh karenanya, akan sangat efektif dan efisien jika para penegak hukum mengajak para pelaku kejahatan untuk bekerja sama menyelesaikan kasus korupsi yang sedang ditangani dengan menjadi seorang JC, yang artinya para aktor itu sendiri yang akan “bercerita” tentang keseluruhan aksi korupsi yang dilakukan oleh komplotannya.

Dalam kasus lainnya, seperti kasus korupsi cek pelawat dalam pemilihan Deputi Senior Gubernur Bank Indonesia (BI), Miranda Goeltom, di mana Agus Condro berperan sebagai JC. Tudingan Agus terhadap 41 anggota DPR RI telah menerima suap dari Miranda Goeltom dan hal ini dibuktikan dengan penelusuran Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK). Contoh lain adalah kasus korupsi pengadaan Wisma Atlet, di mana Mindo Rosalina Manulang dengan keterangannya berhasil menyeret Angelina Sondakh hingga berstatus sebagai tersangka bahkan sampai dijebloskan ke penjara.

Sebagian orang mengatakan bahwa keberadaan JC hanya digunakan sebagai sarana negoisasi para narapidana agar dapat lolos dari jeratan hukum dan opini yang tersebar mengatakan bahwa ini adalah wujud ketidakmampuan KPK dalam menangani kasus korupsi. Namun, kiranya kita perlu melihat sisi kemanfaatan dari keberadaan JC sebagai salah satu langkah yang luar biasa. Mungkin KPK akan mampu mengusut kasus korupsi tanpa bantuan JC sekalipun, tetapi sangat mungkin bahwa hal itu memakan waktu yang cukup lama, sedangkan keuangan dan stabilitas negara tidak dapat ditempatkan dalam kondisi yang tidak pasti karena dapat mengganggu laju pertumbuhan dan perkembangan masyarakat di negara itu sendiri. Selain itu, besar kemungkinan bahwa aparat penegak hukum tidak akan menemukan ujung dari permasalahan ini sehingga kasus ini nantinya terbengkalai dan menguap begitu saja tanpa penyelesaian.

Sebut saja kasus wesel ekspor berjangka Unibank pada tahun 2006 yang menyebabkan kerugian hingga US$230 juta, kasus korupsi pengadaan jasa konsultan BPH Migas yang memakan uang sebesar Rp82 miliar, dan banyak kasus yang tak terselesaikan lainnya. JC juga bukanlah sarana negoisasi narapidana karena penjatuhan pidana berdasarkan asas pertimbangan rasa keadilan masyarakat tidak boleh terlanggarkan di sini. Sangatlah wajar apabila JC mendapatkan penghargaan atas keberaniannya mengungkap kejahatan besar yang diwujudkan dengan pemberian keringanan pemidanaan dan perlindungan. Kini, apa esensi dari memidana seorang koruptor dengan berat, tetapi keseluruhan dari jejaring pelakunya tidak terungkap? Maka, JC merupakan salah satu langkah konkret untuk menumpas korupsi hingga ke akar-akarnya. Wallahu a’lam bish-shawwab.

Artikel “Jual Beli” Tak Lazim, Kencang Aroma Pelanggaran Hukumnya pertama kali tampil pada KAHMI Nasional.

]]>
8716
Sulteng, UMKM, dan Pasar (Bagian 2) https://www.kahminasional.com/sulteng-umkm-dan-pasar-bagian-2/ Wed, 11 May 2022 04:57:14 +0000 https://www.kahminasional.com/?p=8706 Oleh Iqbal Setyarso, Alumnus HMI Cabang Palu dan FISIP Universitas Tadulako Palu serta Penasihat Indonesia Care Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) sebagai komunitas alumni banyak perguruan Indonesia–bahkan ada yang juga alumni perguruan tinggi asing–harus terpanggil untuk urun rembuk untuk berkontribusi konkret mengantisipasi problematika bangsa. Dari sejumlah ikhtiar itu, salah satunya berpikir membesarkan KAHMI Payment (K-Pay), platform […]

Artikel Sulteng, UMKM, dan Pasar (Bagian 2) pertama kali tampil pada KAHMI Nasional.

]]>
Oleh Iqbal Setyarso, Alumnus HMI Cabang Palu dan FISIP Universitas Tadulako Palu serta Penasihat Indonesia Care

Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) sebagai komunitas alumni banyak perguruan Indonesia–bahkan ada yang juga alumni perguruan tinggi asing–harus terpanggil untuk urun rembuk untuk berkontribusi konkret mengantisipasi problematika bangsa. Dari sejumlah ikhtiar itu, salah satunya berpikir membesarkan KAHMI Payment (K-Pay), platform yang tengah dirintis jemaah alumni HMI. Itu gagasan kekinian yang dirancang untuk ajang interaksi para entrepreneur alumni HMI. Di sini menjadi medium unjuk pengabdian di bidang kewirausahaan para kader. Saatnya HMI terjun dalam mengatasi permasalahan bangsa.

K-Pay, benar ia merupakan insiasi alumni HMI. Secara umum, K-Pay adalah e-wallet atau dompet digital layaknya LinkAja, DOKU, atau GoPay. Itu hanya medium transaksi digital. Secara fisiknya lebih pada aplikasi digital. Untuk masuk dalam konteks UMKM, sebenarnya masih terasa jauh. Ada sejumlah keterbatasan, terutama akses internet. Kondisi ini merupakan tantangan tersendiri. Tanpa akses internet, digitalisasi tak terjadi. Gagasan seindah apa pun tidak akan bekerja. Its not worked.

Contoh sederhana, akses terkendala sinyal saja, impian berinternet tidak terjadi. Saat kita membicarakan UMKM yang ada di pelosok desa, akses internet lancar saja masih impian. Internet dan akses komunikasi inilah kendala serius untuk mewujudkan cita-cita membangun ekonomi masyarakat. Membuka akses itu, ikhtiar penyelenggara negara untuk bisa mewujudkannya. Kewirausahaan yang diimpikan bisa terjadi, terkendala oleh ketiadaan akses internet. Komunitas sebesar apa pun perlu internet untuk bisa berinteraksi dan berkomunikasi. Tanpa itu, takkan ada transaksi apalagi pengembangan ekonomi rakyat.

Problematikanya pada good will manusia pelaku usaha, good will untuk menyediakan akses internet hingga ke pesosok desa. Produksi harus terhubung dengan internet. Tanpa koneksi internet, bagaimana bisa menawarkan suatu produk? Tanpa mengenal produk, bagaimana hendak menjual? Kini sudah eranya digital, sebuah keniscayaan untuk bisa berkomunikasi satu sama lain melalui internet. Everybody internet things. Secara kolektif, komunitas alumn HMI harus mampu mewujudkan piranti internet. Sesudah itu terwujud, step berikutnya, masyarakat alumni HMI maupun komunitasnya didorong membentuk ekosistem entrepreneurship.

Inisiatif Membangun Ekosistem Enterpeneur
Wasilah mendasar entrepreneur adalah jaringan internet. Melalui internet, semua akan terhubung. Komando untuk saling bertransaksi otomatis terjadi. Tahapan teknisnya akan menyusul sebagai konsekuensi logis terbangunnya jaringan internat. Jelas ini inisiatif makro yang merupakan ranah pemerintah dalam mewujudkannya. E-business menjadi satu dengan e-government. Pada era ini, keniscayaan mewujudkan pola komunikasi serba digital. Semua pelayanan menggunakan internet, dari urusan keseharian (pemenuhan basic need) hingga administratif, dari medis hingga travelling. Maka, pemerintah–daerah dan pusat–yang melek internet akan sanggup berinteraksi dan berkomunikasi dengan dunia.

Banyak hal telah tersedia secara simpel melalui internet. K-Pay mendapatkan berbagai layanan melalui internet. Membangun jarinan fisik internet, yang menjadi ranah pemerintah, demikian urgen demi menyukseskan komunikasi dan interaksi masyarakat entrepreneur. Transaksi bisnis mendatang dipastikan semakin digitalized. Sulit membayangkan kehidupan tanpa internet. Internet sudah “mengambil alih” kehidupan, semua serba melalui internet. Salah satunya, bisnis dan transaksi usaha. Menjadi keniscayaan mendorong pemerintah pusat dan daerah membuka akses internet seluas-luasnya.

Seakan di mana ada internet, di situlah manusia hidup. Maka, internet adalah kebutuhan pokok yang demikian urgen bagi kehidupan. Internet things adalah live style manusia modern. Manusia modern merupakan era internet things. Maka, salah satu piranti yang menjadi kunci sukses entrepreneur, melalui pemerintah, dibukalah akses internet seluas-luasnya. Step berikutya, K-Pay baru bisa dihadirkan sebagai wasilah, jembatan transaksi. Barulah bisa berlangsung transaksi usaha, dan itu semua akan mudah dan sederhana, baik dari sisi proses maupun teknis.

Pemerintah yang melek internet akan menyegerakan membangun jaringan komunikasi internat karena itu sekaligus memudahkan masyarakat memperolah kesempatan berusaha borderline, lintas negara. Banyak proses dimudahkan, banyak tahapan kerja yang kian mungkin disederhanakan. K-Pay sendiri hanya butuh good will untuk diaktivasi. K-Pay digerakkan dengan inisiatif, K-Pay secara instan bisa dibangun sebagai ekosistem bisnis, dan wahana entrepreneur saling bertransaksi. Internet memudahkan proses transaksi usaha lintas negara. Ekpor-impor di dunia maya nyaris tidak terlacak, termasuk pengiriman uang dan barang lintas negara, juga telah semakin mudah.

Internet memudahkan proses, internet memangkas birokrasi. Manipulasi kekinian juga semakin hebat, kejahatan cyber (cyber crime) juga memicu pengembangan cyber forensic sebagai keahlian baru penindakan kriminal. Ada kemudahan berusaha di satu sisi, pada sisi yang lain juga ada tidak kriminal yang kian modern. Seperti juga melejitnya angka kejahatan, penindakan kejahatan pun mengikuti perkembangan. Zaman kian modern, dunia kian tua, orang jahat ikut memodernisasi kejahatannya. Di akhirat, rasanya neraka juga ikut berkembang seiring kejahatan. Allah Mahaadil menyertakan hukuman bagi pelanggar-pelanggar hukum-Nya. Wallahu a’lam bish-shawwab.

Artikel Sulteng, UMKM, dan Pasar (Bagian 2) pertama kali tampil pada KAHMI Nasional.

]]>
8706
Sulteng, UMKM, dan Pasar (Bagian 1) https://www.kahminasional.com/sulteng-umkm-dan-pasar-bagian-1/ Tue, 10 May 2022 21:51:36 +0000 https://www.kahminasional.com/?p=8704 Oleh Iqbal Setyarso, Alumnus HMI Cabang Palu dan FISIP Universitas Tadulako Palu serta Penasihat Indonesia Care Sempat masuk dalam perbincangan, wacana filantropi di tengah-tengah pembahasan ikhwal Musyawarah Nasional Korps Alumni Himpunan Mahasiswa Islam (Munas KAHMI). Salah satunya, tentang penjajakan peluang bersinergi dengan Dewan Masjid Indonesia (DMI) Wilayah Sulawesi Tengah (Sulteng), yang saat ini ketuanya alumnus […]

Artikel Sulteng, UMKM, dan Pasar (Bagian 1) pertama kali tampil pada KAHMI Nasional.

]]>
Oleh Iqbal Setyarso, Alumnus HMI Cabang Palu dan FISIP Universitas Tadulako Palu serta Penasihat Indonesia Care

Sempat masuk dalam perbincangan, wacana filantropi di tengah-tengah pembahasan ikhwal Musyawarah Nasional Korps Alumni Himpunan Mahasiswa Islam (Munas KAHMI). Salah satunya, tentang penjajakan peluang bersinergi dengan Dewan Masjid Indonesia (DMI) Wilayah Sulawesi Tengah (Sulteng), yang saat ini ketuanya alumnus HMI Cabang Palu, H. Ahmad Ali. Dalam semangat penjajakan sinergi itu, Ketua Mejelis Wilayah (MW) Sulawesi Tengah, H. Mulhanan Tombolotutu, mengingatkan saya, “Tidak usah berpikir mau bersinergi dengan DMI Sulteng, dorang sudah punya strategi sendiri mengembangkan masjid. Kita berpikir membesarkan K-Pay (KAHMI Payment)“. K-Pay, platform yang tengah dirintis jemaah alumni HMI. Ada minimal dua syarat yang mesti dipenuhi, produk dan good will (niat baik) untuk menggerakkan jaringan alumni HMI.

Syarat pertama, memiliki produk. Dengan produk, kita memiliki dalih untuk bertransaksi. Ada sesuatu yang dipasarkan agar aktivitas usaha terjadi. Kedua, adanya good will (niat baik) untuk menggerakkan jaringan alumni HMI. Sebuah niat baik–diikuti kesungguhan mewujudkan niat itu–maka terjadilah aksi ke arah yang diinginkan. Dalam konteks ini, niat baik memproduksi UMKM tertentu–otomatis dengan pricing (harga) tertentu, dengan design tertentu, untuk market (pasar) tertentu, dan calon konsumen dengan kelas tertentu pula. Seperti juga target penulisan kolom di media, sasaran pembacanya, tertentu (tingkat pendidikannya, preferensi politiknya [partai apa; agamanya apa; etnisnya apa, Jawa atau bukan Jawa; dan sebagainya]). Produk dan good will menjadi dua acuan penting sebelum menyasar penyusunan program untuk sebuah lembaga filantropi.

Mengacu judul artikel ini, Sulteng, UMKM, dan Pasar, artikel ini masih punya kontinuitas dengan artikel-artikel sebelumnya, terutama untuk topik seputar pemindahan ibu kota negara (IKN). Topik ini akan erat kaitannya dengan isu pemindahan ibu kota negara dan kaitannya dengan Palu, Sulawesi Tengah, sekaligus berkaitan dengan sumber daya di Sulawesi Tengah.

Sulteng, Filantropi, dan Bencana
Keputusan penentuan Kota Palu menjadi tempat Munas XI KAHMI, sebagaimana saya singgung pada artikel-artikel sebelumnya, sangat terkait dengan bencana alam yang pernah terjadi di Kota Palu–dan sekitarnya. Bahkan, disebut sebagai alasan sehingga Palu memenangi kompetisi dengan “kandidat terkuat” tempat munas, mengalahkan Manado, Sulawesi Utara.

Karena alasan kuat itu, maka Palu mengusung topik yang sarat nuansa “pro bencana” sampai ada seloroh alumnus daerah lain yang hendak mengikuti munas, “Kita mau pigi bersenang-senang, ini mau diajak ke lokasi bencana alam”. Selorohan itu sontak mengundang sergahan yang cukup keras, “Kita ini kader terbaik ‘Hijau Hitam’, tidak akan sekadar ingin bersenang-senang. Sebagai kader terbaik, akan berbuat terbaik untuk Indonesia, bukan hanya demi Sulawesi Tengah”. Sikap dan pernyataan eksplisit dan tegas itu seketika menghalau suara-suara sumbang pemilihan Palu sebagai tempat Munas XI tahun 2022 ini. Dengan ungkapan lain, tentang pilihan Palu sebagai tempat munas sebagai pilihan visioner bahwa ke depan, dunia bukan akan baik-baik saja, melainkan akan “sarat dengan bencana (alam)”. Maka, memilih secara sadar akan bencana alam menjadikan hal itu visioner.

Kebencanaan menjadikan filantropi sebagai konsekuensi logis dari fakta-fakta yang mengiringinya, bahwa bencana dan filantropi atau kedermawanan seakan “satu paket”; di mana terjadi bencana, di situ secara naluriah manusia akan mengulurkan pertolongan tanpa peduli agamanya. Sulteng sekaligus menjadi etalase ironi; pernah suatu masa orang saling bantai karena perbedaan agama, pada masa yang lain, Sulteng, khususnya Kota Palu dan sekitarnya, saling bantu karena “panggilan bencana alam”. Tidak tanggung-tanggung, langsung ditimpa tiga bencana fenomenal: gempa bumi, likuefaksi, dan tsunami.

Filantropi dan Penanggulangan Bencana
Filantropi dengan tendensi pemberdayaan, menjadi kredo baru pascabencana berlalu. Karena itu, Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) secara nasional menggariskan, masa tanggap darurat paling lama 14 hari. Ini sebagaimana dimuat dalam bnpb.go.id. Pada situs web yang sama dijelaskan, khususnya penjelasan Pasal 1 ayat (6) Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 21 Tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana, “Mitigasi adalah serangkaian upaya untuk mengurangi risiko bencana, baik melalui pembangunan fisik maupun penyadaran dan peningkatan kemampuan menghadapi ancaman bencana.

Pentingnya berhitung waktu penyelamatan berkaitan dengan kesanggupan kolektif bangsa menghadapi situasi bencana. Kesanggupan ini juga berkaitan dengan kemampusan keswadayaan masyarakat menolong sesamanya dalam lingkup nasional, terutama menjadi penting melihat secara makro kemampuan sebuah bangsa, salah satunya melihat sistem kesiapsiagaan bangsa. Ini kita bisa simak dari rentang eksistensi BNPB.

Sejarah BNPB, berdiri pertama kali pada 20 Agustus 1945. Berfokus pada kondisi situasi perang pasca-kemerdekaan. Badan ini bertugas untuk menolong para korban perang dan keluarga korban perang semasa perang kemerdekaan. BNPB yang kita kenal saat ini bukan lembaga yang berdiri belakangan, tetapi justru lahir pada tahun pertama Indonesia merdeka. BNPB menunjukkan keseriusan pemerintah sejak awal. Ini ditunjukkan dengan membangun legalisasi, lembaga, maupun budgeting. Pemerintah juga menerbitkan Undang-Undang (UU) Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana. Pemerintah kemudian mengeluarkan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 8 Tahun 2008 tentang Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB). BNPB terdiri atas kepala, unsur pengarah penanggulangan bencana dan unsur pelaksana penanggulangan bencana. BNPB memiliki fungsi pengoordinasian pelaksanaan kegiataan penanggulangan bencana secara terencana, terpadu, dan menyeluruh.

Filantropi dan Pasar
Filantropi, kedermawanan adalah aktivitas yang perlu penguat. Alasan untuk “mengedukasi publik” agar memunculkan jiwa kedermawanan. Alasan itu bernama program. Tanpa program yang edukatif dan menstimulus kedermawanan, niscaya khalayak tidak tersentuh jiwa sosialnya. Dan dalam sebuah program, ada dua sisi yang mengemuka, menyentuh jiwa sosial khalayak sekaligus memberdayakan. Tanpa keberdayaan, masyarakat penyintas akan menjadi ketergantungan pada pendermanya.

Keseriusan penanggulangan bencana, baik alam maupun sosial, menjadi kecenderungan global. Tradisi filantropi (kedermawanan) menjadi kajian dunia. Indonesia disebut sebagai negara paling dermawan versi World Giving Index (WGI) 2021 yang dirilis 14/6 oleh CAF (Charity Foundation). The World Giving Index adalah laporan tahunan yang diterbitkan oleh Charities Aid Foundation dengan menggunakan data yang dikumpulkan oleh Gallup dan memeringkat lebih dari 140 negara di dunia berdasarkan seberapa dermawan mereka dalam menyumbang. Dalam laporan WGI 2021, Indonesia menempati dua peringkat teratas dari tiga katagori atau indikator yang menjadi ukuran WGI, yakni menyumbang pada orang asing/tidak dikenal, menyumbang uang, dan kegiatan kerelawanan (volunteer). Hasil penelitian CAF menunjukkan, lebih dari delapan dari 10 orang Indonesia menyumbangkan uang pada tahun ini, sedangkan tingkat kerelawanan di Indonesia tiga kali lipat lebih besar daripada rata-rata tingkat kerelawanan dunia.

Di tengah situasi multikrisis di Indonesia, kabar setahun lalu itu cukup membanggakan, sangat menghibur di tengah rapor merah politik nasional. Dalam proyeksi filantropi nasional dan realitas bangsa yang diintai bencana, selalu ada harapan untuk kebaktian sosial bangsa ini. Meski dihadapkan pada kondisi memburuknya kemampuan kita (Indonesia) membayar utang luar negerinya pada satu sisi dan keinginan untuk memindahkan ibu kota negara pada sisi yang lain, sebagai anak bangsa, kita tak ingin menularkan pesimisme.

Sebagaimana disebutkan pada awal artikel ini, filantropi harus dipadu dengan program pemberdayaan. Ini dalam istilah nyaris senada disebut pula sebagai social enterprise atau kewirausahaan sosial. Dengan begitu, secara bersama-sama, pegiat sosial sah jika dalam usaha bersama beneficiaries mendapatkan benefit dari usaha mereka. Ikhtiar ini sama sekali tidak menyalahi kode etik filantropi, meraka dalam istilah keagamaan berserikat (syirkah) dalam berusaha. Modal usaha dari pihak pemodal, hasilnya untuk kemaslahatan bersama setelah dikurangi modal usaha.

Bisnis model ini relatif aman dari niat buruk mengemplang secara ugal-ugalan dana yang tadinya digalang atas nama sosial. Bahkan, menjadi modus, terutama pihak penyelenggara sosial, dengan menyisihkan “sebagian kecil” untuk beneficiaries. Karena modus social enterprise ini, maka lembaga yang berkhidmat pada kemaslahatan beneficiaries mementingkan penciptaan produk yang menguntungkan pengelola maupun penerima manfaat. Maka, diikhtiarkanlah usaha produktif, yang dengan itu mereka (lembaga ini) bisa bertransaksi dan mencetak benefit.

Untuk Sulawesi Tengah, rencana yang saya dengar, sebuah lembaga sosial sedang merintis produksi komoditas limbah kelapa dari industri air kelapa kemasan dan sedang menjajaki pemasaran produk itu ke Amerika. Produk ini mereka duga akan sepi dari kompetitor karena menggunakan bahan limbah pabrik pengolahan air kelapa dan pasar Amerika diduga akan melihatnya sebagai produk yang unik dan eksotis. Produknya, keramik dari bahan limbah batok kelapa. Saat ini, yang telah memproduksi ada di Cirebon. Bukan tak mungkin, jika sampel yang akan diperlihatkan ke calon pembeli di Amerika itu bisa dipasarkan dan social enterprise ini juga mendapat investor, multiplying effect pun akan terjadi.

Berbagai dampak positifnya akan dinikmati banyak orang: pemilik perkebunan kelapa untung, limbahnya akan diserap sebagai bahan baku utama produksi keramik berbahan batok kepala; tenaga kerja lokal pasti dibutuhkan untuk processing keramik berbahan batok kelapa, dari pengeleman botok kelapa untuk dilekatkan pada panel keramik, pemotongan presisi untuk setiap panel keramiknya, tenaga administrasi pabrik, tenaga pengiriman panel keramik yang siap dipasarkan, dan sebagainya.

Kita doakan ikhtiar ini membawa kebermanfaatan bagi social enterprise yang mereka kelola, menguntungkan pengelola maupun penerima manfaat. Maka, nawaitu mereka menebar kemaslahatan pun berhasil.

Artikel Sulteng, UMKM, dan Pasar (Bagian 1) pertama kali tampil pada KAHMI Nasional.

]]>
8704
Disrupsi dan Lembaga Kedermawanan https://www.kahminasional.com/disrupsi-dan-lembaga-kedermawanan/ Tue, 10 May 2022 10:10:41 +0000 https://www.kahminasional.com/?p=8702 Oleh Iqbal Setyarso, Alumnus HMI Cabang Palu dan FISIP Universitas Tadulako Palu serta Penasihat Indonesia Care Ada yang relatif baru di Indonesia–dan ini sudah menjadi fenomena dunia–tren masyarakat kekinian yang kian akrab dengan gadget. Satu sisi, mereka kian “akrab” dengan piranti alat komunikasi sekaligus juga makin asing dengan pergaulan antarsesamanya. Apa pasal? Intensitas penggunaan alat […]

Artikel Disrupsi dan Lembaga Kedermawanan pertama kali tampil pada KAHMI Nasional.

]]>
Oleh Iqbal Setyarso, Alumnus HMI Cabang Palu dan FISIP Universitas Tadulako Palu serta Penasihat Indonesia Care

Ada yang relatif baru di Indonesia–dan ini sudah menjadi fenomena dunia–tren masyarakat kekinian yang kian akrab dengan gadget. Satu sisi, mereka kian “akrab” dengan piranti alat komunikasi sekaligus juga makin asing dengan pergaulan antarsesamanya. Apa pasal? Intensitas penggunaan alat komunikasi handphone yang meningkat nyaris mengalahkan komunikasi antarpersonal dan live, man to man. Tren itu lalu mendapat sebutan “era revolusi industri 4.0” yang diikuti kenyamanan dan kemudahan dalam pelayanan–sekaligus menjadi kunci sukses dalam bisnis.

Segera saja perilaku bisnis yang tidak tanggap dengan tren itu, yang anteng dengan gaya lama, akan terdepak dari percaturan dunia usaha. Ujung-ujungnya, deklinasi bisnis menjadi konsekuensinya. Sebagai contoh, makin banyak perusahaan besar kini perlahan sirna. Bukan karena kekeliruan mereka semata, hal ini karena mereka kalah bersaing dengan pemain-pemain baru yang memanfaatkan smartphone dan internet sebagai basis dalam menjalankan bisnisnya (startup).

Era disrupsi–tokoh yang meramaikannya pertama kali dalam konteks Indonesia istilah ini adalah Renald Khasali. Fenomena ini selain menghajar institusi bisnis, juga mengusik “kedamaian” dunia kedermawanan, dunia yang jauh dari kesan kompetitif. Ternyata, di jagat kedermawanan pun diterpa “wabah disrupsi”. Komunitas para pegiat kedermawanan dijangkiti “kompetisi”. Istilah yang lebih kena, “saling unggul ber-fastabiqul khairaat“, berlomba-lomba menolong masyarakat.

Dahulu, orang yang mau berderma menitipkan bantuannya kepada lembaga-lembaga filantropi. Merekalah yang menjadi jembatan penyambung antara dermawan dengan masyarakat beneficiaries. Namun, dengan perkembangan teknologi, kini banyak bermunculan platform yang melakukan hal yang sama seperti yang dilakukan oleh lembaga kedermawanan. kitabisa, pedulisehat, dan berbagiberas sebagian kecil di antaranya. Inisiatornya rata-rata anak-anak muda.

Mereka menggalang bantuan dan berkampanye dengan memanfaatkan pendekatan teknologi. Cara kerjanya lebih efisien, lebih cepat, lebih tepat, dan lebih transparan. Masyarakat yang ikut berdonasi bisa mendapatkan informasi secara update terkait donasi yang mereka berikan sehingga masyarakat bisa lebih percaya.

Era disrupsi menjadi suatu masa, suatu kondisi di mana lembaga-lembaga kedermawanan dikondisikan sedemikian rupa sehingga harus berbenah. Lembaga kedermawanan terseret tren untuk turut dalam kompetisi agar bisa mengikuti semangat zaman bahwa zaman baru telah manyapa.

Bencana dan kemalangan hadir tak kenal jeda. Kita diberi-Nya kapasitas untuk bisa berpikir dan berinisiatif. Amal kebaikan menjadi alarm yang senantiasa membangunkan manusia untuk tetap melek. Ketidaktahuan terus menyadarkan kita untuk eling dan waspada. Ada tugas mulia yang perlu dilakoni sebagai manusia bagi sesamanya.

Artikel Disrupsi dan Lembaga Kedermawanan pertama kali tampil pada KAHMI Nasional.

]]>
8702
Modal Sosial dalam Bingkai Desentralisasi dan Demokrasi https://www.kahminasional.com/modal-sosial-dalam-bingkai-desentralisasi-dan-demokrasi/ Mon, 09 May 2022 16:28:19 +0000 https://www.kahminasional.com/?p=8700 Oleh Iqbal Setyarso, Alumnus HMI Cabang Palu dan FISIP Universitas Tadulako Palu serta Pembina Indonesia Care Modal Sosial menjadi salah satu kekayaan gerakan sosial sebagai tantangan menghadapi warisan feodalisme-birokratisme-sentralisme pada masa lalu. Sebuah ikhtiar tanpa henti dalam masyarakat yang mengidap low trust sekaligus menjadikan demokrasi lebih bermakna. Fenomena desentralisasi yang berdentang keras sejak 1970-an telah […]

Artikel Modal Sosial dalam Bingkai Desentralisasi dan Demokrasi pertama kali tampil pada KAHMI Nasional.

]]>
Oleh Iqbal Setyarso, Alumnus HMI Cabang Palu dan FISIP Universitas Tadulako Palu serta Pembina Indonesia Care

Modal Sosial menjadi salah satu kekayaan gerakan sosial sebagai tantangan menghadapi warisan feodalisme-birokratisme-sentralisme pada masa lalu. Sebuah ikhtiar tanpa henti dalam masyarakat yang mengidap low trust sekaligus menjadikan demokrasi lebih bermakna.

Fenomena desentralisasi yang berdentang keras sejak 1970-an telah menjadi komitmen global di dunia. Berangsur-angsur dunia menyempurnakan geliat pro demokrasi dengan menjadikan modal sosial simultan dengan desentralisasi banyak hal dalam negara bangsa yang kian memenuhi keinginan masyarakatnya.

Selama satu dekade terakhir, modal sosial menjadi perhatian serius dalam sosiologi, ekonomi, ilmu politik, kesehatan, dan bahkan dikembangkan oleh agen-agen pembangunan internasional. Perhatian pada modal sosial tampak paralel dengan perhatian pada good governance desentralisasi, demokrasi lokal, pemberdayaan, civil society, dan seterusnya.

Coleman (1988) adalah sosiolog pertama yang mengusung modal sosial ke dalam mainstream ilmu sosial Amerika, yang kemudian semakin dipopulerkan oleh studi Putnam (1993, 1995, 2000).

Membincang isu modal sosial ini demikian penting, setara dengan perhatian dunia pada good governance dan menjadikan sense of urgency kita perlu memiliki porsi yang setara dalam mengeksplorasi modal sosial.

Memahami Modal Sosial
Menurut Coleman (1998), modal sosial adalah inherently functional dan modal sosial adalah apa saja yang memungkinkan orang atau institusi bertindak. Karena itu, modal sosial bukan merupakan suatu mekanisme, sesuatu atau hasil, tetapi merupakan beberapa atau semua semua dari mereka (mekanisme, sesuatu, dan hasil) secara simultan. Portes (1998) melihat ini sebagai sebuah langkah pengembangan (proliferation) ide modal sosial dan negara. “Coleman sendiri memulai pengembangan (proliferation) itu dengan memasukkan beberapa istilah mekanisme yang menghasilkan modal sosial; konsekuensi dari kepemilikannya yang menyediakan konteks bagi sumber dan pengaruh”.

Akhirnya, modal sosial, bagi Coleman (1998), adalah netral secara normative dan moral, yaitu bahwa modal sosial diinginkan sekaligus juga tidak diinginkan; modal sosial hanya memungkinkan tindakan terjadi dengan menyediakan sumber daya yang diperlukan.

Meskipun kerja Coleman (1988) membawa modal sosial ke dalam ilmu-ilmu sosial, menjadi sumber pokok ide bagi para praktisi dan peneliti adalah Putnam (1993a, 1993b, 1995, 1996, 2000). Ada beberapa transisi kunci yang muncul ketika Putnam (1993a) pertama kali menggunakan istilah modal sosial.

Pertama, modal sosial diubah dari sesuatu yang didapat oleh individu kepada sesuatu yang dimiliki (atau tidak dimiliki) oleh individu lain atau kelompok orang di daerah, komunitas, kota, negara, atau benua. Kedua, modal sosial bisa dipertukarkan dengan masyarakat sipil atau secara lebih tepat dengan pandangan baru Tocqueville yang khusus tentang masyarakat sipil. Dengan demikian, asosiasi sukarela, organisasi nonpemerintah, berdasarkan kepercayaan, menjadi institusi yang menghasilkan modal sosial.

Ketiga, modal sosial terutama menjadi sebuah hal yang secara normatif baik dan diberikan untuk (1) mempromosikan pemerintah yang baik (demokratis) dan (2) menghasilkan dan membuat keberlanjutan pertumbuhan dan pembangunan ekonomi. Keempat, ketika Putnam membawa kerangka kerja ini kepada konteks Amerika, dia melakukannya dnegan membuat argument, bahwa modal sosial dan masyarakat sipil sedang merosot di Amerika Serikat dan sejak pertengahan tahun 1960-an (1993b, 1995, 1996, 2000), kecenderungan ini menandakan masalah ekonomi dan politik jangka panjang.

Secara umum, modal sosial menjadi indikator positif dalam menakar kesungguhan pro rakyat isme pada era modern. Era modern itu kalau di Inggris dianggap dimulai saat Perdana Menteri Margareth Tatcher sehingga merombak birokrasi negara meskipun harus berhadapan dengan gelombang protes dari elemen-elemen birokrasi negara–sehingga dijuluki “bertangan besi”. Namun demikian, di Indonesia, ini solusi kepemimpinan yang hanya masuk akal secara teoritis, tetapi tidak masuk akal secara empiris. Solusi kepemimpinan yang volunteristik gagal memunculkan titik terang yang sanggup melahirkan pemimpin yang bersih, bertangan bersih, dan berbasis massa.

Sebelumnya, elemen-elemen pendukung demokratisasi sangat berharap ketika kepemimpinan di tangan Gus Dur karena beliau tampil sebagai pemimpin visioner, berbasis massa, dan bertangan bersih. Namun, sayang Gus Dur tidak bersih dari praktik KKN dan kemudian membuatnya terdepak oleh patronasi politik.

Gebyar pro rakyat isme berpendekatan bersifat volunteristik adalah konvergensi elite, yang menekankan perlunya konsensus bersama di kalangan elite untuk membawa Indonesia keluar dari krisis sekaligus menjadi titik awal membangun Indonesia yang demokratis dan desentralistik. Lagi-lagi solusi ini tidak masuk akal secara politik dan empiris. Mengapa? Menurut Suroro Eko (2004), “Masyarakat Indonesia selama era reformasi justru menyaksikan oligarki elite yang lebih banyak memperjuangkan kepentingan kekuasaan mereka sendiri daripada mendorong demokratisasi untuk Indonesia. Elite politik tidak punya komitmen terhadap perubahan; sebaliknya, mereka sibuk menghabiskan energinya untuk berbagi-bagoi kekuasaan dan kekayaan.”

Statement Surono Eko itu bukan kemarin, tetapi sejak tahun 2004 yang silam. Kalau kini fenomena itu “masih terasa”, perlu gerakan apalagi menghadapi krisi dari dalam “batang tubuh negeri ini”?

Lingkaran Setan Krisis
Problem dasarnya, yang cukup mencuat, capacity building dan reformasi birokrasi. Menjadi pertanyaan serius, sejauh mana pendekatan ini relevan secara empiris? Penguatan kapasitas birokrasi adalah “paradigma jadul” dalam khazanah pemerintahan di Indonesia–apa yang dahulu dikenal sebagai pengembangan sumber daya manusia. Di atas kertas, pendekatan ini sangat penting demi mendorong kemampuan birokrasi negara agar mereka mampu bekerja secara akuntabel, responsif, dan profesional. Namun, capacity building tidak pernah bekerja di ruang kosong. Secara empiris, birokrasi Indonesia memang sangat lemah kapasitasnya, tetapi problem dasarnya bukan pada lemahnya kapasitas, melainkan struktur birokrasi negara yang terlalu besar, dominatif, feodal, dan korup. Ketika struktur birokrasi ini masih mencengkeram, maka capacity building hanya mampu membuahkan peningkatan perorangan, tetapi tidak mampu membuahkan perubahan secara institusional.

Pada zamannya, kepemimpinan Presiden Megawati Soekarnoputri pernah melontarkan pernyataan kritik, “Birokrasi adalah keranjang sampah yang sarat dengan korupsi”. Namun, nyaris tidak pernah melahirkan kebijakan radikal (radical policy) untuk reformasi birokrasi. Menpan Faisal Tamin ketika itu mengedepankan data bahwa sejumlah 60% PNS (kini istilahnya ASN, aparatur sipil begara) di Indonesia tidak produktif sehingga harus dipangkas. Namun, Menpan pun tidak membuat kebijakan konkret untuk memotong birokrasi itu. Karena itu, agenda reformasi birokrasi hanya masuk akal secara teoritis, tetapi tidak masuk akal secara empiris. Fenomenanya, vicious circle atau lingkaran setan dalam birokrasi kita.

Meskipun begitu, demokratisasi dan desentralisasi memang membuahkan segudang masalah baru dan civil society sebagai gerakan pro perubahan amat terseok-seok, tetapi tidak boleh berhenti apalagi mundur. Semua ikhtiar senantiasa harus optimistis demi kemaslahatan pada masa depan. Bagaimanapun, demokratisasi yang berbasis pada gerakan civil society merupakan pendorong perubahan untuk Indonesia yang lebih baik, makmur, sejahtera, dan berkeadilan.

Artikel Modal Sosial dalam Bingkai Desentralisasi dan Demokrasi pertama kali tampil pada KAHMI Nasional.

]]>
8700
Insaf atas Impian Pindah Ibu Kota Negara https://www.kahminasional.com/insaf-atas-impian-pindah-ibu-kota-negara/ Tue, 03 May 2022 22:42:59 +0000 https://www.kahminasional.com/?p=8688 Oleh Iqbal Setyarso, Alumnus HMI Cabang Palu dan FISIP Universitas Tadulako serta Pembina Indonesia Care Saat pro kontra pemindahan ibu kota dari Jakarta ke Penajam Paser Utara-Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur, menderas, saya sampai pada keinsafan untuk berpikir realistis. Pertama, bukankah Indonesia sedang didera krisis ekonomi dengan angka utang luar negeri (menurut Katadata, Rp7.052,5 triliun sampai […]

Artikel Insaf atas Impian Pindah Ibu Kota Negara pertama kali tampil pada KAHMI Nasional.

]]>
Oleh Iqbal Setyarso, Alumnus HMI Cabang Palu dan FISIP Universitas Tadulako serta Pembina Indonesia Care

Saat pro kontra pemindahan ibu kota dari Jakarta ke Penajam Paser Utara-Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur, menderas, saya sampai pada keinsafan untuk berpikir realistis. Pertama, bukankah Indonesia sedang didera krisis ekonomi dengan angka utang luar negeri (menurut Katadata, Rp7.052,5 triliun sampai Maret 2022)? itu pun kini pandemi sudah memasuki tahun ketiga. Kedua, sejauh ini, belum ada negara yang mau memberi pinjaman luar negeri.

Dengan kondisi ini, sangat tidak realistis (meskipun sangat ingin) untuk tidak meneruskan gagasan itu. Misalnya, dalam pemerintahan Presiden Joko Widodo periode kedua ini ada legacy agar bisa melahirkan kebijakan yang dahulu pernah digagas Presiden pertama Indonesia dan belum terwujud. Sungguh tidak realistis dalam perspektif banyak rakyat Indonesia, kecuali yang mengidolakan Presiden Joko Widodo.

Nrimo, Bukan Pasrah
Dalam kosa kata bahasa Jawa, terdapat istilah nrimo. Nrimo adalah menerima keadaan, tetapi tidak sekadar pasrah. Nrimo yang bukan pasrah sebagai ekspresi tidak ngoyo memburu pencapaian. Bisa dikatakan nrimo dengan sikap positif. Nrimo yang dimaknai realistis apalagi sampai “memburu” utangan. Realistis dengan trilunan rupiah per Maret 2022, berkonsentrasi untuk mengikhtiarkan pembayaran sembari mendorong ekspor komoditas dalam negeri. Saatnya menjawab tantangan, menggenjot ekspor, bukan dengan ramai-ramai bancakan menghabisi anggaran pembangunan.

Sejumlah kementerian, seperti Koperasi (plus UMKM), Perindustrian (berkonsentrasi pada industri kerajinan berteknologi tepat guna selain mengembangkan teknologi informatika dan komputer), Perdagangan, semua kompak membangun ikhtiar bersama untuk Indonesia maju. Wujud kemauan kuat ditunjukkan dengan melahirkan sejumlah policy ke arah conditioning iklim berusaha demi mengakselerasi usaha. Dalam kondisi kegentingan “darurat ekonomi” sangat realistis menciptakan kondisi percepatan berusaha, bukan saja usaha berbasis industri “basah” dan “bernilai ekonomi tinggi”, seperti pertambangan, tetapi juga UMKM (usaha menengah, kecil, dan mikro).

Kalau memang demikian, maka relevan dengan pilihan penyelengaraan Musyawarah Nasional (Munas) KAHMI sehingga bertempat di Kota Palu, Sulawesi Tengah (Sulteng). Pilihan Kota Palu sebagai sentra Munas KAHMI mengandung misi mulia dengan empati total kepada Palu, yang pernah menjadi menyandang bencana alam multidisaster, triple disaster: gempa bumi, likuefaksi, dan tsunami. Meskipun sudah berlalu sejak tahun 2018 silam, ekses dan dampak fisiknya masih membekas dan sejumlah korban yang belum memperoleh bantuan, terutama rumah (hunian tetap), masih menunggu uluran bantuan.

Realistis dengan Gagasan
Bencana Palu (meskipun telah empat tahun silam berlaju) masih menyisakan penyintas dengan problematikanya. Terlalu cuek atas fakta banyaknya penyintas dengan problematika pascabencana itu seakan mengekspresikan kebekuan hati. Terlebih, ada perhelatan seakbar musyawarah nasional sekelas alumni Himpunan Mahasiswa Islam (HMI). Rasanya, sangat tidak elok “membekukan perasaan” komunitas alumni HMI dari fakta mengenaskan itu.

Maka, “penebus kebekuan hati” itu kompak siap mengimplementasikan tiga semangat Munas KAHMI. Pertama, menghalau stigma Poso dari persepsi sebagai sarang terorisme dan konflik; kedua, mengedepankan kerelawanan sosial; dan ketiga, mengembangkan UMKM dan pengelolaan sumber daya secara sustainable. Ini cara bijak dan realistis dalam merayakan perhelatan bernama Munas KAHMI. Hanya dengan cara ini Munas KAHMI selain menjawab panggilan zaman yang kian kekinian, juga secara realistis membuktikan HMI sebagai organisasi kader masih relevan dengan zaman. Untuk itu, steering committee (panitia pengarah) dan organizing committee (panitia pelaksana) akan berupaya keras untuk memenuhi mandatnya.

Steering committee (SC) akan dilibati sejumlah orang dengan kompetensi lebih. Kompetensi lebih karena pengalaman dan jam terbang, wawasan dan perspektif yang luas, dan berbagai pertimbangan mungkin pula karena kebijaksanaannya dengan mempertimbangkan berbagai hal. Karena kompetensinya, maka orang-orang di SC mendapat mandat mengarahkan organizing committee (OC). OC mendapat mandat untuk berkoordinasi dengan bidang kerja lainnya dalam kepanitiaan event, berpartisipasi aktif melaksanakan kegiatan sesuai rencana, saling memberikan bantuan lintas divisi, melaporkan perkembangan kerjanya dalam rapat-rapat kepanitiaan, menyusun laporan alokasi anggaran di tiap divisi.

Artikel Insaf atas Impian Pindah Ibu Kota Negara pertama kali tampil pada KAHMI Nasional.

]]>
8688
Mengapa Harus Pindah Ibu Kota Negara? https://www.kahminasional.com/mengapa-harus-pindah-ibu-kota-negara/ Sun, 01 May 2022 09:53:17 +0000 https://www.kahminasional.com/?p=8665 Oleh Iqbal Setyarso, Alumnus HMI Cabang Palu dan FISIP Universitas Tadulako serta Pembina Indonesia Care Judul artikel ini sama sekali bukan mempertanyakan, tetapi sekadar menghadirkan perspektif “mengapa harus pindah”? Indonesia salah satu bangsa yang punya orientasi ke masa lalu. Ini bukan sesuatu yang negatif. Artinya, bangsa yang punya orientasi pada masa lalu, meletakkan sejarah pada […]

Artikel Mengapa Harus Pindah Ibu Kota Negara? pertama kali tampil pada KAHMI Nasional.

]]>
Oleh Iqbal Setyarso, Alumnus HMI Cabang Palu dan FISIP Universitas Tadulako serta Pembina Indonesia Care

Judul artikel ini sama sekali bukan mempertanyakan, tetapi sekadar menghadirkan perspektif “mengapa harus pindah”? Indonesia salah satu bangsa yang punya orientasi ke masa lalu. Ini bukan sesuatu yang negatif. Artinya, bangsa yang punya orientasi pada masa lalu, meletakkan sejarah pada porsinya, dengan ingat sejarah–seperti kata sejarawan Louis Gottschalk, “understanding history“. Tetapi, kita juga bangsa yang futuristik dengan berpikir pada masa depan dan mendorong invention. Ini mengambil ibrah pembelajaran dari para ilmuwan muslim pada masa lalu. Kecenderungan berpikir jauh ke depan harus menjadi sikap dan cara pandang bangsa muslim karena pesan kenabian sarat dengan pembelajaran, baik dari masa lalu, merenungkan kekinian, sekaligus berpikir keakanan (masa depan).

Bahkan, sebuah hadis menyatakan, “Barang siapa yang harinya sekarang lebih baik daripada kemarin, maka dia termasuk orang yang beruntung. Barang siapa yang harinya sama dengan kemarin, maka dia adalah orang yang merugi. Barang siapa yang harinya sekarang lebih jelek daripada harinya kemarin, maka dia terlaknat”. Ini hadis yang perawinya daif, tetapi begitu masyhur dan memasyarakat. Menurut fukaha, karena secara substantif tidak bertentangan dengan hadis-hadis lainnya dan kontennya juga baik, maka hadis itu dibiarkan beredar di masyarakat.

Dalil lain, ini firman Allah, “Dan [ingatlah], tatkala Tuhanmu memaklumkan, ‘Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah [nikmat] kepadamu dan jika kamu mengingkari [nikmat-Ku], maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih (QS. Ibrahim: 7)”. Konstatasi ini lebih “mengena” untuk ikhtiar penghargaan bagi seorang hamba dalam memaknai hidupnya. Dimensi keakanan muslim mendorong optimisme sehingga senantiasa memandang hari esok lebih baik. Kesanggupan seorang muslim menempatkan kehidupan selanjutnya selalu lebih baik. Selalu do it better, lakukan dengan lebih baik. Dengan itu, pertanyaan di awal artikel ini mendapatkan konteksnya, “mengapa harus pindah”? Ada sejumlah argumentasi membingkai perspektif ini.

Asas spatiality. Ini bicara tentang Jakarta, Ibu Kota Negara (IKN). Spatiality adalah istilah yang digunakan dalam arsitektur untuk karakteristik yang dilihat dari aspek tertentu, menentukan kualitas sebuah ruang. Dibandingkan dengan istilah kelapangan, yang mencakup formal, penentuan dimensi ukuran–kedalaman, lebar, atau tinggi–spasitas adalah istilah kategori yang lebih tinggi. Mengacu Jakarta sebagai Ibu Kota Negara, saya ingin katakan, dengan sejumlah pertimbangan sehingga perlu pindah. Asas spatiality menjadi dalih rasional. Untuk tumbuh kembang, manusianya perlu ruang. Tidak cukup “hanya di sini” saja.

Munculnya IKN yang baru (katakanlah Kalimantan Timur), membetot perspektif baru, membuat semua yang suka atau tidak suka beradu argumentasi. Fakta tak terbantah bahwa Pulau Jawa padat penduduk berdasarkan Survei Penduduk Antarsensus (Supas) tahun 2015. Sebanyak 56,56% penduduk di Indonesia berada di Pulau Jawa. Pulau Jawa menjadi pulau paling padat di Indonesia. Sedangkan pulau lain, persentase kepadatan penduduk kurang dari Jawa. Data dari Supas tahun 2020, Pulau Jawa berada di peringkat pertama dengan persentase penduduk sebanyak 56,10%. Sementara itu, di posisi kedua, penduduk di Kalimantan bertambah menjadi 6,15%.

Asas disparitas kontribusi ekonomi. Tidak nyaman untuk berkutat mempertahankan disparitas kontribusi ekonomi (mengutip data BPS, Pulau Jawa pada tahun 2020 berada di peringkat pertama kontribusi ekonomi produk domestik bruto/PDB sebesar 59,14%, posisi kedua adalah Pulau Sumatra dengan PDB 21,4%, Pulau Kalimantan PDB 8,12%, Pulau Sulawesi PDB 6,19%, sedangkan Bali dan Nusa Tenggara PDB 2,95%. Kontribusi PDB paling rendah berada di Pulau Maluku dan Papua. Kedua pulau ini berkontribusi sebanyak 2,24% untuk Indonesia). Dalih disparitas ekonomi ini menguatkan tekad Indonesia perlu memindahkan ibu kotanya.

Asas darurat air bersih. Realistis ketika keberadaan air bersih dilanda kelangkaan, padahal air sumber kehidupan. Multiplying effect mendera saat kris air bersih menjadi masalah. Krisis air bersih menjadi masalah di Pulau Jawa. Berdasarkan data Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR), Pulau Jawa pada 2016 engalami krisis air yang parah. Salah satu indikator krisis air bersih adalah ketersediaan air yang berkurang, seperti daerah Jawa Tengah.

Asas security. Untuk menjadi kawasan aman dalam jangka panjang, kini waktu semakin pendek untuk bisa menikmati keamanan-ketentraman Jakarta. Ibu kota tumpuan negara seharusnya menjadi kawasan teraman dibanding daerah lain. Untuk menjadi kawasan aman dalam jangka panjang, kini waktu semakin pendek untuk bisa menikmati keamanan-ketentraman Jakarta. Selain itu, sekitar 50% daerah Jakarta mengalami penurunan keamanan banjir dalam waktu kurang dari 10 tahun. Padahal, kota besar idealnya memiliki tingkat keamanan banjir minimal 50 tahun. Tanah di Jakarta mengalami penurunan sekitar 35-50 cm dalam kurun waktu 10 tahun (2007-2017). Faktor bencana alam lain adalah aktivitas gunung berapi, seperti Gunung Krakatau dan Gunung Gede. Daerah Jakarta memiliki ancaman besar, seperti potensi gempa bumi, tsunami, banjir, dan penurunan tanah.

Asas pengendalian urbanisasi. Pertumbuhan urbanisasi sangat tinggi. Setiap tahun, provinsi Jakarta mengalami peningkatan urbanisasi terbanyak dibanding daerah lain. Contohnya, tahun 2017, Indonesia berada di peringkat ke-9 sebagai kota terpadat di dunia. Itu urgensi pemindahan ibu kota negara. Tanpa pengendalian, Jakarta secara statistical mengalami pemadatan karena derasnya arus urbanisasi. Sebelum “membeludak”, memindahkan ibu kota harus menjadi pilihan realistis. Harus ada kerelaan memilih aspek-aspek apa yang perlu tetap dipertahankan di Jakarta dan aspek-aspek apa yang harus pindah. Pemindahan ini pun bukan tanpa konsekuensi. Sejumlah hal harus disiapkan mengingat ibu kota negara perlu daya dukung keberadaannya. Perlu dipikirkan prioritas apa yang harus riil berpindah dan prioritas apa yang dipertahankan.

Pertama, aspek historis; kedua, sisi analogi atau pembanding; ketiga, secara ekonomi harus menguntungkan; keempat, secara sosial mesti diterima; kelima, secara strategis lebih efektif dan efisien; keenam, secara ekologis lebih berkelanjutan; ketujuh, secara teknik memungkinkan dan dari dukungan ketersediaan sumber daya, terutama lokal, tersedia cukup dan memadai.

Saya sengaja tidak memasukkan aspek politik sebagai pertimbangan karena hiruk pikuk selama ini adalah soal politik itu. Dan jika pertimbangan ketujuh aspek ini telah diletakkan dengan jujur, tulus, dan elegan, maka politik tinggal mengikuti saja. Dan ini baru mungkin kalau para politician kita adalah juga negarawan. Loh, apa bedanya? Ada ahli yang bilang, “The politician always thinking their next position. While, the state man always thinking their next generation“. Wallahu a’lam.

Ibu Kota Berpindah dari Masa ke Masa
Secara historis, ide tentang pindah ibu kota telah ada sejak zaman Orde Baru. Presiden Soekarno pada tahun 1960-an telah menggagas perpindahan ibu kota ke Kalimantan. Sama pulaunya seperti yang direncanakan sekarang. Bahkan, kalau tarik lebih ke belakang, pusat pemerintahan pada era kolonial Belanda dipindahkan dari Kota Ternate ke Kota Batavia atau Jakarta yang sekarang.

Saiful Rurai, pengkaji sejarah, kebudayaan, politik, dan pembangunan Maluku Utara, mengonfirmasi kebenaran historis ini. Beliau menunjuk catatan FSA de’Clercq (De Boijdragen tot de Kennis der Residentie Ternate, 1890) dan disertasi Pastor Dr. Kareel Steenbrink, ibu kota VOC adalah dari Ternate. Nanti, Gubernur Jenderal ke-4, Jan Peterzoon Coen, memindahkan ke Batavia (1916) setelah mengirim dua surat dari Ternate kepada Heren Zeventijn, Dewan Direksi VOC/Dewan 17.

Apabila kita mundur lebih jauh lagi ke belakang, jauh sebelum kedatangan Portugis dan Spanyol ke Indonesia (baca: Maluku), Kesultanan Tidore memiliki tradisi pindah ibu kota secara periodik. Saat kapal Trinidad dan Victoria milik Spanyol tiba di Pulau Tidore tahun 1521, Ibu kota Kesultanan Tidore ada di Desa Mareku. Sisa-sisa peninggalan istananya masih terlihat. Saat ini, ibu kota kesultanannya ada di Desa Soasio.

Bila kita bandingkan dengan negara modern sebagai analogi, kita bisa tunjukkan beberapa saja sebagai contoh. Amerika Serikat dari Washington ke New York, Australia dari Melbourne ke Canberra, Belanda dari Amsterdam ke Den Haag. Pastilah semua negara ini punya pertimbangan sendiri-sendiri.

Asas Efisiensi
Sekarang, coba kita tinjau dari aspek efisiensi. Posisi Jakarta yang letaknya relatif terlalu ke barat sangat merugikan kawasan timur dari jangkauan akses transportasi. Penerbangan Papua atau Maluku Utara butuh jarak dan ongkos perjalanan yang tidak kecil. Meletakkannya di tengah membuat posisi dan biaya menjadi lebih seimbang, adil, dan proporsional. Ekonomi biaya tinggi bisa ditekan.

Ada lagi satu soal yang jarang terdengar dalam diskursus pindah ibu kota ini. Yaitu, aspek pemerintahan. Negeri, yang pernah bernama Nusantara dan kini bernama Indonesia, ini pernah punya pemerintahan pertama di era kerajaan. Namanya Kerajaan Kutai Kertanegara. Ini kerajaan pertama dan letaknya pun ada di Kalimantan.

Artikel Mengapa Harus Pindah Ibu Kota Negara? pertama kali tampil pada KAHMI Nasional.

]]>
8665