Kolom Arsip - KAHMI Nasional https://www.kahminasional.com Korps Alumni Himpunan Mahasiswa Islam Thu, 07 Apr 2022 18:50:09 +0000 id-ID hourly 1 https://wordpress.org/?v=5.9.3 https://www.kahminasional.com/assets/img/2021/11/favicon-kahmi-nasional-48x48.png Kolom Arsip - KAHMI Nasional https://www.kahminasional.com 32 32 202918519 Menghidupkan Demokrasi Ekonomi Kita https://www.kahminasional.com/menghidupkan-demokrasi-ekonomi-kita/ Thu, 07 Apr 2022 18:50:09 +0000 https://www.kahminasional.com/?p=8359 Oleh Fathorrahman Fadli, Finance Director PT Insan Cita Mandiri Sejahtera Indonesia adalah bentangan luas bangsa-bangsa yang kaya raya. Ia diikat oleh persamaan batin sebagai bangsa-bangsa yang senasib sepenanggungan. Mereka berikrar menjadi satu bangsa demi tujuan meraih keadilan dan kesejahteraan secara bersama-sama. Oleh para sosiolog, Indonesia pun sering pula disebut sebagai negara kesepakatan. Ada juga yang […]

Artikel Menghidupkan Demokrasi Ekonomi Kita pertama kali tampil pada KAHMI Nasional.

]]>
Oleh Fathorrahman Fadli, Finance Director PT Insan Cita Mandiri Sejahtera

Indonesia adalah bentangan luas bangsa-bangsa yang kaya raya. Ia diikat oleh persamaan batin sebagai bangsa-bangsa yang senasib sepenanggungan. Mereka berikrar menjadi satu bangsa demi tujuan meraih keadilan dan kesejahteraan secara bersama-sama. Oleh para sosiolog, Indonesia pun sering pula disebut sebagai negara kesepakatan. Ada juga yang menyebut bangsa-bangsa yang bersatu karena imajinasi Soekarno dan Hatta. Tentu personifikasi itu berlebihan jika tanpa dukungan dari seluruh warga bangsa. Oleh karena itu, ada benarnya jika Benedict Anderson menyebut Indonesia sebagai imagine communities, suatu komunitas hasil imajinasi atau rekaan para tokohnya, yang diwakili Soekarno-Hatta.

Lepas dari aneka pandangan itu ada baiknya kita melihat fakta-fakta di hadapan kita. Disadari atau tidak, cita-cita bersama tentang Indonesia yang berkeadilan dan sejahtera itu sejatinya masih dalam posisi ongoing process. Artinya, kita masih membutuhkan banyak waktu untuk mewujudkan cita-cita dan mimpi Indonesia itu. Saya tegaskan, kita belum menjadi Indonesia. Sejalan dengan cita-cita luhur bangsa itu, kita harus menghadapi berbagai hambatan dan rintangan yang menggangu pencapaian tujuan berbangsa.

Kekayaan Bangsa Kita
Di setiap sudut negeri ini menyuguhkan pesona alam yang menakjubkan. Segala rupa kekayaan hayati tersedia di negeri berjuluk “Zamrud Khatulistiwa” ini. Begitu pula kekayaan sumber daya alam fisiknya. Aneka mineral yang biasanya kita pelajari selama di SMA, yaitu deretan unsur-unsur kimia ala Dmitriy Ivanovich Mendeleyev, dikabarkan semua terkandung di sudut-sudut bumi bangsa ini. Oleh karena itu, banyak bangsa lain di dunia menyebut Indonesia sebagai a part of heaven atau patahan surga.

Jika kita berkelana dari satu pulau ke pulau lainnya, pesona alamnya memadu indah dengan karakter orang-orang yang berdiam di dalamnya. Betul-betul indah nian bak patahan surga dunia.

Namun, semua kekayaan itu belum bisa dikelola oleh bangsa sendiri. Negara yang diwakili pemerintah masih menjadi pelayan bangsa lain dengan memberikan berbagai fasilitas fiskal yang mereka butuhkan. Sedangkan rakyat masih terus menjadi penonton dan budak di negeri sendiri. Para petinggi di negeri kurang memiliki perhatian yang serius untuk rakyatnya. Beberapa bantuan insidental, seperti bantuan langsung tunai (BLT), bantuan beli minyak goreng, itu hanyalah pelipur lara yang tidak mampu menyelesaikan inti masalahnya, kemiskinan dan pemiskinan.

Demokrasi Ekonomi
Demokrasi Ekonomi bisa dikatakan berlangsung sehat manakala disparitas sosial ekonomi bangsa secara nasional tidak terlalu jauh. Jurang pemisah antara si kaya dan si miskin tidak terlalu jomplang dan menganga. Kehidupan perekonomian rakyat berjalan dengan baik tanpa gejolak harga yang mencekik rakyat.

Rakyat dapat membeli setiap kebutuhan hidupnya dengan kemampuannya sendiri. Prinsip keterjangkauan rakyat atas harga-harga kebutuhan pokok harus menjadi pertimbangan utama dalam pengendalian pasar oleh pemerintah. Pemerintah berhak membangun proteksi khusus untuk menjaga kestabilan harga sejumlah bahan pokok di pasaran. Tidak bisa harga-harga kebutuhan pokok masyarakat dibiarkan begitu rupa kepada mekanisme pasar yang liar. Pasar memiliki wataknya sendiri. Jika dibiarkan, maka keberadaan pemerintah dalam menjaga rakyatnya pasti akan terabaikan.

Saat ini, kemarahan rakyat atas melambungnya harga minyak goreng dan kebutuhan pokok lainnya–juga harga Pertamax yang naik secara cukup fantastis–adalah penderitaan yang luar biasa. Berbulan-bulan lamanya krisis minyak goreng belum mendapatkan penanganan yang melegakan bagi ibu-ibu rumah tangga yang menjadi benteng pertahanan ekonomi rumah tangga rakyat.

Untuk kepentingan itu, sekelompok ibu-ibu yang tergabung dalam Aliansi Rakyat Menggugat (ARM) sangat aktif melakukan perlawanan terhadap sejumlah kebijakan pemerintah yang dinilai tidak adil. Mulai kasus Covid-19, harga PCR yang dipermainkan mafia bisnis alat-alat kesehatan oleh oknum di sekitar penguasa, tes antigen menyedot uang rakyat, dan kebijakan lain yang tidak pro rakyat.

Kepedihan yang dialami rakyat, terutama rakyat kecil nan miskin, sangatlah membutuhkan keinginan baik pemerintah dalam memperbaiki keadaan ekonomi. Pemerintah tidak bisa terus-menerus membela kelompok-kelompok tertentu bahkan etnis tertentu dengan menuruti apa kata mereka.

Penderitaan yang panjang akan melahirkan kemarahan rakyat yang masif. Ketika itu terjadi, sesungguhnya kesalahannya terletak pada pemerintah. Rakyat yang marah adalah efek lanjut dari tidak becusnya pemerintah dalam mengelola negara.

Akses Ekonomi Berkeadilan
Jauh sebelum Indonesia merdeka, Bung Hatta memiliki gagasan tentang pentingnya perekonomian nasional saat Indonesia merdeka kelak, yang disusun sebagai usaha bersama seluruh bangsa. Perekonomian yang demikian itu oleh Bung Hatta dipandang penting agar akses rakyat terhadap sumber-sumber ekonomi tidak hanya dikuasai segelintir orang saja. Jika penguasaan akses ekonomi itu hanya pada orang-orang tertentu, maka, lanjut Bung Hatta, akan terjadi penumpukan harta hanya pada mereka saja. Oleh karena itu, bisa dimengerti jika keadaan itu tercipta, maka akan bermuara pada suburnya kejahatan atau kriminalitas dalam masyarakat.

Kriminalitas akan melahirkan dampak ikutan yang kemudian semakin memperburuk keadaan dalam masyarakat suatu bangsa. Oleh karena itu, meningkat atau menurunnya angka kriminalitas sangat ditentukan oleh seberapa besar akses masyarakat terhadap sumber-sumber ekonomi nasional. Pemerintah tidak bisa membiarkan para perampok sumber-sumber ekonomi nasional sedemikian rupa sehingga rakyat tumbang oleh perihnya beban hidup mereka.

Artikel Menghidupkan Demokrasi Ekonomi Kita pertama kali tampil pada KAHMI Nasional.

]]>
8359
World Without Agriculture? https://www.kahminasional.com/world-without-agriculture/ Wed, 06 Apr 2022 20:10:25 +0000 https://www.kahminasional.com/?p=8313 Oleh Muhammad Nur Sangadji, Alumnus HMI Cabang Palu, Lulusan Universitet Lyon (Prancis) dan IPB, Dosen Fakultas Pertanian Universitas Tadulako Palu, dan Pengkaji Pertimbangan Lingkungan Program Food Estate Saya ingat satu ketika saat diundang ceramah oleh mahasiswa kedokteran Universitas Tadulako. Saya berkelakar sambil memperkenalkan diri sebagai petani. Saya bilang begini, “No farmers, no agriculture, no food, […]

Artikel World Without Agriculture? pertama kali tampil pada KAHMI Nasional.

]]>
Oleh Muhammad Nur Sangadji, Alumnus HMI Cabang Palu, Lulusan Universitet Lyon (Prancis) dan IPB, Dosen Fakultas Pertanian Universitas Tadulako Palu, dan Pengkaji Pertimbangan Lingkungan Program Food Estate

Saya ingat satu ketika saat diundang ceramah oleh mahasiswa kedokteran Universitas Tadulako. Saya berkelakar sambil memperkenalkan diri sebagai petani. Saya bilang begini, “No farmers, no agriculture, no food, no living. Jadi, tanpa petani, kamu bisa apa?” Adik-adik mahasiswa kedokteran ini menyela, “Tanpa Fakultas Kedokteran, tidak ada dokter. Tanpa dokter, siapa yang urus kesehatan orang?” Saya bilang, “(tetap dalam suasana berkelakar) Masih ada ‘dukter'”. Mereka balik tanya, “Apa itu dukter?” Saya jawab, “Dukun terlatih. Artinya, masih ada alternatif. Namun, dunia pertanian, tidak ada alternatifnya karena kita tidak akan pernah bisa membuat makanan dari plastik.” Tentu sesuatu yang tidak mungkin.

Mengusung humanity sebagai salah satu tema utama Musyawarah Nasional (Munas) KAHMI adalah gagasan kekinian. Pertimbangan yang bisa dikatakan cukup maju di tengah selebrasi seremonial yang sekadar heboh tak bermakna. Pilihan humanity sesuatu tentang krisis hari ini, soal yang menjadi kebutuhan umat manusia. Tema itu–berikut tangkaiannya–menjadi bermakna melengkapkan Munas XI KAHMI di Kota Palu, Sulawesi Tengah.

Pertanian Kini
Kelakar ini saya jadikan pembuka artikel ini untuk menandaskan bahwa tanpa pertanian, kehidupan berhenti. Beralasan untuk khawatir karena baru-baru ini ada kabar resmi, data dari situs resmi Bappenas RI. Dalam situs itu ada rilis berita yang sangat menghebohkan dunia pertanian. Bappenas memprediksi pada tahun 2063 tidak akan ada lagi petani di Indonesia. Ini mengejutkan, tetapi pasti bukan tanpa alasan.

Apriori, saya pikir mereka berhipotesis berdasarkan angka presentasi alih usaha petani pada sektor usaha lainnya. Atau angka alih fungsi lahan pertanian ke lahan peruntukan lain. Tulisan ini tidak hendak mendebat angka-angka rasionya. Hanya mengikuti logika dan menyoal akibatnya.

Pada tahun 1973, total petani Indonesia sebesar 65,4%. Pada tahun 1990, jumlah petani tinggal 28 persen. Jadi, apabila trennya linier, maka diduga pada tahun 2063, tidak ada lagi petani. Logikanya sederhana saja, membandingkan tahun dan presentasenya. Ditemukan angka 1,8-an persen per tahun petani kita beralih usaha. Maka, kita butuh waktu 28/1,8 sama dengan 33 tahun. Sekarang tahun 2022, maka 33 tahun kemudian adalah 2055. Indonesia tidak lagi punya petani. Sembilan tahun lebih cepat daripada prediksi Bappenas.

Ironi Petani
Kita menyebutnya petani. Di negara lain ada sejumlah istilah untuknya. Ada peasant, farmer, dan agriculturist. Selain kosa kata petani, ada diksi lain yang juga populer. Agribussinesman dan pelaku agroindustri. Kedua kosa kata terakhir apakah termasuk–kelompok yang boleh–disebut petani juga?

Terlepas dari benar salahnya, kita bisa melihat dari sisi yang lain. Terdapat petani yang benar-benar bertani meski tidak memiliki lahan. Ada juga petani yang benar-benar bertani, tetapi lahannya sempit, di bawah 0,2 hektare. Bahkan, ada juga petani yang ikut kerja bertani di lahan orang lain. Selain itu, ada yang benar-benar petani, mempunyai lahan di atas 0,2 hektare, dan juga menjual hasil pertaniannya sendiri. Ada juga orang yang tinggal di desa, tidak bertani tetapi menjual hasil pertanian. Sebaliknya, ada orang tinggal di kota, tetapi memodali orang desa bertani.

Apa pun kategori dan status petani tersebut, mereka semua berkontribusi menyediakan pangan untuk kehidupan. Tanpa mereka, ketersediaan pangan tidak dapat menjangkau konsumen. Petani yang memproduksi dan pedagang atau distributor yang membagi menjadi satu kesatuan yang sangat penting dalam analisis ekonomi. Yaitu, produksi, distribusi, dan konsumsi.

Saat ini dan/atau bahkan sejak dahulu, nasib para petani selalu tidak menentu. Didesak dari dalam maupun dari luar. Jumlah keturunan dan pembagian warisan lahan pertanian berlangsung alamiah. Rasio lahan per kapita mengecil dengan sendirinya. Lahan yang sudah kecil itu dengan mudah dilepas untuk kebutuhan mendesak. Paling sering saat menikahkan anak.

Miris
Bukan hanya pertanian atau lahan untuk bertani yang lenyap–tergusur atau digusur–petani juga lenyap, “disedot” tawaran menggiurkan untuk berganti profesi. Sejenak, mereka yang tetap bertahan. Boleh jadi terpaksa karena tidak ada alternatif lain. Begitu ada peluang alih profesi secara instan, langsung ditangkap. Terutama tawaran dari sektor ekstraktif, seperti pertambangan dan perkebunan skala besar. Mereka tinggalkan profesi sebagai petani. Beralih profesi bahkan untuk status sebagai satpam. Dunia tanpa petani, nyaris maujud. Hal itu menjadikannya kerisauan tersendiri.

Beramai-ramainya orang meninggalkan sektor pertanian bukan isapan jempol. Itu fakta yang juga pernah disinyalir Bappenas, yang memprediksi profesi pertanian di Indonesia akan hilang tahun 2063. Forum seterhormat Munas KAHMI tentu menjadikan hal ini sebagai pembahasan. Kredo HMI “insan akademis, insan pencipta, insan pengabdi, insan yang bernapaskan Islam, dan insan yang bertanggung jawab atas terwujudnya adil dan makmur yang diridai” takkan mendiamkan lenyapnya profesi pertanian di Indonesia.

Artikel World Without Agriculture? pertama kali tampil pada KAHMI Nasional.

]]>
8313
Menghangatkan Pramunas KAHMI https://www.kahminasional.com/menghangatkan-pramunas-kahmi/ Wed, 06 Apr 2022 13:02:23 +0000 https://www.kahminasional.com/?p=8309 Oleh Iqbal Setyarso, Alumnus HMI Cabang Palu dan FISIP Universitas Tadulako, Pembina Indonesia Care Jakarta Sulawesi Tengah menjadi tempat Munas XI KAHMI. Insyaallah pada November 2022 mendatang. Panitia daerah (Tiara, sebutan untuk penyelenggara Munas di Palu) tentu tengah berjibaku menyukseskannya. Dalam sebuah kesempatan Zoom Meeting lintas daerah, sejumlah alumni ber-Zoom Meeting ria. Setidaknya pertemuan melibatkan […]

Artikel Menghangatkan Pramunas KAHMI pertama kali tampil pada KAHMI Nasional.

]]>
Oleh Iqbal Setyarso, Alumnus HMI Cabang Palu dan FISIP Universitas Tadulako, Pembina Indonesia Care Jakarta

Sulawesi Tengah menjadi tempat Munas XI KAHMI. Insyaallah pada November 2022 mendatang. Panitia daerah (Tiara, sebutan untuk penyelenggara Munas di Palu) tentu tengah berjibaku menyukseskannya. Dalam sebuah kesempatan Zoom Meeting lintas daerah, sejumlah alumni ber-Zoom Meeting ria. Setidaknya pertemuan melibatkan alumni yang berada di Palu dan sekitarnya, Jakarta dan sekitarnya, Banyuwangi dan sekitarnya. Saya tertarik menukil sebagian perbincangan pertemuan luring itu, terutama membincang “menghangatkan” Musyawarah Nasional XI KAHMI.

Direktur Indonesia Care (I-Care) juga alumnus HMI yang pernah bekerja di sebuah lembaga kemanusiaan, Lukman Azis, berbagi pandangannya terkait gagasan how to menghangatkan munas. Salah satu stressing point yang disampaikannya berkenaan dengan pengalamannya sebagai jurnalis dan keterlibatannya di lembaga kemanusiaan sebelumnya juga di Indonesia Care. “Menurut saya, kita perlu memapar audiens dengan tayangan-tayangan pendek untuk mengingatkan Indonesia, Palu, juga sejumlah daerah lainnya pernah dipapar bencana. Di sini audience ‘dicuri’ perhatiannya,” kata Lukman Azis.

Rangkaian Event Penghangat
Salah satu peserta Zoom Meeting yang juga Sekretaris Panitia Daerah, Ruslan Sangadji, berkomentar, “Saya baru memahami Indonesia Care. Dari paparan singkat Direkturnya, tergambar siapa dan bagaimana Indonesia Care itu.” Jadi, siapa Indonesia Care dan bagaimana Indonesia Care? Apa maunya dalam Munas KAHMI? Dari penjelasannya, Lukman Azis, mengatakan, I’Care–sebutan singkat Indonesia Care–menempatkan diri meneguhkan gagasan munas yang humanity heavy, cenderung pada kemanusiaan–satu dari tiga isu yang akan digeber dalam Munas KAHMI. Dua isu yang lain, menepis citra Poso sebagai daerah konflik dan sarang teroris serta pengembangan UMKM yang sumber daya alam yang sustainable. Dua isu ini juga berkorelasi dengan humanity.

Mem-breakdown gagasan menghangatkan Pramunas KAHMI. Pertama, penayangan video kemanusiaan dengan berbagai angle. Tujuannya, publik segera tersentuh dan memahami untuk apa Munas KAHMI di Palu. Kedua, lomba penulisan jurnalistik kemanusiaan. Ini menuliskan kilas balik (berbagai) bencana dengan maksud masyarakat nasional yang diwakili peserta Munas KAHMI dari berbagai daerah bisa berempati pada penyintas sekaligus memiliki kesiagaan bencana. Lukman menyitir istilah yang pernah muncul di tengah publik, pada akronim “mata bencana” atau masyarakat tanggap bencana. Dengan karya jurnalistik, jurnalis relatif lebih lugas mentransformasikan kesadaran kesiapsiagaan bencana. Media massa adalah medium edukasi yang relatif jernih menyampaikan pesan-pesan kesadaran akan kebencanaan.

Ketiga, memasang videotron yang menayangkan secara berkesinambungan dengan menjadikan Kota Palu “episentrum Munas XI KAHMI” di daerah-daerah sekitarnya. Masih dalam genus jurnalistik, keempat, pameran foto kebencanaan berbagai daerah. Tentu sudah melalui proses kurasi agar sudah “bersih” dari visualisasi yang tidak memenuhi standar kemanusiaan. Kurang lebih itu yang digagas sebagai ikhtiar menghangatkan munas.

Masih Menghangatkan Munas KAHMI
Mempertajam upaya menghangatkan Munas KAHMI di ranah intelektual juga digelar lomba penulisan karya ilmiah membedah bencana dalam berbagai perspektif. Kriteria “karya ilmiah” tentu saja memiliki standar baku penulisan ilmiah. Sejumlah “klaster” bencana bisa dipilih berdasarkan lokasi bencana atau bisa juga berdasarkan tema khusus yang sengaja dipilih sebagai pembelajaran untuk khalayak. Misalnya, aspek teknis mitigasinya (ada beragam soal dalam mitigasi) dan aspek recovery pascabencana (termasuk pemberdayaan, pemulihan ketahanan keluarga, pemulihan ekonomi masyarakat, dan sebagainya).

Maka, memilih Palu dengan jejak kuat kebencanaan tak menjadi asal pilih. Ada makna yang dalam, luas, bahkan tinggi menjulang. Makna yang dalam untuk digali dan dieksplorasi, makna yang luas untuk dijelajah, dan cita-cita yang tinggi untuk dicapai. Semua itu dimungkinkan karena demikian kaya sumber daya kader-kader HMI. Juga HMI sebagai entitas bangsa memiliki empati dan kepedulian sebagai anak-bangsa yang lahir di negara aman damai dan gemah ripah loh jinawi, Indonesia. Palu menjadi meltingpot Indonesia, di mana berbagai suku bangsa ada di dalamnya.

Pesan kuat Munas KAHMI dengan realitas kebencanaan yang menjadi isu pentingnya itu membuat perbincangan pragmatis perpolitikan (suksesi kepemimpinan) dihadapkan pada makna yang lebih luas dan agung: kemanusiaan.

Artikel Menghangatkan Pramunas KAHMI pertama kali tampil pada KAHMI Nasional.

]]>
8309
Komodifikasi Buah Lokal dan Peluang Mendongkrak Ekonomi Sulteng https://www.kahminasional.com/komodifikasi-buah-lokal-dan-peluang-mendongkrak-ekonomi-sulteng/ Tue, 05 Apr 2022 11:32:27 +0000 https://www.kahminasional.com/?p=8277 Oleh Iqbal Setyarso, Alumnus HMI Cabang Palu dan FISIP Universitas Tadulako serta Pembina lembaga kemanusiaan Indonesia Care Jakarta Sulawesi Tengah menjadi tempat Munas XI KAHMI. Insyaallah pada November 2022 mendatang. Panitia daerah (Tiara, sebutan untuk penyelenggara Munas di Palu) tentu tengah berjibaku menyukseskannya. Untuk itu, menyelenggarakan sejumlah langkah konsolidasi, baik konsepsi maupun gagasan-gagasan teknis. Salah […]

Artikel Komodifikasi Buah Lokal dan Peluang Mendongkrak Ekonomi Sulteng pertama kali tampil pada KAHMI Nasional.

]]>
Oleh Iqbal Setyarso, Alumnus HMI Cabang Palu dan FISIP Universitas Tadulako serta Pembina lembaga kemanusiaan Indonesia Care Jakarta

Sulawesi Tengah menjadi tempat Munas XI KAHMI. Insyaallah pada November 2022 mendatang. Panitia daerah (Tiara, sebutan untuk penyelenggara Munas di Palu) tentu tengah berjibaku menyukseskannya. Untuk itu, menyelenggarakan sejumlah langkah konsolidasi, baik konsepsi maupun gagasan-gagasan teknis. Salah satu wujudnya, menggelar diskusi via Zoom Meeting dengan sejumlah elemen alumni di beberapa daerah. Saya cuplik beberapa bagian seputar diskusi ini, khususnya tentang komodifikasi buah-buahan lokal sebagai salah satu ikhtiar meningkatkan ekonomi daerah dalam konteks Sulawesi Tengah.

Di antara perbincangan, ada yang menyinggung lontaran pertanyaan dari alumni HMI luar Sulteng. “Apakah sudah ada frozen pisang Sulawesi Tengah?” tanya seorang dari luar Kota Palu. Pertanyaan itu direspons Ketua FORHATI Sulteng, Rostiati Rahmatu. “Belum ada, tapi saya bisa siapkan. Saya siapkan pisang setengah matang, saya bungkus, dan saya berikan untuk antum,” jawab perempuan yang biasa disapa Kak Ros itu. Namun, tawaran itu kurang direspons penanya, Ros pun tidak melanjutkan tawaran itu. Meskipun dikatakannya sejumlah komoditas, khususnya pisang, telah menjadi objek riset mahasiswanya bahkan ada mahasiswanya sukses memasarkan produk buah dengan sentuhan teknologi.

Komoditas Unggulan
Saya pun menelusuri jejak digital tentang “pisang”. Disebutkan di sebuah situs web, pisang merupakan buah-buahan yang paling banyak dikonsumsi masyarakat Indonesia. Pisang memiliki cita rasa yang enak, harganya murah, dan mudah diolah menjadi produk yang bernilai komersial. Di Indonesia, ada ratusan jenis pisang yang tumbuh dari Sabang sampai Merauke. Namun, potensi pisang yang besar ini belum dimanfaatkan secara maksimal untuk meningkatkan ekonomi Indonesia. Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian (Balitbangtan) Fadjry Djufry menyampaikan, ada banyak jenis pisang di Indonesia dan amat variatif. “Pisang cavendish, barangan, pisang tanduk, raja emas, kepok tanjung, dan lain-lain. Masing-masing wilayah Indonesia memiliki karakteristik pisang berbeda-beda,” demikian kata Fadry.

Sebagai buah lokal Indonesia, khususnya Sulteng, berpotensi menjadikan pisang komoditas ekspor unggulan karena setiap tahun trennya meningkat. Demand-nya tidak hanya di Asia, termasuk di Jepang dan negara lain,” kata Fadjry lagi di forum Bincang Buah Tropika Online #SeriPisang yang digelar Balai Penelitian Tanaman Buah Tropika (Balitbu Tropika), Rabu (28/4/2021).

Rostiati mengungkap kesediaannya untuk berbagi pengetahuan, khususnya pisang, sekaligus berhasrat mentransformasi knowledge, baik dalam budi daya maupun pascapanennya. Apa yang ia ceritakan itu berkait dengan rencana empowering untuk peningkatan ekonomi lokal. Kekayaan buah-buahan lokal Sulteng dengan sentuhan teknologi, termasuk dengan teknologi sederhana (dan tepat guna), seharusnya digarap simultan untuk peningkatan ekonomi daerah ini.

Policy Pro Rakyat & Inisiatif Masyarakat
Disebutkan pula, Balitbangtan melalui Balitbu Tropika terus berupaya menghasilkan inovasi teknologi dan varietas-vatietas unggul. Salah satunya melalui convensional beeding telah menghasilkan pisang INA 03 yang tahan penyakit layu fusarium. Ini kerap disebut penyakit panama pada pisang, yang disebabkan Fusarium oxyporum f.sp cubense (FOC) dan merupakan penyakit paling berbahaya yang menyerang tanaman pisang dan menyebabkan kerugian lebih dari 35%.

Balitbangtan juga mendukung program Kementerian Pertanian (Kementan) dalam pembangunan kawasan hortikultura, seperti kampung pisang untuk pengembangan pisang dari hulu ke hilir, termasuk industri pengolahan pisang. “Produk turunan pisang masih banyak yang belum kita eksplor agar memberi nilai tambah,” kata Fadjry.

Kementan secara jelas mengeluarkan kebjakan, di antaranya membentuk kawasan buah bernilai ekonomi tinggi, sebagaimana dinyatakan Menteri Pertanian, Syahrul Yasin Limpo. “Kita dorong adanya kerja sama antara Kementerian Pertanian, pemerintah daerah, dan perbankan. Ke depan, dapat dibentuk kampung manggis, kampung durian, dan sentra buah lainnya,” tegasnya. Jelas itu sebuah keberpihakan pro rakyat yang pantas didukung seluruh rakyat.

Disebutkan pula, Direktur Buah dan Florikultura, Liferdi Lukman, menjelaskan arah kebijakan Direktorat Jenderal Hortikultura tahun 2020-2024, yaitu meningkatkan daya saing hortikultura melalui peningkatan produksi, peningkatan akses pasar, dan ekspor didukung oleh sistem budi daya modern yang ramah lingkungan, berkelanjutan, serta peningkatan nilai tambah produk untuk peningkatan kesejahteraan petani.

Untuk mengimplementasikan arah kebijakan tersebut, terangnya, ada tiga strategi pengembangan hortikultura 2021-2024, yaitu pengembangan kampung hortikultura (buah-buahan, sayuran, dan tanaman obat); penumbuhan usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) hortikultura; serta memperkuat digitalisasi pertanian melalui pengembangan sistem informasi.

“Kampung buah adalah pengembangan komoditas buah-buah dalam wilayah administrasi terfokus dalam satu desa. Luasannya minimal 10 hektare per desa. Buah yang kita kembangkan adalah buah yang cocok, yang sesuai dengan agroekosistem di desa tersebut,” terangnya.

Menurut Liferdi, pihaknya akan mengalokasikan anggaran pembiayaan apabila masyarakat betul-betul serius dan antusias untuk melaksanakan kampung buah tersebut. Selain itu, harus ada dukungan dan komitmen tinggi dari pemerintah daerah setempat.

Salah satu contoh kisah sukses kampung buah adalah Kampung pisang berbasis korporasi di Tanggamus, Lampung, yang dikembangkan sejak 2017 dengan mengandeng PT Great Giant Pineapple (GGP). Awalnya, kampung pisang ini hanya seluas 10 hektare, sekarang sudah berkembang hampir 400 hektare dan dikelola 800 petani. Kampung pisang ini bisa berkembang karena konsep korporasi dengan menggandeng mitra industri.

Pada 2021, kampung pisang akan dikembangkan di Kabupaten Bener Meriah dan Aceh Tenggara (Aceh), Lampung Barat (Lampung), Cianjur dan Bogor (Jawa Barat), Grobogan (Jawa Tengah), dan Blitar (Jawa Timur) dengan luas keseluruhan 280 hektare. Selanjutnya, pengembangan kawasan pisang sebagai pendukung pengembangan pangan lokal di Minahasa (Sulawesi Utara), Bantaeng (Sulawesi Selatan), Mamuju Tengah (Sulawesi Barat), Halmahera Timur (Maluku Utara), serta Pulang Pisau dan Kapuas (Kalimantan Tengah).

Prospektif
Direktur Pengolahan dan Pemasaran Hasil Hortikultura, Bambang Sugiarto, mengatakan, produksi pisang di Indonesia pada 2020 sebesar 8.182.756 ton atau meningkat 12,4% dari tahun sebelumnya. Pisang merupakan komoditas unggulan ekspor Indonesia yang selalu didorong dalam kerja sama internasional. Potensi tujuan ekspor pisang Indonesia adalah Jepang, Timur Tengah, Malaysia, Korea, Belanda, China, Australia, dan China.

Nilai ekpor pisang terbesar ke Jepang, yaitu US$1,348 juta pada tahun 2020. Namun, share Indonesia di pasar Jepang hanya 0,16%. “Kami mohon penelitian terkait permasalahan kenapa kita tidak mampu bersaing ke Jepang. Selain harga, juga karena faktor lalat buah. Ini menjadi kendala dalam mengekspor pisang, padahal Jepang pasarnya sangat bagus,” terangnya.

Untuk mendorong peningkatan ekspor pisang, Bambang berharap, pengembangan 71 kawasan hortikultura pisang seluas 1.300 hektare diarahkan untuk tujuan ekspor. Pengembangan kawasan pisang tersebut harus didorong untuk menggunakan pestisida hayati agar bisa dikendalikan sejak awal sehingga tidak ada bahan kimia pada pisang dan bebas dari lalat buah.

Pihaknya juga mendorong pengembangan pisang-pisang khusus, misalnya pisang raja, barangan, raja bulu, pisang mas kirana, dan lain-lain. Menurut Bambang, salah satu kendala mengapa pisang barangan tidak bisa masuk pasar internasional karena ada bintik-bintik sehingga kurang disukai, padahal rasanya sangat enak. Untuk itu, ia berharap, Balitbu Tropika melakukan penelitian untuk menghilangkan bintik-bintik pada pisang barangan.

Pada kesempatan berbeda, Luthfiany Azwawie, Head of Product Management and Marketing PT Sewu Segar Nusantara (PT SSN), memaparkan prospek pemasaran pisang untuk pasar modern dan tradisional. PT SSN merupakan perusahaan distribusi dan pemasaran buah-buahan segar di Indonesia dengan merek Sunpride.

Mengingat demikian besar prospek komoditas buah ini, secara nasional Indonesia yang telah menggaungkan Tahun Buah dan Sayur Internasional (pada tahun lalu, 2021), perlu melihatnya sebagai kesungguhan pemerintah. Di sisi lain, prospek ini perlu menjadi stimulan masyarakat untuk menangkap ini sebagai jalan mendongkrak ekonomi rakyat Sulteng dan rakyat Indonesia pada umumnya. Mungkin tak terlalu kencang gaung Tahun Buah dan Sayur Internasional ini. Melaluai peran intelektual pertanian–salah satunya Universitas Tadulako–kembali digaungkan di Munas KAHMI.

Selamat menyantap buah lokal dan sayuran segar produksi masyarakat Palu dan sekitarnya. Lewat ajang ekspo UMKM–sebagai fasilitas yang didedikasikan panitia Munas KAHMI–masyarakat bisa memanfaatkannya sekaligus sebagai ajang exposing produk buah dan sayuran khas Sulteng.

Artikel Komodifikasi Buah Lokal dan Peluang Mendongkrak Ekonomi Sulteng pertama kali tampil pada KAHMI Nasional.

]]>
8277
Ketika KAHMI Masuk Masjid Menjadi Gerakan https://www.kahminasional.com/ketika-kahmi-masuk-masjid-menjadi-gerakan/ Mon, 04 Apr 2022 02:45:04 +0000 https://www.kahminasional.com/?p=8246 Oleh Iqbal Setyarso, alumnus HMI Cabang Palu dan FISIP Universitas Tadulako Angkatan 1992, Pembina Indonesia Care Prof. Dr. Abdul Munir Mulkhan menjadi representasi “kegelisahan” jemaah Muhammadiyah. Salah satu hal yang mengemuka, pendapatnya saat ia mengatakan, “Aktivis Muhammadiyah kini tak menangkap roh gerakan sosial Dahlan”. Maksudnya, Kader Muhammadiyah modern telah gagal memahami maksud-maksud pendiri Muhammadiyah, K.H. […]

Artikel Ketika KAHMI Masuk Masjid Menjadi Gerakan pertama kali tampil pada KAHMI Nasional.

]]>
Oleh Iqbal Setyarso, alumnus HMI Cabang Palu dan FISIP Universitas Tadulako Angkatan 1992, Pembina Indonesia Care

Prof. Dr. Abdul Munir Mulkhan menjadi representasi “kegelisahan” jemaah Muhammadiyah. Salah satu hal yang mengemuka, pendapatnya saat ia mengatakan, “Aktivis Muhammadiyah kini tak menangkap roh gerakan sosial Dahlan”. Maksudnya, Kader Muhammadiyah modern telah gagal memahami maksud-maksud pendiri Muhammadiyah, K.H. Ahmad Dahlan. Pendapat-pendapatnya begitu kritis. Yang lebih kekinian, ia pernah menggugat “kejumudan” organisasi modern ini dengan mengatakan, “Muhammadiyah perlu kian tanggap atas persoalan-persoalan kekinian, semisal tren penggunaan cryptocurrency atau bitcoin dalam bisnis modern.” Kontras dengan perhelatan yang digelar di Palu, sekumpulan insan Indonesia menggelar Munas XI KAHMI. Saya perlu berkilas balik, KAHMI (Korps Alumni HMI)–yang dilahirkan HMI, telah berusia 47 tahun (sedangkan HMI, dari mana KAHMI terinspirasi, lebih dahulu lahir. Kini 75 tahun sejak ia didirikan, 5 Februari 1947). HMI pun produk zaman old yang perlu menyadari suasana zaman!

Benar, terasa relatif kekinian ketika dasar memutuskan Kota Palu, Sulteng, diputuskan menjadi tempat Munas XI KAHMI. Berbeda dengan perhelatan-perhelatan yang umumnya menyuguhkan kemegahan dan prestasi, Kota Palu terpilih justru saat memenangi kondisi sebagai daerah yang pernah terpapar bencana bahkan tripel bencana: gempa bumi, likuefaksi, dan tsunami. Pilihan ini, menurut saya, “amat kekinian”. Bahwa dunia ini secara alami kian tua, dan alam “sudah letih” menyangga umat manusia di atasnya.

Menurut saya, isu yang diusung munas, dengan tiga tema besarnya–pertama, bagaimana KAHMI memberi kontribusi pemikiran dan gerakan menghilangkan stigma Sulteng–khususnya Poso–sebagai daerah konflik dan basis teroris; kedua, gerakan kemanusiaan yang akan melahirkan “KAHMI Peduli” yang diawali dengan memberi nilai tambah terhadap proses rehabilitasi dan rekonstruksi pascabencana alam dan nonalam di Sulawesi Tengah; dan ketiga, bagaimana KAHMI merespons pengembangan UMKM dan pengelolaan sumber daya alam yang berkelanjutan–terasa kurang “mewakili” semangat kekinian.

Berubahnya Mindset Manusia
Sejumlah fakta mengemuka. Bahkan, sejumlah ilmu baru di jagat akademik telah mewarnai kampus. Entitas “mahasiswa” pun sudah harus responsif atas tren ini. Warna dunia yang memasuki era milenial (juga dikenal sebagai Generasi Y, Gen Y, atau Generasi Langgas) adalah kelompok demografi setelah Generasi X (Gen X). Tidak ada batas waktu yang pasti untuk awal dan akhir dari kelompok ini. Para ahli dan peneliti biasanya menggunakan awal 1980-an sebagai awal kelahiran kelompok ini dan pertengahan tahun 1990-an hingga awal 2000-an sebagai akhir kelahiran. Apa artinya? Mindset generasi milenial sangat berbeda dari era generasi sebelumnya. Dunianya berbeda, preferensinya terhadap kehidupan juga berbeda.

Dengan perubahan ini, mau tak mau, suka atau tidak, manusia KAHMI pun patut berhitung dan hirau atas tren kekinian. Di awal tulisan ini telah disinggung “organisasi modern pun (Muhammadiyah) dikritisi mulai masuk zaman jumud, beku pemikiran”. Ikon-ikon zaman old mulai beradaptasi. Institusi seperti Dewan Masjid Indonesia (DMI), yang kini dipimpin HM Jusuf Kalla, jelas beliau produk zamannya, berpikir dengan perspektif zamannya. Presiden pertama RI, Sukarno, pernah mengatakan, “Kita harus memudakan Islam.” Meskipun Indonesia saat itu selain “negara baru merdeka”, juga fenomena teknologi bahkan ideologi belum sepesat perkembangan era milenium. Kita harus tersemangati pendapat Sukarno meskipun untuk kasus organisasi kemahasiswaan zaman itu cukup banyak hal yang tidak menarik diingat.

Metaverse dan Masjid Zaman Now
Dalam peristilahan, kata metaverse dimaknai suatu teknologi augmented reality (AR) yang memungkinkan individu untuk berinteraksi dengan individu lainnya secara virtual. Metaverse kerap diartikan sebagai simulasi dunia nyata manusia yang diimplementasikan di dunia maya atau internet. Ini zaman yang baru, setidaknya versi tahun 2022. Jejak kebaruannya terus berkembang. Sejumlah kampus, termasuk kampus Universitas Insan Cita Indonesia (UICI) yang dipimpin Kanda Profesor Laode Kamaluddin sebagai rektornya, mengangkat isu pendidikan ekonomis, yang memungkinkan manusia terdidik belajar di bangku perguruan tinggi dengan biaya relatif lebih murah. Sejumlah mahasiswa diajar banyak akademisi mancanegara.

Para mahasiswa belajar serbadigital. Bahkan, kampus UICI memiliki lahan dengan aplikasi teknologi digital di Sulawesi Tenggara. Jadilah UICI memiliki kampus dengan ukuran relatif lebih kecil (small campus) dengan tenaga pengajar global (dari berbagai negara), berbiaya lebih ekonomis. Mindset-lah yang memungkinkan berbagai hal relatif bisa disederhanakan: dari segi ukuran, kompleksitas, sebaran (spreading), jangkauan (range). Dengan “paket” simpel kehidupan, banyak hal relatif bisa hadir virtual. Institusi old begitu cepat, suka atau tidak, menghadapi ketergeseran; tergantikan sejumlah tuntutan kekinian.

KAHMI masuk masjid menjadi penyikapan. Organisasi kader ini, dengan kompleksitas keahlian dan peminatan, dihadirkan ke masjid. Ini langkah untuk bisa memahami problematika umat. Tahu problem berarti juga sadar solusi. Salah satu ikhtiar yang digagas menjadikan masjid menjadi sentra pembangkitan. Tidak berlebihan kiranya karena dalam banyak masa, umat Islam–yang basisnya masjid–menebar “narasi pilu”. Bicara Islam dan umat Islam, kerapkali nasib keterpurukan dan keterbelakangan kontras dengan umat beragama lain. Dengan penuh kesadaran menjadikan masjid sentra pembangkitan, sebuah “semangat” dan “tekad” juga langsung menjadi aksi: membangkitkan ekonomi umat.

Ada semangat yang sama sebagaimana pernyataan Ketua Majelis Wilayah KAHMI Sulteng, H. Andi Mulhanan Tombolotutu, bahwa UMKM itu secara sadar menjadi vektor pembangkitan ekonomi umat dan masjid menjadi sentra ikhtiar pembangkitan itu. Dengan kata lain, lewat berbagai produk UMKM, pembangkitan itu bisa diaktivasi. Yang diperlukan pelatihan manajemen produk-produk UMKM itu (pelatihan teknis kalau perlu karena berbasis masjid sangat mungkin yang memproduksi produk-produk UMKM itu belum berpengalaman).

Dengan pelatihan intensif, diharapkan para pengampu produksi itu memiliki kapasitas produksi yang andal dan layak jual. Maka, langkah selanjutnya bagaimana menjualnya. Salah satu cara kekinian yang terpikir, menjualnya di marketplace. Di belakang proses itu, keseriusan menolong pembangkitan ekonomi umat ditandai kerja cerdas ikhtiar penjualan itu. Ada serangkaian tools yang membutuhkan kehadiran engineer teknologi informatika. Dengan digitalisasi teknologi, proses yang rumit relatif bisa disederhanakan. Apalagi, secara kelembagaan, telah dirintis KAHMI Payment yang bukan mustahil di dalamnya ada “paket strategi” pembangkitan ekonomi umat, salah satu sentranya di masjid.

Ibadah Virtual, Bisnis Virtual
Palu hanya menjadi ikon, tetenger, penanda bencana luar biasa yang menimpa. Jejak digital menyebutkan, bencana besar menerpa Palu dan sekitarnya Oktober 2018. Adalah DMI Pusat masuk ke Sulteng menghadapi fakta demikian banyak masjid yang rusak. Ketua Umum DMI sekaligus ketika masih Wakil Presiden, HM Jusuf Kalla, memberi arahan, “Fokus DMI membangun kembali masjid karena tempat ibadah bagi masyarakat Indonesia adalah organ vital.”

Ada kesalingterkaitan masjid di satu sisi dan humanity di sisi yang lain. Dalam perspektif umumnya, masjid punya fungsi tunggal: tempat peribadatan umat Islam. Sedangkan peran masjid selain untuk beribadah belum cukup menonjol. Disadari atau tidak, masjid secara sosial pun tidak ada penolakan untuk menjadikannya shelter (penampungan), terlebih ketika bencana mendera sebuah daerah. Penyintas (bisa) menjadikan masjid sebagai shelter. Krisis kebencanaan menyulap peran masjid sosial sebagai shelter. Secara simultan, jemaah masjid tak hanya bisa memperlakukan masjid untuk beribadah juga menjadikannya sebagai shelter bahkan untuk bisnis.

Teknologi AR sangat mungkin diaplikasikan dalam beribadah. Rekan-rekan para alim perlu menguasai teknologi ini agar bisa melayani umat. Secara simultan, kader alumni HMI berlomba-lomba menguasai teknologi AR dalam aktivitas bisnis. Aspek produksi dalam waktu yang memadai bisa ditransformasikan kepada jemaah atau profesional yang diberi mandat khusus untuk aktivitas produksi. Sementara ini, dalam usaha ke arah penguasaan teknologi, bisa dirintis aktivitas hybrid: kombinasi digital dan manual sampai secara teknis semuanya bisa dikuasai. Perlahan tanpa melawan sunah, dengan teknologi bisa dikatakan secara virtual beribadah dan berbisnis. Sama-sama dijalankan. Yakin usaha sampai.

Artikel Ketika KAHMI Masuk Masjid Menjadi Gerakan pertama kali tampil pada KAHMI Nasional.

]]>
8246
Merindukan Imamul Mujahidin https://www.kahminasional.com/merindukan-imamul-mujahidin/ Sun, 03 Apr 2022 20:42:45 +0000 https://www.kahminasional.com/?p=8244 Oleh Fathorrahman Fadli, Finance Director PT Insan Cita Mandiri Sejahtera Andai saja kita rajin bangun pagi sebelum Subuh tiba, maka kita akan mendengar tarhim dari menara menara masjid tua menggema. Di berbagai kota di seluruh negeri ini. Suara Tarhim itu begitu indahnya. Meresap ke seluruh tubuh. Merasuk hingga ke sumsum tulang belakang. Suara tarhim itu […]

Artikel Merindukan Imamul Mujahidin pertama kali tampil pada KAHMI Nasional.

]]>
Oleh Fathorrahman Fadli, Finance Director PT Insan Cita Mandiri Sejahtera

Andai saja kita rajin bangun pagi sebelum Subuh tiba, maka kita akan mendengar tarhim dari menara menara masjid tua menggema. Di berbagai kota di seluruh negeri ini.

Suara Tarhim itu begitu indahnya. Meresap ke seluruh tubuh. Merasuk hingga ke sumsum tulang belakang. Suara tarhim itu seolah menyayat hati, menggetarkan jiwa, membasahi ruang-ruang hati yang seharian dikotori oleh maksiat kepada Allah, oleh kesombongan kita di kantor, oleh keangkuhan akan wewenang dan kuasa atas manusia lainnya.

Begitu tarhim itu menggema, rasa-rasanya bulu kuduk kita berdiri. Merasakan ketakutan kita akan masa lalu yang kita bentengi dengan topeng-topeng palsu peran gagah kita sendiri.

Ketika tarhim itu menggema, telinga kita seolah mendapatkan siraman rohani yang asli. Betul-betul asli buatan Tuhan.

Ketika tarhim itu menggema, kita seakan betul-betul merindukan sosok Rasulullah Muhammad saw hadir di hadapan kita, memimpin kita, membimbing kita, mengarahkan kita. Apalagi, di tengah kepemimpinan nasional kita yang jauh dari harapan umat.

Ketika tarhim itu menggema, kita merindukan Rasulullah memberi tahu jalan keluar dari kepenatan hidup di atas kepalsuan dan kejumudan kekuasaan. Ketika tarhim itu menggema, deretan para pejuang seolah kehilangan pemimpin untuk melawan kezaliman sebuah rezim. Mereka betul-betul sedang merindukan Imamul Mujahidin. Hati dan jiwa mereka meronta sambil berteriak memanggil pemimpin mereka; pemimpin para pejuang.

“Ya Imamul Mujahidin … Ya Rasulullah … Wahai pemimpin para pejuang, wahai Rasulullah … .”

Ketika tarhim itu menggema, jiwa-jiwa yang suci itu menangis meneteskan air mata; rindu bercampur duka. Rindu dipimpin, duka melihat dosa-dosa mereka menggunung oleh maksiat dan keangkuhan di masa lalu.

Ketika tarhim itu menggema, seolah ancaman neraka sedang tergambar di depan mata. Mereka berderet, berjubel dengan rasa ketakutan nan getir. Keresahan, kegetiran, ketakutan, duka yang mendalam meleleh melebur menjadi satu. Mereka menunggu syafaat dari Rasulullah.

Ketika tarhim itu menggema, kita sedang merindukan Rasulullah hadir memimpin kita. Kita muak dipimpin manusia palsu tanpa jiwa. Kita bosan berhadapan dengan kelicikan dan kebohongan yang bertumpuk semrawut. Kita jijik melihat para penjilat beraksi saling sikut demi sampah-sampah kuasa yang kotor.

Saat tarhim itu menggema, kita sedang merindukan jalan terang, petunjuk yang penuh harapan bagi jiwa-jiwa suci yang sedang ketakutan.

“Ya Nashirol huda … Duhai petunjuk yang sebenarnya petunjuk … .”

Para pejuang itu berkata dalam hatinya, “Andai saja datang pemimpin para mujahid … aku akan menyerahkan jiwaku untuk perjuanganmu … .”

Andai saja pemimpin para pejuang itu datang, aku akan serahkan seluruh waktuku untuk menemani dalam berjuang.

Andai saja pemimpin para pejuang itu hadir dihadapan mereka, mereka akan selalu berada di sampingnya. Membentengi mereka menyirami jiwa-jiwa yang kering dari nilai-nilai ketuhanan.

Lalu, ketika tarhim itu menggema lagi … hati mereka bening kembali seperti bayi. Suci, lembut, kenyal, dan penuh harap rida Allah Swt.

Artikel Merindukan Imamul Mujahidin pertama kali tampil pada KAHMI Nasional.

]]>
8244
Pemberdayaan di Kawasan Bekas Bencana https://www.kahminasional.com/pemberdayaan-di-kawasan-bekas-bencana/ Sun, 03 Apr 2022 12:21:19 +0000 https://www.kahminasional.com/?p=8221 Oleh Iqbal Setyarso, alumnus HMI Cabang Palu dan FISIP Untad Palu, Pembina Indonesia Care Bencana menjadi kata kuncinya. Karena bencana, Palu terpilih sebagai tempat Munas XI KAHMI. Dengan semangat itu, Munas XI KAHMI menginisiasi gerakan KAHMI Peduli Kemanusiaan. Termasuk masjid-masjid yang pernah dilanda tripel bencana: gempa bumi, likuefaksi, tsunami. Menurut catatan harian Republika, ada 191 […]

Artikel Pemberdayaan di Kawasan Bekas Bencana pertama kali tampil pada KAHMI Nasional.

]]>
Oleh Iqbal Setyarso, alumnus HMI Cabang Palu dan FISIP Untad Palu, Pembina Indonesia Care

Bencana menjadi kata kuncinya. Karena bencana, Palu terpilih sebagai tempat Munas XI KAHMI. Dengan semangat itu, Munas XI KAHMI menginisiasi gerakan KAHMI Peduli Kemanusiaan. Termasuk masjid-masjid yang pernah dilanda tripel bencana: gempa bumi, likuefaksi, tsunami. Menurut catatan harian Republika, ada 191 masjid yang rusak di Sulteng. HM Jusuf Kalla, saat itu masih Wakil Presiden sekaligus Ketua Umum Dewan Masjid Indonesia (DMI), memberi arahan, “Fokus DMI membangun kembali masjid. Perbaikan tempat ibadah bagi masyarakat Indonesia itu urusan vital.”

Memberdayakan mantan penyintas bencana Palu-Sigi-Donggala (Pasigala)? Pertanyaan pertama yang terlintas saat membicarakan itu: who (siapa yang akan kelakukannya)? Jemaahkah atau pengurus masjid? Menurut saya, perlu diseleksi masjid mana yang akan dilibatkan menjadi sasaran program. Misalnya, kita secara sengaja memilih “percontohan” dahulu sekaligus menjadikannya “destinasi empowering tourism (wisata pemberdayaan)” yang akan diikutkan public expo pada Munas KAHMI.

Pemilihan area masjid–dan sekitarnya–penting karena dalam plot perencanaan harus memungkinkan lokasi kawasan sekitar masjid yang punya lahan luas untuk dijadikan tempat aktivitas produksi dan menyimpan. Dua fungsi lahan yang luas ini: (1) menjadi tempat menyimpan hasil produksi (gudang) atau storage function dan (2) tempat menjual hasil produksi (marketing function).

Pemberdayaan Bukan Bahan Perbincangan
Pemberdayaan, kerja simultan berpikir, berikhtiar, berkolaborasi lintas pihak. Pemberdayaan tak cukup diobrolkan. Jelas memerlukan tahapan proses, antara lain edukasi (wawasan dan transformasi teknis (knowledge), seperti quality control, penataan gerai, dan kalau perlu branding) dan manajemen (termasuk keuangan [disiplin menyimpan dan mengelola uang], membuka akses permodalan dan pasar).

Pelaksanaan pemberdayaan hal yang tidak simpel. Perlu waktu dan kesabaran dalam mendampingi, membuka akses, mengedukasi pengetahuan teknis, dan keterampilan manajerial. Jelas kata pemberdayaan bukanlah aktivitas ala kadarnya, apalagi abal-abal atau kata anak sekarang, “kaleng-kaleng”. Untuk aktivitas sekadar seremonial, mungkin bisa instan dan berdurasi pendek. Tetapi, sebagai sebuah gerakan (serius), jelas “pemberdayaan” itu sesuatu yang “mewah”. Karena dimensi “mewah” inilah tidak banyak lembaga yang menekuni aktivitas pemberdayaan.

Mengajukan program pemberdayaan harus diikuti kesadaran bahwa ada sejumlah proses yang harus dilalui. Berbeda dengan kegiatan seremonial dan instan. Untuk forum seserius Munas KAHMI, rasanya bukan kelasnya untuk unjuk seremoni. Terlalu receh menjadikan pemberdayaan aktivitas untuk kawasan bekas bencana. Munas KAHMI menuntut konsekuensi keseriusan kalau sejak awal punya komitmen yang termaktub dalam rangkaian tiga tema besar Munas KAHMI: (1) humanity–melalui KAHMI Peduli Kemanusiaan–membantu para penyintas bencana yang masih belum cukup terpenuhi kebutuhannya, terutama hunian; (2) mengenyahkan stigma [Poso] daerah konflik dan sarang teroris; dan (3) pengembangan UMKM dan sumber daya alam yang sustainable.

Pada tema terakhir inilah ikhtiar pemberdayaan menjadi hub: kepedulian kemanusiaan membetot jiwa kemanusiaan di kawasan ini dan pengembangan UMKM menjadi cara strategis yang elegan, bukan kucuran langsung (memberi kail), tetapi mendorong aktivitas produktif. Langkah ini memanusiakan penyintas sebagai bukan “tangan di bawah”, tetapi memiliki muruah.

Vektor, meminjam istilah matematika, pemberdayaan ini: masjid. Semua gagasan diimplementasikan pada area bernama masjid. Menurut harian Republika, pada saat bencana, Oktober 2018 silam, sekurang-kurang ada 191 masjid di Sulteng rusak. Gempa bumi, likuefaksi, dan tsunami mengakibatkan tidak kurang dari 100 masjid–berbagai ukuran–rusak di kawasan Pasigala. Hal inilah yang menjadikan pengurus DMI sontak terjun ke Sulteng, terutama ke Palu, Sigi, Donggala, dan Parigi Moutong (Republika, 26/10/2018).

Pada hari-hari awal, DMI memberi bantuan paket sound system (bantuan awal diserahkan 25 unit sound system). Disusul pembangunan masjid darurat dan musala berupa bantuan bahan baku untuk membangun masjid semipermanen di Sigi dan Donggala. Bicara tentang kepiluan, cukup sudah tangisan para penyintas itu setelah empat tahun berlalu. Meskipun demikian, jejak faktual bencana itu belum sirna. Terlebih, kehilangan jiwa (keluarga: kerabat, orang tua, anak, suami, atau istri), pencarian, rumah–juga sawah atau kebun. Itu yang tengah dipikirkan dengan kata “pemberdayaan”: itu aktivitas yang kompleks, memerlukan effort, skill, sumber daya, juga sumber dana. Melihat skala intervensi sosial yang perlu dilakukan atas Sulawesi Tengah, benar: kompleks meski bukan hal yang mustahil dilakukan.

Sekaliber Munas KAHMI dengan sumber daya manusia dan sumber daya finansial, “pemberdayaan” menjadi hal yang realistis. Kebersamaan berpikir dan melangkah membuat kemustahilan pada Munas KAHMI sirna. Yang menjadi pekerjaan pada level implementasi, how (bagaimana melakukannya)? Pertanyaan sederhana itu menyimpan sejumlah penjelasan: bagaimana memulainya, bagaimana memilih produk? Pertanyaan berikutnya, what (apa yang harus dijalankan)? Dihadapan para penyintas (berbasis masjid), ada “aturan main” para pihak (stakeholders), setidaknya dengan komposisi segitiga I’Care-DMI-KAHMI.

Seperti apa aturan mainnya? Pertama, I’Care (Indonesia Care, lembaga kemanusiaan yang menginisiasi aktivitas memberdayakan masjid); kedua, DMI (dalam hal ini DMI Wilayah Sulteng, daerah yang mengalami bencana) dengan masjid sebagai vektor; dan ketiga, KAHMI sebagai institusi organisasi massa dengan sumber daya manusia dengan beragam kapasitas, profesi, akses, dan sejuta cita-cita untuk Indonesia.

Ketiga pihak ini merupakan pemilik program. Artinya, kebersamaan ketiganya menyeriusi ikhtiar mengenyahkan ketidakberdayaan, terutama ekonomi, masjid-masjid (baca: warga masyarakat di Sulteng). Pemberdayaan, mengikis problematika ketakberdayaan masjid (baca: umat). Dengan pemberdayaan, aneka produk UMKM terpasarkan–wujudnya sebagai komoditas–atau terbantu platform (arsitektur kerangka kerja perangkat keras [hardware] dan kombinasinya dengan perangkat lunak [software]).

Artikel Pemberdayaan di Kawasan Bekas Bencana pertama kali tampil pada KAHMI Nasional.

]]>
8221
Puasa untuk “Menjadi” Tuhan https://www.kahminasional.com/puasa-untuk-menjadi-tuhan/ Sun, 03 Apr 2022 06:49:25 +0000 https://www.kahminasional.com/?p=8214 Oleh Moksen Idris Sirfefa (Ochen), Pengurus MN KAHMI Kebersihan dan kesucian–dua kata yang kadang dipakai secara acak dan bergantian–adalah ajaran pokok Islam. Para ulama fikih (ahli syariat) dan ulama tasawuf (ahli hakikat/sufi) mengutamakan kebersihan jasmani (thaharah) dan kesucian rohani (tazakkah) sebagai jalan lapang (tharîqah) menuju pencapaian realitas mutlak (haqîqah) ketuhanan. Titik fokus penyucian di sini […]

Artikel Puasa untuk “Menjadi” Tuhan pertama kali tampil pada KAHMI Nasional.

]]>
Oleh Moksen Idris Sirfefa (Ochen), Pengurus MN KAHMI

Kebersihan dan kesucian–dua kata yang kadang dipakai secara acak dan bergantian–adalah ajaran pokok Islam. Para ulama fikih (ahli syariat) dan ulama tasawuf (ahli hakikat/sufi) mengutamakan kebersihan jasmani (thaharah) dan kesucian rohani (tazakkah) sebagai jalan lapang (tharîqah) menuju pencapaian realitas mutlak (haqîqah) ketuhanan. Titik fokus penyucian di sini adalah jiwa atau hati, termasuk qalb (heart), fuad (conscience), dan roh (soul) yang menjadi wilayah rohani.

Al-Qur’an menyebutkan, “Qad aflaha manzakkâhâ waqad khâba man dassâhâ (Sungguh beruntung orang yang menyucikan [jiwanya] dan sungguh merugi orang yang mengotorinya [QS. 91: 9-10]).”

Qad aflaha mantazakká wadzakara-sma-rabbihí fashallá (Sungguh beruntung orang yang menyucikan [jiwanya] dan berzikir, lalu ia sembahyang [QS. 87: 14-15]).”

Mengapa harus jiwa dan bukan tubuh jasmani? Jawabnya, seberapa ganteng atau cantiknya tubuh jasmani, semewah apa penampilannya, ia akan menjadi santapan cacing tanah. Hanya jiwa yang tenteram (al-nafs al-muthmainnah) yang kembali menghadap Yang Mahasuci (QS. 89: 27-30). Itu sebabnya, titik tekan agama adalah peningkatan kualitas rohani.

Di beberapa tempat di dalam Al-Qur’an, Tuhan selalu “menafikan” hal-hal yang lahiriah dan menonjolkan hal-hal yang batiniah. Misalnya, dalam melakukan “pendekatan/keakraban” dengan Tuhan (qurbân), yang dinilai bukanlah daging dan darah hewan yang dipersembahkan, melainkan ketakwaan (QS. 22: 37).

Manusia tidak akan mampu mencapai derajat tertinggi keperiadaannya (taqwá) kecuali dengan meningkatkan kualitas rohaninya. Dan kualitas rohani (taqwá) itu hanya bisa dicapai dengan penyucian jiwa (tazkiyatu al-nafs), antara lain seperti termaktub dalam perintah puasa (QS. 2: 183). Berpuasa tidak sekadar menahan hawa nafsu dari makan, minum, dan seks, tetapi juga menahan diri dari sifat-sifat tercela, seperti amarah (gadhab), dengki (hasad), dendam (hiqd), kikir (bukhl), angkuh (kibr), congkak (ujub), terlena (ghurur), pamer (riyâ), dan lain-lain.

Puasa berfungsi membersihkan hati atau jiwa dari sifat tercela itu karena “hati laksana besi yang bisa berkarat,” demikian Nabi saw dalam salah satu sabdanya. Al-Qur’an pun mengungkapkan, ” … dosa yang mereka lakukan menutupi hati mereka (QS. 83: 14)”. Hati atau jiwa yang ternoda dengan karat dosa harus dicuci agar mengkilap kembali. Ini yang disebut nûrâni, hati yang bercahaya.

Jasmani manusia pada dasarnya adalah kumpulan kotoran dari ujung rambut hingga ujung kaki. Sebab, ia bersumber dari cairan yang hina (QS. 32:8). Ungkapan “cairan yang hina (mâ-in-maħîn)” kurang banyak mendapat penjelasan yang memuaskan dari para mufasir, tetapi merujuk pada suatu zat yang rendah/najis. Makanya, jika seseorang keluar spermanya, baik sengaja ataupun tidak, ia wajib bersuci. Sisi lainnya adalah rohani manusia. Ia adalah zat suci yang melekat dengan eksistensi Tuhan, Sang Pencipta. Melalui kalimat ” … wa-nafakhtu fîhi min rûhí (Dan Aku tiupkan ke dalam tubuhnya roh-Ku. [QS. 15: 29])”, secara tersirat, Tuhan menegaskan, kerohaniaan manusia melekat dengan-Nya (owned).

Dualitas manusia, jasad (al-jism/jasmani) dan jiwa (al-rûh/rohani), menjadi instrumen pokok manusia, apakah ia akan tetap berada pada posisi terbaiknya (ahsani taqwîm) ataukah malah jatuh pada posisi terpuruk (asfala sâfilîn) adalah tergantung pada dua bagian keadaan berikut.

Pertama, puasa sebagai kewajiban muslim dan ibadah universal bagi semua agama mengajak manusia untuk mengisi ruang rohaninya yang kosong. Jika manusia ibarat sebuah kotak kubus yang terbagi dalam dua bilik. Bilik jasmani hanya menempati ruang 0,91%, sementara bilik rohaninya menempati ruang 99,09%. Bilik jasmani yang 0,91% dapat diketahui detail-detailnya melalui ilmu anatomi dan fisiologi modern (meskipun hingga kini manusia belum mampu mengetahui seberapa banyak sel pembentuk struktur tubuh manusia).

Kapasitas bilik jasmani sangat terbatas, namun manusia terus mengikuti tuntutan hawa nafsunya dengan mengisi ruang sempit yang 0,91% itu. Semua kebutuhan jasmani dijejali hingga tumplak blak (overcapacity), tetapi terus saja dipaksa guna memenuhi hasrat jasmani yang tak pernah terpuaskan. Sementara, bilik rohani yang menguasai ruang sebesar 99,09% tak termanfaatkan dengan kebutuhan rohani berupa ibadah dan amal saleh. Kekosongan yang lama tak terawat ini kemudian dimanfaatkan oleh para reptil dan serangga untuk bersarang di sana. Ketika 99,09% bilik rohani manusia dikuasai oleh unsur keburukan ini, maka yang terjadi adalah ketidakseimbangan psikologis dan kegagalan kepribadian.

Kedua, ruang rohani yang berkapasitas 99,09% itu apakah berstruktur atau bersel dan seterusnya, sejauh ini tak dapat dipecahkan oleh ilmu pengetahuan manusia. Filsafat dan psikologi hanya mampu menangkap gejala yang nampak, lalu melahirkan teori-teori yang asumtif. Rohani manusia bukan saja unidentified, tetapi unlimited dan karena itu ia menjadi sisi misteri manusia.

Mengapa misteri? Karena rohani manusia adalah milik Yang Mahamisteri. Wayas-alûnaka ‘ani al-rûhi, quli al-rûhu min amri rabbi wamâ ûtîtum min al-‘ilmi illâ qalîlá (QS. 17: 85). Mungkin Tuhan ingin berkata begini, “Pengetahuan Anda yang terbatas menyulitkan Anda ‘tuk mengetahui roh Anda sendiri.” Di sini, Tuhan mendeklarasikan kembali bahwa kerohanian manusia itu given milik-Nya. Sisi misteri kerohanian manusia ini hanya akan “dikenal” melalui disiplin tasawuf. Hanya dengan tasawuf, manusia dipertemukan dengan Sang Pemilik Roh.

Hubungan antar keduanya bersifat resiprokal, di mana gerakan dari bawah ke atas (ittihâd) maupun dari atas ke bawah (hulûl) melahirkan persenyawaan kimiawi antara makhlûq-Khâliq atau antara Khâliq-makhlûq. Terjadi perselingkungan rahasia antara keduanya memunculkan klaim saling merahasiakan seperti bunyi hadis Qudsi, “Al-insânu sirrí wa anâ sirruhu (manusia adalah rahasia-Ku dan Aku adalah rahasianya)”.

Penyatuan eksistensial (wihdat al-wujûd) antara hamba dan Tuhan (kawula lan Gusti) menjadi doktrin sentral dalam dunia tasawuf, yakni pengenalan atau makrifat. Ungkapan hadis Qudsi dan maqâl yang mengungkapkan afinitas dan keintiman keduanya sebagai berikut:

Kuntu kanzan makhfiyyan fa-ahbabtu an u’rafa fakhalaqtu al-khalqa likay u’rafa (Aku adalah harta tersembunyi. Aku ingin dikenali. Karena itulah Aku ciptakan makhluk agar Aku dikenali).”

Man ‘arafa nafsahu faqad ‘arafa rabbahu (Siapa mengenal dirinya, sungguh ia mengenal Tuhannya).”

Mengungkapkan afinitas dan keintiman antara Sang Khalik dan makhluk-Nya. Keduanya menunjukkan saling ketergantungan bahkan dalam ritual puasa, Tuhan mengajak hamba-Nya untuk menjadi Diri-Nya. Hal itu terbaca dari hadis Qudsi tentang puasa, “Kullu ‘amali ibni âdama lahu illâ al-shiyâma, fa-innahu lí wa Anâ al-ladzî ajzîbihí (Semua amal anak Adam untuk dirinya kecuali puasa. Karena sesungguhnya puasa itu kepunyaan-Ku. Akulah yang membalas pahalanya).”

Puasa adalah sesuatu yang melekat sejak azali (innate) dengan Tuhan, di mana Dia tidak makan, tidak minum, tidak tidur, tidak berhubungan suami-istri. Tabiat keilahian itu ingin diterapkannya kepada hamba-Nya melalui ibadah puasa. Ia ingin agar hamba-Nya “menjadi” Diri-Nya.

Artikel Puasa untuk “Menjadi” Tuhan pertama kali tampil pada KAHMI Nasional.

]]>
8214
Tauhid Sosial Ramadan https://www.kahminasional.com/tauhid-sosial-ramadan/ Sun, 03 Apr 2022 06:11:10 +0000 https://www.kahminasional.com/?p=8216 Oleh Fathorrahman Fadli, Finance Director PT Insan Cita Mandiri Sejahtera Andai saja ayat-ayat Ramadan yang tersaji dalam surat-surat Al-Qur’an itu kehilangan satu kata, rasa-rasanya bisa dipastikan akan sedikit sekali orang yang akan berpuasa. Apakah gerangan satu kata penting itu, kisanak? Andai saja ayat-ayat itu kehilangan satu kata, maka bisa dipastikan akan sedikit sekali orang berlomba […]

Artikel Tauhid Sosial Ramadan pertama kali tampil pada KAHMI Nasional.

]]>
Oleh Fathorrahman Fadli, Finance Director PT Insan Cita Mandiri Sejahtera

Andai saja ayat-ayat Ramadan yang tersaji dalam surat-surat Al-Qur’an itu kehilangan satu kata, rasa-rasanya bisa dipastikan akan sedikit sekali orang yang akan berpuasa. Apakah gerangan satu kata penting itu, kisanak?

Andai saja ayat-ayat itu kehilangan satu kata, maka bisa dipastikan akan sedikit sekali orang berlomba untuk bersedekah guna mendulang pahala yang berlimpah di bulan Ramadan. Apakah gerangan satu kata penting itu, kisanak?

Andai kalimat-kalimat perintah puasa dalam Al-Qur’an itu kehilangan satu kata, maka saya yakin akan sedikit sekali orang-orang muslim di negeri ini yang mendadak saleh, mendadak ustaz, memenuhi masjid-masjid, musala-musala, surau-surau, maupun langgar-langgar itu. Apakah gerangan satu kata penting itu, kisanak?

Andai kata perintah berpuasa dalam bulan Ramadan itu kehilangan satu kata, maka saya ragu kaum yang menyebut dirinya muslim itu akan bangun di pagi buta hanya untuk makan sahur. Lalu, salat Subuh berjemaah, bermunajat kepada Allah Robbul Izzati. Meminta ampun kepada Allah atas dosa-dosa, atas kepalsuan-kepalsuan yang telah mereka lakukan. Atas intrik-intrik yang mereka gerakkan dengan lupa bahwa itu berdosa. Atas maksiat dan mungkarat yang telah berasyik masuk mengikuti langkah-langkah setan di tengah alpa sebagai manusia yang lemah imannya.

Lalu, kita pantas bertanya sekali lagi, apakah gerangan satu kata penting itu, kisanak?

Seorang mufasir Al-Qur’an yang masyhur abad ini, Muhammad Asad, mengajukan satu kata sebagai pendorong orang-orang muslim itu menjadi tiba-tiba baik secara mendasak dan berjemaah. Kata itu berasal dari tiga huruf, yaitu Kaf, Ta, dan Ba atau “kutiba“. Secara leksikal, kata kutiba itu bermakna diwajibkan. Saya lalu berpikir, andai saja kata diwajibkan itu Allah ganti dengan disunahkan kepadamu, apa yang kira-kira akan terjadi di bulan Ramadan? Andai kata diwajibkan itu Allah ganti dengan istilah dimubahkan kepadamu, apa yang akan terjadi di bulan Ramadan? Apalagi, jika Allah ganti kata kutiba itu dengan kata diharamkan kepadamu, maka Anda tentu akan menghindarinya, bukan?

Tauhid Sosial
Ramadan, jika ia datang seperti biasanya, maka ia tak lebih dari seremoni belaka. Ramai di awal, renggang di tengah, dan sepi di akhir. Lihatlah masjid-masjid kita, lihatlah kesibukan ibu-ibu kita, lihatlah hiruk pikuk pasar-pasar tradisional kita, lihatlah mal-mal dan minimarket mereka. Betapa ramai di awal puasa.

Umat ini menyumbang ratusan triliun dolar Amerika Seriakt untuk memuliakan kapitalis berkantong tebal nan menghisap itu. Ramadan dari hari ke hari tidak mampu menggerakkan kesadaran umat Islam untuk bangkit dari sejumlah keterpurukan yang mendera diri mereka sendiri.

Ramadan dari tahun ke tahun tidak mampu menggerakkan orang Islam itu untuk beranjak bangun dari tidur panjangnya. Mereka masih tetap menjadi konsumen nomor wahid di seluruh dunia. Padahal, di depan matanya, jelas dan terang benar bahwa di bulan Ramadan ada peningkatan belanja yang luar biasa besar. Tetapi, Ramadan tidak pernah menggerakkan muslimin untuk membangun “moslem industrial park” yang dikelola secara modern. Dengan tata kelola atau manajemen industrial yang mutakhir atau canggih. Umat ini masih terbirit-birit mengurusi tabrakan-tabrakan tafsir atas fikih-fikih yang menyesakkan dada. Beberapa ustaz di antara hanya sebagai penyebar kebencian atas kelompok umat yang lain. Mereka asik berantam dalam satu karung goni kebodohannya sendiri.

Ramadan dari tahun ke tahun tidak mampu menggerakkan pikiran umat Islam untuk beranjak dari konsumen menjadi produsen. Mereka pasar yang sangat besar sekaligus bodoh. Besar karena itu punya daya serap konsumsi yang sangat tinggi. Bodoh karena seharusnya merekalah pemilik industri sejumlah bahan pokok yang mereka konsumsi setiap hari. Akhirnya, mereka tak lebih daripada kerumunan umat yang tak berdaya, tidak cerdas, berpikir praktis nan pendek, dan hanya menjadi hamba-hamba kaum kapitalis.

Umat Islam adalah penyumbang utama pengisi pundi-pundi kekayaan kaum kapitalis itu. Mereka memperdaya umat dengan sejumlah kemudahan mengakses sejumlah kebutuhan pokok dan kebutuhan hidup lainnya. Lalu, isi dompet mereka mengalir secara sistematis dengan perasaan sukacita.

Produksi dan Distribusi
Ada baiknya dalam Ramadan kali ini kita kembali belajar bagaimana cara berproduksi dan merebut kembali jalur distribusi sejumlah kebutuhan pokok umat. Berpikirlah bahwa ketika emak-emak dan ibu-ibu kita, juga para mahmud (mamah muda), ribut soal langkanya minyak goreng, dunia pun goncang. Tahu goreng, tempe goreng, pisang goreng, ketela goreng, roti goreng, ikan goreng, bakwan goreng, bawang goreng, kacang goreng, tape goreng, lenyap seketika dari dapur umat. Emak-emak itu pun turun jalan untuk demonstrasi.

Apakah masalahnya selesai? Ternyata tidak. Yang menang tetaplah kaum kapitalis itu. Mereka penentu harga di pasaran. Mengapa? Merekalah penguasa market share bisnis minyak goreng di Tanah Air kita. Oleh karena itu, mereka pula market leader-nya. Artinya, seluruh perputaran dan standar pricing sejumlah komoditas utama umat itu ada dalam tangan mereka. Lalu, umat pun ikut dan manut dengan perasaan tidak berdaya. Apalagi, negaranya yang makin rapuh moralitas dan integritas pelaksananya, hanya menjadi boneka dungu nan menyebalkan.

Anyway, adalah suatu keharusan bagi umat Islam untuk berpikir menjadikan Ramadan tahun ini sebagai iktibar untuk melakukan transformasi keyakinan kita pada Allah ke dalam praktik sosial ekonomi yang sangat nyata dihadapi oleh umat sehari-hari. Jika tidak, maka Ramadan yang datang hari ini adalah sama dengan hari-hari yang lalu.

Artikel Tauhid Sosial Ramadan pertama kali tampil pada KAHMI Nasional.

]]>
8216
Malu sebagai Core of Leadership https://www.kahminasional.com/malu-sebagai-core-of-leadership/ Tue, 29 Mar 2022 14:47:52 +0000 https://www.kahminasional.com/?p=8158 Oleh Fathorahman Fadli, Finance Director PT Insan Cita Mandiri Sejahtera Vladimir Maldovic, seorang pemikir Rusia di saat Uni Sovyet berkuasa, mengingatkan kita tentang pentingnya rasa malu. Menurut pemikir berlatar belakang ilmu psikologi itu, rasa malu akan menjaga seseorang dari perbuatan tercela. Oleh karena itu, Maldovic, yang pemikirannya banyak dipengaruhi ilmuwan Islam abad pertengahan, menyarankan agar […]

Artikel Malu sebagai Core of Leadership pertama kali tampil pada KAHMI Nasional.

]]>
Oleh Fathorahman Fadli, Finance Director PT Insan Cita Mandiri Sejahtera

Vladimir Maldovic, seorang pemikir Rusia di saat Uni Sovyet berkuasa, mengingatkan kita tentang pentingnya rasa malu. Menurut pemikir berlatar belakang ilmu psikologi itu, rasa malu akan menjaga seseorang dari perbuatan tercela. Oleh karena itu, Maldovic, yang pemikirannya banyak dipengaruhi ilmuwan Islam abad pertengahan, menyarankan agar seorang yang bercita-cita menjadi pemimpin memiliki rasa malu.

Maldovic memberi beberapa alasan. Pertama, jika seorang pemimpin memiliki rasa malu, maka pemimpin tersebut akan cenderung berpikir matang sebelum dia berbicara. Maldovic–yang kabar terakhir sebelum meninggal memeluk Islam sebagai keyakinan barunya–menegaskan pentingnya berpikir dampak apa yang akan terjadi di saat dia berkata mengucapkan sesuatu.

Dalam pandangan Maldovic, pemimpin yang baik akan hemat bicara namun banyak bertindak strategis. Pemimpin yang demikian, sambung pria yang beristrikan seorang muslimah asal Kazakstan itu, akan terlihat lebih berwibawa dibanding yang banyak bicara namun miskin tindakan nyata.

“Malu itu elemen penting dalam kehidupan seorang pemimpin. Tanpa rasa malu, Anda akan gagal menjadi pemimpin,” kata Maldovic kepada The Daily Newspaper Pravda pada 12 Januari 1912.

Kedua, rasa malu adalah penting karena seorang pemimpin akan bersikap waspada, hati-hati, dan tidak tergesa-gesa dalam melahirkan kebijakan publik bagi rakyatnya.

Kebijakan publik yang benar, dalam pandangan Maldovic, adalah yang diproses secara matang dengan memperhatikan kemanfaatannya bagi rakyat banyak. Maldovic juga menyarankan agar pemimpin memikirkan secara matang pula apa dampak negatif yang akan timbul ketika kebijakan tersebut dijalankan.

Ketiga, secara psikologis, rasa malu dapat menjadi rem di saat sang pemimpin ingin “berlari kencang”. Sebagaimana layaknya mobil sedang berjalan kencang, lanjut Maldoviv, rem dapat mengendalikan mobil dari bahaya yang datang tiba-tiba.

Jika seorang pemimpin terlatih berpegang erat pada rasa malu, maka secara mekanis dapat menyelamatkan sang pemimpin dari tindakan-tindakan tercela yang akan menyebabkan ia jatuh dari singgasananya.

Keempat, rasa malu seorang pemimpin akan mendorong mereka pada kebaikan. Pemimpin yang demikian akan selalu menjaga keadaban publik dan cenderung menjadikan rakyatnya sebagai subjek yang harus diberdayakan.

Empat alasan pokok tersebut oleh Maldovic dijadikan dasar pemikirannya bahwa rasa malu adalah inti dari kepemimpinan.

Bagaimana Islam Bicara?
Islam sebagai sumber dan tatanan nilai luhur yang diakui secara luas oleh kaum muslimin sedunia memiliki pandangan yang sejalan dengan Maldovic.

Beberapa contoh perilaku yang ditunjukkan oleh Rasulullah Muhammad menunjukkan betapa beliau menjadikan rasa malu dan kejujuran sebagai tema pokok dalam kepemimpinan. Bahkan, dalam beberapa hadis sahih Bukhari Muslim, Rasulullah menegaskan, bahwa rasa malu itu adalah bagian dari iman (al-haya’u minal iman).

Islam ternyata tidak saja mendorong seorang pemimpin untuk memiliki rasa malu, tetapi lebih fundamental lagi: menjadikan rasa malu itu sebagai bagian integral dari keimanan seseorang.

Akhlak Bangsa
Bagaimana dengan akhlak bangsa? Islam melihat bahwa harga diri suatu bangsa sangat tergantung dari akhlak para pemimpinnya. Jika akhlak pemimpinnya baik, maka baiklah nasib bangsa itu. Begitu pula sebaliknya. Semakin rusak akhlak para pemimpinnya, maka semakin rusak pula bangsa itu.

Pandangan ini sejalan dengan pemikiran penyair besar asal Mesir, Ahmad Syauqi. Dalam salah satu syairnya, Syauqi menegaskan, bahwa suatu bangsa akan menjadi bangsa yang terhormat jika akhlak para pemimpinnya terjaga dengan baik.

Seorang pemimpin, tegas Syauqi, harus menjunjung tinggi etika dan moral kepemimpinan dalam masyarakat. Tanpa menegakkan etika dan moral selama mereka berkuasa, maka pemimpin itu akan kehilangan kewibawaan dan sangat mungkin terjadi keberadaannya akan dianggap sama dengan ketiadaannya.

Artikel Malu sebagai Core of Leadership pertama kali tampil pada KAHMI Nasional.

]]>
8158